Napas saya menderu, menahan beban udara dingin yang mendesak paru-paru. Namun, masih ada satu bukit lagi, yang harus saya daki sebelum matahari menerjang batas horison. Satu bukit lagi! Dan dari kaki bukit saya melihat Bama melambaikan tangannya, memberi tanda jika ia sudah sampai pada tempat yang harus kami tuju. Puncak Gunung Prau.
Saya lupa detail terakhir pendakian itu, selain menerabas ranting-ranting beku dan belukar yang meninggalkan gatal pada lengan terbuka. Hingga akhirnya saya sampai di sana. Pada puncak madya Jawadwipa. Memandang berlapis-lapis awan ditimpa sinar surya pertama, yang membentuk samudra mega. Dan melahirkan siluet pulau-pulau imaji dari kemuncak para ancala. Sindoro, Sumbing, Merapi, Merbabu, Pakuwaja, dan beberapa yang saya tak kenal namanya.

Musim Dingin di Di Hyang
Ini adalah pendakian nekad. Benar-benar nekad. Kami melakukannya pada bulan Ramadhan, dengan persiapan dadakan, dan peralatan seadanya. Saya sendiri sama sekali tidak mengantisipasi pendakian ini, karena memang tidak ada dalam itinerary #roadtrip #deJava kami sebelumnya.
“Tapi udah jauh-jauh ke Dieng, masa’ kita gak mendaki Prau sih? Khan sayang?”, begitu dalih kami, yang kurang lebihnya sepakat.
Dengan berbekal beberapa tulisan yang menyatakan bahwa jalur menuju puncak Prau dari Dieng cukuplah bersahabat, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan pendakian. Saya, Bama, dan James sudah pernah mendaki gunung sebelumnya. Sedangkan bagi Badai, ini adalah kali pertama. Namun begitu, ia sangat bersemangat.
Puncak Gunung Prau diperkirakan berada pada ketinggian 2565 mdpl, sementara dataran tinggi Dieng yang menjadi titik awal pendakian kami sudah berada pada ketinggian 2000 mdpl. Sehingga kurang lebih kami hanya perlu mendaki setinggi 500 meteran saja. Dan menurut perkiraan dari petugas di basecamp pendakian, jalur tersebut bisa ditempuh dengan waktu rata-rata sekitar 3.5 jam saja.
Tapi yang menjadi masalah adalah, ketika kami berada di Dieng, pada saat itu bertepatan dengan puncaknya musim dingin. Dimana pada beberapa fajar kristal-kristal es sempat terbentuk dan menyelimuti tanah. Tak ada embun, melainkan butiran berlian air yang membeku di pucuk-pucuk daun dan rerumputan.
“Mas nya bisa cek temperatur di sini, sebelum berangkat muncak!”, ujar petugas pada kami, sembari menunjukkan thermometer yang terpasang pada sebuah tiang di pos basecamp, “Biasanya, temperatur di puncak lebih rendah sekitar 5 derajat celsius daripada di sini.”

Karena akan melakukan perjalanan keliling Asia selama enam bulan termasuk ke Nepal, Bama dan James membawa peralatan yang cukup lengkap termasuk baju untuk menahan dingin. Begitu juga Badai, yang setidaknya memiliki baju dan jaket lengan panjang. Sedangkan saya, hanya membawa kaos lengan pendek dan sebuah thermal-jacket lengan buntung. Ah, mati lah awak!
Saya salah prediksi! Karena sebelumnya sudah pernah mempunyai pengalaman menghadapi musim dingin di Nepal, saya berpikir bahwa sedingin-dinginnya Dieng tak akan sedingin pengalaman saya di Negeri Seribu Dewa itu. Ternyata saya salah. Dieng tak kalah beku, meski tanpa salju.
Pendakian Beku
Hanya setangkup roti berlapis nutella yang menjadi menu sahur kami kala itu.
“Semoga ia mengembang memenuhi rongga perut, dan maksimal memompakan kalori.”, harap kami sembari menghabiskannya dalam bisu.
Dan untuk sedikit membasahi kerongkongan, kami membekali diri dengan beberapa botol air mineral. Serta tak lupa memasang alarm pada handphone, agar ia memberi penanda sebelum imsak tiba.
Walau menyadari akan trekking menjelang fajar, kami tetap meniatkan diri untuk berpuasa seperti biasa. Termasuk James, yang meskipun bukan seorang muslim, namun bersikukuh untuk menghormati kami dengan ikut berpuasa selama #roadtrip #deJava itu.
Jalur Pendakian Gunung Prau melalui Dieng, dibuka dengan sebuah jalan menanjak selebar satu buah mobil. Tanjakkan pertama ini langsung memacu napas kami, yang telah sedikit berat akibat cuaca dingin. Dan selepas bangunan SMP serta areal pekuburan yang dinaungi pohon-pohon tinggi nan lebat, kami menyusuri perkebunan sayur milik warga yang cukup luas.

Meskipun purnama belum penuh, namun cahaya rembulan menyinari langit seluruh. Sehingga walau tanpa bantuan lampu penerangan, saya bisa mengamati pemandangan di sekitar jalur pendakian yang masih terbuka itu dengan leluasa. Sementara angin malam yang menyapu bibir lembah, membawa udara dingin yang berusaha menembus apapun yang kami kenakan. Oh iya, karena saya tak menemukan apapun yang dapat melindungi lengan saya yang terbuka. Maka, saya menjadikan kain sarung sebagai pelindung diri darurat. Setidaknya, udara dingin yang menusuk itu sedikit terhambat olehnya.
Ada tiga pos di sepanjang jalur pendakian yang harus kami perhatikan, karena mereka adalah patokan benar tidaknya jalur yang kami tempuh. Pos satu terletak tak jauh dari ujung ladang sayur warga, ia hanya berupa penanda yang agak sulit untuk dilihat dalam suasana yang temaram. Mungkin jika tak cukup awas, kami akan melewatinya begitu saja. Namun, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena kemungkinan tersesat pada titik itu sangatlah kecil. Beruntung, cahaya headlamp dari trekking buddies saya malam itu tidak membuat kami melewati pos ini begitu saja.
Setelah pos satu, jalur pendakian berubah menjadi jalan setapak sempit dengan pepohonan yang mulai rapat dan meninggi. Sehingga cahaya rembulan pun mulai terbatasi lajunya di sini. Saya yang tak berbekal alat penerangan apapun, hanya dapat memanfaatkan sinar yang datang dari headlamp milik Bama, James dan Badai. Selain itu, jalanan tak lagi landai. Melainkan semakin curam, dengan sembulan akar-akar pohon yang melintang. Sekali dua saya tersandung dibuatnya.
Dini hari semakin larut, dan dingin terasa menusuk. Jari-jari saya mulai kebas, meskipun telah dibalut sarung tangan, dan berlindung di balik kain yang saya lingkarkan di sekujur tubuh. Saya berusaha menghangatkan diri, dengan terus bergerak menanjak. Meskipun napas semakin menderu, dan menghasilkan kepulan uap di ujung cuping hidung yang mulai mati rasa.
Walaupun James memiliki ukuran tubuh yang paling besar di antara kami, tapi ia terlihat bergerak sangat lincah dan tanpa lelah. Diikuti oleh Bama dan saya di belakangnya. Sementara Badai, bergerak sedikit lambat di belakang kami. Ia mengeluhkan persendiannya yang ngilu didera udara dingin dan jalur yang bertambah curam. Sesekali kami berhenti, untuk minum demi menggantikan cairan yang terperas tanpa terasa, dan kembali merapatkan barisan. Sembari beristirahat, lamat-lamat saya mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang berkumandang dari masjid-masjid di seantero dataran tinggi Dieng.
Pos kedua pendakian ini, berada tepat di dalam pekatnya hutan. Dengan sebuah penanda yang terpasang pada sebatang pohon, pada simpangan antara jalur mendaki ke kanan dan turunan curam ke kiri yang mengarah pada candi Dwarawati. Namun, yang sangat saya ingat adalah wanti-wanti dari petugas basecamp, agar kami tidak mencapai pos ketiga yang ditandai oleh tugu pemancar yang menjulang.
“Nanti jangan lewat pos tiga ya mas! Kalau ketemu penandanya, dari simpangan langsung belok ke kanan! Karena di tanahnya banyak kabel-kabel pemancar yang terkupas. Bahaya!”
Kami kembali melihat bentangan langit yang luas, selepas simpangan pos ketiga. Pepohonan tak lagi rapat di sini, melaikan semak belukar yang mungkin menyimpan jebakan di baliknya. Sesuai dengan petunjuk, kami mengarah ke kanan. Meniti jalur, yang berada pada sisi jurang yang dalam. Hamparan dataran tinggi Dieng yang dipenuhi kerlip cahaya lampu terlihat di kejauhan, dengan latar suara lantunan Al-Quran yang tak juga hilang.

Tenggelam dalam pace masing-masing, jarak kami sedikit berjauhan satu sama lain. James memimpin di depan, disusul Bama, saya, dan Badai. Saya berusaha mengingat-ingat, mungkin saat itu kami sedang melalui bukit Teletubbies. Suasananya magis. Di bawah temaram cahaya rembulan, saya melihat jalan setapak kami mengarah pada bebukitan yang berselang-seling. Sementara, satu dua pohon mati menjelma menjadi siluet raksasa yang berusaha meraup angkasa. Dan desauan parau angin di ujung fajar menyapu ilalang membentuk riak-riak gelombang.
Saya berusaha menikmati pemandangan itu, sembari tetap menggerak-gerakkan jemari tangan yang semakin kaku. Dari balik tirai langit yang pekat, saya melihat bayangan halus gemunung di kejauhan. Seharusnya, ia sudah dekat. Dan tepat pada saat adzan subuh berkumandang, kami mencapai titik yang kami tuju.
Pagi di Puncak Madya Jawadwipa
Sebuah info dari film singkat yang saya tonton di Museum Kailasa di pelataran Candi Arjuna, mengatakan bahwa Dieng (yang berasal dari kata Di Hyang, yang artinya tempat bersemayamnya para Dewa) berada pada posisi yang tepat di tengah-tengah pulau Jawa, ditarik dari garis batas barat ke timur dan utara ke selatan. Sehingga, menjadikan puncak Prau sebagai salah satu puncak yang tepat berada di tengah pulau jawawut (Setaria italica, serealia sejenis sorgum) tersebut.
Kenyataan ini menjadikan puncak Prau, sebagai salah satu titik paling menarik di seantero pulau. Dimana dari puncaknya yang berbentuk sabana rumput nan luas, kita dapat menikmati kegagahan gemunung lain. Menyembul angkuh, alun mengalun, membentuk wajah Jawa nan eksotis.

Sedari awal, sebelum pendakian, saya sudah membayangkan bawa kami akan menemukan pemandangan yang sangat indah di puncak Prau. Dan, saya meniatkan untuk membuat foto kenang-kenangan di atas sana. Demi itu, saya rela membawa sedikit strobist-lighting gear, yang sudah lama menganggur di dalam koper penyimpanannya.
Namun sesi pemotretan itu tidak mudah, karena kami harus berusaha tetap tampil wajar, di balik udara dingin yang membuat kami tak henti menggigil. Bahkan, saya kesulitan untuk menekan tombol shutter, karena sendi-sendi jemari saya seperti terikat mati. Sehingga saya harus membantunya dengan gerakkan lengan. Tapi tak ada kata menyerah, untuk sesi foto yang langka itu. Coba terus, sampai pas!

Pagi itu puncak Prau cukup riuh, puluhan pendaki telah mengambil tempat dan bermukim lebih awal. Mungkin dari semua yang berada di situ, hanya kami berempat saja yang mendaki menerobos malam demi mengejar semburat fajar.
Beberapa tahun belakangan ini, Prau memang menjadi salah satu destinasi favorit para pejalan. Karena letaknya yang strategis, mudah dicapai, dengan jalur trekking yang bersahabat serta memiliki beberapa alternatif. Selain melaui Dieng, puncak Prau juga dapat dicapai melalui pos Patak Banteng Kejajar.
Ketika mentari telah cukup tinggi, panorama dataran tinggi Dieng dapat teramati dengan jelas, dari puncak Prau. Saya dapat melihat jika daerah itu ibarat pelataran yang berada pada cekungan nan luas. Konon memang Dieng lahir dari bekas kaldera purba. Beberapa titik geothermal, semakin mengokohkan teori tersebut. Sementara, cekungan-cekungan yang lebih dalam menjelma menjadi reservoir air, di antaranya adalah Telaga Warna dan Telaga Pengilon yang berdampingan. Bahkan menurut sejarah, kompleks Candi Arjuna ditemukan kembali, setelah mengeringkan telaga yang menenggelamkan bangunan bekas peninggalan Kerajaan Kalingga tersebut.

Perjalanan menuruni puncak Prau, kami lakukan dengan lebih santai. Kami berusaha menikmati titik-titik yang semalam belum terdokumetasikan, akibat pekatnya malam. Dan meskipun matahari semakin terik, beku yang menjalar di sekujur kulit belum lagi hilang. Sehingga kami sengaja berlama-lama menjemur diri pada sepanjang jalur turun, sembari menikmati Dieng, sebelum kami berpindah menuju destinasi #roadtrip #deJava selanjutnya.
Bhumi Sambhara!


subhanallah..pemandangannya keren banget ya mas..apalagi pemandangan saat matahari terbit..waaah..sukaaaa..
LikeLiked by 1 person
Iya mbak betul, indah banget. Apalagi pas awan-awannya masih berarakan seperti samudra mega. Terimakasih ya sudah mampir 🙂
LikeLiked by 1 person
“Sedangkan bagi Badai, ini adalah kali pertama. Namun begitu, ia sangat bersemangat.” –> Seingetku Badai emang paling semangat deh, biasa lah dapet mainan baru, semangatnya membuncah. 😀
Duh kalo inget betapa dinginnya di sana, ngalahin dinginnya Rinjani. Tapi meskipun tangan beku (meskipun aku udah pake sarung tangan) dan ingusan karena kedinginan, pemandangan dari puncak Prau memang sungguh indah.
LikeLiked by 1 person
Hahaha jadi dia butuh mainan baru ya biar semangat terus? 😀
Tapi itu James bener-bener gak ada capeknya ya? Jalannya cepat banget 🙂
Aku belum tau Rinjani, tapi aku akui waktu ke Prau itu, aku merasa lebih dingin daripada musim dingin di Nepal lalu. Mau motret aja sampai gak bisa tekan shutter. Mati rasa dan sendi jariku kaku … Tapi tetap yeeee, difoto harus cool meskipun cold! 😀
Thanks karena udah ngajakkin kami gabung Bam. Semoga kapan-kapan kita bisa #roadtrip bareng lagi. Susur Sumatra mungkin? *ngasih ide*
LikeLike
Oh jadi pendakian ini di sponsorin ama NUTELLA yaaaaa, aku mau dong di bagi
LikeLiked by 1 person
Hahaha ngarep disponsorin mas! *kirimin botol kosong*
LikeLike
what an amazing scenery, terharu liat pemandangannya, thx udah berbagi cerita dan pengalaman.. jadi merasa bangga akan indah nya alam Indonesia meski belum merasakannya secara langsung, keep writing and sharing (y)
LikeLiked by 1 person
Sama-sama Aryl. Terimakasih sudah berkunjung yaaa …
LikeLike
Haha … outfitnya memang beda banget ya, antara dirimu dan yg lainnya = minim 😀
Itu yg lompat2an pasti Badai … … …
LikeLiked by 1 person
Bangeeet, mereka yang lengkap gitu aja sampai atas masih pada kebas dan menggigil, apalagi aku Tim.
Itu yang lompat-lompat James, kalau Badai spesialis asana yoga 😀
thanks udah mampir ya Tim 🙂
LikeLike
Panorama fajarnya bikin merinding, betapa sekian banyak puncak gunung bisa terlihat dari satu gunung ini, siluet dan warnanya betul-betul sudah diatur sangat menyamankan mata :)). Rupanya “madya” yang dimaksud di sini maksudnya “pusat” ya, bukan “menengah”, maklum kalau di Bali, menyebut gunung dengan madya pasti ada “luhur”-nya, misal Lempuyang Luhur atau Luhur Andakasa :hehe :peace.
Biar kedinginan tapi kalau keadaan puncak gunungnya seperti ini juga saya mau banget mendaki ke sana :hehe, cuma sekarang masih sendirian nih *kode keras*. Sekarang sudah banyak pendaki yang ke sana, semoga lingkungannya tetap bersih ya :)).
LikeLiked by 1 person
Iya Gara, dan waktu yang pas untuk mengabadikannya tipis banget. Meleset sedikit aja, sudah beda pencahayaannya. Dan karena kami menghadap ke timur waktu itu, jadi lebih tricky lagi.
Sebenarnya judulnya aku cari padanan katanya yang agak susah pas nya, udah di tengah di jawa tengah pula hahaha 😀
Maksudnya masih sendirian? Kayaknya ramai-ramai juga gak ngaruh deh, soalnya pas kedinginan sibuk masing-masing. Tapi aku rasa, naik gunung itu enaknya ada temannya. Kalau sendirian kok rasanya iseng banget, dan kalau ada apa-apa nanti gak ada yang bantuin. Amiin amiin, harapanku juga gitu ,, soalnya Prau ini termasuk gunung sejuta umat. Pengunjungnya banyak.
Terimakasih sudah mampir yaaa 🙂
LikeLiked by 1 person
wah dieng..gunung prau, seruu (inget KKN lagi) btw itu yang di foto modelnya atau fotografernya mas.. haha
LikeLike
Ooo dulu KKN nya di sekitar situ mas? Hahaha gentenan tho mas, fotografer khan manusia juga 😀
LikeLike
iya mas..2 bulan di daerah lereng dieng. udah kebal sama dinginnya sana hahah..
LikeLiked by 1 person
Dingin yang bikin kulit gosong, soalnya suka gak ngerasa pas panas-panasan 🙂
LikeLike
Iya mas..minggu pertama mukaku kulitnys kering gt..
LikeLike
Pakailah pelembab alami, lidah buayaaa *langsung iklan*
LikeLike
mungkin waktu itu kagak kepikiran mas 😀
LikeLike
Gunung Prau! Salah satu destinasi Indonesia yang keren.. Saya belum kesampean mau kesana
LikeLiked by 1 person
Indeed! Ayo direncanakan dan dicoba, gak terlalu susah kok untuk sampai ke sana ternyata.
Terimakasih sudah berkunjung yaaaa 😊
LikeLike
hadddehhh Iaaaan , lain kali teuteup deeeh baju hangat HARUS bawa dalam perjalanan kayak giniiii…..kebayang itu nyiksa banget mengigil menusuk tulang sepanjang malam sampai esok hari pula.
LikeLiked by 1 person
Iya tante. Gak mikir bakal sedingin itu awalnya hehehe … Nyiksa, tapi Alhamdulillah lancar dan selamat sampai pulang lagi 😊
LikeLike
untuk perjalanan2 berikutnya itu JAKET ..HARUS BAWA…haddeeeh kebayang nyiksanya itu menggigil kedinginan sepanjang malam sampai keesokan hari pula….warning warning….(kehawatiran emak emak) 🙂
LikeLiked by 1 person
Siap tante, makasih yaaaaa 😘
LikeLike
saya ga kuat dinginnn …. saya sih begitu orangnya …
kalau cuman pakai baju segitu …. pas kena dingin menusuk … langsung mundur deh ..
LikeLiked by 1 person
Sebenarnya sama juga sih, cuma udah sampai di sana, nanggung, jadi akhirnya saya coba aja hehehehe
LikeLike
Jadi inget waktu ke sikunir, beeh pucuk-pucuk jari sampai sakit semua. Pada kaku, sampek susah buat mencet shutter hehehe. Dieng emang dinginnya kebangetan deh hehehe
LikeLiked by 1 person
Nah ternyata pengalaman kita kurang lebih nya sama yaaa … By the way emang domisili dimana?
LikeLike
wedew…yang tinggal di sekitar Dieng ini aja belum ke Prau. kalah telak..
bulan juni – agustus puncak musim dinginnya Dieng yg bertolak belakang musim kemarau di luar Dieng. sempet liat Bun Upas saat naik, biasanya sering ada pas musim dingin?
LikeLiked by 1 person
Nah kadang-kadang kita memang begitu. Yang jauh sudah pernah disambangi, yang dekat malah belum kesampaian. Sama kok, kadang-kadang aku begitu juga hehehe …
Bun Upas kuwi opo?
LikeLiked by 1 person
embun yang membeku di pucuk tumbuhan-tumbuhan sana selama musim dingin, biasanya pas pagi hari sih terlihat hamparan putih semua…
LikeLiked by 1 person
Ooo istilahnya Bun Upas tho? Baru tau hehehe … Lihat tapi gak terlalu banyak, fokusnya udah lebih ke jari yang kaku soalnya 😄😄
LikeLiked by 1 person
Deskripsi tulisanya bikin saya ikut dalam pendakian, keren mas!
Foto-fotonya cakep 🙂
LikeLiked by 1 person
Terimakasiiih 😊😊
LikeLike
Makin nyesel kan awal taun ke Dieng tapi ga mampir Prau.. Haha. Bagus ya.
LikeLiked by 1 person
Tandanya harus balik kesana lagi hehe. Bagus kok, dan kayaknya sih memungkinkan untuk solo trekking, tapi siang hari supaya lebih aman.
LikeLike
Iya nih. Makin banyak baca tulisan orang, makin bingung nentuin prioritas tujuan haha..
LikeLiked by 1 person
Hahaha makin banyak pilihan ya? Sama, aku juga sering gitu. Harus fokus memang 😊
LikeLike
Yaaa. Untuk top 3 sih stabil bertahan di puncak daftar lah. Ke bawahnya itu. Hahaha.
LikeLiked by 1 person
Hahahaha tapi aku belakangan suka dadakan juga, abis yang top nya belum kesampaian terus 😊
LikeLike
Ke mana? Haha..
LikeLike
Tibet salah satunya 😄😄
LikeLiked by 1 person
Wow. Cool! Harus banyak bikin tulisan kalo udah jauh2 ke sana. Wajib. Hahaha.
LikeLiked by 1 person
Insya Allah, pastinya. Untuk sementara baru sempat ke negara tetangganya dan bikin travelogue nya juga. Ngomong-ngomong soal travelogue, harus dilanjut nih, serial Nepal nya masih sisah banyak haha
LikeLike
Lagi pengen ke prau..eh Bart posting. Semakin semakin ingin ke sana. Jalurnya bersahabat ya Bart
LikeLiked by 1 person
Bersahabat kak Ina, dibawa santai aja pokoknya.
LikeLike
Dua kali ke Prau. Dua-duanya kabut. Pft.
LikeLiked by 1 person
Jadi gagal dapat waktu yg cerah pas di atasnya Cen?
LikeLike
Bukan lagi, gak dapet apa apa kak
LikeLiked by 1 person
Harus naik lagi berarti Cen. Prau cinta padamu, makanya pengen kamu balik lagi hehehehehe.
LikeLike
pada saat sunrise kayaknya lebih wah lagi itu ya mas , viewnya
LikeLiked by 1 person
Betul sekali, terutama kalau cuacanya cerah. Keren banget 🙂
LikeLike