Tenzing-Hillary Lukla: Memacu Adrenalin Pada Bandara Paling Berbahaya di Dunia

tenzing-hillary-lukla-airport-bartzap-dotcom

Ini satu rahasia! Meskipun saya senang bepergian ke tempat-tempat yang jauh, sesungguhnya saya tak begitu suka terbang.  Namun, terbang adalah sesuatu yang tak mungkin saya hindari. Jangankan untuk melanglang buana, pekerjaan saya pun mengharuskan untuk terbang secara rutin. Setidaknya, sebulan dua kali saya harus terbang dengan menggunakan pesawat dan helikopter sekaligus. Tak terbang, maka tak gajian.

Tak peduli apapun maskapainya, sesi terbang adalah sesuatu yang membuat saya kurang nyaman. Terlebih jika pada sepanjang perjalanan terjadi goncangan, ataupun cuaca yang tak menyenangkan. Membayangkannya pun rasanya sudah malas. Tapi anehnya, saya justru merasa bersemangat ketika mengetahui harus terbang menuju Lukla, sebagai bagian dari perjalanan solo trekking ke Everest Base Camp (EBC) di Nepal, dua minggu yang lalu.

Rasa gugup memang tetap ada, karena Lukla menjadi kunci pembuka dan penutup solo trekking kali ini. Dan bagaimana pula tak gugup? Jika kemudian saya tahu bahwa bandara di Lukla merupakan yang paling berbahaya nomor satu di dunia.

Bandara Tenzing-Hillary Lukla: Mengapa Ia Berbahaya?

Lukla merupakan pintu masuk bagi setiap trekker dan pendaki yang bermaksud untuk menaklukkan puncak-puncak Himalaya, yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Sagarmatha. Selain puncak Everest yang melegenda, taman nasional kebanggaan Republik Nepal itu juga menjadi tuan rumah bagi beberapa puncak lain yang tak kalah menariknya. Sebut saja Ama Dablam, Thamserku, Makalu, Lobuche, Pumo Ri, Gokyo Ri, Nuptse, Lhotse, Lhotse Shar, Imja Tse, hingga Mera.

Lukla sebagai pintu masuk menuju Taman Nasional Sagarmatha.

Nama Tenzing-Hillary disematkan kepada bandara di Lukla sebagai sebuah penghormatan bagi Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay Sherpa, yang dikenal sebagai manusia-manusia pertama yang sanggup mencapai puncak Everest. Selain juga kepada upaya Sir Edmund Hillary yang merintis pembangunan bandara di Lukla.

Bandara ini terletak pada ketinggian 2800 meter di atas permukaan laut. Dengan landas pacu tunggalnya yang memiliki panjang 460 meter, lebar 20 meter, dan tingkat kemiringan 12 persen. Serta dilengkapi dengan empat apron untuk pesawat, dan satu landasan helikopter.

Pendaratan hanya bisa dilakukan melalui runway 06 di timur laut, sementara untuk lepas landas menggunakan runway 24 di barat daya. Dimana ujung ujung runway 06 merupakan jurang sedalam lebih dari 600 meter, dan ujung runway 24 adalah tebing bebukitan.

Sebuah pesawat bersiap lepas landas meninggalkan Lukla. Sebelum jurang harus sudah berhasil mengudara!

Akibat letaknya yang diapit oleh pegunungan, maka sesi terbang berputar-putar untuk mencari pendaratan terbaik tidak mungkin dilakukan. Hanya ada dua kemungkinan saja dalam sekali pendaratan. Berhasil atau gagal!

Berdasarkan desainnya, selain menggunakan helikopter, bandara ini hanya dapat diakses oleh pesawat berjenis small-fixed-wing dan short-take-off-and-landing (STOL), seperti Dornier Do 228, Let 410 UVP-E20, dan De Havilland Canada DHC-6 Twin Otter.

Pesawat jenis DHC-6 Twin Otter milik Tara Air, dan Let 410 UVP-E20 milik Goma Air di apron Bandara Tenzing-Hillary Lukla.

Karena faktor topografi, landasan pacu yang pendek dan miring, udara yang tipis, jalur mendarat serta lepas landas yang tak bisa diubah, dan faktor cuaca yang sulit ditebak, maka bandara ini ditasbihkan sebagai yang paling berbahaya di dunia.

Dibutuhkan pilot-pilot dengan keberanian serta kecakapan yang tinggi, untuk dapat mendarat serta lepas landas secara selamat pada Bandara Tenzing-Hillary Lukla.

Pengalaman Terbang dan Mendarat Paling Menantang

Meskipun penerbangan saya dijadwalkan pada pukul 7.45 pagi, saya sendiri sudah berada di terminal domestik Bandara Tribhuvan Kathmandu sejak dua jam sebelumnya. Demi check-in yang tepat waktu, dan berjaga-jaga untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan.

Dan benar saja.  Sepagi itu antrian calon penumpang yang didominasi oleh para trekker dan pemandunya sudah mengular di konter-konter check-in. Tumpukan tas-tas logistik mereka ikut berjejalan di sekitar jalur yang ada. Suasana check-in pun tak semulus yang saya bayangkan. Karena tampak para pemandu yang umumnya sudah mengenal petugas bandara, bisa dengan mudahnya menyerobot antrian.

Beberapa kali saya harus mundur kembali ke garis belakang, karena petugas bandara mengatakan jika pesawat untuk saya belum tersedia. Yang kemudian saya curigai, bahwa sebenarnya kursi pesawat tersebut lebih didahulukan bagi para trekker yang akan berangkat secara berkelompok. Hal itu pun dibenarkan oleh beberapa trekker lain dari Ukraina, Amerika, dan Itali yang mengantri bersama saya.

Setelah drama antrian yang cukup lama, akhirnya saya berhasil mendapatkan boarding pass untuk penerbangan pukul 9.30 pagi. Yang berarti dua jam lebih lambat dari jadwal yang seharusnya.

Boarding pass Tara Air menuju Lukla, yang sangat collectible.

Kala itu saya memilih Tara Airlines, yang merupakan anak perusahaan dari Yeti Airlines, sebagai maskapai yang akan mengangkut saya ke Lukla. Dan kebetulan saya mendapatkan pesawat berjenis DHC-6 Twin Otter yang bersayap tinggi dan berbaling-baling ganda.

Bangku-bangku di dalam kabin penumpang yang beratap rendah itu memiliki susunan dua lajur di sebelah kanan, dan satu lajur di sebelah kiri. Dengan ruang kemudi yang terbuka tanpa pintu. Sehingga semua penumpang bisa melihat dengan jelas kesibukan pilot dan co-pilot, serta peralatan terbang dan navigasinya. Sementara seorang pramugari cantik yang berbaju khas Tibetan mendampingi kami di bangku paling belakang.

Pramugari Tara Airlines, dan kostum Tibetan nya.

Tak ada sesi safety briefing yang lengkap a la penerbangan domestik biasanya. Hanya sebuah instruksi untuk membaca kartu keselamatan yang ada, pembagian gula-gula susu dan kapas penutup telinga, serta peringatan untuk mengencangkan sabuk pengaman sebelum keberangkatan. Ditambah satu bocoran, bahwa penerbangan pagi itu akan diselingi oleh guncangan turbulensi yang cukup mendebarkan! Pfiuuh.

Dan terbukti. Setelah 15 menit dari lepas landas yang cukup mulus di Kathmandu, penerbangan pagi itu mulai dihiasi oleh guncangan yang memompa jantung. Karena ukuran pesawat yang sangat kecil, membuat guncangan-guncangan itu terasa jauh lebih dahsyat daripada yang pernah saya alami sebelumnya. Kami seperti dibanting-banting berulang kali di udara. Dan dengan jelas saya bisa mengamati pilot serta co-pilot yang sibuk mengatur ini dan itu di ruang kemudinya, demi menstabilkan pesawat yang tampak tua dan sangat manual itu.

Namun, tak ada yang lebih mendebarkan daripada ketika pesawat mulai menukik ke arah bawah, tanda jika kami akan segera mendarat. Barisan pegunungan Himalaya yang gagah dan bersaput salju terlihat angkuh di kejauhan. Sementara landas pacu bandara Lukla yang pendek, mulai tampak menanti kami di antara bebukitan dan jurang yang menopangnya.

Geraman mesin dan baling-baling pesawat terdengar semakin kuat dan bising, seolah berusaha menahan laju tukikan. Sementara hantaman sisa guncangan turbulensi masih saja menggetarkan tubuh pesawat. Kesibukan di dalam ruang kemudi pun semakin meningkat. Sesekali saya melihat pilot dan co-pilot tampak berusaha menahan gagang kemudi sekuat tenaga, sembari mengatur tuas throttle demi menjaga keseimbangan pesawat.

Hingga kemudian …

Braak!!“, suara hantaman keras roda pesawat yang menyentuh landasan, memberi tanda jika kami sudah berhasil mendarat di Lukla.

Alhamdulillaah, akhirnya!


Meskipun Lukla dapat dicapai melalui perjalanan darat, sesi terbang tetap menjadi opsi yang paling banyak diambil oleh para trekker maupun pendaki Himalaya. Karena dapat mempersingkat waktu dan menghemat tenaga. Sebab untuk mencapai Lukla, dari Kathmandu hanya dibutuhkan waktu selama tiga puluh menit saja melalui perjalanan udara. Sementara perjalanan darat, baik dengan kendaraan ataupun trekking, paling cepat akan memakan waktu selama tiga hari.

Jika cukup beruntung, sepanjang penerbangan kita sudah bisa mengintip Himalaya di kejauhan. Bangku kiri adalah posisi terbaik.

Dan walaupun terbang ke Lukla jauh lebih mahal dibandingkan perjalanan darat, sesi terbang ini wajib untuk dicoba. Karena akan memberikan sensasi berbeda bagi siapapun yang melakukannya. Termasuk pengalaman terbang sejajar dengan barisan atap dunia.

Kapan lagi khan terbang menuju atau dari bandara paling berbahaya di dunia? Siapa lah yang tak terpacu adrenalinnya.

Berani coba?

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

154 thoughts on “Tenzing-Hillary Lukla: Memacu Adrenalin Pada Bandara Paling Berbahaya di Dunia

    1. Monggo mas direncanakan balik lagi ke Nepal, plus trekking nya. Bisa yang ringan-ringan dulu. Beberapa short trek dari Pokhara misalnya 🙂

      Jangan lupa sewa porter, kalau pengen lebih nyaman hehehe

      Liked by 1 person

  1. aku kok deg-degan ya bacanya, lihat pesawat biasa saja sudah serem apalagi ini…syukurlah selamat tapi kalau yang punya penyakit jantung gimana?

    Liked by 1 person

    1. Hehehe gak tau deh kalau yang jantungan gimana. Mungkin mereka akan ambil jalan darat. Tapi kayanya penduduk lokal juga jarang yang jantungan, sementara para trekker juga pada aware soal itu sebelum berangkat.

      Jadi kalau ada kesempatan, mau coba gak Hen?

      Liked by 1 person

  2. Hahahaha seru mas. Ini pesawat kalau di Indonesia kayak Susi Air atau Airfast yang sempat melayani rute Semarang – Karimunjawa. Kalaus ekarang pasti di Bagian Timur Indonesia masih didominasi pesawat-pesawat seperti ini. Yang bikin kaget adalah panjang landas pacu tidak sampai 500 meter, entahlah tidak terbayang untukku mas.

    Benar juga sih, dari kursi penumpang kita bias melihat aktifitas pilot dan co-pilot, karena tidak disekat dengan tirai. Intinya kalau naik pesawat seperti ini itu kapas buat telinga kudu dipakai, kalau tidak lumayan sakit telinga. Kalau langsung menukik juga kepala terasa sakit.

    Liked by 1 person

    1. Betul banget Rullah, memang untuk bandara-bandara kecil dengan runway terbatas, pesawat macam ini yang lebih cocok.

      Haha iya, aku juga kaget. Soalnya kategori terendah untuk panjang landasan itu Code 1, yang maksimal 800 meter. Sementara Lukla, landasan cuma 460 meter, dan yang efektif digunakan untuk take off cuma sekitar 410 meter saja. Itupun ujungnya jurang 😀

      Hehehe kebetulan kemarin aku bawa ear-plugs sendiri, jadi lebih nyaman. Lebih untuk mengurangi kebisingan aja sih, dibandingkan nyeri akibat gagal ekualisasi 🙂

      Like

  3. Jauh lebih serem daripada Bandar Udara Husein Sastranegara Bandung ya.

    Gue aja naik pesawat ATR Garuda Explore dengan cuaca berawan udah kerasa banget turbulensinya, apalagi pesawat yang kamu coba itu ya. Tapi ada yang bilang justru pesawat kecil itu yang paling aman.
    Btw kalo pake tur ke Lukla berapa emang, Bart? Gue bukan petualang alam sih, jadi kalo harganya nggak beda jauh, would like prefer taking a tour 😀

    Liked by 1 person

    1. Sebenarnya bukan masalah pesawat yang lebih kecil sih. Tapi dari jenis sayapnya. Ini aku dapat info dari teman mekanik pesawat.

      Jadi pesawat-pesawat yang letak sayapnya di atas body (seperti pesawat yg umum digunakan di Lukla dan bandara perintisi di Indonesia), akan jauh lebih aman daripada pesawat yang letak sayapnya di bawah body (seperti pesawat-pesawat jet). Karena dalam keadaan mesin pesawat mati semua, pesawat lebih mampu gliding dengan seimbang. Tapi ini dengan asumsi, faktor lainnya ideal lho ya.

      Ini nanya harga sampai Lukla aja atau nanjak terus sampai ke EBC Guh? Kalau sampai Lukla aja sih gak perlu tour/guide. Tapi kalau misalnya untuk trekking lebih dari itu butuh.

      Kalau dibandingin lumayan jauh sih selisinya. Bisa beda 80-100% an hehehe … Tapi ya itu dia, dengan adanya guide/porter perjalanan akan relatif jauh lebih nyaman.

      Kalau aku khan independen, jadi banyak hal ‘yang harus diurus sendiri’, semua bawaan dibawa dan diurus sendiri. Dan dalam beberapa hal urusan-urusan macam itu cukup menguras kesabaran.

      Kalau memang dirimu pengen nyoba, dan gak merasa terlalu petualang alam, aku sih saranin ambil guide dan porter. Gak bakal rugi kok. Yakin 🙂

      Like

      1. Saranku sih mending sampai Namche Bazaar, naik dikit lagi, tapi di sana pemandangannya super duper keren. Kamu dah bisa nemuin puncak-puncak bersalju yang lebih besar, kuil-kuil dan area-area yang dipenuhi oleh praying flag, dan juga ada beberapa museum seperti Sherpa Culture Museum, dan kota kecil (Namche Bazaar) di atas gunung yang penuh dengan fasilitas lengkap, mulai dari ATM, kafe, pub, toko buku, toko peralatan outdoor, sampai dengan kantor pos. Kapan lagi kirim kartu pos dari ketinggian 3400 mdpl khan? 😉

        Like

      1. Memang bandara ini sering dibahas di mana-mana, terutama kalau misalnya ada acara scoring bandara-bandara terekstrim, tersulit, dan paling berbahaya 🙂

        Like

  4. MasyaAllah….mantap bang, mantap bener deh!
    epic ya foto selfie nya 🙂 yhaa wkwkwkw.

    Saya deg”an dan jadi over excited sepanjang baca artikel ini. Taman Nasional Sagarmatha langsung saya tulis dalam bucket list >.< ntah kapan yang penting dah niat, semoga dikasih kesempatan oleh Allah aminnn (diaminin sendiri wkwkwkw xD)

    You had a really great trip experience!

    Liked by 1 person

    1. Aku bantuin doa, biar bisa kesampaian main ke Taman Nasional Sagarmatha yaaa. Aamiin.

      Makasih lho sudah mampir dan tinggalkan jejak 🙂

      Like

  5. Aku paling seneng naik pesawat kecil karena terbang rendah dan bisa melihat pemandangan. Tapi kalo medannya seperti ini sih ogah haha ngeri ya turbulensinya…
    Melihat penerbangan perintis di Papua aja sudah seram, apalagi ini yang sudah di ketinggian 2800 mdpl..

    Liked by 1 person

    1. Hahaha yang ini soalnya mau gak mau ya harus terbang sampai ketinggian segitu bro. Tapi tenang aja, Kathmandu sudah di ketinggian 2000 meteran kok. Jadi secara praktek cuma nambah 800 meter aja terbangnya. Tapi ya itu, kanan kiri gunung, bawah jurang, turbulensi nya kuat, dan bandaranya ekstrim hehehe.

      Liked by 1 person

  6. Saya gak suka naik pesawat, Bart. In fact, saya blm pernah naik pesawat. Diusahakan selalu ambil jalur darat. Sejauh apapun hahahaha takut terbang pisan.

    Saya pernah nonton dokumenter ttg Tenzing-Hillary Lukla di BBC. Parah ngeri amat ya. Yg bagus landasan udara ini membantu perekonomian warganya juga.

    Liked by 1 person

    1. Serius, jadi belum pernah nyoba naik pesawat sama sekali? Kalau gitu harus coba! Hehehe ,,, walaupun gak terlalu nyaman -di hati- kalau udah di pesawat aku pasrah aja sih, supaya lebih tenang.

      Cuma kadang aku penasaran sih, seandainya aku dikasih kursi bisnis atau kelas satu, akan berkurang atau nggak nervous nya. Mungkin, kalau dihibur fasilitas yang oke dan makanan yang enak, bisa sedikit terobati nervous nya 😀

      Betul banget, dengan adanya pesawat ini membuka akses yang lebih luas bagi ekonomi setempat. Dan mempermudah mereka dalam berurusan dengan ibukota. Tapi yaaa, harga terbangnya lumayan mahal sih.

      Like

  7. أَلَمْ تَرَ أَنَّ الْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِنِعْمَةِ اللَّهِ لِيُرِيَكُمْ مِنْ آَيَاتِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
    “Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebahagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur.” (QS. Luqman: 31).

    Apakah cukup lembaran alumunium itu menahan kita dari daratan 5000 m di bawah sana

    Liked by 1 person

    1. Luar biasa komennya mas Wawan, di antara sela-sela kesibukannya di panel control room. Matursuwun mas 🙂

      Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa memahami tanda-tanda kebesaran Allah, serta banyak bersyukur. Aamiin 🙂

      Like

  8. Ngeri-ngeri sedap bacanya. 😀 Pengalamanku naik pesawat kecil baru satu kali sih, di Taiwan. Waktu itu naik Dornier Do 228 dan untungnya gak ada guncangan berarti, jadi malah menikmati pemandangan di luar pesawat dan di dalam kokpit. Ditunggu cerita selanjutnya, Bart!

    Liked by 1 person

    1. Pengalaman terbangmu yang seram itu justru yang ke Banda atau Maluku itu ya Bam? Kalau Dornier Do 228 itu layout dalam pesawatnya bagaimana Bam, 2-1 juga kah?

      Siap Bam, bakal berlanjut kok tentang EBC nya ini.

      Like

      1. Yang ke Ternate, tapi itu aku naik ATR 72 padahal. Kalau Dornier Do 228 yang aku naikin layout-nya 1-1. Satu pesawat kalau gak salah cuma 19 kursi.

        Liked by 1 person

      2. Berarti sama kaya pesawat yang aku pakai ke Natuna ya. ATR 72, cuma mungkin beda seri di 500 atau 600 nya aja.

        Nah, cocok. Thanks infonya Bam. Berarti next time naik yang Dornier Do 228 nya Sita Air aja biar duduknya bisa sendiri-sendiri. Atau naik Let 410 UVP-E20 nya Goma Air, pesawat baru dan bentuknya lebih meyakinkan 🙂

        Like

  9. Wah, berani berani, aku pengin coba, aku demen aktivitas yang gila-gila gitu, sayang, masih banyak kebutuhan. *kok curhat

    Btw, aku pernah baca pula, jika pilot yang punya jam terbang tinggi di Lukla berkesempatan kerja di semua maskapai kelas elite dunia. Mungkin karena tantangan yang ekstrem itu, ya, jadi pengalaman terbangnya nggak usah diragukan lagi.

    Btw, Solo Trekking memang jauh lebih hemat ya dibandingkan ikut travel agent?

    Liked by 1 person

    1. Hebaaat, suka yang ekstrim-ekstrim. Kalau gitu kapan-kapan kita harus jalan bareng 🙂

      Wah, kalau soal itu aku malah baru tau Tom. Tapi pantas sih, memang pilot-pilot di Nepal berani-berani dan punya kemampuan terbang yang teruji. Akibat medan mereka yang sulit juga sih ya 🙂

      Hmmm jawabannya iya, lebih hemat banget. Tapi tetap ada beberapa konsekuensi yang harus ditanggung. Dan nanti akan aku bahas di postingan-postingan selanjutnya 🙂

      Like

  10. Wahhh.. saya pernah sih naik pesawat sekecil itu dari jakarta ke pangandaran dan Ambon ke Banda Neira yang bandaranya juga pendek.
    Tapi yang dikelilingi gunung seperti itu sepertinya seru yaa..
    Ada niatin ke nepal sih tapii..
    *lirik isi dompet*

    Liked by 1 person

    1. Nah, saya justru penasaran pengen cobain tuh yang dari Ambon ke Banda Neira atau yang rute Jakarta – Pangandaran. Pasti sensasinya beda 🙂

      Ayooo nabung. Saya bantuin doa ya, biar kesampaian ke Nepal. Aamiin 🙂

      Like

  11. Pernah naik pesawat sekecil itu dari Jakarta ke Pangandaran dan Ambon ke Banda Neira.
    seru lho pokoknya tiap pesawat goyang kanan-kiri demi menghindari awan gede.
    Ada rencana ke nepal sih tapi mesti olahraga dulu nih karena udah lama gak nanjak2 gunung
    hehehehe..

    Liked by 1 person

    1. Kalau begitu artinya, harus cobain yang ini, lebih seru lagi hehehe.

      Ayo dimulai rencanakan dan persiapkan. Gak harus ke Everest Base Camp kok. Nepal memberikan banyak pilihan untuk trekking 🙂

      Like

    1. Mengenai budget akan dikupas di postingan selanjutnya bro.Ini baru postingan pembuka.

      Masih dalam draft nih. Maklum, sambil kerja, jadi pelan-pelan 🙂

      Like

  12. Aku sebenernya penyuka wahana2 yg memacu adrenalin kyk rollercoaster dan bungy jumping. Tapi kayaknya kalo naik pesawat di bandara ini aku msh mikir berkali2 mas , hahahahaha.. Sereeem ya bok. Bacanya berasa kena turbulen :p

    Btw mas, udh pernah ada kecelakaan fatal di sana?

    Omg kalo darat makan wkt 3 hr, kalo terbang 30 menit??!. Galau milihnya hahahahah

    Like

    1. Hahaha iya. Soalnya memang beda. Kalau wahana-wahana atau olahraga menantang khan sudah dirancang dan dihitung ulang sisi safety penggunaan sehari-harinya. Sedangkan naik pesawat dan terbang ke Bandara Lukla ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Termasuk masalah cuaca, alam, dan juga kecakapan pilotnya. Jadi memang sensasi deg-degan dan resikonya berbeda.

      Setahuku memang ada beberapa kecelakaan fatal yang terjadi di Lukla. Tapi juga tidak terlalu sering. Yang terakhir kali terjadi kalau gak salah adalah kegagalan landing. Dimana ketika menjelang pendaratan terbentuk kabut yang menutupi pandangan ke arah landasan sehingga pilot salah mengatur ketinggian menjelang approaching. Akibatnya pesawat menabrak dinding penyangga landasan bagian bawah, sedikit di bibir jurang. 8 dari 9 orang yang berada di dalam pesawat itu meninggal seketika. Dan lucunya, satu-satunya survivor justru sang pilotnya.

      Hahaha gak usah galau, langsung dicoba aja penerbangannya 😀

      Like

  13. Hi mas bart kemaren sudah sempat baca tapi baru sempat komen hari ini, sebuah pengalaman yang luar biasa sekali ya ini terbang dengan kondisi seperti itu, tapi kalau dilihat dari penumpang lainya rata-rata para trekker semua ya itu mas, makanya ekspresinya seperti sudah biasa. Kalau saya terus terang belum pernah sih naik pesawat kayak gini tapi kayaknya kalau saya ndak usah lah hehehe namun tetap salut deh sama mas Bart ini benar-benar pengalaman yang sangat berharga

    Liked by 1 person

    1. Makasih banget lho Fer, sudah disempatkan untuk mampir kembali dan menuliskan komen.

      Hmmm mungkin itu mereka semua masih shock, soalnya pas kita berhasil mendarat, semuanya pada tepuk tangan. Sayangnya aku gak sempat merekam ekspresi mereka waktu diguncang turbulensi kuat di udara. Pada sibuk berdoa semuanya 😀

      Like

    1. Kenapa gak jadi mas? Hmm karena ada embargo dari India ya?

      Nah sekarang semua sudah mulai normal di Nepal. Waktunya untuk mewujudkan impian nih, terbah ke Lukla 🙂

      Like

  14. Wkakwa aku jadi inget rekaman pendaratannya saat nonton 10 bandara terngeri di dunia versi NatGeo Channel. Penumpangnya pada keliahatan deg-degan, pilotnya mah biasa aja ekspresi wajahnya. Ahahaha

    Memang rasanya harus dicoba sih buat terbang sejajar dengan Himalaya, ahaha. Tapi kok aku juga pingin trekking juga….wkakwa

    Liked by 2 people

    1. Nah, ditunggu rekaman pendaratan ala aku ya.

      Berarti harus dicoba dua-duanya. Terbang dulu ke Lukla, habis itu sambung trekking ke atas. Bisa sampai Namche Bazaar aja, atau juga sampai ke Everest Base Camp kalau kuat 🙂

      Like

    1. Kemarin sih saya bawa carrier 38 liter, dan masuk ke bagasi. Di dalam kabin saya cuma bawa daypack aja. Saran saya bawa yang lebih besar, supaya bisa muat sleeping bag, karena itu yang spacious.

      Like

  15. Kereeeeen… Saya pengen banget bisa terbang.
    Sering pantengin promo di Priceza tapi tiap mau beli juga mikir2, sayang uang buat beli tiketnya.
    Soalnya kan cuma buat hepi2 gak jelas dan gak bikin nambah uang. Huhuhu.
    Beruntungnya dirimu yang kalau gak terbang malah gak dapat duit. Walau via bandara serem sekalipun.

    Like

    1. Selama mikirnya terbang dan jalan-jalan itu dianggap ‘hepi2 gak jelas dan gak bikin nambah uang’ ya sampai kapanpun gak akan nyobain terbang dong? Hehehe.

      Like

  16. Luaaaar biasa mas Bart. Pengalamannya berada di bandara paling berbahaya di dunia bikin aku deg-degan bacanya, gak kebayang kalo ngalamin langsung, hiy, bakalan tegang terus selama di perjalanan.

    Btw, drama salah tanggal pesawat, maskapai yang ini juga bukan?

    Liked by 1 person

  17. Uda.. ternyata kita sama ya 😀
    saya setelah menikah dan punya anak, terbang adalah hal yang paling bikin saya stres. apalagi pas harus terbang dengan pesawat kecil kek gitu. dua kali naik pesawat gituan di aceh. dan rasanya.. udahlah.. gitu deh

    Liked by 1 person

      1. karena dulu pas terbang nggak pernah mikir macam2.. tidur ya tidur.. terbang ya terbang.. lah sekarang klo terbang bawa anak atau nggak tetap aja kepikiran.. hiks

        Liked by 1 person

  18. hahaha ikut deg-degan mas bacanya. gila ini baru terbang aja udah kayak uji nyali ya apalagi dengan pesawat sekecil itu, kena angin kabur 😀 sama kaya liat mobil karimun diantara truk-truk kontainer XD

    Liked by 1 person

  19. Mas baarrtzzz,,, ngefaans amaa Bandaranyaa,, mau kesini bangeet,, musim apa or bulan apa yg penerbangannya ok utk ke lukla ini? Trus kisaran harga roundtrip ticketny brp Mas? Klo mau trekking sampe Namche aja butuh brp lama perjalanannya ya mas? Bisa sndiri or mesti sama Porter? Many thanks Mas! ~NP~

    Liked by 1 person

    1. Wuih, baru kali ini ada yang bilang ngefans sama bandara Lukla.

      Secara umum, musim terbaik adalah awal spring dan akhir autumn. Tapi Lukla sendiri tidak bisa ditebak cuacanya, bahkan di musim terbaiknya sekalipun. Cuma kalau mau kesana, sebaiknya di bulan April Mei atau Oktober November.

      Kemarin waktu ke sana aku naik Yeti Airlines, dengan harga tiket USD 298 untuk Kathmandu – Lukla pp. Kalau mau bisa cek maskapai lainnya seperti Sita Air, Goma Air dll.

      Kalau trekking sampai ke Namche Bazaar aja sih, dari Lukla 2 harian. Turunnya bisa lebih cepat. Jadi pulang pergi 3 harian. Dan tinggal di Namche nya, saranku 2 hari. Jadi total 5 harian lah, kalau mau trekking ke Namche aja.

      Sendiri bisa, tapiiiiii harus sudah ada pengalaman terlebih dahulu. Terutama soal trekking di pegunungan yang tinggi dan trekking di Himalaya.

      Saranku sih, pakai porter aja, biar lebih santai.

      Like

    1. Kapok terbang? Hmmm kayanya nggak sih. Soalnya khan memang kadang gak ada pilihan, cuma sesekali nervous masih lah, terutama waktu ada hal-hal yang agak gak wajar 🙂

      Like

  20. baca tulisanmu jadi ikutan gemeteran menghadapi guncangan dan bayangin tebing serta jurang yang ada disekitar bandara, hikkkssss…

    kalau sudah terbang berkali-kali otomatis pengetahuan akan detail pesawat pun kira-kira sudah ngerti dong yach bart. soalnya suka kagum ama orang yang ngerti detail pesawat.

    Liked by 1 person

    1. Nah jadi gimana, masih mau khan nyoba main ke Himalaya.

      Alhamdulillah, lumayan Lin. Meskipun aku nervous kalau terbang, tapi aku suka sama detail pesawat, cara pembuatannya, dan info-info lainnya 🙂

      Like

Leave a reply to Bawangijo Cancel reply