Nepal (6): City of Devotees

25 April 2015 pukul 11:56 NST (Nepal Standard Time), gempa berkekuatan 7.8 hingga 8.1 skala Richter mengguncang Nepal. Kota Tua Bhaktapur, yang diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO, menjadi tempat yang menerima dampak paling parah. Dalam gempa yang berlangsung selama dua puluh detik tersebut, ribuan jiwa tercerabut dari hidupnya. Sekitar 116 bangunan bersejarahnya roboh menjadi puing, dimana 67 di antaranya hancur lebur dan 49  sisanya rusak berat.

61609757_BHAKTAPUR_3282976b
Reruntuhan Vatsala Durga di Bhaktapur Durbar Square, paska gempa 25 April 2015 (source: http://www.telegraph.co.uk)

Beberapa bangunan yang terlihat pada foto-foto dan catatan perjalanan saya di Desember 2013 dalam travelogue ini, bisa jadi merupakan dokumentasi terakhir dari kemegahan kuno Bhaktapur. Dimana kekayaan kulturnya berpadu dengan keindahan kuil-kuil; karya seni logam, kayu dan batu. Yang selama berabad-abad berhasil menyintas waktu.

Tak salah, jika sebelum bala pada hari itu, Bhaktapur dinobatkan sebagai kota yang memiliki kawasan istana dan pusat kota kuno yang terawat paling baik.

Dari Baraka ke Bhaktapur

Semburat jingga matahari pagi, berusaha menyibak kabut bercampur debu. Puluhan orang dalam balutan kain panjang dan lebar menembus beku. Berlalu lalang di antara bangunan kuno berwarna merah bata kecoklatan. Kuil berpuncak prisma bertingkat, arca singa batu, sikhara serta siluet bangunan istana di kejauhan, memenuhi bidang pandang. Bergerak perlahan, mengundang rasa penasaran dan membangkitkan jiwa petualangan.

Itu adalah cuplikan adegan yang muncul pada menit 3:31 dari film dokumenter non narasi berjudul Baraka, produksi tahun 1992, yang dibesut oleh sutradara Ron Fricke. Sejak melihatnya di layar monitor kali itu, alam bawah sadar saya seperti menuntun untuk suatu saat menjejakkan kaki di sana.

Screen-Shot-2015-08-09-at-11.53
Bhaktapur dalam Baraka.

18 Desember 2013, selepas tengah hari yang bayangan tak jua jatuh lurus di kaki, saya dan travelmate saya tiba di Bhaktapur. Kami membayar tiket sebesar NR 1100 (kurang lebih seratus  tiga puluh lima ribu rupiah), pada pintu gerbang kota sebelum memasukinya.

Taksi yang membawa kami dari Nagarkot, dengan kelincahan dan ukurannya yang mini berhasil mengantarkan kami sampai tepat di depan penginapan. Yang berada pada lorong sempit, dan hanya cukup dilintasi  mobil mungil di dekat Pottery Square.

DSC_0181
Pottery Square Bhaktapur. Pusat gerabah kota nan tersohor.
DSC_0182
Sudut lain Pottery Square, dekat penginapan kami.
DSC_0183
Deretan gerabah yang sedang dijemur, sebelum dibakar pada tungku.

Mengambil nama salah satu kuil terkenal di dalam kota, Nyatapola Guest House adalah sebuah penginapan sederhana bergaya Nepali yang menjanjikan ketenangan. Didominasi bata merah, dengan langit-langit rendah yang menambahkan kehangatan di musim dingin.

Meskipun jalanan sempit yang selalu riuh tepat berada di depan pintu masuknya, namun kamarnya begitu senyap dan tenang. Dengan jendela yang menghadap ke sebidang taman sepi yang dihimpit tembok-tembok bata telanjang.

DSC_0177
Tampak depan penginapan kami, Nyatapola Guest House.

Pada jenis kamar yang kami pilih, fasilitasnya basic. Dua buah ranjang terpisah, dengan masing-masing dilengkapi bantal besar dan  selembar selimut lebar nan gemuk, yang nampaknya hangat. Saklar-saklar lampu dan listrik dipisah menjadi dua. Siang dengan solar cell mandiri, dan peruntukkan malam dengan aliran listrik pemerintah. Sementara koneksi WiFi yang tersedia, berhasil kami pastikan dalam kecepatan yang cukup prima. Asik, bisa tetap online!

Yang menyenangkan adalah, lobby penginapan tersebut bersatu dengan toko kerajinan tangan khas Bhaktapur. Dimana Ayush sebagai pemiliknya tak tampak keberatan melihat kami yang hanya berminat mengamati barang-barang yang dijual di situ, tanpa bermaksud membeli. Sementara Braful, kemenakannya yang bahasa Inggrisnya lumayan bagus, selalu menjadi tempat kami bertanya yang cukup bisa diandalkan.

Kota Para Pengabdi: Dari Masa ke Masa

Dalam bahasa Sanskrit atau Nepali, Bhaktapur (भक्तपुर) secara harfiah berarti Kota Para Pengabdi (yang taat pada Dewa). Selain dikenal juga dengan nama Bhadgaon (भादगाँउ).

Sebagai kota kuno bangsa Newar, Bhaktapur dikenal dengan nama Khwopa (ख्वप). Yang merujuk pada kata Khwapa, yaitu bermacam topeng yang digunakan oleh para dewa. Dimana Bhaktapur terkenal oleh beragam topeng yang digunakan untuk tarian yang menceritakan kisah kehidupan dewata.

Sejarah kota ini sudah dimulai sejak abad 3 M, ketika sistem irigasi mulai dikenal pada daerah ini yang merupakan kumpulan desa-desa petani. Pada abad 12 M, Raja Ananda Deva dari Banepa memindahkan pusat kerajaannya ke Bhaktapur. Yang kemudian sejak abad 12 M hingga 15 M, Bhaktapur menjadi ibukota Kerajaan Malla Agung, sampai perpecahannya menjadi tiga kerajaan terpisah di kemudian hari.

IMG_3387
Puncak Kuil Dattatreya, di antara bangunan, Dattatreya Square Bhaktapur.

Adalah Raja Yaksha Malla yang memperkuat kota dengan benteng di sekelilingnya, untuk menahan seragan dari luar. Pada masa itulah banyak monumen agung yang dibangun di dalam kota oleh para penguasa Malla. Tapi baru pada abad 18 M, Bhaktapur menemukan bentuknya yang bertahan hingga abad ini. Dengan berjalannya waktu dan gempuran serangan dari luar, pada akhirnya tembok yang membentengi kota tersebut runtuh, namun Kuil Dattatreya yang berada pada Dattatreya Square merupakan salah satu sisa peninggalan penguasa Malla dari bangsa Newar, yang masih bertahan hingga kini.

Pada tahun 1768, Prithvi Narayan Shah dari Gorkha berhasil menaklukan kota tersebut, yang kemudian menyatukannya dalam kerajaan yang lebih besar, yaitu Nepal. Dimana ia berkuasa sebagai Raja Nepal pertama. Kathmandu kemudian dijadikan sebagai ibukota, sementara Bhaktapur berperan sebagai kota pertanian.

Bhaktapur: Pada Pandangan Pertama 

Segera setelah check in dan meletakkan ransel di penginapan, kami memulai petualangan di Bhaktapur. Secara personal, kota itu mempesona saya sejak pandangan pertama. Lorongnya yang bersulur-sulur menjelma menjadi labirin berlapis bata. Dingin dan kemerahan. Puncak-puncaknya bersembulan menguasai udara, dengan tumbuhan perintis dan rumput liar yang subur di antara atapnya. Kayu-kayu berukir mendominasi hiasan pada tiap bangunan, detail rumitnya mengingatkan saya pada rumah nenek di Kudus.

IMG_3973
Puncak-puncak Bhaktapur.
IMG_3974
Kesibukan di salah satu sudut Bhaktapur.
IMG_3393
Seekor anjing di jendela berukir.

Di setiap sudut kami melihat kesibukan yang tak lepas dari nuansa relijius. Kuil-kuil kecil dan ceruk berisi sesaji bertebaran di sudut-sudut kota, didatangi mereka yang lewat atau memang sengaja bersembahyang di sana. Aroma dupa menyeruak samar, di antara kerumunan orang-orang yang berlalu lalang.

DSC_0073
Kerumanan orang yang bersembahyang di salah satu ceruk Kuil Bhairava.
DSC_0047
Riuhnya jalanan dalam kota tua Bhaktapur.

Hampir seluruh bagian dalam kota kuno itu memiliki badan jalan yang terbuat dari batu hitam atau bata, beberapa di antaranya dilarang untuk dilalui mobil, demi melindungi keasliannya. Meskipun begitu, kendaraan bermotor roda dua dan pengangkut barang dalam ukuran kecil, masih diperbolehkan melintas di atasnya.

Demi mengenal kota itu lebih baik, kami berkenalan dengan seorang pemandu yang bersedia membantu kami mengeksplor Bhaktapur. Namanya Roshan, seorang pemandu lokal yang sederhana, ramah, dan memiliki kemampuan bahasa Inggris yang cukup baik. Dengan tarif NR 600 (sekitar Rp 73.000,-) ia bersedia memandu kami seharian. Kami membuat janji untuk memulai tur pada jam 14.00, setelah makan siang.

IMG_3975
Suasana Taumadhi Square.

Sambil menunggu waktu, kami makan siang di Cafe Nyatapola yang berada di Taumadhi Square. Cafe berarsitektur khas Newari ini, dahulunya adalah sebuah gudang penyimpanan. Terdiri dari dua lantai, dengan bagian loteng yang memiliki teras di sekelilingnya. Terbuat dari bata merah, dengan atap prisma bertingkat, dan didominasi kayu berukir pada sisa bangunannya. Cafe ini memiliki spot terbaik, dimana kita bisa mengamati Bhaktapur dari ketinggian, sambil menikmati makanan. Bahkan jika cuaca sedang bagus, kita bisa melihat Himalaya di kejauhan. Tak aneh, jika terasnya menjadi rebutan wisatawan yang ingin bersantap di situ.

Semangkuk Kari Telur a la Nepal dan Tumis Sayuran menjadi menu makan siang itu. Rasanya sedap dan sangat mudah diterima lidah Indonesia kami.

DSC_0015
Cafe Nyatapola. Unik, strategis dan menyediakan menu yang sedap.
DSC_0017
Teras strategis di lantai dua Cafe Nyatapola ini selalu menjadi ‘rebutan’ para pelanggan.

Di balik keindahannya, Bhaktapur menyimpan kisah berdarah dan tragis para seniman yang membangunnya. Pada travelogue selanjutnya, saya akan mengupas bangunan-bangunan monumental ~yang mungkin tak akan bisa dilihat dan dibangun lagi, paska gempa April lalu~ serta kisah berdarah di balik Kota Para Pengabdi ini. Baca lanjutan kisah perjalanan ini, di sini.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

26 thoughts on “Nepal (6): City of Devotees

  1. Ah, kini saya tahu kenapa saya merasa deja vu setiap melihat Bhaktapur dan Ulun Danu Batur: Meru! Atap-atap bertingkat di sana menurut saya agak persis dengan meru yang ada di pura-pura, jumlahnya ganjil, sejauh saya memandang :hehe. Bangunan beratap banyak itu biasanya digunakan untuk apa, Mas?
    Hm, meski bangunannya tampak sederhana (sederhana? Ukiran di kayu pada atap kafe itu keren juga dilihat dari sini :hehe), koneksi internet di sana memang harus diacungi jempol ya Mas, sebab kecepatannya sangat-sangat prima :hehe.
    Tak sabar untuk tahu kelanjutan cerita tentang kota ini. Ya, mungkin Tuhan punya rencana dengan menghancurkan bangun-bangunan yang ada di sana dalam musibah gempa kemarin–kita tak akan pernah tahu, kan?

    Liked by 1 person

    1. Gara terimakasih banget untuk infonya tentang Meru. Ngomong-ngomong disebut Meru itu apakah ada hubungannya dengan kisah puncak Meru dari India, yg di dalamnya terdapat hutan Himmaphan dan mahluk-mahluk ajaibnya.

      Dan aku rasa memang pendapatmu gak ada salahnya. Kalau dilihat-lihat memang bentuk atap kuil-kuil di Nepal sekilas mirip dengan atap-atap bertumpuk yg jamak ada di Bali. Bahkan, bangunan-bangunannya mengingatkanku pada Menara Kudus yg memang sangat kental pengaruh Hindu nya. Aku jadi curiga, jangan-jangan pada masa itu sudah terjadi hubungan diplomatik antara kerajaan-kerajaan di Nepal dengan beberapa kerajaan di Nusantara, atau setidaknya gaya bangunan itu menjadi trend di Asia.

      Sebenarnya ukirannya gak bisa dibilang sederhana sih, malah kalau dilihat detailnya lumayan rumit. Di travelogue selanjutnya aku akan ceritakan tentang istana yg memiliki 55 jendela. Dimana masing-masing jendelanya memiliki detail atau motif ukiran yang berbeda -spoiler haha-.

      Pastinya Gara, aku percaya pada setiap bencana ada hikmah yang diselipkan untuk menjadi pelajaran bagi kita semua.

      Terimakasih untuk comment nya yaaaa …

      Liked by 1 person

      1. Kalau yang dimaksud Mahameru, ya, memang demikian :hehe. Sama-sama Hindu, jadi tentunya kita berbagi mitologi juga :hehe. Sepengetahuan saya, hubungan Indonesia dengan kerajaan-kerajaan India memang bahkan sudah berlangsung sejak akhir zaman prasejarah dalam bentuk hubungan budaya dan perdagangan jadi kesamaan antara dua tempat ini tentunya sudah dapat dibuktikan :hehe.

        Baiklah, ceritanya selalu saya tunggu :hihi. Berasa pergi ke Nepal juga sih Mas :hehe, keren banget kisah perjalanannya :)). Aaak jadi tidak sabar kan untuk membaca cerita selanjutnya. Sip, sama-sama Mas, keep traveling and keep writing ya :)).

        Liked by 1 person

      2. Betul juga, cuma agak aneh ya kita yg bertalian sejarah dengan mereka itu kadang-kadang lupa atau bahkan gak ngeh satu sama lain. Aku punya beberapa cerita dari trip ku di Nepal dan India, mungkin kapan-kapan akan aku share.

        Terimakasih Gara, semoga sabar dan betah ya baca lanjutannya. Dirimu juga ya, tetap traveling, menulis dan berbagi pengetahuan juga.

        Liked by 1 person

  2. Saya terkesan dengan kabut pagi di kota ini, melihat foto tersebut. Berkesan magis….

    Bagaimana Mas, membayangkan tempat yang pernah dikunjungi, lalu terkena bencana alam?

    Liked by 1 person

    1. Udah pernah nonton Baraka Qy? Di situ terasa lebih magis lagi karena pemilihan score nya yang pas, selain memang aura magis terasa di Bhaktapur.

      Kalau soal itu Qy, meskipun Nepal bukan tanah airku, rasanya ikut sedih dan perih waktu dengar dan lihat bencana itu di media-media. Selain memang perjalanan ke Nepal waktu itu sangat berkesan, dan Bhaktapur adalah favoritku, aku juga ingat beberapa orang Nepal yang pernah aku kenal. Mereka yang ramah dan helpful, yang membuat aku merasa aman dan nyaman selama di sana.

      Kebetulan Roshan yg aku ceritakan di atas, menjelang gempa Nepal aku rekomendasikan ke temenku yg mau berkunjung ke Bhaktapur. Pas temanku baru sampai di Bangkok, bencana itu terjadi, dan sejak itu sampai sekarang, kami belum pernah berhasil mengkontak Roshan lagi.

      Liked by 1 person

      1. Belum pernah Mas, saya kudet kalau soal film-film 😦

        Masya Allah, merinding Mas. Tempat yang meninggalkan kenangan tetap saja terpatri ya, semoga diberikan yang terbaik bagi semua….

        Like

      2. Nah, kalau begitu, dirimu wajib untuk menonton film satu ini. Dijamin Baraka akan lebih membakar jiwa petualanganmu Qy. Ini adalah film documenter non narasi. Kita tinggal duduk menikmati besutan gambarnya, scoring nya, dengan alur yang menarik. Film ini merangkum tempat-tempat luar biasa di seluruh penjuru bumi, termasuk Indonesia pastinya.

        Hmm kalau susah mendapatkannya, kapan-kapan kalau ketemu aku bawain deh. Tolong diingatkan ya.

        Like

  3. Lihat gambar-gambarnya aja udah ngiler, pingin sentuh bata kunonya, pelajari arsitektur uniknya, telusuri gang-gang nya. Ahh sayang kekunoannya sudah berubah akibat gempa April lalu. Tp tetap nunggu cerita bangunan bersejarahnya dari kak Bartian biar tahu kebesaran kota Bhaktapur di masa lampau 🙂

    Liked by 1 person

  4. Sedih banget melihat perbedaan pas kena gempa dan sebelum kena gempa. Membaca ulasanmu, jadi memikirkan akan sulitnya Nepal untuk merenovasi Bhaktapur. Cafe Nyatapola-nya unik banget, ditunggu cerita berikutnya 🙂

    Liked by 1 person

    1. Pastinya mbak, apalagi mengingat banyak bangunan yang hancur pada gempa Nepal-Bihar di tahun 1934 pun banyak yang tidak pernah dibangun lagi sampai saat ini. Ditambah lagi dengan gempa Nepal 2015 lalu. Di tulisan selanjutnya, aku mengulas beberapa bangunan termasuk gambar sebelum dan sesudah gempa April lalu.

      Like

  5. Sayang ya Nepal diguncang gempa, padahal aku belum berkunjung ke sana 😦

    Kotanya klasik banget, dengan jalanan yang tersusun dari batu, warga hilir mudik dengan baju adat, kuil-kuil bertebaran di berbagai titik, benar-benar seperti dalam film-film kolosal! Mudah-mudahan ada kesempatan berkunjung ke Negeri Para Dewa ini.

    Liked by 1 person

    1. Iya, ini salah satu kota tua yang terawat paling baik -menurut UNESCO- sebelum gempa April lalu. Secara personal, ini kota favoritku. Menyenangkan dengan banyak bangunan bersejarah, orang-orang yang ramah, dan makanan yang sedap.

      Amiin amiin, semoga kesampaian suatu saat mengunjungi Bhaktapur ya bro. Dalam kondisi yang lebih baik tentunya.

      Liked by 1 person

Leave a comment