Nepal (10): The Third Eye

Kini kami melaju di atas aspal yang mulus -untuk ukuran Nepal-. Jalan Raya Araniko yang menghubungkan Bhaktapur dan Kathmandu menyajikan pemandangan yang telah hilang dari mata kami sejak dua hari silam. Kumpulan bangunan kubus bertumpuk di sisi jalan dan di kejauhan, yang semuanya tersaput debu.

Jarak antara Bhaktapur dan Kathmandu tidaklah jauh, hanya berkisar lima belas kilometer. Dalam waktu sekitar empat puluh lima menit saja, kami mulai memasuki ibukota Nepal. Badan jalan mulai menyempit, dengan bangunan yang semakin padat di sisinya. Kerapatan kendaraan, lalu lalang manusia dan keriuhan suara klakson mendominasi kota. Semua tampak lebih sibuk, menghempaskan debu-debu ke udara.

IMG_3809
Salah satu ruas jalan di dalam kota Kathmandu. Tak jauh dari Thamel.

Susah saya mencari pembandingnya, kota apa yang mirip dengan Kathmandu di Indonesia. Ia terlihat lawas. Dengan beberapa bangunan kolonial yang tampak menua, terlihat di antara sesaknya kota. Suasana jalanan yang berdebu, terlihat kontras ketika beberapa mobil keluaran terbaru melintas satu dua di antaranya.

Dan akhirnya kami tiba di Thamel. Sebuah kuala bagi para traveler yang singgah di ibukota Nepal. Ia ibarat labirin sempit yang sesak. Manusia, dan aneka macam kendaraan menguasai jalanan yang tak seberapa. Sementara jajaran tempat usaha yang menandakan area traveler berhimpitan di sisinya. Pedagang souvenir, toko mountaineering, toko buku, restaurant, ATM, jasa courier, tour agent hingga penginapan, tersebar berselang seling di sepanjang lorongnya.

IMG_4513
Salah satu sudut Thamel. Lihatlah, bagaimana mereka mencoba membuat kepanjangan dari Thamel! 😉

Dengan bantuan peta dan memori visual dari googlemaps pada saat meriset perjalanan ini beberapa waktu sebelumnya, akhirnya kami sampai di Himalayan Travellers Inn. Inilah ‘rumah’ kami selanjutnya di Kathmandu.

Himalayan Travellers Inn

Akomodasi ini tidak terletak di tengah kesibukan Thamel, melainkan agak di utara. Tak jauh dari jalan raya, yang menghubungkan labirin itu ke tengah kota. Sebuah hotel budget yang terbilang baru, karena belum lama berselang direnovasi total dari bangunan lamanya.

Di sini terasa lebih tenang, jauh dari keriuhan yang tadi kami lalui. Bangunannya berupa gedung bertingkat berwarna coklat muda, dengan puluhan jendela yang menandakan kamar-kamar terpisah. Sebuah taman berdasar kerikil yang ditumbuhi beberapa pohon rindang, berada pada bagian barat area luar. Selain berfungsi sebagai tempat untuk melepas penat, area ini juga menjadi perluasan ruang makannya.

IMG_4090
Area taman di Himalayan Travellers Inn. Suasananya tenang dan rindang.

Kami mendapatkan kamar yang cukup nyaman. Lantai berlapis karpet, sepasang twin-bed empuk berlapis linen putih bersih, serta selimut tebal. Seolah menjanjikan malam yang lebih hangat daripada dua malam lalu. Sementara kamar mandinya, meskipun interiornya agak ketinggalan jaman beberapa dekade, namun terlihat bersih dan luas. Dan yang terpenting adalah, adanya aliran air panas yang saya pastikan tidak ada masalah.

Untitled
Website Himalayan Travellers Inn.

Secara umum, Himalayan Travellers Inn cukup nyaman, bersih, tenang, aman, dikelola oleh para staff yang ramah, memiliki koneksi WiFi  yang bisa diandalkan dan yang terpenting harganya cukup murah, meskipun terletak di kawasan paling strategis bagi para traveler di Kathmandu. Recommended!

Setelah check in dan beristirahat sebentar, kami bergegas keluar untuk menghabiskan waktu sebelum senja datang. Menuju satu tempat, di daerah Boudha.

Boudhanath dan Mata Ketiga

Diceritakan, seorang wanita tua peternak unggas memohon sebidang tanah kepada raja yang menguasai daerah Boudha, untuk membangun sebuah stupa bagi memuliakan Sang Buddha. Raja mengabulkan permohonannya, dan menjanjikan akan memberikan tanah padanya seluas apapun yang bisa ia tutupi dengan kulit seekor kerbau.

Lalu wanita tersebut mengiris tipis-tipis kulit seekor kerbau, dan menempatkannya pada sebidang tanah sehingga membentuk lingkaran yang besar. Meskipun merasa dikalahkan secara cerdik, sang raja tetap menepati janjinya. Lalu dibangunlah stupa itu, sesuai ukuran tanah yang dihasilkan si wanita tua.

DSC_0217
Boudhanath, stupa bergaya Tibet terbesar di Lembah Kathmandu.

Sebuah tarikh Nepal berjudul Gopalarajavamsavali (Gopu) mencatat bahwa Boudhanath dibangun pada masa Raja Sivadeva dari bangsa Licchavi di abad ke 6 Masehi, sedangkan tarikh lainnya mencatat bahwa stupa tersebut  dibangun pada masa kekuasaan Raja Manadeva di abad ke 5 Masehi. Sementara teori lain mengatakan, kemungkinan stupa ini dibangun pada abad ke 14 Masehi, setelah invasi Mughal dari India.

Saat ini Boudhanath adalah stupa bergaya Tibet yang terpopuler dan terbesar di Nepal. Bagi kalangan Buddha Tibet, stupa ini adalah yang tersuci di luar tanah mereka. Ratusan orang peziarah mengunjunginya setiap hari, hampir sepanjang tahun. Biasanya mereka melakukan ritual kora, yaitu berjalan searah jarum jam mengelilingi stupa sembari merapalkan mantra-mantra.

IMG_3512
Pengunjung Boudhanath, di antaranya para peziarah, di luar dinding stupa.
DSC_0208
Seorang bhiksu Tibet di atas papan sembahyang nya.

Jika dilihat dari udara, Boudhanath memiliki denah seperti mandala raksasa, yang merupakan diagram kosmologi Buddha. Dan selayaknya mandala bergaya Tibet pada umumnya, empat Buddha Dhyani (Buddha Kebijaksanaan) ditempatkan pada empat penjuru mata anginnya, sementara satu lainnya sebagai pusat diletakkan di tengah.

Tersebutlah, Akhsobya di timur, Amithaba di barat, Amogashiddi di utara serta Ratnasambhawa di selatan. Sedangkan Wairocana sebagai pusatnya, ditempatkan pada menara emasnya. Kelima Buddha tersebut merupakan personifikasi dari lima elemen yang ada di alam. Yaitu tanah, air, api, udara, dan eter yang direpresentasikan pada arsitekturnya.

DSC_0194
Peziarah Tibet yang sedang melakukan ritualnya di kompleks Boudhanath.

Saya cukup terkesan dengan ukuran stupa tunggalnya yang raksasa. Yang didominasi warna putih pada keseluruhan tubuhnya, dan memiliki menara berlapis emas pada puncaknya. Bentuknya yang mengerucut ke tengah, sudah barang tentu merupakan representasi puncak Gunung Meru, yang dipercaya sebagai pusat semesta dalam kepercayaan Hindu dan Buddha.

Meskipun begitu, saya merasa bahwa Borobudur yang berbahan batu andesit jauh jauh lebih impresif. Dengan teknik ukirannya yang lebih detail, teknik perancangan dan penyatuan bebatuannya yang lebih rumit, serta ukurannya yang lebih masif.

Stupa Boudhanath  dikelilingi oleh dinding bersisi enam belas, dengan lukisan pada ceruk-ceruknya. Dan memiliki gerbang-gerbang kecil untuk dimasuki. Deretan roda doa dengan pahatan mantra Om Mani Padme Hum, terpasang di sepanjang dinding pembatas itu. Dimana penggambaran Avalokiteshvara (Padmapani) menyertainya.

DSC_0003
Mantra Avalokiteshvara ‘Om Mani Padme Hum’, terukir di roda-roda doa. Para peziarah berkeliling sambil menggulir roda-roda tersebut.

Dasar stupanya sendiri berupa tiga susun platform yang semakin mengecil ke arah tengah. Yang merupakan penggambaran dari tanah. Sedangkan dasar melingkar yang menunjang badan setengah bulatnya merupakan simbolisasi dari air. Dan tepat di bagian tengahnya terdapat menara berlapis emas berbentuk dasar persegi, dengan imaji wajah dan mata Buddha pada keempat sisinya.

Sebentuk gambar menyerupai tanda tanya menggantikan penggambaran hidung di wajah tersebut. Ini adalah karakter Nepal untuk angka satu,  yang melambangkan kesatuan dan satu cara untuk meraih pencerahan melalui ajaran Buddha. Sementara di bagian dahi terdapat Mata Ketiga. Sebuah simbolisasi bagi kebijaksanaan Buddha.

Ingatan saya tiba-tiba melayang kepada novel The Third Eye karya Tuesday Lobsang Rampa (Cyril Henry Hoskin), yang menceritakan tentang petualangannya di Tibet, dan mendapatkan Mata Ketiga melalui sebuah ‘operasi’ khusus yang deskripsinya membuat saya ngilu. Bayangkan saja, bagaimana jika dahimu dibor oleh sebuah alat khusus, lalu dipasangkan sejenis kayu istimewa yang akan menempel seumur hidup di sana. Tapi memang efek akhirnya membuat penasaran sih.

The instrument penetrated the bone. A very hard, clean sliver of wood had been treated by fire and herbs and was slid down so that it just entered the hole in my head. I felt a stinging, tickling sensation apparently in the bridge of my nose. It subsided and I became aware of subtle scents which I could not identify. Suddenly there was a blinding flash. For a moment the pain was intense. It diminished, died and was replaced by spirals of colour. As the projecting sliver was being bound into place so that it could not move, the Lama Mingyar Dondup turned to me and said: “You are now one of us, Lobsang. For the rest of your life you will see people as they are, and not as they pretend to be!”

DSC_0201
Menara emas stupa Boudhanath. Mata Ketiga nya tertutup kibaran kain.

Selanjutnya, pada bagian atas dasar persegi menaranya, saya melihat piramida bertingkat tiga belas, yang konon melambangkan tangga menuju pencerahan. Bentuknya yang mengerucut, merupakan simbolisasi dari api. Dimana pada bagian atasnya terdapat kanopi yang merupakan perwujudan dari udara. Dan kemuncaknya yang berlapis emas adalah perwujudan eter serta Buddha Wairocana.

Bendera berwarna warni yang bertuliskan mantra-mantra doa, terikat dari puncak menara ke arah empat penjuru angin pada beberapa utas benang. Kaum Buddha Tibet percaya, setiap kali angin berhembus dan mengepakkan lembaran bendera tersebut, maka doa yang terdapat padanya akan terlepas memberkati alam semesta.

DSC_0212
Bendera-bendera doa yang berkibar di Boudhanath.

Sore itu, Boudhanath dipenuhi banyak pengunjung. Sebagian besar adalah peziarah, yang didominasi wajah-wajah khas Tibet. Mereka berkeliling melakukan kora. Bak gelombang yang menyapu sisi-sisi stupa. Sementara kami para pelancong dapat bebas menelisik detail bangunan dan mengamati kegiatan mereka pada jarak tertentu.

DSC_0213
Padatnya pengunjung di sekitar pintu masuk Boudhanath.
DSC_0197
Bhiksu Tibet cilik di sekitar Boudhanath.
IMG_3565
Peziarah yang sedang mendaras mantra suci, di balik dinding Boudhanath.
IMG_3569
Yang sedang pacaran juga ada. Ehem!

Boudhanath sendiri dikelilingi oleh bangunan yang mengikuti bidang lingkarnya. Puluhan biara, toko souvenir, restaurant hingga penginapan berada pada area tersebut, yang menjalar hingga ke gang-gang kecil di sekitarnya.

Jika Bhaktapur terlihat kuno, maka area Boudhanath justru terlihat lebih kekinian. Dari atas rooftop resto La Dolce Vita, kami mengamati kemegahan stupa besar itu yang berlatar belakang kepadatan Kathmandu dan Himalaya yang samar di kejauhan. Kami menghabiskan senja disitu, sembari menyantap makan malam yang kali ini bergaya western.

DSC_0220
Boudhanath dan sekitarnya, diambil dari atas rooftop La Dolce Vita.

Dan ketika gelap menjelang, ratusan lampu-lampu mentega dipasang mengelilingi Boudhanath. Sementara gelombang peziarah masih saja melakukan kora, serta ritual-ritual lain di sisi stupa. Pemandangan Boudhanath bahkan tetap spektakuler di dalam malam.

Namun kami tak bisa lagi berlama-lama di situ. Ujung jemari kami sudah mulai membeku, tulang pun terasa ngilu. Setelah berusaha merekam beberapa gambar lagi, kamipun berpamitan pada Mata Ketiga.

IMG_4062
Saya, di depan stupa Boudhanath.

Kami mengunjungi stupa bergaya Tibet lainnya yang sangat termasyhur di Kathmandu, berada di atas bukit, bersepuh emas dan dipenuhi oleh monyet-monyet jinak. Saya akan menceritakan tentang kuil yang menjadi korban gempa Nepal April 2015 lalu tersebut, di tulisan selanjutnya. Nantikan kisahnya ya …

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

48 thoughts on “Nepal (10): The Third Eye

  1. Baca ceritamu yang detail tentang Stupa Boudhanath jadi kebayang ikut berputar searah jarum jam sambil ikut merapal mantra-mantra bareng pengunjung yang lain. 🙂
    Bart, ayolah ini kisah Nepal segera diterbitin jadi buku panduan mini aja, kisah selanjutnya share foto aja untuk memuaskan dan bikin penasaran pembacamu hihihi.

    Liked by 1 person

  2. tulisannya begitu sendu, membuatku ingin segera ke sana dan melihat larik-larik motif merah dan keemasan itu berpadu. di keramaiannya, thamel begitu indah untuk seseorang yang terbiasa akan ketidakteraturan. pola-pola chaos itu justru merupakan kekuatan..

    Liked by 1 person

    1. Monggo mbak direncanakan kesana, aku rasa mereka sudah mulai berbenah lagi.

      Betul banget, Thamel itu eksotis menurutku. Aku merasa benar-benar jadi pejalan di sana, suasana Thamel itu menguarkan aura petualangan daripada sekedar jalan-jalan.

      Like

  3. Bart, deskripsimu mengenai Boudhanath sepertinya adalah deskripsi paling jelas mengenai tempat itu dari beberapa sumber yang pernah aku baca deh. Jadi makan di daerah itu kebanyakan ala western ya? Mudah-mudahan aku gak khilaf untuk ambil lampu mentega lalu aku tetesin di atas makanan.

    Liked by 1 person

    1. Semoga bisa membantu ngasih info awal, so dirimu kalau kesana nanti udah tau spot2 mana aja yg akan dituju untuk didokumentasikan.

      Hmmm yg western banyak, yg pasti gak ada lagi resto-resto bergaya Newar seperti di Bhaktapur lagi. Rata-rata bangunan bertingkat modern. Satu-satunya alasan aku milih La Dolce Vita adalah: view nya sesuai yg aku mau. Pemandangan Boudhanath dengan latar Kathmandu dan Himalaya. Banyak resto dengan rooftop di sekelilingnya Bam 😊

      Liked by 1 person

    1. Datanglah mbak, pasti suka. Negari itu eksotis dan penduduknya menyenangkan. Waktu aku kesana musim dingin permulaan. Siang suhunya 15-10 celsius, malam sampai -3 celsius. Tapi gak ada heater hehehehe

      Like

  4. Megah ya bangunannya, terus mereka semua berpradaksina, kebiasaan yang kecil tapi masih bertahan di Hindu Buddha yang ada di Indonesia, baik di Hindu maupun Buddha-nya (eh, kita juga mengenal perputaran berlawanan arah jarum jam sih, prasawya :hehe). Ah, ini tulisan yang bagus sekali. Saya selalu suka membaca tulisan Mas, soalnya jadi merasa seolah betulan ada di sana. Top!

    Liked by 1 person

  5. duh, sedih baca tulisan2mu ttg Nepal.. mengingatkan diriku blum nulis apa2 tentang Nepal. 😥 hahahah… tulisannya tentang Nepal komplittt bro, bikin jiper duluan =))) *mulai bacain satu2, cari semangat buat nulis Nepal*

    Liked by 1 person

    1. Semangat Chok! Hahaha jadi malu. Udah gak papa, tulis aja. Justru aku pengen baca perspektifmu tentang Nepal dan suasana menjelang gempa itu. Kita selisih waktu kunjungannya hampir dua tahun lho … Tak enteni yoooo 😊

      Like

  6. Love your Nepal series, sungguh menarik! Your photos are simply amazing. I’m happy for you that you had experienced Nepal pre-earthquake and it’s sad to know that many of the heritage areas have crumbled down. Don’t know if Nepal will ever be the same, but at least I know the Nepalis are resilient people. So what’s your next “travel series”, which destination? 😉

    Liked by 1 person

    1. Thank you Kat 🙂

      Yes, I was lucky though sometimes I feel so sad when I remember how many heritages dissapeared by the quake.

      My next travel series is India, I had a chance to explore it in 17 days on February 2015. But, first I have to finish this Nepal travelogue first 😊😊

      Liked by 1 person

      1. Thanks, I will read it. I have been reading your Nepal posts in Bahasa. There are a few words different from Bahasa Melayu but I still get the meaning 🙂

        Liked by 1 person

  7. Halo mas Bart, salam kenal. Wah senang sekali baca blog ini. sangat lengkap. saya juga kebetulan baru saja pulang dari Nepal dan melihat kondisi Boudhanath yang sangat berbeda karena sedang renovasi pasca gempa, tapi tetap suasana sakralnya tidak hilang. Boleh berkunjung ke blog saya galihmulya.blogspot.com .Terimakasih 🙂

    Liked by 1 person

    1. Salam kenal juga Galih. Terimakasih ya sudah mampir baca-baca dan tinggalkan pesan. Jadi Galih sudah liat kondisi Nepal pasca gempanya ya? Aku gak sabar untuk bisa balik lagi ke sana secepatnya hehe …

      Siip, aku mampir-mampir ya 🙂

      Like

Leave a reply to Chocky Sihombing Cancel reply