Kami menghabiskan waktu makan siang yang cukup menyenangkan di Café Nyatapola. Dari teras pada lantai duanya, kami bersantap sambil mengamati kesibukan di Taumadhi Square. Sebuah sisi yang terbuka langsung pada matahari, kami pilih untuk sedikit menghangatkan tubuh. Sementara alunan Kutumba yang riang dari toko souvenir di selasar jalan, menjadi pengiring yang pas di siang itu.

Taumadhi Square ibarat denyut nadi Bhaktapur. Beberapa kuil utama yang selalu menjadi pusat festival keagamaan tahunan berada di situ. Kuil Nyatapola yang mendominasi cakrawala dan Kuil Bhairavnath yang konon menyimpan potongan tubuh Siwa adalah dua di antaranya. Sedangkan Pottery Square yang menjadi pusat kerajinan gerabah, terletak tak sampai lima menit berjalan darinya.

Tepat jam dua siang, kami menjumpai Roshan yang sudah menunggu di samping Café Nyatapola. Bersamanya kami siap mengeksplor mantan ibukota Kerajaan Malla Agung tersebut.
Arsitektur Newari
Ini merupakan arsitektur asli yang berkembang di lembah Kathmandu. Berupa perpaduan gaya Sherpa dan Thakali yang dipengaruhi oleh arsitektur Tibet. Arsitektur Newari berkembang dalam bentuk kuil-kuil, istana dan pusat kota pada masa Kerajaan Malla selama kurang lebih lima ratus lima puluh tahun (dari abad 12 – 18 M). Selain juga digunakan pada rumah-rumah penduduk pada umumnya.

Ketika Raja Jayasithi Malla memperkenalkan sistem kasta di kerajaannya, rumah-rumah penduduk pun terpengaruh dalam hal pembangunannya. Penduduk yang miskin tinggal pada rumah bertingkat dua, sedangkan yang lebih mampu tinggal pada rumah bertingkat tiga atau empat. Kemudian rumah-rumah pun memiliki nama tersendiri, tergantung dari letaknya. Rumah yang berada di gang disebut Galli, yang berada di pinggir jalan disebut Ghalli Bhitar, sedangkan yang berada di pusat kota disebut Shahar.

Arsitektur Newari biasanya memiliki ciri khas berupa bangunan bata yang mencolok dan berbentuk persegi, dengan ukiran-ukiran kayu yang sangat jarang ditemukan di luar Nepal. Serta ada tiga jenis jendela yang umum terdapat pada bangunan bergaya Newari, yaitu: Tiki Jhyas, San Jhyas dan Ga Jhyas.
Tiki Jhyas adalah jendela berkisi-kisi, yang biasanya dipasang untuk memberikan aksen pada bangunan. Selain itu, Tiki Jhyas memiliki fungsi untuk melindungi ruang privat, dimana orang dari luar tidak dapat melihat langsung ke dalam ruangan, sementara orang di dalam ruangan tetap bisa mengamati keadaan di luar.
Sedangkan San Jhyas adalah jendela terbuka yang langsung mengarah ke jalanan. Biasanya dipasang di ruang tamu, atau ruangan yang bersifat semi privat.
Sementara Ga Jhyas adalah jendela yang menonjol keluar, dimana terdapat sebuah tempat duduk kecil yang menempati bagian tersebut. Kerangka dari jendela ini biasanya berukir, mulai dari yang sederhana hingga yang paling rumit.
Kuil Bhairavnath
Konon potongan kepala Bhairav (Bairawa) sebagai perwujudan yang mengerikan dari Siwa tersimpan di dalam tempat paling suci (inner sanctum) pada kuil ini. Dikisahkan bahwa seorang pendeta tantrik melakukannya, agar Bhairav tetap berada di dalam Bhaktapur untuk menjaga kota.

Kuil berbentuk pagoda ini, pertamakali dibangun oleh Raja Jagat Jyoti Malla, dan kemudian diperindah oleh Raja Bhupatindra Malla. Memiliki arsitektur bergaya Newari, yang terdiri dari satu lantai dasar dan bertingkat tiga. Saya melihat satu ceruk pemujaan di bagian luarnya, yang dijaga oleh dua patung singa dari kuningan serta genta-genta berukuran besar. Hampir sepanjang hari, terlihat kerumunan orang yang melakukan pemujaan di bagian ini.
Pada tahun 1934, kuil ini runtuh akibat gempa Nepal-Bihar, namun bisa dibangun kembali, dan tetap selamat dari gempa yang terjadi pada 25 April 2015 lalu.
Kuil Nyatapola: Pagoda Bertingkat Lima

Tak jauh dari Kuil Bhairavnath di Taumadhi Square, terdapat kuil berbentuk pagoda bertingkat lima, yang terkenal dengan sebutan Kuil Nyatapola. Ini adalah satu-satunya kuil yang namanya diambil dari bentuk arsitekturnya, bukan dari dewa atau dewi pelindungnya. Kuil yang memiliki tinggi sekitar 30 meter ini, merupakan yang tertinggi di seluruh lembah Kathmandu.
Dibangun selama lima bulan pada masa kekuasaan Raja Bhupatindra Malla, kuil ini memiliki banyak keunikan. Untuk mencapai bangunan utamanya, kita harus menaiki tangga yang dijaga oleh lima pasang arca. Yang paling dasar adalah sepasang arca pegulat Rajput bernama Jaimala dan Phatta, lalu disusul dengan sepasang arca gajah, sepasang arca singa, sepasang arca mahluk setengah singa setengah elang dan yang terakhir adalah sepasang arca dewi tantrik bernama Toyahaghini/Baghini dan Singhini.
Dipercaya bahwa setiap pasangan arca tersebut lebih kuat dari pada pasangan lainnya, yang tepat berada di bawahnya.





Kuil ini dipersembahkan untuk Dewi Kemakmuran yaitu Siddhi Laxmi yang merupakan perwujudan dari Parvati, sebagai penetral dari Bhairav yang berada di dekatnya. Patung Dewi Siddi Laxmi sendiri terkunci dan berada di dalam kuil ini, namun hanya pendeta-pendeta tertentu saja yang diperkenankan untuk masuk dan memujanya secara langsung.

Roshan menunjukkan pada kami gembok yang dibuat khusus untuk kuil ini. Konon, gembok ini merupakan barang yang amat langka dan tidak ada lagi yang menguasai cara pembuatan maupun reparasinya. Sehingga jika gembok ini sampai rusak, maka akan sangat sulit untuk memperbaikinya.
Kuil Nyatapola merupakan salah satu bangunan yang sanggup menyintas bala dari gempa Nepal-Bihar di tahun 1934, dan gempa Nepal 2015.

Bhaktapur Durbar Square: Ladang Kuil dan Istana
Tempat ini merupakan jantung dari kebudayaan Bhaktapur, dan pusat ibukota Kerajaan Malla Agung, sebelum terpecah menjadi tiga kerajaan terpisah, yaitu: Kantipur, Lalitpur dan Badghaon.
Secara ukuran Bhaktapur Durbar Square jauh lebih besar daripada Patan Durbar Square (Lalitpur), namun karena hampir sepertiga dari kuil-kuil yang mengisinya runtuh akibat gempa Nepal-Bihar di tahun 1934, maka Bhaktapur Durbar Square terlihat lebih lapang di bagian tengahnya.

Pun, pada gempa Nepal di April 2015, bangunan-bangunan di tempat ini merupakan yang paling banyak runtuh. Termasuk di antaranya adalah Kuil Vatsala Durga yang berbentuk sikhara batu, kuil Siwa dan Kuil Phasi Dega. Tautan video berikut ini memperlihatkan bagaimana kedahsyatan gempa Nepal yang meruntuhkan bangunan-bangunan tersebut.
Begitu tiba di area tersebut, saya melihat patung Raja Bhupatindra Malla yang terpasang secara mencolok pada sebuah kolom penyangga, duduk di atas singgasana, menghadap pada gerbang emas yang mengarah ke dalam kompleks istana. Selain Kuil Taleju, di bagian dalam kompleks tersebut juga terdapat kolam pemandian para bangsawan yang memiliki pancuran berlapis emas.




Tepat di samping gerbang emas, berdiri sebuah bangunan yang ukirannya sangat rumit, yang terkenal dengan nama Fifty Five Windows Palace. Sebuah bangunan tempat tinggal Raja dan bangsawan, yang memilki limapuluh lima Tiki Jhyas. Konon masing-masing Tiki Jhyas tersebut memiliki motif yang berbeda satu dengan lainnya. Saat ini bangunan tersebut difungsikan sebagai bagian dari Galeri Seni Nasional yang menyimpan gulungan lukisan Buddhist Paubha (Thanka), lembaran manuskrip-manuskrip di atas daun palem, dan ukiran-ukiran batu.

Di dekat kolom patung Raja Bhupatindra Malla terdapat genta-genta yang cukup terkenal, yaitu Genta Besar dan Genta Menggonggong. Genta Besar yang dibuat pada masa Raja Ranajit Malla di abad 18 M ini, biasanya dibunyikan sebagai penghormatan bagi Dewi Taleju dan untuk memanggil rakyat berkumpul. Sedangkan Genta Menggonggong yang berada di depan kuil Vatsala Durga, mendapatkan namanya dari selalu menggonggongnya anjing-anjing setiap kali genta ini dibunyikan.



Kuil Vatsala Durga yang kini tinggal kenangan, dahulunya berdiri tepat di dekat genta-genta fenomenal tersebut. Kuil ini dibangun oleh Raja Jagat Prakash Malla, sebagai jawaban atas dibangunnya Krishna Mandir di Patan.
Kuil ini terkenal karena arsitekturnya yang terpengaruh India. Berupa sikhara dari batu, dengan ukiran binatang buas yang muncul pada sisi-sisi atapnya dan dewa-dewa bertangan banyak pada jendela semunya. Saya merasa beruntung karena pada saat itu sempat mengeksplor detailnya, yang jelas-jelas berbeda dari bangunan-bangunan lain yang ada di Bhaktapur.


Bergeser tak jauh dari sikhara batu, saya melihat Kuil Yaksheswor Mahadev yang merupakan tiruan dari Kuil Pashupatinath Kathmandu. Dibangun oleh Raja Yaksha Malla pada abad 15 M, kuil ini didominasi oleh ukiran kayu yang sangat detail. Keistimewaan kuil ini adalah karena adanya dua puluh empat tiang penyangga atapnya yang dihiasi oleh ukiran-ukiran erotis yang cukup eksplisit.

“Roshan, mengapa mereka menghiasi bangunan suci keagamaan dengan ukiran erotis yang sangat terbuka? Apakah ini tidak tabu dalam kepercayaan kalian?”, tanya saya penuh selidik dan penasaran.
Dengan berbaik hati, Roshan memberikan dua alasan sebagai jawaban.
Yang pertama adalah sebagai alat pendidikan, dimana pada masa dahulu buku masih jarang terdapat, sehingga jika orang membutuhkan pengetahuan tentang seksualitas, maka mereka bisa pergi ke kuil untuk mempelajarinya. Walaupun mungkin jika tanpa penjelasan panjang, maka informasi yang didapatkan hanya akan terbatas pada pose-pose penunjang kenikmatan.
Dan alasan keduanya adalah, karena menurut mitos Dewi Petir merupakan seorang wanita perawan yang pemalu. Sehingga jika sebuah kuil dihiasi oleh adegan-adegan erotis, maka sang dewi akan enggan untuk menyambarnya. Dengan kata lain, ukiran erotis tersebut adalah sebuah fitur penangkal petir.



Blood Spilled over Beauty
Roshan mengajak kami menyeberangi area lapang Bhaktapur Durbar Square, menuju ke arah barat. Ia bermaksud menunjukkan sesuatu. Jemarinya menunjuk lurus pada sebuah arca. Seketika jantung saya berdegup kencang. Dejavu!
Itu kah dia? Dia yang mencuri perhatian saya di pembuka Baraka?
Saya berjalan bergegas, agak mendahului Roshan. Iya betul, itu dia! Si patung singa raksasa.
Ia berdiri kokoh, dengan bertelekan pada dua kaki belakangnya dan ditunjang oleh dua kaki depannya. Rupanya ia ditempatkan pada gerbang masuk Bhaktapur Durbar Square, sementara tadi kami memasuki area itu melalui jalan yang lain. Pantas saja kami tidak melewatinya.

Sebuah kuil tepat berdiri di depan patung singa batu. Kuil Badrinath. Roshan mulai berteka-teki. Ia bertanya, apa yang ada di benak kami ketika melihat kuil di depan itu? Kami memberi jawaban, mulai dari agak serius hingga paling asal, karena mulai putus asa dengan jawaban yang selalu salah.
“Pandanglah kuil itu sebagai siluet. Lalu belah dualah profilnya. Maka kalian akan menemukan bentuk dasar bendera kami. Bendera Nepal. Tersusun dari sepasang segitiga bertumpuk”, Roshan akhirnya membuka rahasia.
Lalu ia pun berpindah cerita tentang sang patung singa. Bahwa seniman pemahatnya, membuat patung tersebut murni dari imajinasinya saja. Seumur-umur ia belum pernah menjumpa singa. Tak sekalipun.

Dahulu pada masa itu, kemegahan sebuah kota ibarat permata di atas mahkota. Keindahan dan keunikannya akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi raja yang mengusainya. Sehingga sebisa mungkin, sang raja ingin menjadi satu-satunya pemilik.
Maka, demi obsesi tersebut sang raja memerintahkan untuk memenggal tangan para seniman, setiap kali mereka selesai mengerjakan karya-karya terbaik mereka. Sehingga bisa dipastikan setiap karya adalah mahakarya, dan menjadi satu-satunya.
Sungguh tekanan yang luar biasa. Saya tak bisa membayangkan, jika harus bekerja sepenuh hati sembari membayangkan akan menjadi cacat seumur hidup setelahnya.


Petualangan kami di Bhaktapur belum selesai. Masih ada cerita tersisa tentang isi kota tersebut, termasuk seporsi momo yang sedap, secawan Yoghurt Raja (Juju Dhau) yang lezat, dan malam super dingin di dalam kota. Baca lanjutan kisah perjalanan ini, di sini.
Megah banget kotanya! Baru kali ini baca cerita satu-persatu kuil di Nepal. Nice share bro.
Sayang banget yah beberapa nggak bisa dikembalikan lagi seperti semula akibat gempa April lalu. Rasanya sedih melihat suatu peradaban dunia lenyap dengan sangat cepat seperti itu, hiks.
LikeLiked by 1 person
Iya, dibutuhkan dana yang gak sedikit untuk merekonstruksinya, belum lagi harus mengumpulkan catatan dan detail desainnya. Plus seringkali ada gap teknologi yang harus diatasi untuk mendapatkan hasil yang mirip dengan aslinya.
Sedih banget waktu paska kejadian itu, aku berusaha mengumpulkan info bangunan-bangunan mana saja yang jadi korban, dan berusaha bongkar-bongkar koleksi foto yang sempat aku ambil di sana, untuk aku cocokkan gambarnya.
Terimakasih komen dan kunjungannya ya Lim 🙂
LikeLike
Seru pisan ini pembahasannya! 🙂
1) Jadi penasaran sama gembok kuil Nyatapola, gak ada fotonya ya? Apa yg bikin benda itu gak bisa diduplikasi? Kebayang kalo kunci gembok itu dijadikan satu sama kunci gombyok sang ratu, pasti berkuasa sekali beliau 😀
2) Juxta banget ya, Dewi Petir tapi perawan & pemalu. Dan cerdas sekali mereka menaruh ukiran erotis sebagai penangkal petir, hahaha!
3) Sedih liat foto-foto akibat gempa 😥 Beruntung sekali dirimu sempat kesana dan mengabadikannya. Btw apa kabar Roshan, dia baik-baik sajakah?
LikeLiked by 1 person
Terimakasih kak Badai …
1. Tenang, gambarnya akan aku pasang di postingan selanjutnya. Bentuknya memang agak aneh dan unik. Baru kali itu aku melihat gembok semacam itu. Mungkin itulah dengan yang aku maksudkan sebagai “gap teknologi”, terkadang kita sendiri bingung dengan karya-karya orang jaman dahulu. Seperti misalnya kita gak habis pikir bagaimana badong (semacam koteka dari emas yang dipakai oleh pangeran Mangkunegara) dibuat, dibuka dan bekerja. Hahaha, dia bahas kunci gombyok! Sang Ratu cuma memegang kunci gombyok ruang pusaka, dapur, lumbung dan ruang andrawina saja kak 😀
2. Unik ya? Seandainya teknologi itu berhasil guna sampai sekarang, gak bisa dibayangkan penangkal petir macam apa yang beredar di seluruh dunia saat ini.
3. Iya betul, apalagi pas aku menemukan banyak bangunan yang aku pernah dokumentasikan juga, lalu aku cocokkan ‘before and after nya’. Hmm sayangnya sampai saat ini aku belum berhasil kontak Roshan kembali, semoga dia baik-baik saja.
LikeLike
Semoga Kuil Vatsala Durga adalah salah satu kuil yang nantinya bisa dibangun kembali, soalnya cantik banget! Yang pasti butuh waktu bertahun-tahun mulai dari mengumpulkan catatan konstruksi bangunan, perancangan pondasi bangunan supaya lebih tahan gempa, hingga pembangunan kembali itu sendiri.
LikeLiked by 1 person
Eh tumben ada Bama, lagi dapat koneksi internet yang mumpuni ya Bam? hehe … I wish you enjoy your trip 🙂
Amiiin amiin, semoga, meskipun jalan itu masih panjang dan di dalam Nepal sendiri timbul pesimisme tentang kemampuan mereka mengembalikan situs-situs sejarah yang runtuh diguncang gempa April 2015 lalu.
Terimakasih sudah menyempatkan diri mampir dan komen di sela-sela kesibukan perjalanan kalian. Aku tunggu lho postingan kalian 🙂
LikeLike
Iya ini di kamar hotel di Bukittinggi pas lagi dapet sinyal WiFi. Kalo James kayaknya bakal cukup rajin dia posting cerita dari trip kali ini. Kalo aku mau mulai nulisnya nanti aja setelah tripnya selesai. Sementara itu di beberapa bulan ke depan aku tetep publish postingan dari tripku yang dulu-dulu.
LikeLiked by 1 person
Noted. Baiklah, yang pasti aku tetap rajin menunggu.
So besok tujuh belasan dimana? Pasti istimewa, karena bisa merasakan perayaan HUT ke 70 RI di wilayah lain.
LikeLike
Hari ini kami ke Padang dan nginap satu malam di sana. Tapi dari kemarin udah banyak lihat perlombaan sih.
LikeLiked by 1 person
Ah serunya, setelah Padang kemana? Masih di Indonesia atau keluar negeri? Mampir Jakarta dulu dong hehe #ngarep
LikeLike
Aku baru ngeh ada kasta di Nepal. Apakah masih kuat ke-kasta-annya seperti di India?
Sedih banget melihat perbandingan sebelum dan sesudah – bener-bener hancur lebur ya. Rasanya sulit untuk membangun kembali bangunan bersejarah tersebut. Mungkin ini kesempatan untuk membuka lembaran baru untuk menata Nepal dan seni arsitekturnya dan tentunya tanpa melupakan artsitektur kuil-kuil sebelumnya…
LikeLiked by 1 person
Kalau soal kekuatan aturan kasta nya sekarang, aku kurang tahu mbak. Tapi kemungkinan besar hal itu masih ada, mengingat sebelum tahun 2008 mereka masih berupa Kerajaan Hindu.
Iya memang menyedihkan kalau melihat foto-foto paska gempanya. Banyak bangunan dengan detail-detail rumit dan usianya ratusan tahun yang hancur lebur. Semoga karya-karya sejarah itu bisa dibangun kembali, walaupun tidak semua paling tidak dalam jumlah yang lumayan banyak.
LikeLike
Mas, ini keren banget. Bagi saya, kuil Nyatapola itu bukan mirip lagi dengan meru, tapi itulah meru yang sama dengan yang ada di Bali. Atap berjumlah ganjil, fungsinya untuk menyimpan benda sakral, plus adanya penjaga do setiap tingkatannya (beberapa meru memiliki ini dan beberapa tidak). Doh, terima kasih sekali Mas sudah mendeskripsikannya dengan demikian mengalir, apik, dan jelas, jadinya saya bisa membayangkan banget bagaimana penampakannya.
Berada di pusat Bhaktapur seperti berada di Mandala Utama sebuah pura yang besar banget, dengan susunan bangunan suci seperti itu. Entah kenapa tapi saya merasa demikian :haha. Kalau saya datang ke sana, kayaknya saya bakal ikutan sembahyang deh, kapan lagi kan ya bisa berjumpa dengan bangunan yang konon menyimpan bagian tubuh Mahadewa?
Soal bangunan suci yang hancur dan tidak hancur, entah kenapa saya jadi ingat kisah Ulun Danu Batur yang juga ajaib. Mungkin Tuhan sudah memaksudkan demikian, bangunan yang sudah dimaksudkan untuk hancur ya akan hancur, bangunan yang tidak ditakdirkan hancur, maka serapuh apa pun bangunan itu awalnya, ia pasti bisa bertahan. Ulun Danu Batur pun begitu, selamat dari terjangan lahar tanpa terbakar sedikit pun (bahkan kainnya pun tidak) padahal seisi desa telah musnah diterjang banjir lahar panas.
Ah, semoga saya bisa ke sana. Tulisan ini hebat sekali.
LikeLiked by 1 person
Terimakasih banyak untuk apresiasimu Gara. Senang, kalau tulisan ini bisa memberikan kesan yang mendalam.
Iya, pertama kali melihat struktur pagoda Nyatapola, aku langsung teringat dengan bangunan-bangunan pura di Bali dan menara Kudus di Jawa Tengah. Sedikit perbedaannya mungkin material atap pagodanya saja, dimana di Bali umumnya menggunakan ijuk ya? Dan uniknya adalah, sejauh itu jarak antara Indonesia dan Nepal ternyata bisa ada kemiripan dalam hal seni bangunannya. Bahkan setahuku, di India pun gak ada bangunan yang mirip dengan kuil-kuil di Nepal. Kecuali memang kuil yang sengaja dibangun untuk para Nepali di India.
Dan soal bangunan-bangunan yang selamat itu, aku setuju. Pasti ada hikmah yang sudah disiapkan baik dibalik hancurnya atau tetap bertahannya suatu bangunan/peninggalan sejarah dari suatu bala.
Nah sekarang, aku yang jadi penasaran dengan cerita Ulun Danu Batur. Boleh dong kapan-kapan diceritain. Yang dimaksud itu, pura yang di Bedugul khan ya?
LikeLiked by 1 person
Iya Mas, di Bali pakai ijuk :)). Mungkin inilah persebaran budaya ya Mas, menurut saya bisa menyebar sejauh beribu-ribu kilometer dan tetap mirip di mana pun berada :hehe.
Bukan Mas, yang di Bedugul itu Ulun Danu Beratan, ini yang puranya ada di Kintamani, dekat Danau Batur.
LikeLiked by 1 person
Iya, berarti dalam skala yang agak berbeda, globalisasi sudah ada sejak berabad-abad lalu.
Ooo beda tho? Kalau Ulun Danu sendiri definisinya apa ya?
LikeLiked by 1 person
Kalau saya tak salah, dalam bahasa Bali, ulun itu berarti hulu atau pangkal, sedangkan Danu artinya danau. Ulun Danu juga diartikan sebagai tempat pemujaan pada Dewi Danu, Dewi Gangga pada mitologi Bali :)).
Di Bali ada 4 danau dan kalau saya tak salah setiap danau punya Ulun Danunya sendiri-sendiri, Mas. Cuma yang paling utama dari keempat itu adalah Ulun Danu Batur, mungkin karena Danau Batur adalah danau terbesar di Bali.
LikeLiked by 1 person
Wah makasih banget penjelasannya Gara, aku jadi nambah ilmu nih 🙂
LikeLiked by 1 person
Sama-sama, Mas :)). Saya tak terlalu fasih berbahasa Bali jadi penjelasan saya sangat mungkin salah, tapi dari pemahaman saya sejauh ini, kira-kira demikianlah :hehe.
LikeLiked by 1 person
Siiip, gak papa, paling tidak tahu akar bahasanya. Btw, aku jadi penasaran sama Ulun Danu Batur nih jadinya 🙂
LikeLiked by 1 person
Sip Mas :hehe *brb selesaikan draf tulisan :hihi*.
LikeLike
Bhairavnath selamat dari gempa yang kemarin? Berarti bagus ya konstruksinya, tinggi gitu. Baru tahu ada jumlah tingkat rumah sesuai kasta.
(PS: ternyata di negeri atap dunia siang hangat juga ya? Saya kira adem terus) 🙂
LikeLike
Bhairavnath selamat dari gempa Nepal 2015, mungkin karena konstruksinya relative baru, paska dibangun kembali setelah gempa Bihar-Nepal tahun 1934.
Mungkin lebih ke kemampuan ekonomi juga ya, kalau soal tingkatan.
Hehehe itu kelihatannya aja hangat, sebenarnya suhunya waktu itu antara 10-18 derajat Celsius di siang hari. Dan malamnya bisa sampai minus 3 derajat Celsius, karena waktu itu sudah masuk musim dingin. Jadi biarpun kelihatannya cerah, tapi lumayan dingin untuk kita yang terbiasa tinggal di negara tropis.
terimakasih atas kunjungan dan komen nya yaaa 🙂
LikeLike
sejak yang gempa itu, aku seikit takut ke Nepal, bahkan semangat untuk kesana pun pundar, tapi pas baca tulisan ini, kayaknya pengen kesana segera , candi2nya bagus2
LikeLiked by 1 person
Harus mas. Dan kedatangan kita akan sedikit banyak membantu mereka untuk recover. Insya Allah, Nepal masih menawarkan sisi dunia yang unik untuk dikunjungi.
LikeLike
I hope these structures were not damaged during the recent quakes
LikeLiked by 1 person
Unfortunately yes, some of them were damaged on those quakes. One of them is an amazing Sikhara of Vatsala Durga Temple in Bhaktapur Durbar Square. My heart is broken into pieces to know that … I remember the time I explored them.
LikeLiked by 1 person
OMG..sad to hear that 😦
LikeLiked by 1 person
Roshan ini baik. Dia dua kali nyamperin kita untuk jadi guide. Sayangnya aku ngajak si kecil yang suka nyelonong kesana kemari. Himalayan guest house tempat aku tinggal, itu millik pamannya.
LikeLiked by 1 person
Serius dirimu ketemu dia mbak? Wah aku senang dengarnya, soalnya aku kehilangan kontaknya sejak gempa tahun lalu.
LikeLike