Jika saja mengikuti rasa malas, sesungguhnya pagi itu kami enggan beranjak dari tempat tidur. Karena kamar kami terasa hangat, akibat kayu-kayu yang terbakar semalaman pada tungku perapian. Sementara kami percaya udara musim dingin yang berada di luar pasti melinukan tulang. Saya dapat merasakannya ketika menyentuh permukaan kaca pintu, demi melihat keriuhan para pemburu matahari terbit di undakan Sarangkot View Point yang tepat berada di samping balkon kamar.
Namun, bisa jadi itu adalah kesempatan terakhir kami selama di Nepal untuk dapat menikmati cahaya pagi pertama yang menimpa jajaran Himalaya, dan menyembulkan puncak-puncak Annapurna, Machapuchare, serta Dhaulagiri. Kami tak mau menyia-nyiakannya. Itu adalah kesempatan langka.
Pagi di Sarangkot
Pagi masih gulita ketika akhirnya kami bergabung bersama puluhan pejuang fajar yang memadati Sarangkot View Point. Uap-uap yang mengepul dari lubang hidung dan mulut, serta gemeretak halus dari gigi-gigi yang menggigil meningkahi suasana di tempat itu. Kami terduduk rapi pada undakan yang menghadap langsung ke arah gemunung yang tampak samar. Beberapa orang mencoba mengatur tripod dan kamera pada posisi terbaiknya sembari menahan dingin. Sementara kami berdua memilih tetap duduk merapatkan diri, serta menenggelamkan tangan pada kantung jaket yang lebih hangat.
Kemuncak Himalaya yang tersaput salju di kejauhan belum terbentuk jelas. Hanya siluetnya yang nampak gagah berlatar langit fajar yang cerah tanpa gemintang . Sementara berlapis-lapis kabut yang mengambang pada kaki-kakinya, membentuk samudera halimun yang menenggelamkan puncak-puncak kota, desa, serta aliran sungai.


Dan ketika semburat lembayung pertama hadir di angkasa, suara-suara rana kamera yang terbuka menambahkan keriuhan baru. Halus dan bergantian. Berusaha merekam kegagahan Himalaya yang mulai disingkap fajar.
Namun kemeriahan itu tak berlangsung lama, segera setelah matahari meninggi tempat itu mulai sepi. Para pengunjung yang kebanyakan datang dari penginapan yang jauh, segera kembali untuk sarapan pagi. Sementara kami yang memiliki kamar tak jauh dari view point, memilih untuk tinggal beberapa saat sembari berjemur menghangatkan diri.

Dari Puncak Gunung ke Tepi Danau
Ram telah menunggu di penginapan, dan segera menawarkan sarapan begitu kami tiba. Satu set menu dhal bhaat bagi kami masing-masing. Menu yang agak berat, namun sesuai untuk pagi yang dingin seperti itu.
Kami sempat berbincang-bincang sejenak dengan Ram sembari sarapan di atas balkon. Ia menceritakan tentang pengalamannya bekerja selama beberapa tahun di timur tengah, yang meskipun menjanjikan penghasilan yang lebih besar namun tak membuatnya betah. Ia memilih untuk kembali ke Nepal dan mengelola penginapan –Mountain View Lodge– yang bersahaja di Sarangkot. Lebih tenang dan dekat dengan keluarga, ujarnya.

Meskipun ketenangan di Sarangkot menyenangkan, kami tak berniat menghabiskan waktu lebih lama di sana pagi itu. Karena rasanya tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain bermalas-malasan di desa tersebut. Kami memilih untuk segera turun ke Pokhara, dan menghabiskan waktu yang lebih santai di sana.
Dengan sebuah taksi yang telah dipesankan oleh Ram, kami turun ke arah Danau Phewa, segera setelah menyelesaikan sarapan pagi.

Hotel Lakefront adalah penginapan kami selanjutnya. Meskipun saya memilihnya secara cermat dengan memperhatikan ulasan dan gambar yang dipajang di booking.com, namun saya sama sekali tak mengira jika hotelnya memang sebagus itu.
Kami mendapatkan sebuah kamar yang terletak di lantai dua, dilengkapi dengan sebuah balkon yang terbuka ke arah taman dan menghadap danau Phewa. Dari tempat itu, kami dapat bersantai menikmati pemandangan bukit dan gunung yang saling berbaris mengelilingi badan air yang menjadi kebanggaan Pokhara. Sementara selaput salju yang menutup puncak-puncak Himalaya mengintip samar di kejauhan.

Hotel tersebut masih baru. Bahkan kami dapat mencium aroma cat yang menguar samar dari dinding-dindingnya. Kamar mandinya didominasi oleh keramik berwarna putih, dengan saluran air panas yang mumpuni. Sebuah televisi layar datar multi channel terpasang pada dindingnya, dimana saya sempat menemukan sebuah tayangan film bersubtitle bahasa Indonesia. Rupanya, salah satu siaran dari Indonesia tertangkap oleh jaringan parabola di kota tersebut.

Tak hanya itu. Sebelumnya, pengelola hotel yang menyambut kami di lobby langsung mengajak berbincang dalam bahasa Melayu, begitu tahu kami berasal dari Indonesia. Rupanya ia pernah bekerja dan memiliki urusan perniagaan di Malaysia. Karena masih satu rumpun bahasa, maka kami tak menemui kesulitan untuk berkomunikasi lebih lanjut dengannya. Ia juga berbaik hati menjelaskan beberapa hal tentang Pokhara, dan apa yang bisa kami nikmati, serta lakukan selama berada di kota tersebut.

Pokhara: Santai di Kota dan Danau Phewa
Meskipun secara ukuran Pokhara adalah kota terbesar kedua di Nepal, dan merupakan salah satu tujuan wisata paling diminati di negeri tersebut, namun keadaan Pokhara sangatlah kontras jika dibandingkan dengan Kathmandu atau kota-kota lainnya. Saya merasakan suasana yang lebih santai di sana. Terlepas dari nyatanya geliat pariwisata yang sangat hidup di kota tersebut, Pokhara sangatlah menyenangkan untuk dieksplorasi, bahkan dengan berjalan kaki sekalipun.

Siang itu, kami mulai menikmati Pokhara dengan menyusuri tepian Danau Phewa, yang kebetulan tembusan jalur pejalan kakinya terletak tak jauh dari hotel yang kami inapi. Danau air tawar terbesar kedua di Nepal tersebut memiliki luas kurang lebih 5,23 km persegi, dan terletak pada ketinggian 742 mdpl, dengan kedalaman rata-rata 8 meter dan titik terdalamnya adalah 24 meter.
Secara fungsi, Danau Phewa sebenarnya ditujukan untuk menunjang pembangkit listrik yang modulnya diletakkan di bagian selatan badan air tersebut. Namun, dalam kenyataannya danau tersebut merupakan ikon pariwisata yang sangat penting bagi Pokhara. Selain itu, juga menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat sekitar yang berprofesi sebagai nelayan ikan air tawar. Bahkan, masakan ikan air tawar merupakan salah satu menu yang selalu direkomendasikan pada berbagai rumah makan di sana.

Pada sepanjang jalur pejalan kaki yang terletak di pinggir Danau Phewa, kami menjumpai puluhan kafe serta rumah makan yang dirancang memiliki ruang terbuka yang menghadap langsung ke arah danau. Meskipun beberapa di antaranya terkesan sederhana, namun rata-rata terisi penuh oleh para turis asing yang menghabiskan waktu untuk bersantai sembari bersantap atau sekedar minum beer.
Kami sendiri pada akhirnya singgah pada sebuah kafe yang memiliki bangunan berbentuk dasar segi delapan dan beratapkan dedaunan semacam sirap. Travelmate saya memilih menghabiskan waktu di sana untuk membaca buku yang dibawanya dari Indonesia, sedangkan saya justru terlelap di atas bean bag bersama hembusan sepoi-sepoi angin lembah yang menyapu danau dan melenakan.

“Besok kita trekking ke Peace Pagoda yuk?”, ajak saya begitu terbangun dari tidur, sembari menunjukkan siluet bangunan tersebut yang terletak di atas bukit Ananda, dan terlihat langsung dari tempat kami bersantai.
Selain Peace Pagoda yang bisa dicapai melalui sisi danau. Pokhara juga memiliki Kuil Tal Barahi yang berada pada sebuah pulau buatan di tengah Danau Phewa. Dan meskipun kuil berloteng dua ini dibangun untuk pemujaan dewa Wisnu, namun seringkali penganut Buddha juga terlihat bersembahyang di sana. Kuil ini merupakan salah satu refleksi kerukunan umat beragama di Nepal yang majemuk, baik dari segi ras maupun kepercayaan.

Kebetulan hari itu bertepatan dengan malam natal, dan Pokhara ikut larut dalam perayaan kelahiran sang mesiah dari Betlehem. Sungguh, awalnya saya merasa aneh karena bisa melihat kemeriahan natal di negeri mayoritas Hindu tersebut, mengingat jumlah pengikut kristiani di negeri itu sangatlah sedikit. Namun, saya bisa memahami karena memang kota tersebut telah bertahun-tahun menjadi salah satu tujuan liburan natal bagi turis-turis asing dari barat.


Kemeriahan natal sangat terasa dari banyaknya hiasan yang menyemarakkan suasana kota, termasuk ratusan kerlip lampu-lampu kecil yang menghiasi toko-toko serta bendera-bendera yang melayang di atas jalan-jalan utama. Bahkan pelayan toko-toko souvenir yang kami sambangi pada saat senja, selalu membuka dan menutup kunjungan kami dengan ucapan Merry Christmast!, terlepas dari mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya kami adalah pejalan-pejalan muslim.

Namun, hal terbaik dan paling menyenangkan dari kemeriahan saat itu adalah banyaknya diskon yang digelar oleh resto-resto yang beroperasi di Pokhara. Termasuk steak house yang kami kunjungi pada saat makan malam. Dimana kami menghabiskan potongan besar steak daging kerbau -atau mungkin daging Yak– yang lezat dan gurih, di tengah dinginnya udara Pokhara pada akhir bulan Desember 2013.
Waaaah Pokhara seems peaceful.. tapi beneran aman gak jalan-jalan di sana sambil nenteng DSLR?
Mau cicip steak yak dong… #kode
LikeLiked by 1 person
Insya Allah dan alhamdulillah di Pokhara aman untuk jalan-jalan sambil nenteng DSLR. Selama standard keamanan umumnya dijaga aja. Misalnya gak jalan sendirian di malam hari.
Pokhara beda dengan Kathmandu. Di sana gak ada gang-gang sempit dan sepi. Bangunan lebih tersebar dan gak terlalu tinggi. Blok-bloknya juga lebih rapi. Dan pusat keramaian juga relatif aman. Jadi ya memungkinkan.
LikeLike
Trus aku wis mbayangno, hehehe Kayaknya bakalan nambah sehari ini disini, sambil baca bukunya si Paul theorux. Untung aku atur itinerary dengan santai biar bisa bermalas malasan di sini. Terkadang itinerary hanya untuk direncanakan tapi tidak untuk diikuti 🙂
LikeLiked by 1 person
Cocok banget santai-santai di sini sambil baca buku mbak. Aku juga nanti ambil waktu rehat sehari di Pokhara setelah balik dari Annapurna.
Hahaha iya sih, itinerary khan buat jaga-jaga aja supaya gak mati gaya. Soal berapa persen ketaatannya, ya kita sendiri yang tetapkan 😀
LikeLike
Membayangkan menghabiskan pagi yang dingin di Sarangkot, melihat matahari terbit dari balik Himalaya, terus dihidangkan sarapan oleh Ram yang mirip George Clooney..Terus ada pula orang tercinta di samping. Sedapnyo! 🙂
LikeLiked by 1 person
Wah George Clooney hahahaha … Bisa aja uni Evi. Ini George Clooney versi chubby dan kw super! 😄😄
LikeLike
I cannot read Bahasa 😀 but you have some great photos there! I visited Nepal but only stayed in Kathmandu. I would like to return one day and see Pokhara and Chitwan – I am also interested in the border crossing into Tibet. That would be cool one day! BTW, your hotel on the lake looks very nice 🙂
LikeLiked by 1 person
Thank you Lee.
Yes, I recommend Pokhara to be visited, since there are so many things you can do there. Especially if you enjoy the outdoor activities. I’ve never been in Chitwan, but I think the jungle safari is one of the best thing it offers to us.
Indeed, the border crossing into Tibet is very interesting, but you have to make sure about the immigration papers etc before you do that. Hope you can make it soon …
LikeLike
Kalau lihat lanskapnya, magis gitu khas Nepal. Kelihatannya rapi gitu ya Mas…
LikeLike
Iya magis Qy, terutama pada bagian-bagian yang bersentuhan dengan Himalaya nya. Kalau Pokhara memang lebih rapi dibandingkan Kathmandu atau Bhaktapur, karena tergolong kota baru.
LikeLiked by 1 person
Waah, semoga tetap seperti ini yaa rapinya walau modernitas terus berjalan 🙂
LikeLike
Amiin amiin, semoga begitu Qy, dan lebih baik lagi 🙂
LikeLike
Aku cukup impressed sama beragamnya restoran di Pokhara, mulai dari masakan Nepal, Tibet, India, Jepang, Korea, Western, sampai Vietnam. Ya wajar sih karena traveler dari berbagai penjuru dunia datang ke Pokhara sebagai permulaan atau akhir untuk mengeksplorasi beragam jalur trek yang ada. Hari-hariku pun di sana diisi dengan makan, baca buku, makan lagi, internetan, baca buku, makan lagi, soalnya pas lagi puncak-puncaknya krisis bahan bakar yang mengakibatkan mati listrik yang sepertinya lebih dari 12 jam setiap hari. Tapi aku masih penasaran sama steak yak. Mudah-mudahan restorannya bisa beroperasi lagi berhubung blokade bahan bakar dari India sudah secara resmi berakhir.
LikeLiked by 1 person
Iya Bam, sampai bingung khan milihnya mau makan apa? Padahal aku pengennya pas di sana nemu masakan Nepal yg authentic, tapi gak dapat, lagi-lagi dhal bhaat dan ikan air tawar. Atau mungkin aku kurang ngulik ya?
Wah benar-benar malas-malasan ya? Tapi cocok sih, Pokhara memang cocok buat malas-malasan. Kotanya santai banget, gak sehectic Kathmandu. Cuma mati lampu 12 jam nya lumayan mengganggu juga ya. Amiin amiin, nanti aku foto dan tag-in deh steak yak nya yaaaa di bulan April 😉
LikeLike
wiih pemandangan dari Annapurnanya indah banget mas. Coba naik gunungnya juga dong, misal Everest gitu haha 😀
LikeLiked by 1 person
Iya betul, indah banget. Insya Allah April besok saya ke Nepal lagi, trekking ke Himalaya. Tapi Annapurna dulu, insya Allah Everest menyusul. Doakan lancar yaaa 🙂
LikeLiked by 1 person
mudah-mudahan lancar mas, amin 🙂
ditunggu ceritanya nanti.
LikeLiked by 1 person
iya hotelnya bagus, pemandangannya juga. ini difoto pake kamera apa?
LikeLiked by 1 person
Kameranya campur-campur, makanya gak seragam. Ada yang pake iPhone, DSLR Nikon, sama Canon G12.
LikeLike
Impian banget ni ke nepal 😦
LikeLiked by 1 person
Kalau begitu saling tukar impian ya, saya malah baru rencana aja ke Komodo. Dan belum juga kesampaian 🙂
LikeLike
banyak scam di sana gak?
LikeLiked by 1 person
Kalau ditanya banyak, saya kurang tahu. Tapi kalau ditanya ada, jawabannya ada. Cuma dari pengalaman saya, scam itu ada dimana-mana, di hampir setiap tujuan wisata. Yang perlu kita lakukan cuma mewaspadainya dan melengkapi diri dengan informasi sebelum keberangkatan. Supaya kita mengenal modus operandinya.
Tapi boleh dikata Nepal ini merupakan salah satu negara teraman dan ternyaman yang pernah saya kunjungi. Saya lebih sedikit bertemu dengan orang yang berusaha melakukan scam dibandingkan pada kunjungan saya di Thailand, Malaysia ataupun India.
LikeLike
Bagaimana pun juga kampung halaman selalu merindu dan tempat kembali seperti ram yg gaji gede di timteng tapi memilih pulang. Tapi untuk saat ini gw blm kepikir untuk pulang ke gresik hahaha #Dibahas
LikeLiked by 1 person
Bener banget mas.
Oalaaaah asli Gresik tho ternyata.
LikeLike
Foto nya bagus-bagus bart dan alam nya juga keren gitu yach. Dibenakku Nepal itu kota nya kotor dan semberawut ternyata cakep gini yach.
LikeLiked by 1 person
Makasih Lin, ya kebetulan sisi-sisi bagusnya yang aku tangkap di sini. Secara umum memang beberapa kota agak semrawut, tapi sumpah eksotis, soalnya kita kaya terlempar ke sekian tahun yang lalu 🙂
LikeLiked by 1 person
hotel di pinggir danaunya asyikkk .. selalu dapat hotel yang view-nya mantaff
btw … di perhatikan dari foto2nya … daerahnya bersih ya … hebat
LikeLiked by 1 person
Iya mas Alhamdulillah, dan memang Pokhara ini lebih bersih dan rapi dibandingkan Kathmandu.
LikeLike
Hi Bartian, first of all apologies for not visiting your blog for a while. I guess I have missed some amazing posts.
You pic with Himalayas as background is mind blowing. The hotel rooms looks warm and cosy
LikeLiked by 1 person
Hi Sree, it’s okay yaar, no problem 🙂
LikeLiked by 1 person
Kebayang leyeh2 di depan danau Phewa trus ketiduran karena angin sepoi2 bakalan nyenyak :-D. View dari balkon Lakefront, ada ujung2 salju Himalaya wahhh istimewa!
LikeLiked by 1 person
So, kapan mau ke Nepal Nit:-)
LikeLike
Cuti saya habis Kaka…hahahaha
LikeLiked by 1 person
Yang penting semangatmu gak habis Nit 🙂
LikeLiked by 1 person
Kalau saya jadi Ram juga kayaknya lebih baik pulang dan menatap keindahan puncak tertinggi dunia itu setiap hari, Mas :)). Keren banget Mas pemandangan di sana, kayaknya berjemur lama pun aku rela demi menikmatinya berlama-lama. Terus kotanya seperti setting novel–apa ini pengaruh deskripsinya yang menyentuh rasa seperti di novel-novel? :hehe.
Nepal itu punya alam yang ekstrem banget indahnya, ya.
LikeLiked by 1 person
Sama Gara, setuju. Apalagi Sarangkot itu damaaaaai banget, beda jauh dengan Kathmandu. Bahkan Pokhara pun cukup damai.
Iya Gara, indah apalagi bagian2 Himalaya. Walaupun begitu, kalau dibandingkan dengan Bali misalnya. Aku prefer Bali sih hehehehe …
LikeLiked by 1 person
Kenapa lebih prefer Bali Mas? 🙈🙈
LikeLiked by 1 person
Lebih deket aja sih hahaha *alasan ekonomi*
LikeLike
pokhara mantep banget dah, jadi pengen kesana *kalo ada duit wkkw
LikeLiked by 1 person
Insya Allah segera ada duitnya yaaa 🙂
LikeLike
Bartz salut sama anak ini, anak Bogor yang asli petualang, ati2 ya di Everest, gak sabar nunggu ceritanya
LikeLike
Makasih doanya kak Evrina. But it was Annapurna, not Everest. Doakan selanjutnya bias ke Everest yaaaa 🙂
LikeLike
amazed, baca tulisannya dari awal sampe akhir, kebetulan mei 2017 saya juga berangkat ke nepal, jadi cari bbrapa referensi tulisan ttg nepal, sayang gak sampe ke base camp everestnya, setelah baca tulisannya bersyukur banyak untung kmrn gak jadi ambil tiket yang akhir desember 2016 soalny sdh ketebak cuacanya sedingin apa 😀 … dan good luck untuk trip annapurnany 🙂
LikeLiked by 1 person
Hallo terimakasih sudah sempatkan mampir dan baca-baca ya. Semoga info yang saya bagi di sini cukup bermanfaat dan bisa dijadikan pegangan.
Selamat menikmati Nepal, dan terimakasih untuk doanya 🙂
LikeLike
Twitpic Hotel Sherpa Ghandruk. Kamar bersih & hangat, air hangat, listrik & WiFi, cuma Rp 25.000,- semalam. #Annapurna berhasil buat aku penasaran tentang Nepal dan aku baca dari awal hingga postingan ke 15.
Keren. Gak sabar nunggu postingan selanjutnya
LikeLiked by 1 person
Waaaah makasih banyak ya, sudah bersabar dan luangkan waktu untuk membaca dari awal hingga postingan ke 15.
O iya,saya barusan saja balik dari Nepal lagi, untuk Solo Trekking ke Annapurna Himalaya. Tetap stay tune ya, untuk baca kisah-kisah selanjutnya 🙂
LikeLike
Mantap bngt bang, itu suasanya agak mirip2 Indonesia yaa
LikeLike
Sekilas, kalau dilihat-lihat dari gambarnya aja sih mirip.
LikeLike
Kepala gue pusing mas lihat keindahan Nepal saking mupeng banget pengen kesana, masalah gue sih terkendala libur kantor, sayang kalo ke Nepal cuma bentar dan juga ada musim2 nya ya ke Nepal jgn sampe datang pas lagi musim hujan. BTW foto2 Nepalnya cakep banget, bening gitu hehehe
LikeLiked by 1 person
Nah supaya gak tambah pusing, ayo mulai direncanakan untuk main ke Nepal. Waktu terbaik yang aku sarankan adalah April-Mei atau Oktober-November, pada bulan-bulan tersebut suhu di Nepal relatif menyenangkan dan udara pun cerah. Makasih ya sudah mampir dan sempatkan tinggalkan jejak. Sering-sering yaaa 🙂
LikeLike
Hi Saya baca di sebuah forum di tripadvisor, perjalanan darat dari kathmandu ke Pokhara memakan waktu hampir 13 jam karena banyaknya pembangunan setelah gempa tahun lalu. biasanya kan hanya 7 jam. kemarin waktu kesana gimana? thanks.
LikeLiked by 1 person
Saya terakhir kali ke sana bulan April 2016 lalu, dan tetap sekitar 7 jam. Kalaupun macet gak sampai selama itu. Atau kalau mau cepat, bisa coba pakai pesawat. Waktu terbang sekitar 30-45 menit.
LikeLike
dikau kayaknya dapat ilham ya Da sehabis pulang dari Himalaya? ini tulisan kok nggak bisa berhenti ya di baca? 😀
btw, saya selalu ingin ke india menikmati shimla dan daerah2 yang ada di film 3 idiot. tapi bila macam nepal gitu dan dingin? hmmmm saya alergi dingin Da 😀
LikeLiked by 1 person
Ilham banyaaak, sampai repot mana dulu yg mau difollow-up hehehe.
Harus dicoba bang. Bisa kok mengunjungi tempat2 itu di musim-musim yg lebih bersahabat, aku rasa di awal musim semi paling asik. Udaranya cuma sejuk dan langitnya cerah.
LikeLiked by 1 person
ok sip.. berdoa menang lomba kayak Uda 😀
LikeLiked by 1 person
Amiin, semoga makin sukses bang 🙂
LikeLiked by 1 person