Taksi mungil yang membawa kami menuruni area perbukitan Swayambhunath melaju gesit di dalam labirin Kathmandu yang berliku. Bergerak menusuk keriuhan dalam jalanan sempit yang diapit tembok-tembok bata tua mengangkasa. Inisiatif sang supir yang membawa kami memotong jalan melalui daerah penduduk yang padat justru saya syukuri, karena dengannya saya bisa melihat wajah Kathmandu yang renta namun menawan. Entahlah, rasanya itu semua eksotik. Di atas jalan yang beralas kubus-kubus batu dan bata, semua berpadu. Tua, muda, pria, wanita, warga biasa hingga para sadhu.
Saya pikir perjalanan itu akan berlangsung sedikit lama, mengingat jaraknya cukup lumayan di atas peta. Namun, entah karena saya terlalu menikmatinya atau memang sang supir mengambil jalur terbaik, akhirnya kami sampai pada sebuah daerah yang berjarak lebih lapang antara satu bangunan dengan lainnya.
Atap-atap pagoda bertingkat Meru, susun menyusun menguasai pandangan. Puncaknya yang menyimpan memori usia, terlihat kontras di muka langit yang bersih. Kuil-kuil berukir itu dominan mengisi area plaza yang luas, sementara sebuah bangunan putih tinggi berlanggam eropa menjadi penyeling yang tak kalah mencolok mata.
Ah ini dia rupanya, Basantapur. Sang Metropolis Kuno di lembah Kathmandu.
Basantapur: Kathmandu Durbar Square
Basantapur atau yang lebih dikenal sebagai Kathmandu Durbar Square (Nepali: Basantapur Darbar Kshetra), merupakan salah satu dari tiga alun-alun kerajaan yang terdapat di lembah Kathmandu. Dua lainnya adalah di Bhaktapur dan Patan (Lalitpur).
Alun-alun kerajaan ini dipenuhi oleh kuil-kuil, kompleks istana kerajaan, patung-patung yang disucikan, dan juga Kumari Ghar yang merupakan kediaman sang living-goddess Kumari.
Sejarah alun-alun kerajaan ini kemungkinan sudah dimulai sejak abad 3 Masehi, pada periode bangsa Licchavi. Sementara Raja Sankharadev dipercaya sebagai raja pertama yang membangun istana pada area tersebut di sekitar abad 10 Masehi.
Ketika dinasti Malla berhasil menguasai kota Kathmandu pada kisaran abad 4 hingga 5 Masehi, Raja Ratna Malla menjadikan istana-istana pada area itu sebagai kompleks istana utama kerajaannya. Bahkan ketika Raja Prithvi Narayan Shah berhasil mendirikan Kerajaan Nepal Bersatu pada tahun 1769 Masehi, ia memilih Kathmandu Durbar Square sebagai kompleks istananya dibandingkan Bhaktapur ataupun Lalitpur.
Seluruh keturunan dinasti Shah berkuasa dan menempati area itu, hingga pada tahun 1896 mereka memindahkan kompleks istana kebangsawanan ke Istana Narayan Hiti, di ujung Durbar Marg, dekat Thamel.
Meskipun begitu, selanjutnya Basantapur tetap menjadi pusat upacara-upacara resmi kerajaan, termasuk penobatan dua di antara tiga raja terakhir dari dinasti Shah. Yaitu Raja Birendra Bir Bikram Shah pada tahun 1975, dan Raja Gyanendra Bir Bikram Shah pada tahun 2001 yang menutup Nepal sebagai kerajaan Hindu terakhir di dunia.
Pada tanggal 25 April 2015, sebuah gempa besar yang menimpa Nepal ikut meluluhlantakkan area ini. Banyak bangunan-bangunan kunonya yang bersejarah hancur lebur dan rata hingga menyentuh dasarnya, termasuk pula kompleks istana kerajaannya.

Saya merasa cukup beruntung karena sempat mengunjungi tempat ini, pada bulan Desember 2013, jauh-jauh hari sebelum bala itu terjadi. Foto-foto yang saya hasilkan saat itu, mungkin merupakan salah satu dokumentasi terakhir dari pusat metropolis kerajaan kuno ini.
Beberapa bangunan yang hancur di antaranya adalah kuil Trilokya Mohan Narayan, kuil Narayan Vishnu, kuil Krishna (Chasin Dega), dan Maju Deval (Maju Dega) termasuk sikhara putih yang berdiri di depan tangga utamanya.

Selain itu Gaddi Baihak yang bergaya eropa juga turut mengalami kerusakan yang cukup parah. Bangunan istana berwarna putih itu didirikan pada tahun 1908,di masa pemerintahan Perdana Menteri Sri Chandra Shamsher Jang Bahadur Rana, ketika Raja Prithvi Bir Bikram Shah berkuasa.
Meskipun yang tertera pada inkripsi adalah seperti itu, pada kenyataannya sangatlah berbeda. Pada kisaran tahun 1846 hingga 1951, penguasa Kerajaan Nepal yang sesungguhnya bukanlah raja, melainkan sang perdana menteri.
Di masa itu, raja hanyalah lambang negara yang hampir tak memiliki kekuasaan sedikitpun. Perdana menteri menguasai hampir segala aspek yang berkaitan dengan perikehidupan kerajaan termasuk hukum. Bahkan suksesi perdana menteri diserahkan berdasarkan garis keturunan, dimana dinasti Rana lah yang memonopoli hak tersebut. Hal ini tentu saja menimbulkan konflik yang berkepanjangan di dalam tubuh kerajaan.
Puncaknya adalah ketika pada awal tahun 1950an raja yang berkuasa kala itu -Raja Tribhuvan– dan seluruh anggota keluarganya melarikan diri ke India, karena merasa terancam keselamatannya dalam kekisruhan politik melawan kekuatan perdana menteri. Satu-satunya keluarga raja yang tertinggal kala itu adalah Pangeran Gyanendra yang baru berusia 3 tahun.
Anehnya, meskipun secara de facto perdana menteri bisa saja merebut tahta raja, ia justru tidak melakukannya, melainkan mendudukkan sang pangeran cilik sebagai raja pengganti.
Setelah beberapa usaha perundingan, Raja Tribhuvan akhirnya bersedia pulang ke Kathmandu dan menduduki tahtanya kembali, menggantikan cucunya.
Ironisnya, di kemudian hari Raja Gyanendra kembali naik tahta sebagai Raja Nepal ke 12, menggantikan kakaknya -Raja Birendra– dan kemenakanannya -Raja Dipendra– yang tewas dalam tragedi pembantaian keluarga bangsawan di Istana Narayan Hiti.
Namun pada 28 Mei 2008 akibat konflik menahun yang kompleks, Kerajaan Nepal kemudian dibubarkan atas kehendak rakyat, dan berubah bentuk menjadi Republik Federal Sekuler hingga kini.
Basantapur sebagai Pusat Gaul
Alun-alun kerajaan itu ibarat kuala manusia. Hampir tak ada sudut-sudutnya yang benar-benar sunyi siang itu, meskipun kami masih bisa dengan leluasa mengeksplor bagian-bagiannya tanpa terganggu.
Undakan pada kaki-kaki kuil hampir selalu terisi oleh pengunjung yang melepas lelah, atau mereka memang sengaja menyasarnya untuk bercengkrama. Begitu pula dengan puncak-puncak restoran yang disulap menjadi area makan terbuka, yang menyajikan panorama jantung Kathmandu dari ketinggian. Untungnya, kami masih bisa menemukan beberapa kursi kosong pada restoran yang berada tepat di sebelah barat Kuil Narayan Vishnu.


Meskipun gerombolan turis hampir selalu terlihat dimana-mana, namun pengunjung lokal yang menghabiskan waktu di Basantapur pun tak kalah banyak jumlahnya. Pusat kota tua itu ibarat tempat gaul paling asyik di seantero Kathmandu. Perpanduan antara masa kini dan romantika masa lalu yang misterius.
Bagi penggemar budaya dan sejarah, Basantapur ibarat perpustakaan yang menyimpan sejuta kisah. Setiap hal yang ditempatkan di sana memiliki tarikh nya masing-masing. Kadang ia nyata, bagian dari ajaran agama, atau tak jarang juga legenda berbalut mitos yang masih dipercaya hingga abad ini.

Kala Bhairava adalah salah satunya, relief perwujudan Shiwa dalam bentuk paling mengerikannya itu sering dijadikan sebagai saksi pada kasus-kasus yang menyangkut integritas seseorang. Konon, jika seseorang bersaksi atau bersumpah palsu di hadapan relief ini, maka yang bersangkutan akan tertimpa musibah atau kematian dalam waktu dekat.
Namun, dari semua kisah yang ada, maka sang living-goddess Kumari lah yang paling menarik untuk ditelusuri.
Kumari Ghar: Istana Sang Dewi
Sinkretisme di Nepal mencapai bentuk yang paling harmonis. Selama bertahun-tahun seorang gadis cilik dari keluarga Buddha Vajrayana (Bajracharya) dipuja oleh kaum Hindu sebagai Dewi Kumari, dimana prosesi penujuman serta audisinya yang berat sepenuhnya dilakukan oleh para biksu Buddha. Kumari yang berasal dari kata kaumarya yang berarti perawan, dipercaya merupakan titisan dari Dewi Taleju.

Dewi Kumari biasanya adalah seorang gadis cilik pra akil balik. Sepanjang menyandang gelar tersebut, ia akan tinggal pada sebuah istana khusus, dimana ia hanya boleh mengkonsumsi makanan-makanan tertentu saja. Kehidupannya penuh dengan pujaan dan kehormatan termasuk limpahan harta, bahkan raja dan keluarganyapun turut memujanya. Kakinya tak diperkenankan menyentuh tanah, sehingga setiap kali kemunculannya ia akan sepenuhnya ditandu, menaiki kereta suci, atau menjejakkan kakinya pada nampan-nampan emas sebagai alas.
Uniknya, ada beberapa Dewi Kumari yang hidup di Nepal. Namun Dewi Kumari dari Kathmandu lah yang paling utama dan terbanyak pemujanya.
Kumari Ghar atau Istana Dewi Kumari terletak di salah satu sudut Basantapur, tepat di tikungan pada sebelah selatan balkon Gaddi Baihak yang ditunjang oleh kolom-kolom tinggi bergaya Yunani.
Istana sang dewi sendiri berwujud sebuah bangunan bergaya Newari berlantai tiga, dengan dinding yang terbuat dari batu bata merah terbuka. Ukir-ukiran jhyas menjadi aksen pelengkap yang menghiasi pintu serta jendela-jendelanya. Sepasang patung singa berwarna putih dan berhias menjadi penjaga pada pintu masuk utamanya. Dan sebagai lambang keberuntungan, tiki jhyas (kerawang jendela) berpola burung merak terlihat pada beberapa jendela.
Seperti arsitektur Newari pada umumnya, setelah melewati pintu utama dan sampai pada bagian dalam istana, maka kita akan tiba pada sebuah taman terbuka di area tengahnya. Sekeliling daerah itu dilingkupi oleh teras-teras berpenyangga kayu berukir. Dan jendela-jendela lain yang memiliki detail rumit menyembul dari sisi lantai-lantai selanjutnya.
Area taman itu terasa dingin, karena matahari hampir tak bisa meloloskan sinarnya secara langsung kesana. Perputaran bumi di bulan Desember, hanya menyisakan biasan sinar yang menyorot dari sisi selatan.
Seorang pemuda lokal menunjuk pada salah satu jendela berukir di atas.
“Terkadang Dewi Kumari mengintip dari jendela itu, dan jika kau tak sengaja melihatnya juga, maka bersiaplah untuk keberuntungan yang tak terduga dalam hidupmu”, ujarnya.
Ia melanjutkan, jika banyak orang yang datang ke Kumari Ghar hanya untuk mengharapkan perjumpaan singkat dan tak terduga itu. Demi keberuntungan, dan hal lain yang mereka percayai.
Namun begitu pada setiap bulan September setiap tahunnya digelar festival Indra Jatra, dimana pada saat itu Dewi Kumari akan muncul ke muka umum dalam pakaian kebesarannya dan digotong dalam tandu kencana.
Ribuan orang akan menghadiri upacara tersebut demi melihat sang dewi dan meminta berkatnya. Dahulu, sang dewi akan memberkati raja yang sedang berkuasa, namun kini tradisi tersebut dilanjutkan dengan memberikan berkat kepada Presiden dan Perdana Menteri Nepal.

Sedemikian bertuahnya sang dewi, hingga kesempurnaan menjadi persyaratan yang harus disandangnya.
Battis Lakshana atau tiga puluh dua kesempurnaan adalah dasarnya, yang secara puitis disampaikan bahwa ia harus memiliki leher bak cangkang kerang, tubuh seperti pohon banyan, bulu mata selentik sapi, paha sekuat kijang, dada selayaknya singa dan suara yang lembut serta jelas seperti bebek.
Maka, ketika sekali saja seorang Kumari mengalami sakit berat atau setetes darah mengalir keluar dari tubuhnya -termasuk tamu bulanannya- gugurlah kedewiannya. Ia akan kembali menjadi manusia biasa yang tak lagi menuai puja.
Meskipun pemerintah memiliki kebijakan memberikan uang pensiun kepada mantan Dewi Kumari, namun kehidupan baru mereka seringkali tak mudah. Selain harus kembali menyesuaikan diri dengan kehidupan tanpa pujaan dan keistimewaan, biasanya mereka juga sulit mendapatkan jodoh. Karena banyak pria yang percaya, jika menikahi seorang mantan Dewi Kumari akan mengundang bahaya, termasuk kematian segera.
The au Lait?
Matahari semakin meredup, dan bayangan kami yang jatuh di atas batu-batu Basantapur mulai kehilangan kontrasnya. Namun, pusat metropolis kuno itu tak kunjung sunyi. Aliran manusia masih saja datang dan pergi silih berganti.
Kami yang lelah setelah seharian trekking menyusuri Kathmandu, mendaki dan menuruni ratusan tangga di Swayambhunath, serta mengitari Basantapur dan menyelam dalam kisah-kisah di baliknya, merasa perlu merehatkan diri. Himalayan Java Café yang tampil mentereng menjadi tempat berlabuh kaki-kaki kami selanjutnya.
“Semahal apa ya nongkrong di café a la Starbuck nya Nepal ini?”, tanya kami pada diri sendiri.
Ah ternyata kami tak salah, meskipun terpoles mewah untuk ukuran Nepal, harga makanan dan minuman di café tersebut terbilang murah. Rasanya pun sedap.

Sambil menyeruput kehangatan minuman yang mengaliri tubuh, kami menikmati sore yang eksotis dari balik jendela. Menatap lautan pengunjung yang memasuki alun-alun kerajaan melalui Gangga Path, dengan latar belakang Menara Basantapur yang agung menjulang.
Pas mulai baca postingan ini berasa kayak masuk ke filmnya James Bond. Hihihi. Ajaib banget suasanya di sana saya ngebayanginnya Om Bart. Makasih yaaaaa.. Sukak banget ama postingannya. 🙂
LikeLiked by 1 person
Sama-sama mas Dani, senang juga kalau bisa bikin orang enjoy bacanya. Makasih yaaa ,, Btw kasih pencerahan soal SEO dong hahaha
LikeLike
Soal SEO sayah masih belajar maaas. Baru nyampe permalinks doang. Hahaha.
LikeLiked by 1 person
Nah mari kita belajar bareng, tadinya mau benerin permalink setelah baca postinganmu barusan. Tapi begitu baca resikonya, aku gak mau buru-buru deh. Mau belajar lebih jauh dulu 🙂
LikeLike
Naah iya Om. Saya sudah terlanjur nih. Hahaha. Gak mau cari tahu dulu. 😀
LikeLiked by 1 person
Mungkin aku seharusnya mulai dari sekarang ya, mumpung ini blog nya masih 7 bulanan umurnya. Cuma tetap nanti nunggu ketemu langsung sama kakak-kakak pakar SEO nya dulu deh. Eh kok malah jadi bahas panjang curhat soal ini ya? hahahaha
LikeLike
Mas batz keren euyy tulisannya. Kayak masuk dalam skenario film. Wlpn ada sejarahnya aku nga berasa baca artikel sejarah. Two thumps.
LikeLiked by 1 person
Terimakasih kak, semoga betah ya bacanya 🙂
LikeLiked by 1 person
Betah bangat. Soalnya tulisannya benar2 menarik.
LikeLiked by 1 person
Terimakasih 🙂
LikeLiked by 1 person
Mas, bagi saya, bahkan mesti tidak bertemu dengan Kumari Dewi, bisa menjejakkan kaki di sana, menghirup udaranya, dan menyaksikan benang merah yang tebal banget antara Hindu yang ada di seluruh dunia, saya bisa bersujud lama di sana saking bersyukur dan terharunya :huhu.
Sumpah ya, Kumari itu :haha. Kalau di Indonesia jadinya Kumara, yang artinya anak-anak :hehe. Ada kaitannya juga dengan wayang yang mesti ditanggap anak-anak berkebutuhan khusus itu :haha. Banyak sekali cerita di sana ya Mas, banyak banget, keren sekali dirimu bisa menuliskannya dengan padat dan lengkap namun tak kehilangan benang merah penjalinnya, saya mesti belajar banyak nih dari tulisan-tulisanmu :hehe.
Itu apa kedai kopinya menjual kopi jawa, makanya namanya Java? :haha.
Foto di depan burung-burung yang beterbangan itu dramatis!
LikeLiked by 1 person
Gara, menurutku kamu harus ke Nepal dan India. Aku bantu doa deh semoga dirimu bisa kesana segera. Aku yakin pasti bakal suka dan berkesan banget untukmu, yang kebetulan akar budaya dan kepercayaanmu berasal dari tanah itu. Aku sendiri senang bisa kenal dirimu, jadi bisa nanya-nanya yang lebih detail dan dapat info baru juga seandainya ada sedikit perbedaan dengan yang tumbuh berkembang di Indonesia.
Thanks banget lho review nya, mari sama-sama belajar 🙂
Seingatku, iya deh ada kopi yang berasal dari Jawa atau Indonesianya. Sebenarnya meskipun mereka jarang dengar hal-hal tentang Indonesia, tapi banyak produk Indonesia yang mengalir ke Nepal.
Aku ingat pas di Pokhara sempat melihat beberapa rokok produksi Indonesia yang dijual-jual di toko dan warung pinggir jalan. Dan di Pokhara juga aku nonton salah satu channel TV yang subtitle nya bahasa Indonesia 😀
Makasiih yaaa 😉
LikeLiked by 1 person
Membaca post-post kamu tentang Nepal bikin saya semakin tertarikkkkk sama negeri yang satu ini…. selain itu saya Penasaran sama suasananya setelah gempa terjadi, bagaimana dengan nasib kuil yang hancur itu ya??
LikeLiked by 1 person
Ayo ayo datang ke Nepal, insya Allah sudah aman kok. Temanku ada yang lagi di sana sekarang, dan dia posting beberapa foto. So far keadaan sudah jauh membaik.
Kuil-kuil yang terkena dampak gempa, sebagian bisa diperbaiki dan sebagian lainnya terancam hilang dari peradaban. Cuma fotonya aja yang jadi bagian dari sejarah, seperti beberapa yang aku foto di sini.
LikeLiked by 1 person
Saya titip salam saja sama Nepalnya kalau kamu ke sana nanti….
LikeLiked by 1 person
Siap 🙂
LikeLike
Sekalian sama ole-olenya 😃😃😃
LikeLiked by 1 person
Wah ini hahahaha ,,, oleh-oleh cerita dan foto yaaa 😉
LikeLike
Yaaa… itu maksudnya… ,, 😃😃 rencananya kapan kesana lagi ?
LikeLiked by 1 person
Hehehe insya Allah maret kalau jadi, doakan ya 🙂
LikeLiked by 1 person
Sipp…. 👍
LikeLiked by 1 person
Tahu banget, nulis satu postingan ini risetnya bisa berjam-jam atau bahkan berhari-hari. *kasih jempol
Foto yang burung itu pas banget momennya. Dan, seperti biasa, langsung sedih ngeliat foto Nepal pasca gempa. Semoga segera bangit, amiiin
LikeLiked by 2 people
Hehehehe iya milih foto dua hari sambil mengingat2 detail cerita, trus nulis dan risetnya seharian full, sambil kerja di lab 😀
Sepertinya mereka sudah membaik deh, aku lihat dari foto-foto beberapa teman yang sekarang kebetulan lagi ada di Nepal. Cuma ya tetap banyak yang hilang 🙂
LikeLike
Suka dengan gaya tuturnya yang khas. Udah mirip-mirip dengan Agustinus Wibowo lah 😀 Lanjutkaaaan. Menyimak tapi sepertinya ketinggalan dari 1-11 seri Nepalnya. Nggak apa-apa deh bisa nyicil baca.
LikeLiked by 1 person
Terimakasih. Tapi saya masih perlu banyak belajar juga untuk bisa sampai sekelas Agustinus Wibobo hehehe
Monggo dicicil, pelan-pelan aja, semoga betah ya. Terimakasih sudah berkunjung dan tinggalkan komen 🙂
LikeLike
Ihh pengen gabung nongkrong di coffeeshop-nya, dinginnya berasa sampe sini 😀
LikeLiked by 1 person
Yuuuk kita ngopi-ngopi bareng di Kathmandu hahaha
LikeLike
Itu burung2nya banyak banget, berasa kaya di luar negeri hehe
LikeLiked by 1 person
Laah khan emang ini di luar negeri. Nepal bukan bagian dari RI khan? hahahaha
LikeLike
Ih saya gak diajak untuk ngopi di sana *siapalo*
Penasaran mas saya. Kalau gak boleh menjejak tanah, selama di luar kan pakai tandu. Kalau di dalam si putri gimana dong? Jejak tanah gak?
Jadi inget teman online yang mau ke Nepal. Udah kesampaian blm yak???
LikeLiked by 1 person
Yuk mas ikuut, jangan lupa ajarin SEO hahahaha.
Kalau di dalam rumah boleh deh kayaknya, atau kalau nggak mereka pakai kaos kaki khusus warna merah, seingatku begitu mas.
LikeLiked by 1 person
Oooo. Pakai kaos kaki yak mas.
Belajar brg yuk kakak. Sama mas Bobby n Chocky sekalian.
LikeLiked by 1 person
Ayooooo, tunggu aku mendarat lagi ya. Semoga bisa cocokkin jadwal 🙂
LikeLiked by 1 person
Kpn toh mendarat lg mas?
LikeLike
Insya Allah 9 Desember mas 🙂
LikeLiked by 1 person
Aseeek. Oleh2 hahahahaha.
LikeLiked by 1 person
tak oleh-olehin cerita dan foto yang banyaaaak deh 🙂
LikeLiked by 1 person
jadiin postcard dong mas. 😀
LikeLiked by 1 person
Wah belum pede aku mas hahaha
LikeLiked by 1 person
*sodorin deodorant biar PD*
LikeLiked by 1 person
😀
LikeLiked by 1 person
Jalanan di Nepal memang eksotis. Serasa kembali ke masa lalu dengan bangunan batu bata merah di kedua sisi jalanan sempit yang terbuat dari blok-blok batu besar. Btw aku baru tau Peacock Window itu ternyata auspicious symbol bagi warga Nepal, soalnya di Bhaktapur juga ada.
LikeLiked by 1 person
Iya betul Bam, bahkan ada satu Peacock Window di Bhaktapur yang sering didatangi orang sebelum memulai sebuah bisnis atau perniagaan baru, supaya mendatangkan keberuntungan dan menolak bala. Aku ditunjukkin waktu itu 🙂
LikeLike
keren sekali mas ceritanya, baru tau kalo perdana menteri malah memonopoli kekuasaan disana daripada raja.
btw lensanya cakep nie kayaknya 😀
LikeLiked by 1 person
Makasih mas 🙂
Iya aku juga sempat bingung, kok bisa perdana menterinya lebih kuat begitu kekuasaannya?
Hehehe lensa standard aja ini mas, sapujagad. Tapi selama di sana aku selalu motret dengan dua alat: kamera DSLR dan iPhone. Jadi ini foto-fotonya gabungan dari dua alat.
LikeLike
tetep keren kok mas, aku mau dong di share cara menulis runut gitu mas 🙂 biar bisa lebih belajar lagi, terutama dengan sampeyan yang sudah mahir
LikeLiked by 1 person
Makasih mas. Bingung juga nih kalau ditanyain kaya begini, soalnya aku pakai rumusnya cuma ngurutin foto sesuai waktu terus diingat-ingat detailnya bagaimana. Lalu ditambahi detail-detail sejarah dan latar belakang deh hehehe … tapi boleh kalau nanti ketemu kita belajar bareng mas 🙂
LikeLike
Kak Bart, kamu kalau posting totalitasnya juara. Ceritanya deskriptif, mengalir, enak bacanya. Suka!
Dijadiin buku aja gih, setor ke editor sana, pasti best seller. Hehe.
LikeLiked by 1 person
Duh malu aku dipuji kak Fahmi. Makasih 🙂
Pengennya sih begitu kak, bikin buku. Bimbingannya dooong, dari yang sudah bikin buku beberapa kali.
btw, makasih dorongannya 🙂
LikeLike
beberapa kali gimana? lha wong baru satu, itu aja nulis keroyokan hahaha
*tutup muka*
LikeLike
Eh kirain udah dua kali kak. Apa aku salah liat ya yang satu lagi. Kalau gitu, ayo bikin lagiiii 🙂
LikeLike
Nggak nyangka umur Basantapur setua ituuu. Asli merinding melihat perbandingan foto sebelum dan sesudah gempa, sekilas Gaddi Baihak yang masih terlihat “utuh”. Kumari yang sudah mengalami datang bulan harus lengser dari tahtanya, brarti dia masih kecil banget ya, Bart? Tapi cantik juga ya hehehe.
LikeLiked by 1 person
Bener Lim, cuma Basantapur asli yang dibangun pada abad 3 M sudah gak ada sisanya, kalau yang dibangun pada abad 10 M masih ada sebagian, sisanya hancur kena gempa.
Betul banget, kadang mereka masih berusia balita. Dan begitu dapat M atau sakit atau terluka hingga berdarah, langsung lengser keprabon dan dicari penggantinya 🙂
Naksir Lim? hehehe
LikeLike
Bart, sedih bgt ya karena gempa itu pasti banyak yg berubah dong ya 😁
LikeLike
Pastinya, tapi untungnya masih banyak yang bisa diselamatkan dan kemungkinan dibangun kembali.
LikeLike
Mudah2an bisa diselatkanndan dibangun lagi deh
LikeLiked by 1 person
Tulisan sama fotonya bagus banget. Pantes waktu itu menang lomba. Emang sih, salah satu ancaman ‘artefak’ atau bangunan bersejarah itu seringkali adalah bencana alam. Jadi inget Prambanan pas ada gempa. Untung gak parah banget. 😥
LikeLike
Makasih mas Adie, kebetulan pas dapat rejeki waktu itu 🙂
Iya, setuju banget. Apalagi bangunan-bangunan tersebut sudah didirikan beberapa abad lalu.
LikeLike
wuih…ini jadi semacam cerita romansa di Nepal. keren ih…
LikeLiked by 1 person
Matursuwun mas 🙂
LikeLike
Saya punya beberapa teman dari Nepal di tempat saya tinggal sekarang, Norwegia. Tapi tak satupun dari mereka berbagi cerita tentang ini 😉
Salam kenal, mas 🙂
LikeLiked by 1 person
Salam kenal juga mbak. Senang nih saya ada yang jauh-jauh dari Norwegia mampir ke sini. Nah jadi mbak Nisa bias cerita dan tanya-tanya ke temennya yang dari Nepal itu, soal apa yang saya tulis di sini 🙂
LikeLike
Nepal dan India ini tua tua keladi ya, makin tua makin menjadi. Yap bener, renta nan menawan.
Pingin menyaksikan Nepal after earthquake, meliht kehidupan sekarang
LikeLiked by 1 person
Ah iya betul juga. Tua-tua keladi 🙂
Sekarang masih tinggal di India mbak?
LikeLike
Eh kalo kerajaan di indonesia ada ngak yaaa tragedi pembantaian2 gitu ?? Kayak nya nepal india china korea, selalu ada aja cerita ttg pembantaian
LikeLiked by 1 person
Banyak kak Cumi, cuma mungkin kita aja yang kurang tahu, atau memang sejarahnya kurang terekspos. Salah satu contohnya adalah pembantaian keluarga Kesultanan Bulungan di Kalimantan Utara oleh rezim orde baru. Ironisnya, tokoh lapangan pembantaian tersebut justru dikemudian hari dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Sementara eksistensi Kesultanan Bulungan hilang dari peradaban dunia.
LikeLike
Ini salah satu dr blog2 yg kukunjungi yg klo dibaca seolah2 kita lg ngalami sendiri, bayangan gambaranya ikut bermain…asik dibacanya
LikeLiked by 1 person
Terimakasih Fachmi, semoga betah ya baca-baca di sini.
LikeLike
kumari cantik …. tapi dihindari lelaki buat dinikahi… hm
LikeLiked by 1 person
Iya, ironis banget ya bang 😦
LikeLike
iyah, jadi perawan tua semua kah? atau ada yg akhirnya menikah…
LikeLiked by 1 person
Beberapa menikah dan berhasil memiliki keluarga, beberapa lainnya tetap melajang sampai akhir hayat.
LikeLiked by 1 person