1 Oktober 1965, Jumat Legi, dini hari. Gemuruh suara mesin truk pengangkut pasukan Cakrabirawa bersandi Pasopati membelah keheningan ibukota. Suara sepatu prajurit berderap memecah senyap. Merangsek ke dalam hunian sang jenderal di area Menteng. Tak ada perlawanan berarti, belasan prajurit memasuki griya, sementara lainnya mengepung berjaga.
“Mana ndoromu?”, hardik tentara yang dijawab gelengan pelayan.
Tak butuh kata lama, berkat putranya, sang Jenderal dibangunkan. Dalam kantuk yang masih mendera, ia menemui tamunya. Kegaduhan kemudian terjadi. Sang Jenderal merasa dilancangi, oleh mereka yang belum lagi perwira. Pintu terbanting, senapan menyalak. Sang Jenderal tumbang di depan putranya. Matanya menatap sayu di ambang sakarat, ketika para prajurit menyeret tubuhnya. Meninggalkan jejak panjang berdarah di atas lantai, serta luka di hati sepanjang masa. Pagi itu, pukul 04.35 sang Jenderal gugur sebagai wira.

Sebagai seseorang yang pernah hidup dan bersekolah pada masa Orde Baru berjaya, tentu saya mengingat detail kejadian itu. Baik dari buku-buku, yang kemudian diulang oleh guru-guru sejarah dan dipertegas oleh reka adegan di film Pengkhianatan G30S/PKI besutan sutradara Arifin C. Noer, yang selalu diputar setiap malam 30 September pada tahun-tahun Presiden Soeharto berkuasa. Terhitung sejak masa SD hingga saya lulus Sekolah Analis Kimia, saya menjadi penonton setia film tersebut.
Museum Sasmitaloka Ahmad Yani
Setelah bertahun-tahun mengenal cerita di seputar kejadian 30 September 1965, dan tinggal di seputaran Jabodetabek, akhirnya saya menyempatkan diri menyambangi rumah Jenderal Ahmad Yani, yang kini dijadikan museum. Rumah yang menjadi TKP penculikan sang jenderal yang kemudian mengubah sejarah bangsa ini.
Bagi saya, museum tersebut sungguh di luar bayangan, bukan bentuknya, melainkan skalanya. Saya membayangkan, seorang Jenderal apalagi setingkat beliau yang saat itu menjabat sebagai Menpangad (Menteri Panglima Angkatan Darat – setara dengan Kepala Staff Angkatan Darat, saat ini) tentu akan tinggal pada rumah gedongan yang jauh lebih besar. Namun, museum yang pada saat kejadian merupakan kediaman pribadi beliau, ternyata ukurannya lebih kecil dan terkesan sederhana.

Pada awalnya museum ini merupakan rumah pribadi keluarga Jenderal Yani. Namun sejak 1 Oktober 1966, Ibu Yayu Ahmad Yani yang merupakan istri beliau, menyerahkan rumah tersebut kepada TNI Angkatan Darat untuk dijadikan sebagai museum. Dimana peresmiannya dilakukan oleh Letnan Jenderal Soeharto, yang pada saat itu menjabat sebagai Menpangad menggantikan Jenderal Yani.
Sejatinya Jenderal Yani mendapatkan fasilitas sebuah rumah dinas dari negara, pada saat menjabat posisi Menpangad. Namun, beliau merasa aura rumah dinas yang berlokasi di Taman Suropati itu terlalu menekan. Bayangan akan tumpukan pekerjaan seolah-olah menyertai hingga ke dalam rumah, bila beliau tinggal di sana. Itulah alasannya, mengapa beliau memilih tinggal di rumah pribadinya yang lebih sederhana.
Rumah tersebut hanya mememenuhi sekitar setengah dari luas lahan yang berukuran 1300 meter persegi. Terletak agak ke dalam, dengan taman-tamah yang mengitari sekitarnya. Bangunannya bergaya art deco, beratap limas dan tanpa tingkat.

Siang itu tak ada pengunjung lain kecuali saya. Seorang petugas yang berjaga kala itu -mas Wawan namanya- menerima kedatangan saya di pos jaga.
“Perlu saya temani gak mas?”, tanyanya.
“Oh gak usah mas, ini kunjungan saya yang kedua. Saya cuma mau motret aja, untuk melengkapi materi blog”
Setelah bertanya-tanya tentang blog itu apa, dan sebagainya, ia mempersilahkan saya untuk melakukan solo tour di museum tersebut. Dengan sebuah pesan, yang sangat ia tekankan.
“Silahkan kalau mau motret bagian mana saja. Tapi tolong ya, jangan foto koleksi di kamar bapak. Alasannya? Pribadi. Okey?”, ujarnya.
Solo tour itu tidak saya mulai dari pintu depan rumah atau museum, melainkan melalui pintu samping yang mengarah ke dapur. Melalui pintu itulah pasukan yang ditugaskan untuk menculik Jenderal Yani masuk, pada pagi dini hari 1 Oktober 1965. Dan pintu itu pulalah yang menjadi saksi diseretnya tubuh beliau yang sedang sekarat berdarah-darah pada fajar yang kelam itu.


Area itu kini dialihfungsikan menjadi ruang tunggu dan pameran foto. Puluhan gambar yang merekam kegiatan Jenderal Yani di masa hidupnya dipampang dalam kotak-kotak kaca, termasuk foto-foto dari jenazah beliau dan koleganya paska ditemukan di sumur tua di Lubang Buaya. Saya juga melihat foto kondisi rumah itu yang mengenaskan paska kejadian penculikan, dimana jejak darah masih terlihat membekas di lantai. Meskipun saat ini kondisinya telah rapi, namun aura kesedihan dan prihatin tetap saya rasakan selama berada di dalamnya.
Selanjutnya saya mengarah ke dalam ruang tengah rumah, melalui selasar kecil selebar satu meter yang pada satu sisinya adalah jendela-jendela kaca berteralis. Pada selasar inilah kegaduhan yang memicu terbunuhnya Jenderal Yani terjadi. Dan sebuah pintu kaca dengan beberapa lubang bekas peluru pada permukaannya membatasi selasar itu dengan ruang tengah rumah. Saya sempat berhenti sejenak, sambil membayangkan kejadian pada lima puluh tahun yang lalu, di tempat itu.



Dahulu, ketika Jenderal Yani masih menempati rumah tersebut, maka secara resmi para tamu harus melalui sebuah ruang tunggu dan ruang ajudan pribadi di area penerimaan. Baru setelah dipersilahkan, para tamu bisa menemui tuan rumah di ruang tamu yang terletak lebih ke dalam. Di ruang tamu itulah, pada malam 30 September 1965, Mayor Jenderal Basuki Rachmat memberikan informasi tentang adanya gerakan yang akan mengancam keselamatan jiwa Jenderal Yani. Namun, Jenderal Yani justru menyangsikan kebenaran berita tersebut. Beliau tak menyangka, jika berita tersebut sakhih adanya.



Saya mengingat sebuah tayangan di Youtube yang mendokumentasikan wawancara Ibu Amelia Yani (salah seorang putri beliau) tentang sang jenderal. Beliau mengenang ayahnya sebagai sosok yang sangat dekat dengan keluarga dan putra putrinya. Bila sedang santai di rumah, Jenderal Yani sering menghabiskan waktu bersama dengan putra putri nya di ruang tengah keluarga. Mereka menonton televisi bersama, atau sang jenderal bersantai sembari menyesap cerutu dari atas kursi goyangnya di sudut minibar.
Kesederhanaan rumah sang jenderal juga terlukis dari letak serta ukuran ruang tidur keluarga. Tiga kamar yang luasnya tak seberapa, demi menampung sang jenderal beserta istri dan kedelapan putra putri mereka. Ketiga kamar tersebut memiliki pintu yang sangat berdekatan satu dengan lainnya.



Satu cerita menarik tersimpan di dalam kamar sang jenderal, dimana terdapat sebuah retakan panjang dari ujung atas di dekat langit-langit melintang sepanjang dua meteran pada dinding. Garis retakan itu terbentuk akibat sambaran petir yang menimpa rumah itu, sekitar satu minggu sebelum upacara serah terima jabatan Menpangad dari Letnah Jenderal A. H. Nasution kepada beliau. Jejak petir yang tentunya terjadi akibat fenomena alam yang seharusnya dapat terjelaskan secara ilmiah itu, kini dihubung-hubungkan dengan berbagai kisah supranatural dan firasat pertanda akan terjadinya sesuatu di kemudian hari.
Di kamar itu pula tersimpan beberapa memorabilia yang menyimpan ratusan cerita lainnya. Seperti gaji terakhir beliau sebesar Rp 120,- yang belum sempat diserahkan kepada istrinya, dan ditemukan masih tersimpan di salah satu saku bajunya. Lalu senapan bermerk Thompson beserta beberapa butir dan selongsong peluru yang menghabisi nyawa Jenderal Yani di rumah tersebut. Hingga senapan yang menghabisi nyawa pucuk pimpinan PKI kala itu, Dipa Nusa Aidit. Saya tidak mengerti mengapa senapan satu itu disimpan di situ, meskipun secara gambaran besar riwayat Aidit berkaitan dengan kejadian di akhir tahun 1965 itu, namun rasanya tetap terlalu acak.




Kenapa saja menjadi pradjurit? Karena saja Patriot. Kenapa saja patriot? Karena saja tjinta tanah air saja. (Jenderal Ahmad Yani – 18 Januari 1965)
Jas Merah!
Meskipun sejak tahun 1965 hingga akhir periode Orde Baru berkuasa, kisah dibalik kejadian berdarah itu telah dicatatkan berulang kali. Namun sejatinya hingga kini, ratusan misteri masih menjadi daerah abu-abu yang belum terjelaskan. Belum ada buku putih yang benar-benar bersih dianggap sebagai catatan sakhih dari pusaran sejarah itu. Sejumlah kesaksian masih berkelindan dan bersaling-silang, menimbulkan kontroversi serta polemik yang tak berkesudahan.
Namun itu tidak boleh dijadikan pembenaran terhadap alasan untuk melupakan kejadian tersebut. Terutama dari benak generasi muda. Itu adalah sejarah, sesuatu yang mengandung hikmah dan bisa memberikan pelajaran bagi kita semua.

Harus diakui, bahwa episode gelap akhir Orde Lama ini mulai menjadi kisah yang mengabur di benak generasi muda, terutama paska Orde Baru. Seperti ketika saya hendak menyudahi solo tour tersebut. Saya sempat berjumpa dengan mas Wawan di ruang pameran foto. Ia sedang memandu sebuah keluarga kecil yang terdiri dari seorang bapak dan tiga anak-anaknya. Mas Wawan bertanya pada salah satu anak yang menurut pengakuannya sudah memasuki kelas 1 SMA. Pertanyaan sederhana dan jawaban yang membuat saya miris.
“Kamu tahu nggak siapa Jenderal Ahmad Yani?”
“Hmmm ,,, nggak. Pernah dengar sih, tapi lupa”, jawab sang anak.
“Masa gak tau? Beliau itu Pahlawan Revolusi!”
“O iyaa, baru ingat sekarang”, sambung anak itu.
“Okey, sekarang kalau sudah ingat, saya tanya lagi. Berapa jumlah Pahlawan Revolusi?”, tanya mas Wawan kembali.
“Hmmm ,,,”, anak itu terdiam agak lama.
“Nggak tau mas!”, sambungnya dengan tersenyum malu.
Saya cuma tersenyum pahit mendengar dialog tersebut. Bagaimana mungkin sejarah yang menjadi titik perubahan haluan besar bangsa ini bisa tergilas dari ingatan generasi muda. Jika kejadian yang baru berlalu setengah abad ini saja terlupakan, bagaimana mereka bisa memahami jika dahulu Nusantara ini disesaki bangsa-bangsa besar nan tangguh dan meninggalkan jejak peradaban yang agung. Jika mereka lupa pada sejarah dan pahlawan, pada apa mereka akan menonggakkan pelajaran dan kebanggaan?
Mungkin kita harus kembali diingatkan, pada pesan besar Presiden Soekarno. Jas Merah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah!
Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Jenderal TNI Ahmad Yani
Jl. Lembang Terusan no. 58 D
Menteng – Jakarta Pusat
Jakarta 10310
Tulisan bagus dan pas banget dengan memori G30S nih, Bart. Nggak nyangka banget rumah tinggal keluarga Jend Ahmad Yani sesederhana itu. Memang betul hingga kini catatan sejarah terkait pembantaian tahun 1965 masih abu-abu. Selama dicekoki film yang tiap tahun tayang di tv nasional sampai akhirnya dihentikan setelah reformasi, hanya mendengar kisah kerusuhan yang pernah terjadi di Solo tahun 1965, ditambah pintu hati yang semakin tertutup rapat di Laweyan pasca kejadian tersebut. Jadi panjang bgini komenku haha.
Ntar kalo mlipir Jakarta anterin ke Museum Ahmad Yani ya Bart 🙂
LikeLiked by 1 person
Betul Lim, ini salah satu episode sejarah yang masih abu-abu. Berbagai macam teori serta spekulasi menyertai episode ini. Sayangnya, ketika para saksi sejarah yang tersisa mulai meninggal, kisah ini belum juga clear. Terkesan banyak yang ditutupi. Padahal paska 30 September 1965, bangsa kita terlibat dalam tragedi berdarah yang tak kalah miris nya. Aku sih berharap, suatu saat ada team yang dapat mengumpulkan serpihan sejarah ini menjadi kisah yang lebih ‘jujur’ dan komprehensif. Demi generasi Indonesia selanjutnya juga.
Siap Lim, kalau pas waktunya, pas dirimu main ke Jakarta lagi, aku anterin deh ke museum satu ini.
LikeLike
Cara mengulasnya apik Mas. Betah mbacanya. Oiya saya pernah membaca sebuah tulisan, agak lupa itu buku atau penelitian, bahwa sebenarnya penerus yang digadang-gadang menjadi presiden pengganti Bung Karno adalah Jend. A Yani. Karena saat itu kelasnya lebih tinggi dan karirnya lebih menanjak daripada Suharto meskipun lebih muda. Lalu timbul kecemburuan dari Suharto dan lalu bersama Dewan Jenderal merancang skenario penumpasan tersebut.
Entahlah… 🙂
LikeLiked by 1 person
Terimakasih Qy.
Berita itu memang tersebar di banyak tulisan. Kebenarannya memang masih perlu dibuktikan. Namun memang menjelang tragedi tersebut Presiden Soekarno memberi isyarat jika Jenderal Yani adalah salah satu orang yg dia jagokan untuk menggantikannya kelak. Karena selain cerdas dan berprestasi, beliau juga dikenal memiliki leadership yg bagus. Bahkan beliau jauh lebih dijagokan dibandingkan Pak Nasution yg kala itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata. Selain juga nama Marsekal Madya Omar Dhani yg turut dijagokan.
Salah satu teori yg pernah aku baca, memang kejadian di waktu itu adalah sebuah skenario besar yg saling berhubungan dan melibatkan AS sebagai negara adidaya. Tujuan utamanya adalah menjatuhkan Soekarno, melibas komunisme di Indonesia sekaligus merampas potensi ekonomi bangsa. Bahkan kalau cukup jeli, keberadaan Freeport dan beberapa perusahaan asing di Indonesia pun ada hubungannya. So, motif utamanya adalah ekonomi.
Kebetulan di kala itu bangsa kita sedang menghadapi konflik internal yg cukup rumit. Semua bersiap-siap saling memukul. Membunuh atau dibunuh.
Kalau bisa diurutkan mungkin seperti ini: Komunisme harus dibasmi, Soekarno sebagai pelindung harus ditiadakan, loyalisnya harus disingkirkan.
Ada yg menyatakan jika sejatinya tragedi tersebut adalah konflik internal Angkatan Darat. Dimana Soeharto memiliki dendam pribadi kepada 7 jenderal, akibat disekolahkannya beliau ke Seskoad sejak kasus penyelundupan ‘komoditi’ nya terbongkar. Kebetulan 7 jenderal tersebut adalah loyalis Soekarno. 6 diantaranya gugur sebagai wira, sedangkan Jenderal Nasution lolos dan ‘tergantikan’ oleh ajudannya, yaitu Kapten Pierre Tendean.
Ah panjang deh kalau harus cerita ini lebih lengkap, bisa jadi satu tulisan tersendiri. Tapi karena sumbernya juga masih simpang siur, mungkin lebih baik kapan-kapan kita bicarakan offline saja ya.
Yang pasti kita tidak boleh melupakan episode ini, karena ada hikmah dan pelajarannya untuk kita.
LikeLiked by 1 person
Benar Mas. Makanya kan pemerintah berupaya rekonsiliasi supaya ada kebenaran, walau ada penggiat yang mengatasnamakan HAM menentang. Padahal kan bagaimanapun, kejahatan apapun tidak ada pembenaran.
Baru tadi baca kolom Opini Jawa Pos, tulisannya ngena sekali tentang penyebutan proklamasi kedua pada 1965. Mengubah dan menentukan arah Indonesia secara dramatis. Indonesia yang awalnya begitu anti kolonialisme, anti imperialisme, tangguh dalam perjuangan, runtuh dan raib kala presiden kedua naik tahta dan menerbitkan UU tentang penanaman modal asing kali pertama. Tiba2 lembut terhadap dunia barat. Hehe. Panjang ya. Tapi menarik, sudah banyak penelitian asing yang mencium keanehan pada peristiwa kala itu. Mestinya jadi salah satu dasar menguak kebenaran. Sippp Mas Bart 🙂
LikeLike
Menyimak, dan makin yakin bahwa sekarang kita belum benar-benar merdeka.
Aku bacanya hampir mau nangis saking sedihnya.. pasti Tuhan sayang banget sama beliau (dan para pahlawan) sampai cepat memanggilnya satu-persatu. Mereka sudah cukup berjuang, dan gak pantas berada disekitar orang-orang yg jahat terlalu lama. (ini hanya pendapatku aja ya)
Semoga kita bukan salah satu generasi yg mengecewakan para pahlawan revolusi :’)
LikeLiked by 2 people
Amiiin, semoga begitu. Terimakasih sudah mampir baca, menyimak dan tinggalkan komen ya 😊
LikeLike
Semoga kebenaran segera datang ya Mbak 🙂
LikeLike
Oke bgt bart…emang dr SD udh dcekokin film G30SPKI ampe smakbo..kyk dcuci otak.cz wajib nonton.tp sejak reformasi byk versi yg beredar jd mulai bingung mana yg benar…akhirnya jd merasa gak penting lg…semoga tulisannya ni bs bermanfaat.apalagi bwt generasi anak2 kita yg mungkin blm pernah nonton film nya
LikeLiked by 1 person
Amiin amiin, terimakasih sudah mampir, sempatkan membaca dan ninggalin komen ya Von 😊
LikeLike
Great story. Seems like the condition of the house is well preserved.
LikeLiked by 1 person
Thank you. Actually, it needs some renovations in some points, but Alhamdulillah it is well preserved up to now.
Thank you for coming and left a sincere comment 😊
LikeLiked by 1 person
anak muda jaman sekarang, suka lupa sama sejarah. eh tapi sejarah indonesia banyak banget yang dibelokkan sana sini, jadi rada susah buat tahu mana sejarah yang salah dan benar. Nice writing mas 🙂
LikeLiked by 1 person
Rasanya gak ada sejarah yg gak dibelokkan Mi, kita sebagai penikmatnya dituntut untuk banyak membaca juga hehe. Tapi kalau yang basic-basic aja mereka sampai gak tau khan ngenes banget.
Makasih ya sudah sempatkan mampir dan komen 😊
LikeLike
iya sih, kalau aku lebih suka baca-baca sejarah perang dunia ke satu dan ke dua 😀 sejarah nasional yang tertarik malah kisah peperangan jaman voc daripada sejarah setelah kemerdekaan 😀 kalau abg jaman sekarang, kayaknya pada kebanyakan nonton sinetron, makanya banyak yang cuek sama sejarah 😀
LikeLiked by 1 person
Iya nih, suka miris sama sinetron-sinetron jaman sekarang. Kalau ada yg latar belakangnya jaman baheula malah lebay. Masa ada Batman nyasar di sinetron masa-masa jaman kerajaan apalah itu hehehe.
Sejarah Indonesia jaman VOC juga menarik tuh Mi. Apalagi kalau sambil menyusuri jejaknya, semacam bangunan tuanya atau kulinernya juga.
LikeLike
Aku sering lewat sini kalo lari pagi, tapi gak berani masuk sendirian…trus ngajakin temen juga gada yg mau. Jadi diceritain begini kayaknya aku udah merasa cukup, krn deskripsinya jelas banget. Dari dulu sih ngeri2 sedap kalo baca2 cerita ini dari berbagai versi….tapi selalu bikin penasaran 🙂
LikeLiked by 1 person
Mampir aja Dit, nanti bisa minta ditemenin sama mas-mas penjaganya. Jangan nyoba sendirian deh kalau penakut mah. Kemarin aku sendirian siang-siang keliling rumah yg gak seberapa besar itu, rasanya merinding hahaha.
LikeLike
Setujuuuuu, sejarah itu penting supaya kita bs menghargai bangsa ini. Makanya pelajaran sejarah di sekolah harusnya lbh menarik ya. Btw tulisannya bagus deh, jd mengingatkan kita2 jg.m
LikeLiked by 1 person
Nah itu anehnya, aku sendiri pas di sekolah gak demen pelajaran sejarah sih. Alasannya karena banyak disuruh ngapalin tanggal ini itu hahaha … Makasih mbak Noni udah sempatkan mampir baca dan tinggalkan komen 😊
LikeLike
Entah lagi sentimentil ataupun cengeng, baca tulisan ini jadi mengharubiru. Karena kekuasaan atau apapun alasannya menjadi justifikasi merampas hak hidup manusia lainnya, seorang suami, seorang ayah, seorang pemimpin yang cinta tanah air. Semoga cukup sekali terjadi negeri kita yang tercintah ini…..atau memang sering terjadi?
LikeLiked by 1 person
Mungkin hal semacam ini masih terus terjadi, bisa jadi bentuknya saja yang berbeda. Yaaa pastinya kita berharap itu tidak terjadi lagi, dan seharusnya sejarah bisa menjadi salah satu media pembelajaran.
LikeLike
Pembahasan solo tour yang keren banget, tapi saya kok sedih baca kisahnya yah. Dulu tidak pernah sanggup nonton pemutaran film G30S karena sadis banget. Tapi ulasan ini bikin mata berair-air. Keren. Mungkin kami dulu seperti anak dikeluarga itu, waktu kecil. Membaca sejarah untuk menjawab soal ulangan. *menyesal*.
LikeLiked by 1 person
Sebenarnya waktu saya kecil, bahkan sampai sekarang pun, kalau saya menonton film Pengkhianatan G30S/PKI rasanya juga masih merinding ngeri. Dan menurut pengakuan ibu Jajang C. Noer yg turut mempersiapkan film tersebut. Memang tontonan itu bukan disiapkan sebagai film sejarah, melainkan ‘horror’ sejarah.
Dan jujur juga ada rasa sedih waktu saya mengunjungi museum ini, membayangkan perasaan anak beliau yg melihat ayahnya dibunuh dan diculik di pagi buta di depan matanya.
By the way, terimakasih sudah sempatkan mampir membaca dan tinggalkan komentar ya.
LikeLike
wuih, baru tau di daerah Menteng ada museum begini. boleh lah kapan2 dikunjungi, masih relatif deket dari tempat tinggal. 😀 ulasannya lengkap bro, nice! eh iya, jumlah pahlawan revolusi itu yang bener berapa sih, 7 apa 9 ya?
LikeLike
Nah kebetulan banget khan tuh? Pengen juga sekalian ke Sasmitaloka Jenderal Nasution deh, bareng yuk Chok.
Pahlawan Revolusi, kalau menghitung yg gugur di Lubang Buaya sih cuma 7, dan yg terkenal cuma mereka. Sampai ada nama jalan Tuparev segala khan di beberapa kota. Tapi kalau dihitung dengan yg gugur di Kentungan maka ada sembilan, dan kalau KS Tubun dimasukkan hitungan juga jadinya ada sepuluh 😁😁
LikeLike
lihat adegan filmnya saja dulu sudah cukup sadis, segitunya ternyata pemberontakan G30S ya mas..makanya para PKI yang ada di solo sama perbatasan jawa timur dulu bener bener dihukum mati masal secara sadis juga..
LikeLike
Kalau kejadian yg di Solo dan kota-kota lain itu mungkin efek euphoria dan balas dendam kayaknya ya mas. Soalnya memang sebelum masa itu, PKI sudah melakukan banyak tindakan anarkis yang meresahkan masyarakat. Sementara pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa. Memang itu salah satu episode horror bangsa kita.
Terimakasih sudah mampir dan tinggalkan komen yaaa …
LikeLike
Gak hanya isinya, komen-komennya juga harus dibaca ini.
Ada sekelebat di ingatanku bahwa memang Jend A.Yani yang meresmikan Jembatan Ampera, namun aku gak tahu jika kejadiannya menjelang peristiwa G30S/PKI. (hei bahkan aku tinggal di jalan A.Yani sekarang). Baca tulisan ini aku jadi tahu banyak hal. Jadi inget juga beberapa adegan dalam film yang dulu ditonton dengan terkantuk-kantuk (anak SD disuruh begadang? alamat ketiduran hehe).
Tulisannya baguuuuuuuuuuuuuuuuusss banget mas Bart, andai dulu sejarah diajarkan dengan sebegini menariknya 🙂
LikeLiked by 1 person
Hehehe kita memang suka gitu kok Yan, yang dekat-dekat malah luput dari perhatian. Makasiiiih banget sudah sempatkan baca dan tinggalkan komen, moga-moga ada info yg bisa jadi manfaat.
Nah nanti kalau ke Jakarta, sempatkan main ke museum satu ini ya. Biar bisa cerita lebih detail tentang siapa yg meresmikan jembatan kebanggaan Palembang itu 😊😊
LikeLike
Secara pencinta museum ya, apalagi museumnya semenarik ini. InsyaAllah ada kesempatan ke sana nanti. Mau banget! 🙂
LikeLiked by 1 person
Ditunggu di Jakarta 👍
LikeLike
Ditunggu juga di Palembang mas, biar kalo mau posting foto Jembatan Ampera bisa pake foto sendiri hehehehe.
LikeLiked by 1 person
Hahahahaaha iya tuh, aku sampai sengaja kejar Bama ada di mana buat minta ijin pinjam fotonya 😄😄
LikeLiked by 1 person
Aku banyaak aku banyak haha, tapi emang lebih asyik ngeliat sendiri *kembalingompori*
LikeLiked by 1 person
Kalau kesana aku mau Mie Celor. Pokoknya kamu harus kasih rekomendasi tempat makan paling ok ya Yan 😁😁
LikeLike
Ah keciiil mie celor doang mah, ntar diajak wiskul sampe pingsan hahaha
LikeLiked by 1 person
Hahaha siap!
LikeLike
Dulu aku selalu nonton film itu meskipun biasanya gak tamat sampe akhir. Tapi salah satu adegan yang paling aku inget yang pas di rumah Jenderal Ahmad Yani pas istrinya mengomentari gambar A. Yani kayak kuburan.
Balik ke peristiwa G30S ini, yang sangat disesalkan adalah pada zaman Orde Baru pemerintah selalu mengecap pihak-pihak yang kritis kepada pemerintah sebagai antek PKI. Aku kenal seseorang yang dulu ketika SMA dia memang termasuk rebellious terhadap guru, kemudian sang guru bilang dia PKI padahal di masa itu dia gak tau apa itu komunisme maupun PKI. Banyak juga kasus dimana jika seseorang adalah saudara dari anggota/simpatisan PKI, besar kemungkinan dia akan dibunuh juga. Ini salah satu bab dalam sejarah Indonesia yang masih jadi PR besar bagi kita semua untuk meluruskan dan melakukan rekonsiliasi.
LikeLiked by 1 person
Wah aku kok malah gak ingat sama sekali ada adegan itu di filmnya ya Bam? Kamu gak nonton extended versionnya khan? Hehe …
Iya Bam, dulu semasa Orba, cap PKI atau Komunis adalah ibarat stempel mati. Baik itu arti kiasan maupun sesungguhnya, dan PR ini akan menjadi semakin besar jika tidak segera diselesaikan, dimana generasi yg baru kemungkinan sudah semakin jauh dari kejadian tersebut. Dan generasi yg bisa bersaksi tak ada lagi.
LikeLike
Seingat saya bukan istri Jend Yani.
Di film itu ada scene di mana istri Jend Suprapto bilang kalo gambar yg dibikin Jend Suprapto itu mirip kuburan.
LikeLiked by 1 person
Penasaran pengen balik lagi ke museum ini buat ngambil foto, sama sekalian ke rumah Jend. Nasution, bahkan kalau bisa napak tilas ke semua rumah peninggalan Tuparev.. #sikap
Btw suka banget sama tulisannya, menghanyutkan gimana gitu. Apa karena ada semacam emotional binding gara2 film G30S itu ya?
LikeLiked by 1 person
Ayo ke Sasmitaloka Jend Nasution, mumpung sudah dibuka jadi museum untuk umum. Kalau ke rumah jend lainnya sih kayaknya gak memungkinkan, karena ada yang sudah dijual dan ganti kepemilikan.
Kabarnya rumah Jend Panjaitan masih terjaga bentuknya seperti dulu, cuma karena trauma yg dialami oleh keluarga itu cukup kuat, jadi gak dibuka untuk umum.
Mungkin karena kita produk Orba, jadi ikatan kita terhadap episode ini masih cukup kuat. Imho 😊
Terimakasih sudah mampir dan komen2 yaaa …
LikeLike
Salam mas Bart…sepengetahuan saya rumah2 Jenderal korban G30S/pki tidak ada yg dijual.hanya diwariskan kepada anak2 dan keluarga besar.seperti rumah Letjend Anm S Parman.rumah milik beliau diwariskan kepada keluarga besarnya.tapi bila ingin mengunjungi rumah2 para Jenderal tersebut mesti bertemu dan membuat janji dgn pihak keluarga.begitulah yg bisa saya sampaikan. Banyak terima kasih.
LikeLiked by 1 person
Terimakasih infonya mas. Saya waktu itu baca sih, kalau ada beberapa rumah mereka yg sudah dijual dan berubah bentuk. Rumah Jenderal Haryono kalau tidak salah.
LikeLike
Ulasan yang mengagumkan tentang apa yang terjadi di malam yang kelam itu, suka bacanya, keren banget Mas :hehe. Saya tak terlalu punya ingatan banyak soal ini berhubung saya produk pendidikan reformasi :hehe, tapi dengan membaca ini saya jadi berpikir, takut ya jadi sesuatu yang berbeda di masa itu. Namun demikian, soal sejarah ini pun masih simpang siur ya, banyak teori yang berkembang soal ini tapi sepertinya semua kebenaran terkubur bersama jasad orang-orang yang telah mati, meninggalkan pertanyaan yang sangat abu-abu :hehe. Yah semoga kebenaran akan segera terungkap ya Mas.
Boleh nih sesekali jalan-jalan kemari. Keren tulisannya Mas, bikin merinding banget :)).
LikeLiked by 1 person
Terimakasih Gara. Iya betul, dan semakin kemari faktanya semakin bias dengan informasi yg saling silang. Semoga ya di masa depan ini bisa menjadi pelajaran yg lebih clear.
Iya doong, mumpung tinggal di Jakarta. Main lah kemari sekali-kali.
LikeLiked by 1 person
Baiklah, nanti saya ikut deh kalau Mas mau kemari lagi :haha *laaah?*. Sekalian ke rumahnya Jend. A.H. Nasution itu Mas :hehe.
LikeLiked by 1 person
Yuuuk ke Sasmitaloka Jend Nasution 😊😊
LikeLiked by 1 person
Mari!
LikeLiked by 1 person
Tulisan yang luar biasa, Kak Bart. Saya agak haru di fragmen awal. Hehehe. Trus baru tahu juga ada Museum Sasmitaloka di Jakarta. Semoga pas berkunjung ke ibukota lagi, saya berkesempatan ‘sowan’ ke rumah Sang Jenderal .. 😀
Salam kenal, Kak .. 😀
LikeLiked by 1 person
Terimakasih sudah berkunjung. Iya dong, kalau main ke Jakarta lagi disempatkan ya berkunjung. Gratis kok, paling cuma kasih tips sukarela aja ke guide nya. Semoga sempat ‘sowan’ ya ke griya Jenderal Yani kalau main ke Jakarta lagi.
Salaam kenal juga 🙂
LikeLike
ada seorang jenderal yang fotonya membuatku teringat sama ahmad yani : jamin gintings
LikeLiked by 1 person
Aku malah baru dengar namanya bang hehehe 🙂
LikeLike
pahlawan nasional dari sumatera uatar
LikeLiked by 1 person
Saya beberapa hari yang lalu habis dari rumahnya Letjen. Ahmad Yani. Dan persis sama apa yang diceritakan sama mas Bart. Btw, sejarah memang ada yang senang maupun kelam ya. Coba aja kalo Letjen Ahmad Yani masih hidup. Mungkin beliau pasti yang akan jadi presiden menggantikan Bung Karno. Dan saya juga sempat diingatkan supaya jangan berfoto di dalam kamar pribadi beliau, ternyata pas saya masuk kamarnya langsung merinding disko entah mengapa. Hehehe nice post mas. Cukup bermanfaat hehehe 🙂
LikeLiked by 1 person
Bisa jadi, pada waktu itu Letjen Ahmad Yani memang termasuk salah satu anak emas Bung Karno dan diprediksi akan menjadi pengganti beliau di kemudian hari. Namun sejarah menggariskan hal lain.
Iya betul, saya juga merasakan hal yang “lain” waktu berada di kamar beliau. Mungkin karena lama kosong juga ya.
Alhamdulillah kalau bermanfaat, terimakasih ya sudah mampir 😊😊
LikeLike
coba bikin post tentang lubang buaya dong kak
LikeLiked by 1 person
Harus jalan-jalan dulu ke Lubang Buaya berarti. Bolehlah, nanti aku main ke sana deh …
LikeLike
Beranian sendiri keliling museumnya, Bart. Saya sebagai yg borangan mah pasti minta ditemenin da heuheu.
Btw kalo lihat foto-fotonya mah gede juga ya rumah pak jenderal. Kalo sekarang kelihatannya sederhana. Dulu mah termasuk mewah kali ya. Eh apa enggak?
Saya gak pernah nonton film G30 S PKI. Ngeri, Bart. Saya gak suka film yang pilu-pilu (dan diambil dr kisah nyata). Baca tulisan ini aja kerasa sedihnya. Saya jadi pengen tahu gimana keluarga Ahmad Yani berkompromi dengan trauma mereka ya…
LikeLiked by 1 person
Sebenarnya sih agak merinding keder juga pas jalan-jalan sendiri di dalamnya Lu. Aura nya gimanaaa gitu, padahal itu siang-siang lho, dan rumah Jenderal Yani ini termasuk bagus sistem pencahayaan alaminya. Cuma memang sih, rumah beliau itu agak mistis suasananya, karena kepercayaan kejawen yang dianut oleh keluarganya. Dan aku dapat konfirmasinya waktu mengunjungi rumah Jenderal Nasution beberapa waktu yang lalu (nanti aku singgung sedikit di artikel selanjutnya).
Kalau dibandingkan dengan rumah jaman sekarang sih, memang ukurannya besar. Tapi pas masuk ke dalamnya, ternyata gak seberapa besar. Ini mungkin karena aku pakai lensa lebar, jadi kesannya lebih megah. O iya, bahkan kalau dibandingkan dengan rumah kakekku di Bogor yang cuma berpangkat Mayor, rumah Jenderal Yani ini jauh lebih kecil lho.
Duh jangan nonton filmnya deh kalau gitu. Itu bukan sekedar film sejarah, melainkan horror (dan ini diakui sendiri oleh Arifin C. Noer yang menjadi sutradaranya).
Dibandingkan dengan keluarga pahlawan revolusi lainnya, keluarga jenderal Yani termasuk yang terbuka dan lebih sering diekspos tentang kisah hidup mereka paska kejadian di tahun 65 tersebut. Dan memang, mereka melalui hari-hari berat yang cukup panjang untuk bisa bertahan hingga saat ini, terutama untuk bisa lepas dari trauma yang terjadi di rumah mereka tersebut. Kerasa banget deh pas berkunjung ke rumahnya. Terutama di area ruang keluarga. Tempat dimana biasanya Jenderal Yani berkumpul dan beristirahat bersama keluarga, justru menjadi tempat beliau gugur bersimbah darah.
LikeLike
Bart Oppaaaa..
Suka deh tulisannya. Aku yang ga suka sejarah dan emang lupaan anaknya malah penasaran baca dari awal sampai akhir.
Waktu kecil aku gak inget jelas filmnya. Yang paling diinget sih pas adegan Jendral Nasution dan anaknya. Yang lainnya aku lupa atau dulu gak kuat kali ya nontonnya.
Makanya kutunggu cerita kunjungan ke rumah sang jendral ya 🙂 (anaknya penakut kalo disuruh ikut hahaha)
LikeLiked by 1 person
Hai Liaaa, makasi lho komennya, dan makasih juga karena sudah direshare 🙂
Siap, aku akan segera share kisah dari rumah Jenderal Nasution nya. Ditunggu yaaa 🙂
LikeLike
Andai tulisan di buku-buku sejarah dibuat semenarik ini, pasti murid-murid yang membacanya pada betah, dan pastinya lebih ‘nempel’ di ingatan 🙂
Suka banget ama tulisannya. Keren!
LikeLiked by 1 person
Seharusnya memang buku-buku sejarah dibuat menarik, supaya membuat betah pembacanya. Aku juga setuju soal itu.
Makasih ya mbak Dian 🙂
LikeLike
seperti biasa mas, tulisanmu bernas. apik! mengharu biru. besok kalau ke jakarta lagi bolehlah wisata sejarah ke menteng dan sekitarnya. napak tilas belajar sejarah.
al fatihah untuk jenderal yani…
LikeLiked by 1 person
Makasih mas ,,, Iya dong kalau ke Jakarta coba wisata sejarah di sekitar Menteng. Bisa ke rumah Jenderal Yani dan Jenderal Besar Nasution, kebetulan letaknya gak berjauhan.
Al-Faatikhah …
LikeLike
Masa kecilku pun dilewati dengan menyaksikan pemutaran film g30spki tiap bulan september namun berkunjung langsung ke lokasi kejadian bersejarah tentu bakal lebih bisa memaknai sejarah secara langsung. Dulu masih ingat saat para pahlawan revolusi ini terpampang jelas di kalender rumah. semoga arwah2 pahlawan revolusi ini tenang di alam sana dan diampuni semua dosa-dosanya dan diterima segala amal baiknya saat masih hidup di dunia.
LikeLiked by 1 person
Amiin amiin amiin.
Iya aku setuju, terkadang makna dan hikmah dari suatu sejarah bisa terasa lebih dalam kalau kita berkunjung ke tempatnya.
LikeLiked by 1 person
Suka bacanya mas.. betul anak muda jaman skrg perlu bljr sejarah bangsanya sendiri biar g gmpg mau gonta ganti ideologi bangsa.. *lho kok emosi,maaf*
Aq jd berandai2.. Bagaimana seandainya teori konspirasi antara pak Harto dan Amerika itu tdk pernah terjadi dan berhasil (andai kata bne konspirasi ya, saya ngmg gini bkl ditangkap g ya?) Sudah sebesar dan semakmur apa bangaa kita sekarang?? Gitu kok msh bnyk yg blg “Enakan jamanku tho??” *Hadeeh*
LikeLiked by 1 person
Belajar sejarah itu wajib, dan bukan cuma belajar di sekolah saja, melainkan juga mencari sumber-sumber lainnya supaya mempunyai beberapa referensi lainnya.
Hehehehe … Kadang saya bayangin hal itu juga sih, cuma masih gak kebayang jadi apa. Terlalu banyak skenarionya soalnya.
LikeLike
aku pingin juga main ke jembatan ampera ini mas … nggak pernah kesampean
LikeLike
Aaghhhh aku ga sempet2 nih ksana… Pdhl udh dtg yg ke museum jend nasution.. Kan deketan yaaa.. Harus atur waktu k museum ahmad yani deh.. Yg jend nasution nya kamu udh dtgin mas?
LikeLike
Betul banget. Memang kedua museum ini letaknya gak berjauhan. Sama-sama masih di kawasan Menteng.
Yang museum Jend. Nasution aku sudah datangi, ada juga kok ceritanya, bisa disimak di sini:
https://bartzap.com/2016/10/05/kisah-patriot-dari-rumah-jenderal-nasution/
Meskipun suasananya lebih mencekam, secara pribadi saya lebih suka Museum Jenderal Ahmad Yani.
LikeLike
Terkadang merasa pengen ke masa itu dengan mesin waktu hanya untuk mencari tau kejadian yang diburamkan..
Tapi apa daya..
LikeLiked by 1 person
silakan berkunjung ke blog saya jika mau membaca kesaksian dari beberapa saksi hidup peristiwa Gestok 1965:
http://l1n92.blogspot.co.id/2014/09/ebook-lupus-kunang-kunang-kebenaran-di.html
LikeLike
Belum pernah ntn film ini, dari SD sudah denger ceritanya dan tertarik untuk ntn, tapi susah bgt, sampai dtg ke lubang buaya, tapi gak bisa diputar, katanya rombongannya kurang. Hiks.
Dan belum pernah ke museum ini pula, nanti akh, rencana dari museum ini lanjut ke lubang buaya, pasti makin seru…
LikeLiked by 1 person
Filmnya juga bisa ditonton di Youtube kok.
Dan harus datang ke museum nya supaya makin mengenal sejarahnya yaaa …
LikeLike
kesimpulannya bagus;
“Meskipun sejak tahun 1965 hingga akhir periode Orde Baru berkuasa, kisah dibalik kejadian berdarah itu telah dicatatkan berulang kali. Namun sejatinya hingga kini, ratusan misteri masih menjadi daerah abu-abu yang belum terjelaskan. Belum ada buku putih yang benar-benar bersih dianggap sebagai catatan sakhih dari pusaran sejarah itu. Sejumlah kesaksian masih berkelindan dan bersaling-silang, menimbulkan kontroversi serta polemik yang tak berkesudahan.
Namun itu tidak boleh dijadikan pembenaran terhadap alasan untuk melupakan kejadian tersebut. Terutama dari benak generasi muda. Itu adalah sejarah, sesuatu yang mengandung hikmah dan bisa memberikan pelajaran bagi kita semua.”
mirip mirip catatan akhir di mata najwa hehehe
pelajaran dan hikamahnya apa nih menurut mas bartz?
LikeLiked by 1 person
Hikmahnya, nyata adanya kalau fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Karena bisa menyeret aksi bunuh-bunuhan yang lebih massal ya khan? 🙂
LikeLike
Sudut ceritamu membuatky tertegun Uda.
Ternyata, aku melewatkan museum ini kala di jakarta dulu.. arrrgghh
LikeLiked by 1 person
Nah, kalau gitu seandainya main ke Jakarta lagi mampir ya bang 🙂
LikeLiked by 1 person
Halo Bang Bartz salam kenal ya. Tulisannya baguuus bgd deh bikin aku hampir nangis bacanya, karena kisahnya emg pilu banget.
Dari sejak SD dlu aku gak pernah berhasil nonton film G30S/PKI sampai habis, entah karena ketiduran atau emg takut lihat adegan filmnya hehe. Tapi ada satu adegan dari film itu yg masih aku ingat, ketika salah satu dari putri jendral (aku lupa jendralnya, tp kyknya sih itu putri Jendral Pandjaitan) itu mengusap-usap wajahnya pakai darah sang jendral yg telah tertembak sambil nangis bilang “ayah…ayah”. Adegan itu bikin miris bgd.
Jujur ya, bahkan sampai skg pun kalau lihat poto2 pahlawan revolusi itu kdg aku suka lsg kebayang sama penyiksaan yg mrk alami. But, they are one of great heroes that Indonesia has!
Aku sepakat banget kalau kita sebagai generasi muda gak boleh melupakan sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah! *hidup merah-putih* koq tiba2 aku langsung tertegun ya sama kejeniusannya Jendral Achmad Yani hehe.
Bang Bartz, tolong ulas kisahnya Kapten Pierre A. Tendean dong? Dari jaman SD aku selalu terpana dengan beliau (poto sang kapten paling menarik perhatianku hehe). Selain karena beliau menawan (baca: ganteng hehe), aku juga suka dgn keberanian dan tanggung jawab beliau. Apalagi Kapten Tendean gugur pada usia yg msh muda bgd (26 tahun ya – he was only 26 and will always be). Oya, katanya akan dirilis film G30S/PKI versi baru (milenial?) ya.? Well, Apapupun itu semoga kita bisa belajar banyak dan mengambil hikmah dari sejarah.
Ditunggu tulisan2nya lagi ya Bang. Makasih.
LikeLiked by 1 person
Hallo Putri, salam kenal juga. Makasih ya udah mampir baca dan tinggalkan komen yang cukup panjang. Jadi senang juga bacanya.
Waaaah banyak yg nanyain Kapten Pierre Tendean nih hahahaha. Sayangnya memang kisah pribadi beliau masih kurang terekspos, karena pada saat gugur masih sangat muda. Harus ngejar sumber informasinya ke keluarganya nih.
Dan aku jadi kepikiran. Daripada film G30S/PKI diproduksi yg versi ‘mileneal’ nya. Mendingan juga diproduksi film-film drama tokoh-tokohnya, yg lebih personal kisahnya. Misalnya aja ya tentang kisah hidup Kapten Tendean ini … Bagaimana, setuju?
LikeLike
Setuju sihh Bang. Asal filmnya dibikin bener aja ya, Jgn asal jadi gak jelas gtu hehehe. Ayo bang ulas lg tulisan mengenai para pahlawan Indo. Saya dukung! Hehe
Makasih Bang Bartz sudah respon komen saya.
LikeLiked by 1 person
Siap. Insya Allah saya perbanyak. O iya, saya juga ada oleh-oleh tulisan dari rumah Pak Nasution. Boleh lho kalau mau mampir 😊
Sama-sama, senang juga kalau ada yang tinggalkan komentar.
LikeLiked by 1 person
Mohon informasi, dari sumber apakah yg menyebutkan bahwa Ahmad Yani yg meresmikan Jembatan Ampera pada 30 Sept 1965? Saya sedang menulis tentang itu, tapi belum menemukan sumber primernya. Terima kasih sebelumnya. Salam.
LikeLiked by 1 person
Bisa dicari di internet mas. Ada banyak sumber kok yang mengulas hal tersebut. Memang kebanyakan berupa ulasan berita dan sejarah sih. Jadi pada hari tersebut beliau menggantikan Presiden Soekarno yang berhalangan hadir untuk meresmikan jembatan Ampera di Palembang.
LikeLike
Terima kasih atas responnya. Saya sudah berusaha mencari tentang itu di dalam buku-buku biografi Ahmad Yani, tapi tidak satupun yang memuat informasi tentang beliau datang ke Palembang untuk meresmikan Jembatan Ampera pada 30 September 1965. Tulisan-tulisan di internet tentang itu juga tidak ada yang memuat sumber primer (berita koran sezaman atau biografi oleh keluarga Ahmad Yani) yang dapat dirujuk. Sebelum tahun 2020, semua tulisan di internet yang memuat tentang itu berasal dari blog. Tidak ada satupun yang dimuat dalam media massa mainstream. (cmiiw).
LikeLiked by 1 person
Sama-sama mas. Terima kasih juga atas masukannya. Dan untuk mengurangi informasi yang ‘missleading’, maka paragraf tersebut saya hapus.
LikeLike