Percaya atau tidak, jika sebuah perjalanan itu adalah miniatur kehidupan? Ketika sesuatu terlepas dari kita, terkadang hal lain telah siap menanti sebagai penggantinya. Dan meskipun awalnya sama sekali tak direncanakan, terkadang hal pengganti tersebut dapat meninggalkan jejak yang tak kalah dalam.
Seperti perjumpaan tak sengaja saya dengan Khoo Kongsi. Awalnya ia sama sekali tak ada dalam itinerary perjalanan. Justru Cheong Fatt Tze Mansion yang terkenal ekstravaganza dan berwarna biru benhur lah yang menjadi incaran. Namun, kelelahan akibat perjalanan spartan dari Jakarta, Melaka, hingga George Town di Pulau Penang, membuat takdir membelokkan saya menjumpa rumah marga nan grande di semenanjung Malaysia ini.
Khoo Kongsi: Satu di Antara Lima
Khoo Kongsi merupakan salah satu persatuan marga (kongsi) keturunan Tionghoa yang berjaya di semenanjung Malaysia. Sejarah keberadaan mereka dapat ditelusuri hingga 650 tahun ke belakang. Bersama dengan kongsi Cheah, Yeoh, Lim, dan Tang mereka dikenal sebagai Lima Marga Besar (Goh Tai Seh) yang menjadi tulang punggung komunitas Hokkian di masa-masa awal Pulau Penang berdiri.

Agak rumit jika harus menjelaskan lebih lanjut tentang urusan marga Khoo ini. Karena Khoo Kongsi dan sub marganya tidak mewakili seluruh warga keturunan Tionghoa yang bermarga Khoo. Hanya mereka yang bernenek moyang dari desa Sin Aun, distrik Sam Toh, negara bagian Hai Teng, perfektur Chiang Chew, dan propinsi Hokkian di Tiongkok saja yang dapat dianggap sebagai keturunannya.

Pada abad ke 17, marga Khoo yang dimaksud di atas merupakan salah satu marga pedagang paling sukses di Selat Malaka dan Pulau Penang. Bahkan hingga kini, marga Khoo tersebut tetap menyumbangkan prestasi yang membanggakan, meskipun tak melulu melalui perdagangan. Beberapa di antara mereka juga sukses di bidang lain, termasuk dalam masalah ilmu pengetahuan.
Kisah Jatuh Bangun Leong San Tong
Di tahun 1835 para anggota Khoo Kongsi berpikir untuk perlunya membangun sebuah rumah marga demi mempersatukan dan menjaga kejayaan mereka, serta untuk menghormati leluhur mereka di Sin Aun, Hokkian. Sedikit demi sedikit mereka menggalang dana, yang digunakan untuk mendirikan sebuah bangunan bersama di tahun 1851. Yang kemudian diberi nama Leong San Tong, yang berarti Aula Naga Gunung.

Rumah marga tersebut dibangun menyerupai kompleks pedesaan. Dilengkapi dengan organisasi pemerintahannya sendiri, yang mengurusi masalah pendidikan, keuangan, kesejahteraan, serta masalah sosial. Pada tahun 1894, para pengurus Khoo Kongsi berinisiatif untuk memperindah rumah marga mereka yang mulai kurang terawat. Khusus untuk itu, mereka menurunkan langsung para maestro seni bangunan dari Fujian Selatan.
Namun sayangnya, di tahun 1901 kompleks tersebut terbakar. Setelah sebelumnya bangunan utamanya disambar oleh petir yang membara. Warga keturunan Tionghoa percaya, jika hal tersebut terjadi akibat kemiripan bangunan Leong San Tong dengan istana kaisar di Tiongkok, sehingga memicu kemarahan para dewa.

Di tahun berikutnya, Leong San Tong dibangun ulang dari reruntuhannya, meskipun skalanya diperkecil. Dan setelah memakan waktu selama empat tahun, akhirnya di tahun 1906 ia dapat berdiri kembali sebagai representasi kejayaan marga Khoo di Semenanjung Malaysia.
Keberadaan bangunan tersebut sempat terganggu oleh Perang Dunia Kedua di awal abad ke 20. Dimana sebagian dari kompleks Leong San Tong pernah rusak akibat bombardir bala tentara Kekaisaran Jepang yang berusaha menguasai George Town. Untungnya, ia dapat direkonstruksi, dan kembali berdiri di tahun 1958.
Bertandang ke Aula Naga Gunung
Saya sempat sedikit kesulitan ketika harus mencari letak pasti Leong San Tong Khoo Kongsi -atau biasa disebut Khoo Kongsi saja- di antara belantara bangunan George Town. Dari deskripsi sejarahnya, saya membayangkan jika Khoo Kongsi akan mudah terlihat dari sisi jalan, seperti layaknya Cheong Fatt Tze Mansion. Ternyata saya salah.
Khoo Kongsi memang tersembunyi. Ia terbentengi oleh ruko-ruko dan perumahan warga yang amat rapat. Untuk mengaksesnya terdapat tiga jalan terpisah. Pintu masuk utamanya terletak di Jalan Cannon, sedangkan pintu masuk sampingnya di Jalan Armenian, dan pintu belakangnya terdapat di Jalan Beach. Belakangan saya baru tahu, bahwa jangankan saya yang merupakan orang asing di George Town, ternyata banyak penduduk kota itu pun yang tak mengetahui letak Khoo Kongsi.


Sebagai sebuah kompleks, Khoo Kongsi terdiri atas beberapa bagian, yaitu: bangunan Leong San Tong, panggung opera, aula pertemuan dan perkantoran, kompleks delapan rumah, kompleks enam belas rumah, kompleks enam belas rumah di Jalan Aceh, dan Cannon Square.
Bentuk Khoo Kongsi yang terlindungi oleh rumah dan ruko-ruko di sekitarnya ternyata memang disengaja. Agar ketika bahaya mengancam, kompleks tersebut dapat ditutup aksesnya dengan mudah. Bentuk pertahanan Khoo Kongsi mengadopsi filosofi wei yang berarti tertutup, dan bao yang berarti benteng, yang berasal dari suku Hakka di Tiongkok.


Deretan enam belas rumah bergaya Tiongkok, langsung menyambut siapapun yang memasuki Khoo Kongsi dari Jalan Cannon. Pada bagian ujung lorong masuknya, terdapat konter tiket yang menyediakan segala brosur dan juga keterangan singkat mengenainya. Sebuah sticker yang harus ditempelkan di baju serta sebuah kartu pos, menjadi satu paket dari tiket yang saya beli di siang itu.

Setelah melewati panggung opera, akhirnya saya berhasil menemui bangunan utama Khoo Kongsi. Leong San Tong yang bergaya Fujian Selatan terlihat megah di atas Cannon Square yang berlandaskan batu granit. Dua buah patung naga dan sebuah tugu belanga mengisi bagian tengah alun-alun yang memisahkan Aula Naga Gunung dengan panggung opera yang berhadapan langsung dengannya.
Tiba-tiba saya tak lagi merasa sedang berada di Malaysia. Imajinasi saya terjebak pada satu tempat dan masa lalu di Tiongkok sana. Suara halus gesekan daun Dedalu Tangis atau Gandarusa (Salix babylonica) dan Bambu Jepang (Pseudosasa japonica) yang ditiup angin, semakin menguatkan sensasi mesin waktu yang saya alami saat itu.


Leong San Tong memang lebih mirip dengan sebuah istana. Atapnya dipenuhi oleh mustaka-mustaka keramik penuh warna. Paviliun persembahyangan menjadi bagian utama dan pembuka dari Aula Naga Gunung tersebut. Empat buat tangga dan sebuah tapal batu yang disebut sebagai Stone of Royal Way menambah keagungan dari penampakannya. Konon tampilan paviliun persembahyangan yang bertangga pada bagian depannya adalah kurang lazim bagi bangunan Fujian Selatan. Dan sesungguhnya, tampilan itu merupakan perpaduan antara gaya Fujian Selatan dengan bangunan lokal Melayu.



Detail-detail ukiran kayu, lampion, mural, pahatan batu, hingga penghias atap Leong San Tong benar-benar menunjukkan betapa Khoo Kongsi adalah sebuah marga yang pantas untuk diperhitungkan di masanya. Sulit bagi saya untuk mendeskripsikannya satu per satu, karena setiap warna serta bentuk yang diterapkan pada bangunan tersebut memiliki nilai filosofi yang tinggi.
Leong San Tong juga menyimpan kisah panjang sejarah perjuangan marga Khoo di tanah perantauan, yang dengan detail diceritakan oleh koleksi-koleksi yang tersimpan pada museum di bagian dasar bangunannya. Selain itu juga terdapat ruang pamer interaktif yang dilengkapi dengan mini teater yang menceritakan tentang proses pembangunan, rekonstruksi, dan perawatan kompleks Khoo Kongsi.

Setelah berkeliling dan mempelajarinya, saya merasa jika Leong San Tong bukanlah hanya sebuah rumah marga. Ia juga merupakan karya seni bernilai tinggi dan warisan budaya yang teramat penting bagi George Town. Tanpa Khoo Kongsi, tentu kota itu akan terasa berbeda.
Pada akhirnya saya menyimpulkan, bahwa bagi warga keturunan Tionghoa, penghormatan terhadap leluhur adalah sebuah hal yang esensial. Para anggota marga terikat dan bersatu bersama dalam sebuah sistem yang berlangsung secara turun temurun. Itu sebabnya, keberadaan Leong San Tong menjadi teramat penting bagi Khoo Kongsi. Kejayaan rumah marga tersebut adalah bagian dari eksistensi mereka. Sehingga seberat apapun kondisi jaman yang sedang dihadapi, mereka akan berusaha untuk tetap menjaganya.
*****
TRIVIA:
Pada tahun 1999 kompleks Khoo Kongsi pernah dijadikan salah satu lokasi syuting film Anna and The King yang dibintangi oleh Jodie Foster dan Chow Yun Fat.
Beberapa adegan dari film arahan sutradara Andy Tennant yang menceritakan tentang interaksi antara Anna Leonowens -seorang guru privat Kerajaan Siam berkebangsaan Inggris– dengan Raja Mongkut (Rama IV) dan Pangeran Chulalongkorn (kelak Rama V) itu seharusnya berlokasi di Grand Palace, Bangkok. Namun, akibat penolakan yang dilakukan oleh pemerintah Kerajaan Thailand, maka tim produksi terpaksa mencari tempat lain yang dapat menyerupainya.
Waktu ke Penang dulu aku skip tempat ini, tapi begitu baca tulisan ini jadi menyesal kenapa saya harus skip huhuhu. Justru saya menyesal bertandang ke rumah biru yang grande tersebut. Udah tiketnya mahal tapi menurut saya nothing bhuahaha.
Btw foto-fotonya sekarang pakai tone agak-agak gloomy yaaaa…
LikeLiked by 1 person
Serius Lid, kalau rumah grande biru benhur itu biasa aja? Justru awalnya aku ke Khoo Kongsi untuk menghibur diri karena gagal ke rumah satu itu.
Hehehe iya nih, untuk yg seri Malaysia ini, aku lagi senang pakai tone-tone film lawas. Biar seragam aja. Justru aku penasaran sama tone foto-fotomu belakangan ini Lid. Warnanya tuh surreal gimanaaa gitu 😊
LikeLike
Saya taunya di penang, cuma mural aja ternyata kuil2 juga, mantap
LikeLiked by 1 person
Naaaaah, itu tandanya Budi harus ke Penang lagi. Bawa istri, buat bulan madu kedua.
LikeLike
Ternyata sejarahnya panjang ya. Kalo menurutku hampir mirip ya kayak sejarah orang Batak #ups,yangorangbatakjanganmarah
Tempatnya kerenlah, ada buku tua juga ya..? Semoga bisa jalan kesini nih, penasaran sama dekor tiangnya
LikeLiked by 1 person
O iyaaa? Di bagian mana kemiripannya? Boleh dong diceritain 🙂
Amiin amiin, aku doain semoga kesampaian bisa ke Penang segera yaaa. Aku jamin dirimu bakal suka semua bagian detailnya Khoo Kongsi ini deh.
LikeLike
Waaah… kayaknya mesti balik sendiri nih ke Penang, waktu itu selalu rame-rame dan kepanasan jadinya ga fokus… makasi ya sudah berbagi, jadi tau banyak kekurangan pas kesana hahaha..
LikeLiked by 1 person
Kalau aku gak fokusnya waktu itu karena bawaannya pengennya makan Nasi Kandar melulu hahaha … Sama-sama mbak, semoga bisa nambahin info ya 🙂
LikeLiked by 1 person
Baru mau comment kalau film The King and I itu kan berlatar belakang negeri Thailand ternyata sudah terjawab ditulisan bawah, hehehe.. suka bangat baca tulisanmu cerita sejarah Khoo Kongsi dengan bangunannya, juga foto2nya keren Bart.
LikeLiked by 1 person
Yup, memang agak politis sih alasannya. Sampai-sampai pada waktu itu lokasi asli setting Grand Palace nya dirahasiakan. Dan pada akhirnya film Anna and The King itu tetap dilarang tayang dan beredar di Thailand.
Terimakasih sudah mampir baca dan tinggalkan komen ya Lin 🙂
LikeLiked by 1 person
Aku kayaknya ambil ratusan foto deh di Khoo Kongsi, soalnya detail ornamennya bagus dan rumit banget. Lokasinya yang nyempil dan gak keliatan dari jalan bikin tempat ini jadi unik banget sih, dan seru aja masuk ke jalan kecil itu tiba-tiba jreeng, muncul aula utama Khoo Kongsi. Sayangnya gak sempet ke sana pas malem juga, padahal kayaknya lampu-lampu bikin aulanya semakin megah ya.
LikeLiked by 1 person
Iya betul banget, apalagi kalau bisa naik sampai ke atapnya ya. Sayangnya gak bisa hahaha 🙂
Betul banget Bam, efek lampu-lampunya membuat Khoo Kongsi makin megah dan mewah. Tapi kalau masih sebatas senja aja sih, Khoo Kongsi memang bagus. Cuma kalau sudah malam, gak tau deh, agak kurang pede aku masuk ke dalamnya. Btw, aku pengen bisa nonton pagelaran opera Tiongkok, kayaknya menarik. Sayangnya, di Khoo Kongsi ini pagelarannya cuma di waktu-waktu tertentu aja.
LikeLike
Hah? kenapa kurang pede Bart? Harus pake dresscode khusus kah atau gimana? Naaaah, ngomong-ngomong soal pagelaran, pas aku di Penang itu sebenernya ada di satu malam diadain pagelaran di Khoo Kongsi. Tapi sayangnya aku taunya telat. Baru besoknya atau dua hari setelahnya kalo gak salah aku taunya.
LikeLiked by 1 person
Hahaha bukan gak pede karena dresscode, tapi sereeem 😀
LikeLike
Oalaaaahhh… Bawa boneka Anabelle aja Bart pas masuk. Serem dilawan serem 😀
LikeLiked by 1 person
Wakakaka baru liat aja aku udah serem, apalagi megang. Gimana kalau Anabelle kita jodohin aja sama Chucky? Siapa tahu dengan begitu mereka akan adem 😀
LikeLike
aku merinding bar karena aku suka banget ama film Anna and The King ini dan u udah kesana haisss
LikeLiked by 1 person
Merindingnya karena Anna and The King nya atau yang mana nya nih? Ayolah main ke Penang Win, menyenangkan banget lho 🙂
LikeLike
aku udah ke penang bar cuma belum ke tempat ini pula
LikeLiked by 1 person
Nah, berarti harus balik lagi ke Penang Win 🙂
LikeLike
iya demi khoo kongsi
LikeLiked by 1 person
Rumah nya unik lebih banyak ukiran atap nya di bandingkan rumah2 yg lain
LikeLike
Itu kalau diperhatikan lebih detail lebih unik lagi lho mas. Ibarat relief yang ada ceritanya gitu deh.
LikeLike
Kapan aku bisa nulis lengkap dan informatif kaya gini 😢
Hehe
Tapi tempatnya bener-bener racun, harus nyempatin ke sana nih
LikeLiked by 1 person
Pasti bisa sekarang juga. Btw dirimu juga sudah punya ciri khas banget. Bahasamu selalu bagus dan puitis. Aku ngefans lah 😊
LikeLike
salut, bagaimana orang-orang pada jaman dahulu sudah sedemikian pemikirannya terutama dalam membangun suatu komunitas, melestarikan marga demi eksistensi dan juga penghormatan terhadap leluhur mereka. sejarah dan budaya tionghoa tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari orang-orang di Nusantara, entah itu nilai positif atau bukan untuk kondisi saat ini, mereka telah ada sejak jaman dahulu guna memperkaya sejarah suatu bangsa
LikeLiked by 1 person
Yup, mungkin juga karena dasar kebudayaan mereka seperti itu. Harus menghormati leluhur sedemikian rupa. Menurutku, rata-rata bangsa di Asia seperti itu sih. Cuma bentuk pengejawantahannya yang berbeda-beda.
Makasih sudah mampir ya Hen 🙂
LikeLiked by 1 person
oh gitu..sama-sama soale tulisannya menarik karena lain dari yang lain
LikeLiked by 1 person
Iya betul. Tapi aku senang kalau lihat huruf-huruf kuno masih dilestarikan seperti itu. Di Indonesia juga ada.
LikeLiked by 1 person
Wow foto-foto kamu sekarang tonenya beda, Bart. Kayak pake analog. Bagus moodnya berasa jaman dulu.
Btw di sana komunitas Tionghoa dgn etnis lain akur gak? Sekarang susah banget nyari tempat kayak Khoo Kongsi di Bandung. Tapi wajar sih karena etnis tionghoa di Bandung (gunung) gak sebanyak di pesisir yg emang pelabuhan tempat mereka pertama mendarat. Bagus ya di Penang, kerawat sejarah fisiknya. Apalagi ini sejarah etnis tionghoa. Di Cirebon aja saya gak akan nemu yg kayak gini, mereka cenderung tertutup & gak mau diusik. Di Penang malah boleh dimasukin turis. Ah euy iri 😀
LikeLike
Makasih Ulu, ini emang disengaja soalnya bahasannya agak tempo dulu, jadi tone nya aku bikin yg kaya gini. Personally, aku suka karena memang mirip tampilan hasil kamera analog.
Sejauh yang aku tau sih, mereka akur-akur saja. Penang itu sebenarnya mayoritasnya adalah keturunan Tionghoa, tapi secara sejarah pulau ini memang multi etnik. Bahkan kita bisa menemukan bangunan sinagog Yahudi juga, selain klenteng, masjid, kuil Hindu dan gereja. Dan Inggris dulu mengatur tempat tinggal mereka secara terpisah berdasarkan etnis. Jadi ada pecinan, little India, kaum muslim, daerah Yahudi maupun Armenian.
O iya, menurutku memang Penang ini dikelola dengan baik dan serius pariwisatanya. Aku jelasin agak lebih detail sih di artikel sebelumnya (Mengengan Penang). Mangga kalau mau mampir.
Jadi kapan kita ke Penang?
LikeLike
Suka tone foto dupanya kece..
Btw entah kenapa aku gak begitu suka foto2 masuk di klenteng semacamnya gini. Takut ganggu orang ibadah. hehehehe. cukup dari luarnya saja sudah seneng 😀
LikeLiked by 1 person
Sebenarnya itu semua tonenya sama kok mas, cuma memang pas di dupa rasanya beda 😊
O iya, aula persembahyangan di Leong San Tong ini buka tipe2 klenteng yang selalu ramai gitu. Jadi gak usah khawatir. Pas aku ke sana juga sepi banget, sampai parno sendiri jadinya, karena suasananya temaram dan bau dupa dimana-mana.
LikeLiked by 1 person
hahahaha nah itu kalo sepi dan mistis jadinya aneh. tapi apa iyi setannya sama kayak yang di Indonesia yah? hehehe
LikeLiked by 1 person
Hahaha beda dooong. Pasti ada hantu lokal. *malah bahas bahasan mistis*
LikeLike
Aku waktu ke sini pas tengah hari bolong, panas menyengat. Jadinya malah cuma numpang ngadem doang…
Coba ada tour-guide kaya di Cheong Fatt Tze mansion ya, pasti lebih seru.
LikeLiked by 1 person
Aku pas kesitu juga lagi panas-panasnya, makanya lebih banyak motret di dalam, soalnya ada AC nya hahahaha.
Mungkin karena Cheong Fatt Tze banyak peminatnya, jadi pas kalau dikasih guide dan jadwal tur. Aku pas ke Khoo Kongsi sepi bangeeet, cuma aku sama temenku dan beberapa glintir turis lainnya aja. Gak sampai 6 orang kami di sana selama 1 jam lebih.
LikeLike
Baart gila ya kenapa aku baru baca ini sekarang, aku masuk k lorong ini tapi gak ke kuil ini krn ada penjaganya cowok india pake seragam trus bayar lg jadi aku agak takut soalnya sepi tempat ini. Btw film Anna and The King nya Jodie Foster itu film kesukaan aku sampe skrg aku gak lupa berkesan banget, gila… gila coba kalau kamu tulis dr dulu, haduh aku harus balik lg ke Penang, pengen gue sambit pake pempek saking gemesnya 🙂
LikeLiked by 1 person
Hahahaha buruan sambit pempeknyaaaa. Apa perlu aku kasih alamat lengkap? Biar nyambitnya gak salah alamat. 😀
Iya deh, kayanya kamu harus balik lagi ke Penang. Nanggung banget, itu berarti dirimu udah sampai di belakang panggung operanya. Di sebelah sana sudah menanti Leong San Tong di Cannon Square nya hehehe. Emang kapan sih terakhir ke Penang dirimu?
LikeLike
Pas bulan puasa thn 2016 sekitar akhir Juli, gimana gak nyesek tau baca ini, aku tuh nge fans banget sm Jodie Foster n film Anna and The King, dateng sendiri ke Palembang tar ku traktir makan pempek sampe kekenyangan 🙂
LikeLiked by 1 person
Ooo gitu, pantesan kayanya nyesek banget. Soalnya aku ke sana itu Oktober 2014, tapi baru nulisnya sekarang hehehe.
O iya, sudah pernah nonton versi klasiknya belum? Yang judulnya The King and I. Aku sih suka versi klasiknya.
Asiiik, benar yaaa, kalau ke Palembang ditraktir pempek. Pokoknya yang unik 🙂 *malah request*
LikeLike
Beneran cuss dtg ke Palembang yuk jgn lupa ngasih kabar, aku gelarin carpet pink hahaha. Aku malah baru tahu ada versi film klasiknya, ntar aku browsing dulu nyari streamingnya, aku kira Bart sukanya film india doank 🙂
LikeLiked by 1 person
Hahaha mentang-mentang Pink Traveler, karpetnya pun warna pink.
Adaaaa, ada beberapa versi malah. Selain itu ada versi drama panggungnya. Khan aslinya kisah itu diangkat dari bukunya Anna Leonowens. Meskipun oleh pihak kerajaan Thailand dianggap terlalu mengada-ada, karena dalam bukunya Anna memposisikan dirinya amat penting di masa pemerintahan Raja Mongkut. Sementara di dalam catatan harian Raja Mongkut, Anna cuma disinggung sekali saja dan dalam tulisan yang tak seberapa panjang.
Hahaha aku suka hampir segala jenis film, kecuali film ‘gore’ yaaa ,,, ampun kalau itu sih, bikin eneg 😀
LikeLiked by 1 person
Namanya jg film harus pake bumbu2 dramatis biar bagus. You are so detailed person, klo aku jadi anak buahmu di kantor atau jd mahasiswamu klo kamu dosen, habislah aku dibantai disuruh ngulang kerjaan sm baca yg banyak biar rada pinteran dikit untung kamu profesinya di laut ya hahaha
LikeLiked by 1 person
Ooo kalau soal itu sih udah banyak korbannya. Gak beres ini. Kerjain ulang dari awal hahaha 😀
LikeLiked by 1 person
Hal paling seru dalam perjalanan, bahkan paling berkesan, memang menemukan tempat nggak terduga macam Khoo Kongsi ini ya, mas.
Instingmu emang liar, mampu nemuin yang nyempil² 😁
but it’s a fucking cool experience. 👍
LikeLiked by 1 person
Yup, bener banget. Kadang kejutan tak terduga dalam perjalanan itu bisa jadi cerita yang seru 🙂
LikeLike
Ini rumah sangat detail sekali ukirannya. Salut. Seni tinggi.
LikeLike
Betul banget. Wajar kalau jadi warisan budaya yang pantas untuk dipertahankan oleh Malaysia.
LikeLike
Bart terima kasih atas sejarahnya. Aku juga gak tahu sejarahnya sangat tapi aku suka architecturenya. Sama macam kamu, aku juga jumpa Khoo Kongsi secara gak sengaja sambil jalan-jalan sekitar Armenian Street.
Ah, terus rindu ke penang. Nasib baik hujung minggu ini ke sana lagi. Haha.
LikeLiked by 1 person
Sama-sama Khai.
Ah senangnyaaa, aku juga rindu Penang. Dan rindu sangat makan Nasi Kandar hahahaha 😀
LikeLike
Aku foto di pelatarannya tapi gak masuk. Terus terang aku agak serba salah kalo masuk ke kuil gini, soalnya bingung dan takut mengganggu. Padahal mereka kayaknya welcome aja ya mas
LikeLiked by 1 person
Masuk aja, memang dibuka untuk umum kok kalau Leong San Tong ini. Bukan kuil yang dikhususkan untuk beribadah seperti yang lainnya 🙂
Welcome banget pastinya. Lha wong mbayar hahahaha
LikeLike
liputannya keren kak, bisa jadi refrensi kalau mau ke Malaysia nih.
LikeLiked by 1 person
Terimakasih sudah mampir baca ya 🙂
LikeLike
Sama seperti Mas Alid, Mas Bart ini juga punya kekhasan dalam menempatkan tone foto-foto di tulisan-tulisannya 🙂
Soal marga, rumit ya, saya pun agak kesulitan mengejanya. Tapi itu unik, sebuah identitas. Dan saya sepakat dengan miniatur kehidupan dalam perjalanan 🙂
LikeLiked by 1 person
Makasih Qy. Kebetulan aku suka tone-tone nya film analog, dan kebetulan pas juga dengan postingan ini. Kalau nggak pas, juga kadang aku gak atur tone nya.
Menyoal ejaan, aku jadi teringat kalau aku sering mikir, betapa ejaan yang mudah untuk suatu bangsa bisa menjadi sulit bagi bangsa lain. Seperti misalnya aku terkadang harus membaca pelan kalau mengeja nama-nama Thailand, soalnya panjang dan agak aneh.
LikeLike
Hello mas bart, lama gak berkunjung ke blog nya mas bart tapi tetap blog ini ngangenin hehehe. Sama halnya dengan para komentator lainya aku juga malah gak sempat kemari pada saat berkunjung ke Penang, Gak tau juga ya kenapa, tapi setelah membaca tulisan ini wow worth it banget untuk berkunjung ke mari, kayaknya harus ulang lagi nih trip to penang terima kasih mas Bart
LikeLiked by 1 person
Hai Fer, makasih sudah sempatkan mampir.
Kalau dari Medan enak ya ke Penang kayaknya gak terlalu jauh, bisa naik kapal atau ferry nampaknya. Iya, kalau ke Penang lagi, coba deh mampir ke Khoo Kongsi sekalian main di sekitaran Lebuh Armenia.
LikeLike
wah … lengkap bgt ni tulisannya mas … keren
LikeLiked by 1 person
Terimakasih sudah mampir.
LikeLike
Itu gimana cara bisa menggali informasi sedalam itu Bart. lengkap sekali runutan sejarahnya Khoo Kongsi ini, gak kebayang kalau traveling smabil ngulik sejarah mendetail juga, tapi seru sih ya
LikeLiked by 1 person
Hehe bingung juga aku kalau ditanya kaya gitu. Biasanya sih aku kumpulin data yg banyak, mulai dari brosur, wawancara dan keterangan yang ada di lokasi. Cuma wawancara itu termasuk yg jarang.
Seru sih kalau buatku, jadi jalan-jalan sekaligus dapat ilmu.
LikeLike
Waaah… udah bisa dibikin film nih.
LikeLiked by 1 person
Nah! Seru khan pastinya?
LikeLike