Gelap masih menyelimuti langit, ketika bus yang membawa saya dari Bangkok memasuki Chiang Mai. Udara pagi di bulan Februari pada utara Thailand terasa lebih dingin daripada AC yang menerpa semalaman. Pagi itu, saya dan tiga orang teman duduk setengah menggigil di terminal pusat Chiang Mai, sembari menunggu seorang kenalan yang akan memandu kami di hari pertama.
Setelah menunggu sekitar setengah jam. Ose, seorang kenalan yang direkomendasikan oleh salah satu teman di Indonesia, menjemput kami. Selama setengah hari di hari pertama itu, ia memperkenalkan kami pada Chiang Mai. Sebuah kota menyenangkan di utara Thailand, yang kekayaan budaya dan suasananya cukup bisa menandingi kebesaran Bangkok.

Nama Chiang Mai sendiri sudah lama saya dengar. Seingat saya, waktu itu saya masih SMA, dan Chiang Mai menjadi tuan rumah penyelenggaraan pesta olahraga ASEAN alias SEA Games.
Chiang Mai yang dikenal dengan sebutan Mawar dari Utara, terletak di sebuah propinsi di bagian utara Thailand, dengan nama yang sama.
Sebagai kota terbesar kedua di Thailand, ternyata Chiang Mai tidak terlalu crowded. Dibandingkan dengan Bogor yang entah kota terbesar keberapa di Indonesia pun, Chiang Mai jauh-jauh lebih tenang. Kontras sekali dengan Bangkok yang hiruk pikuk dan panas, dengan ukurannya yang hampir tiga kali luas Jakarta.
Penggambaran yang mudah tentang Chiang Mai adalah, kota dengan suasana gabungan antara Yogyakarta, Bandung dan Ubud. Tenang, penduduknya ramah, berhawa cukup sejuk dan memiliki banyak bangunan bersejarah.

Old Lanna City
Chiang Mai merupakan sebuah kota yang didirikan oleh Raja Mengrai pada abad ke 13, sebagai ibukota kerajaan Lanna, menggantikan Chiang Rai. Secara harfiah namanya berarti Kota Baru.
Kawasan asli dari kota Chiang Mai yang didirikan oleh sang raja, sampai saat ini masih ada dan terjaga. Dan disebut sebagai Old Lanna City. Terletak tepat di tengah jantung kota Chiang Mai modern.

Kota tua tersebut jika dilihat dari udara berbentuk bujur sangkar, yang dikelilingi dengan benteng batu bata setebal 3-5 meter dengan panjang pada sisi-sisinya kurang lebih 1,5 km dan kanal-kanal air selebar kurang lebih 10 meter. Benteng dan kanal air tersebut dibangun untuk melindungi kota dari serangan kerajaan Burma.
Ada beberapa pintu gerbang atau Pratu yang menjadi akses jalan masuk ke dalam kota tua Lanna. Yaitu Pratu Chang Pheuak di sebelah utara, Pratu Chiang Mai dan Pratu Suan Prung di sebelah selatan, Pratu Suan Dok di sebelah barat, dan Pratu Tha Phae di sebelah timur.

Sebagian pratu-pratu tersebut masih kokoh berdiri, hanya saja bangunan benteng yang mengelilingi kota tua Lanna tak lagi selengkap dulu. Kini hanya tersisa beberapa bagian saja. Di antaranya ada yang berdiri di atas pulau kecil di dalam kanal. Dan jika dilihat dari bentuk alur batu bata yang tersisa -melengkung membentuk kurva mengarah ke tanah-, kemungkinan pernah ada gempa atau perubahan struktur tanah yang menghancurkan benteng-benteng tersebut.
Saat ini bagian dalam kawasan tersebut sudah terisi dengan rumah-rumah modern, walaupun ratusan wat-wat cantik dan beberapa diantaranya adalah tua, tetap berdiri kokoh di dalamnya. Hotel, kafe dan fasilitas penunjang wisata untuk berbagai kelas pengunjung juga menjamur di dalamnya. Namun begitu tetap saja, kesannya tenang.

Tha Phae Gate
Dari semua pratu (gerbang – gate) yang ada, Pratu Tha Phae atau disebut juga Tha Phae Gate adalah yang paling terkenal. Karena konon, jika kita pernah memasuki kota Lanna Chiang Mai melalui pratu tersebut, maka suatu saat nanti kita akan kembali lagi kesana. Karena saya -dan rekan-rekan saya pada akhirnya jatuh cinta, dan ingin kembali lagi ke Chiang Mai-, maka di akhir kunjungan, terhitung saya melintasinya sebanyak enam kali.

Selain itu Tha Phae Gate terkenal karena di bagian depannya terdapat sebuah lapangan luas berlantai paving-block yang dipasangi tempat untuk duduk-duduk bersantai. Biasanya pagi hari atau sore hari adalah waktu terbaik untuk menghabiskan waktu di lapangan tersebut. Kita bisa duduk-duduk menghabiskan waktu, sambil memberi makan ratusan burung dara jinak yang berhinggapan di lapangan, mungkin juga sambil membaca buku atau sekedar mengobrol bersama rekan-rekan.
Sunday Market
Di setiap minggu malam, maka lapangan di depan Pratu Tha Phae akan tenggelam ke dalam kemeriahan Sunday Market. Dimana hampir seluruh wisatawan yang sedang berada di Chiang Mai akan berkumpul untuk membeli souvenir dan makanan-makanan lokal khas Chiang Mai.
Sunday Market ini hampir selalu meriah dan disesaki pengunjung, karena harga souvenir-souvenir yang dijual di sini bisa jauh lebih murah ketimbang yang ada di Chiang Mai Night Bazaar setiap malamnya, yang menurut saya pun sudah sangat murah.

Sunday Market akan dibuka mulai jam enam sore hingga sebelas malam. Dimulai dari lapangan di depan Tha Phae Gate, kemudian melintasinya memasuki kota tua Lanna, membelah Ratchadamnoen Road hingga ke depan Wat Phra Sing, dan bercabang-cabang di setiap perempatan yang ditemuinya.
Selama berlangsungnya sunday market, jalan-jalan di dalam kota tua Lanna tertutup untuk kendaraan, dan didedikasikan hanya untuk kegiatan pasar malam tersebut.
Di dalam kota tua Lanna, bertebaran pula puluhan kuil atau wat. Pada hari biasa, di malam hari wat-wat tersebut akan ditutup. Tapi pada setiap malam sunday market, wat-wat tersebut dibuka.
Mengunjungi atau melintasi wat-wat tersebut di malam sunday market, adalah sebuah hiburan tersendiri. Karena menatap pantulan cahaya yang menimpa bangunan-bangunan cantik keemasan dan keperakan itu sungguh berbeda sensasinya dibandingkan jika kita menatapnya di bawah sinar matahari, bahkan chedi-chedi batu yang sejatinya berwarna putih kapur pun berpendaran dalam warna yang magis, akibat tata cahaya yang telah diatur sedemikian rupa.
Kebetulan saya dan teman-teman berada di Chiang Mai sejak minggu pagi, sehingga malamnya kami bisa ikut merasakan kemeriahan sunday market. Dengan dana sisa yang tidak terlalu banyak, kami bisa belanja oleh-oleh a la kadarnya.
Chiang Mai Night Bazaar
Ini adalah pasar malam yang terkenal di Chiang Mai, terbentang sepanjang Chang Khlan Road. Dibuka setiap harinya, sepanjang tahun, mulai jam enam sore hingga satu malam dini hari. Pasar malam ini hanya terasa agak sepi pada minggu malam, karena perhatian pengunjung berpindah ke Sunday Market di kawasan Old Lanna City.
Barang-barang yang dijual di sini umumnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Sunday Market, terutama pernak-pernik khas Thailand utaranya. Dan kalau cukup jeli, kita bisa menemukan barang-barang yang bahkan di Chatuchak Weekend Market Bangkok pun tidak kita temukan.
Ada beberapa spot yang juga ramai setiap malamnya disini. Yaitu Kalare Night Bazaar, dan Anusarn Market. Di dua tempat tersebut selain terdapat pedagang-pedagang souvenir, juga terdapat rumah makan yang menyediakan berbagai macam masakan. Mulai dari masakan asli Thai, hingga menu-menu internasional lainnya. Mulai dari yang halal untuk wisatawan muslim, hingga yang tidak terjamin kehalalannya. Dari yang relatif murah hingga cukup mahal. Semua ada, tinggal pilih sesuai dengan budget dan selera.

Kebetulan saya dan rekan-rekan tinggal di hotel Night Bazaar Palace, yang terletak di Chang Khlan Road. Sehingga kami cukup keluar dari lobby hotel untuk dapat merasakan kemeriahannya. Jujur saja, meskipun tidak selengkap Chatuchack Weekend Market, saya lebih suka suasana semua pasar malam di Chiang Mai. Selain terasa lebih bersahabat, juga berlangsung di malam hari. Adem, tidak perlu panas-panasan.
Makanan dan Kawasan Muslim
Selalu ada tantangan tersendiri, untuk saya dan rekan-rekan yang muslim, ketika berkunjung ke negara yang mayoritas penduduknya non muslim. Apalagi kalau bukan soal makanan halal.
Selama di Bangkok, kami pernah berjalan dari Sukhumvit Soi 11 hinggak Soi 7 hanya untuk mencari nasi ataupun makanan yang masih agak jelas kehalalannya. Dan sekalinya menemukan spot makanan halal, kami berusaha kembali ke tempat tersebut, hanya untuk makan. Seperti misalnya kami selalu kembali ke kawasan Chakrabongse di dekat Khaosan dan Rambutri, serta foodcourt di MBK hanya untuk makan agak kenyang dan tenang.

Tapi untungnya di Chiang Mai, kami mendapat hotel yang terletak di kawasan Muslim. Kami mendapatkan hotel ini atas bantuan Ose.
Kawasan muslim ini, terletak di Charoenphrated Road Lane 1, sebuah jalanan kecil yang menghubungkan Charoenphrated Road di sisi barat sungai Ping dengan Chang Khlan Road di dekat Wat U Pakut.
Disini terdapat komunitas muslim lengkap dengan masjid yang cukup besar, yaitu Masjid Hidayatul Islam Banhaw, lengkap dengan Islamic Centre nya. Dari nama, dan beberapa tulisan yang terdapat di bagian atas dan dalam masjid, kelihatannya masjid ini didirikan oleh komunitas muslim China yang bermukim di Chiang Mai. Namun begitu, kita bisa menemukan orang dari berbagai etnik selama beribadah di dalamnya.
Kami hanya butuh waktu kurang dari dua menit untuk berjalan sampai di masjidnya, bahkan kami tetap bisa mendengarkan suara adzan dari dalam kamar hotel, setiap kali waktu shalat tiba. Dan untuk mencari makanan halal pun, kami tidak perlu bersusah payah lagi seperti di Bangkok.
Untuk saya yang termasuk penikmat kuliner, dan jauh-jauh hari sudah bertekad ingin mencoba makanan asli Thai di tanah kelahirannya, makan di daerah ini rasanya seperti menemukan surga. Saya bisa makan makanan khas Thai, dengan harga cukup terjangkau, enak dan tenang, karena terjamin kehalalannya.
Selain Tom Yam soup yang sudah menjadi trademark masakan asli Thailand, saya juga mencicipi Khao Soi, Kway Tiaw Nam, dan beberapa makanan lain yang saya lupa namanya.

Bahkan ada satu masakan yang belum pernah saya bayangkan sama sekali, yaitu Khao Pheun (semoga penulisannya benar). Semacam mie yang dilengkapi dengan sayur-sayuran dan ditaburi kacang, dan sekilas mirip dengan pecel.
Khao Pheun dijual dalam dua jenis, yang panas dan yang dingin. Bedanya adalah pada Khao Pheun panas, setelah mie dimasukkan ke dalam mangkok maka akan dituangi semacam bubur mirip bubur sumsum berwarna kuning, baru kemudian di atasnya ditambahkan sayur-sayuran, kacang tanah yang ditumbuk kasar dan ton hoom alias daun ketumbar. Sementara pada Khao Pheun dingin, bubur sumsum tadi berbentuk lebih padat, serupa dodol lunak yang dipotong persegi memanjang, sedangkan selebihnya sama.

Sebagai mantan ibukota Kerajaan Thai Lanna, Chiang Mai tentu saja memiliki banyak tempat-tempat bersejarah. Selain itu puluhan kuil (wat) dengan detail arsitektur Lanna yang cantik bertebaran di hampir seluruh kota tua. Dibutuhkan waktu yang tak sedikit jika ingin mengeksplor bangunan-bangunan tersebut satu persatu. Pada artikel selanjutnya, saya akan membagikan foto-foto dan pengalaman saya mengunjungi bangunan-bangunan tersebut. (bersambung)
Kota Baru yang masih ada kota tua-nya 🙂 Unik banget sepertinya Chiang Mai ini. Foto-fotonya keren banget. Ditunggu ulasan bersambungnya 🙂
LikeLiked by 1 person
Kota Baru yg gak baru lagi, tapi terus diperbaharui hehe. Iya kota nya unik mbak, suka banget waktu tinggal di sana, santai dan ramah-ramah orang-orangnya.
Terimakasih mbak 😊
LikeLike
Foto2nya yahud pisan! #jempol
Btw tom yum ala Chiang Mai konon berbeda ya sama yang di Bangkok? Tulung dijelaskan perbedaannya, dan mana yang lebih disuka? 😉
LikeLiked by 1 person
Terimakasiiih 😊
Iya, yg utara lebih kental seperti bersantan gitu dibandingkan yg dari selatan. Kalau ditanya mana yg lebih disuka, kayaknya lebih suka yg selatan. Bening, pedes, asem, seger 😊
LikeLike
Tahun 2014 Chiang Mai dihantam gempa dan Wat Rong Khun atau kuil putih katanya rusak parah. Duh kangen Thailand deh, kangen makanan murah di sana walau akhirnya cuma bisa ngiler saja karena banyak yang berbagi haha…
Chiang Mai saya datang *nabung*
LikeLike
Koreksi, mungkin maksudmu Chiang Rai kali ya Lid, yg ada Wat Rong Khun nya. Aku malah belum sempat kesana hehehe …
Memang cari makan di Thailand harus agak-agak jeli, biar gak kena “ranjau”.
Ayo ke Chiang Mai, pasti betah deh.
LikeLike
Eh iya Chiang Rai, duh salah, ah yang penting ada Chiang-nya hahaha :p
LikeLike
Hahaha gak papa, mumpung gak jauh juga letak mereka 🙂
LikeLike
Dari dulu pengen pergi ke Chiang Mai, apalagi ditambah cerita temen-temen yang udah pernah ke sana. Makanannya, kuil-kuilnya, suasana kotanya, dan foto-fotomu cukup menggambarkan itu semua. Btw, aku suka banget foto yang pertama, langitnya biru banget gitu. Hidup di Jakarta bikin kangen liat langit biru. 😀
LikeLiked by 1 person
Iya, kalau ke Thailand lagi, coba mampir ke Chiang Mai dan Chiang Rai, pasti suka.
Makasih Bam. Motret langit di daerah rendah polusi memang enak, gampang banget dapat warna biru pekat macam ini. Padahal ini tanpa filter CPL dan lain-lain lho …
LikeLike
Dulu pas kuliah saya cuma sempat ke Bangkok saja. Itupun dalam rangka tugas fakultas hahaha. Dan fotonya ya biasa-biasa saja. Lihat foto-foto dan pengalaman ini, jadi pengen ke sana lagi buat bikin foto2 bagus. *ke LN cuma bikin foto* 😀
LikeLiked by 1 person
Wah enak banget tugas fakultas nya sampai jalan ke Bangkok gitu. Emang kuliahmu jurusan apa?
Hahahaha, nggak laaah ,, aku yakin dirimu bakal bikin tulisan yang bagus juga selain foto-foto yang bagus.
Btw, foto-fotomu asik-asik #jempol
LikeLike
Ya dulu ikut bikin paper kecil-kecilan gitu Mas, terus berangkat mewakili fakultas. Ambil Agribisnis Mas hehehe.
Hahaha, sama-sama belajar kok Mas, 🙂
LikeLike
Hi Bart! Great post. I was in Chiang Mai last dec and spend the new year eve there! I’ve yet to blog about my trip in Chiang Mai.
LikeLiked by 1 person
Hi Hero, thank you for your compliment. So how was the new year eve there? Someday, I would like to spend my time there, when they have Loy Krathong Festival … 🙂
LikeLiked by 1 person
pengen nyoba lagi khao pheun .. sarapan terenak selama trip ke Thailand…. dan makan malam terenak di anusam market beserta tragedinya wkwkwkwkwwk
LikeLike
Setuju, Khao Pheun unik dan enak. Hahaha itu sih tragedinya gara-gara ada yang suka makan apa aja tanpa nanya. Tapi enak khan kulit babinya? 😀
LikeLike
A CM local stumbled upon your blog. Honestly I cannot read Bahasa ID so I have to use g-translate. Hope it does its work alright.
You correctly spelled Khao Pheun. I am Thai and I got the idea at first glance. This dish is what we derived from Shan People or Tai yai. Same as Khao Soy which originated from Muslims in the north of MM and southwest of CH. Thai cultures, both in the central and other regions, are mixed with lots of influence from other ethics due to the fact that we located at the center of mainland SE Asian, surrounded by all neighbors with different cultures since the ancient time. For northern culture they have lots of influence from Central TH, MM, and ethics groups around here.
TH and CM are not different from other places on earth. We have both good and bad things, also good and bad people. Hope you find the first ones wherever you go.
LikeLiked by 1 person
Hi, thanks for coming and add some info. I do really appreciate it. Khob khun krab 🙂
LikeLike
Setelah membaca post Ini, aku jadi tertarik ke Chiang Mai. Aku suka Thailand, namun karena urusan makanan, jadinya agak cukup merepotkan kalau travelling ke sana, seperti yang kamu bilang, harus kembali ke satu restoran yang jauhnya minta ampun hanya untuk makan. Ngga nyangka, kalo di Chiang Mai ternyata bisa menemukan makanan halal lebih mudah
LikeLiked by 1 person
Iya mbak, Chiang Mai memang menarik. Kotanya gak terlalu besar, bisa ditelusuri dengan berjalan kaki, udaranya lebih sejuk, orangnya ramah-ramah, dan angkutan dalam kotanya juga memadai.
Soal makanan gak usah khawatir, banyak masakan halal, atau kalau masih ragu tinggal pergi ke daerah Islamic Centre nya. Di situ terdapat banyak restoran yang menyediakan masakan-masakan halal yang sedap-sedap.
Hehehe ini laporan perjalananku ke Thailand tahun 2010. Terakhir aku ke Bangkok di tahun 2014 sih, sudah makin banyak masakan-masakan halal yang dijual 🙂
LikeLiked by 1 person