Saya menghabiskan hampir seluruh waktu perjalanan antara Kuala Lumpur International Airport dan Melaka Sentral di alam mimpi. Sebagai ganti akan tidur yang tak selesa akibat menginap di bandara pada malam sebelumnya. Meskipun memahami resikonya, saya sengaja mengambilnya sebagai tambahan bagi pengalaman dalam menjelajahi dunia. Setidaknya, kini saya tahu jika bermalam di bandara adalah sebuah seni tersendiri.
Saya benar-benar meniatkan untuk mengambil istirahat yang berkualitas di dalam bus. Karena tak ingin kelelahan merusak kunjungan yang sudah lama saya impikan. Latar belakang sejarah yang panjang, serta jejak berbagai bangsa yang memulas wajah Malaka, menjadikannya sebagai salah satu kota yang ingin saya kunjungi di kawasan ASEAN.
Dan setelah menunggu sekian lama, akhirnya pada satu hari yang lembab di bulan Oktober 2014, saya berhasil menjejakkan kaki di sana. Bom dia Malaca!


Sejarah Malaka: Dari Tangan Melayu ke Cengkeraman Kolonialis
Adalah Parameswara, seorang raja Melayu terakhir dari Kerajaan Singapura yang membangun Malaka untuk pertamakali di akhir abad ke empat belas. Ia yang masih mewarisi garis keturunan Sriwijaya, melarikan diri dari kerajaannya di Tumasik yang diluluhlantakkan oleh kekuatan Kerajaan Majapahit dan Siam. Bersama dengan sisa pasukan serta dibantu oleh suku laut, ia membangun sebuah kerajaan baru di muara sungai Bertam.
Berdasarkan catatan Tun Sri Lanang dalam hikayat Sulalatus Salatin yang ditulis pada tahun 1565, nama Malaka diambil dari pohon Amalaka -Phyllantus emblica- yang pernah menaungi Parameswara ketika menyaksikan kecerdikan seekor pelanduk melawan seekor anjing pemburu. Namun ada pula yang menyatakan, jika nama itu merupakan serapan dari sebuah kata dalam bahasa Arab, yang berarti tempat pertemuan. Sesuai dengan posisi Malaka yang bertindak sebagai pelabuhan perdagangan.

Kerajaan Malaka yang pada awal berdirinya bercorak Buddha, pada akhirnya berubah menjadi sebuah kesultanan, seiring asimilasi dengan pedagang dan petualang muslim dari jazirah Arab dan India selatan. Agama baru yang dibawa oleh mereka telah menarik minat penguasa yang kemudian memeluknya, dan memicu perpindahan keyakinan para penduduknya juga.
Dalam waktu singkat Kesultanan Malaka tumbuh menjadi sebuah kekuatan besar di Asia Tenggara. Posisi pelabuhannya yang dilalui oleh jalur pelayaran yang sibuk dan didukung oleh armada maritim yang kuat, menjadikan Malaka sebagai pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan yang cukup disegani dan terkenal hingga ke negeri-negeri yang jauh.
Namun, kemasyhuran itu ibarat pisau bermata dua. Selain menarik minat bangsa-bangsa yang berniat untuk berniaga, ia juga menarik minat bangsa lain yang ingin menguasainya. Salah satunya adalah Portugis yang bersama dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya, sedang berpacu untuk mencari sumber kekayaan baru di wilayah timur.

Setelah melalui serangkaian konflik perdagangan yang panjang, akhirnya Malaka jatuh ke tangan Portugis yang dipimpin oleh João Afonso de Albuquerque pada tanggal 24 Agustus 1511. Sementara Sultan Mahmud Syah yang menjadi penguasa Melayu terakhir, mengungsikan diri ke Pulau Bintan dan membangun kekuatan barunya di sana.
Setelah itu Malaka tak pernah lagi kembali ke tangan penguasa Melayu. Bahkan beberapa usaha perebutan yang dilakukan oleh penguasa sebelumnya yang dibantu oleh Kerajaan Tiongkok dan kerajaan-kerajaan Islam dari tanah Jawa, serta gempuran Kesultanan Aceh dan Kesultanan Johor, selalu berhasil dipatahkan. Selanjutnya, Malaka hanya menjadi piala bergilir di antara Portugis, Belanda, dan Inggris.
Citadel yang Tak Tertembus
Pada masa kekuasaannya, Portugis mulai memperkuat benteng yang melindungi ibukota Malaka. Dengan berlandaskan pada tata ruang kota yang dibangun oleh Kesultanan Malaka sebelumnya, mereka membangun dinding-dinding baru yang jauh lebih kuat. Benteng baru tersebut diberi nama A Famosa, yang artinya terkenal. Dan memiliki empat gerbang utama sebagai pintu keluar masuk, yaitu: Porta de Sao Pedro, Porta de Santiago, Porta de Sao Domingos dan Porta de Onze Mil Virgens.
Selama satu abad kemudian, benteng tersebut berhasil menjaga ibukota Malaka dari berbagai serangan yang dilancarkan terhadapnya. Namun pada tahun 1641, setelah mengalami gempuran selama lima bulan berturut-turut akhirnya benteng tersebut berhasil direbut oleh Belanda (VOC) dari tangan Portugis. Yang otomatis menjadikan jalur pelayaran Selat Malaka berada di bawah kendali mereka, yang beribukota di Batavia.

Pada tahun 1795 Belanda menyerahkan Malaka ke tangan Inggris, demi melindunginya agar tak jatuh ke tangan Perancis. Karena biaya perawatannya yang mahal dan tak lagi ekonomis, pada tahun 1806 Inggris mulai memerintahkan penghancuran A Famosa.
Dalam waktu sekejap benteng tersebut mulai kehilangan bagian-bagian pentingnya, dan hampir rusak total. Namun pada tahun 1807 atas perintah Sir Thomas Stanford Raffles, proses penghancuran tersebut dihentikan. Yang menyisakan Porta de Santiago sebagai satu-satunya bagian besar dari benteng tersebut hingga sekarang.

Trekking Dalam Benteng
Dutch Square yang bersimbah merah terakota menjadi bagian pertamanya yang saya jejak. Karena tempat itu merupakan titik tolak, bagi siapapun yang ingin menjelajahi bagian kota tua Malaka.
Alun-alun bergaya Belanda itu terletak di sisi selatan sungai Malaka, yang tepat membelah kota menjadi dua. Warna dan bangunan yang mengisinya, seolah menarik saya mundur ke beberapa abad silam. Setiap sudutnya tampil fotogenik. Dengan marka tanah yang kaya sejarah.

Christ Church yang berarsitektur Belanda dengan fasadnya yang menjulang dan dihiasi oleh lonceng pada bagian atasnya, langsung menyita perhatian saya. Gereja protestan tertua di Malaysia itu dibangun pada tahun 1741, sebagai peringatan akan kemenangan Belanda dalam merebut Malaka. Namun setelah kota itu diserahkan ke tangan Inggris, Christ Church diubah fungsinya menjadi gereja Anglikan hingga kini.
Bangunan lain yang tak kalah mencolok di area tersebut adalah Stadthuys atau gedung balai kota. Yang berdiri megah di samping gereja, dan memanjang hingga ke depan alun-alun yang ditandai oleh Tan Beng Siew Clock Tower. Seolah-olah gedung itu menjadi benteng terhadap bukit yang berada di bagian selatan.
Balai Kota yang didirikan oleh Belanda pada tahun 1650 itu pada masanya merupakan kantor Gubernur dan deputinya. Dan kini setelah Malaysia merdeka, Stadthuys difungsikan sebagai museum utama kota, yang menyimpan koleksi sejarah dan etnografi Malaka.


Satu-satunya marka tanah yang terlihat berbeda warnanya di area itu adalah Queen Victoria Fountain, yang dibangun pada tahun 1901, demi memperingati ulang tahun berlian kenaikan tahta sang ratu Inggris tersebut. Mengagumkan. Meskipun usianya sudah lebih dari satu abad, air mancur tersebut masih berfungsi dengan sangat baik.
Sementara tuan rumah dari bukit di atas Stadthuys adalah St. Paul’s Church. Yang pada awal didirikan, hanyalah sebuah kapela kecil yang dipersembahkan oleh Duarte Coelho -seorang bangsawan Portugis– kepada Bunda Maria, sebagai tanda syukur karena ia berhasil lolos dari amukan badai di Laut China Selatan. Pada perkembangannya kapela tersebut kemudian diperbesar dengan penambahan lantai kedua dan sebuah menara lonceng di pelatarannya. Nama Igreja de Madre de Deus kemudian disematkan kepadanya.

Gereja tersebut masih sempat digunakan oleh Belanda setelah Malaka berhasil direbut dari tangan Portugis, hingga kemudian mereka membangun Christ Church di area Dutch Square. Namun, ketika Inggris menguasai Malaka, gereja itu justru difungsikan sebagai gudang mesiu, sebelum akhirnya dibiarkan terbengkalai dan diselamatkan kembali reruntuhannya sebagai bukti sejarah.
Pada tahun 1952 sebuah patung St. Francis Xavier didirikan di pelataran depan reruntuhan gereja, untuk memperingati 400 tahun persinggahannya di Malaka. Namun, satu hari setelah patung tersebut diresmikan, tiba-tiba sebuah pohon Casuarina menimpanya dan merusak tangan kanan patung itu. Uniknya, pada tahun 1614 lengan bawah bagian kanan dari jenazah St. Francis Xavier memang dipenggal untuk dijadikan relik suci.


Sebuah tangga di bagian belakang gereja, mengarahkan saya ke satu-satunya bagian benteng A Famosa yang masih tersisa hingga kini di kaki bukit. Ialah Porta de Santiago. Salah satu dari keempat gerbang benteng yang dibangun oleh Portugis di tanah Malaka.
Dari bentuknya yang masih tersisa, saya berusaha mereka-reka segagah apa dulu ia pada masa berjayanya. Bata pembentuknya terlihat unik. Ia tak seperti bata-bata yang pernah saya lihat sebelumnya. Selain ukurannya yang cukup besar, materialnya juga lebih menyerupai campuran antara lelehan besi dan karang berwarna lempung. Tak aneh, jika dulu ia menjadi benteng yang kokoh dan tahan gempur.

***
Saya harus mengakui jika kota tua Malaka adalah kawasan yang elok dipandang mata. Bangunan-bangunannya yang telah renta, terlihat terawat dan masih berdiri kokoh di dalamnya. Hampir semuanya masih difungsikan. Beberapa museum yang menceritakan sejarah panjang Malaka sejak masa kesultanan hingga menjadi bagian dari Konfederasi Malaysia pun ditambahkan di dalam kompleks kota tua itu. Sejak menatapnya untuk pertamakali, saya langsung merasa iri. Dan berharap jika kota-kota tua di Indonesia pun bisa ditata sebaik itu.



Dalam sisa waktu sebelum senja, saya sempat menyusuri tepian sungai Malaka. Berusaha menjelajahi sudut-sudut kota tersisa, sembari menyaksikan aliran air yang tenang menuju muara. Ada sedikit sesal, karena saya tak sempatkan diri menginap di sana. Ah, mungkin bukan di hari itu. Tapi suatu hari nanti, Insya Allah saya akan kembali ke Malaka.
Wah menarik banget tentang sejarah Melaka. Saya sehari saja di Melaka dan sangat suka dengan arsitekturnya yang cantik. Selain itu saya juga sempat mampir ke kuburan Belanda yang ada di belakang St Paul’s (melalui tangga yang di samping sampai ke jalan). Kuburannya dominasi warna putih, cantik sekali! Selain itu makanannya enak juga 😀
LikeLiked by 1 person
Iya setuju mbak. Dan karena waktu itu aku gak lama di sana, jadi masih banyak spot yang terlewati. Kuburan Belanda nya romantis ya sebebarnya, jauh dari kesan seram. Mbak Aggy nyobain makan di Jonker Walk ya? Aku pengen juga nih hunting makanan di sana … Walaupun mungkin harus agak pilih-pilih hehehe
LikeLike
Iya memang malah terkesan romantis 😍 Iyappp kuliner di Jonker Walk sampai kekenyangan ga bisa jalan tapi masih aja belum puas hahaha.
LikeLiked by 1 person
Wahaha..klo belajar sejarahnya langsung ke lokasinya, paling enak belajar sejarah dunia dong
keliling dunia.. 😀
Kadang saya berimajinasi, seandainya kita hidup di masa lalu..melihat bangunan2 kokoh itu secara langsung..seru kali yak..
anyway, nice reportase om Bartzzz
LikeLiked by 1 person
Nah itu emang cita-citaku mas. Belajar sejarah dunia, langsung ke tempat aslinya, biar bisa keliling dunia hahahaha. Aminin yaaa 😊
Kalau aku sih kadang punya khayalan, bisa melihat masa lalu dan sejarah benda dengan menyentuhnya. Pasti seru khan?
Makasih sudah mampir dan tinggalkan komen ya mas 😊👍
LikeLike
Baca rincian sejarah bangunan yang tersebar di Malaka lewat postingan ini sungguh bikin ngiler. Belum pernah ke sana, hiks. Baru sempat melihat sisa kejayaan Pulau Pinang aja. Semua heritage di Malaka instagrammable! Kisah setiap bangunannya duhh duhhh bikin horny. Hahaha.
LikeLiked by 1 person
Lim kamu harus ke sana. Duh aku jamin kamu bakal betah. Aku waktu itu juga cuma mampir aja sehari, gak nginep. Soalnya mau langsung cabut ke Georgetown. Dan aku nyesel hahahaha … Nginep di Malaka itu harus. Masih banyak hutangan deh di sana itu.
Belum liat Istana Kesultanannya, belum ke Kampung Keling nya, belum ke desa Portugisnya, belum liat mesjid lawasnya, belum nongkrong-nongkrong di sisi sungainya. Ah masih banyak … Dan pengen ke sana lagi, biar tuntas 😁😁
LikeLike
Wah, ternyata Malaka itu cakep ya.. Baru tau, kirain gitu2 aja. Soalnya ada temen yang bilangin disana tuh biasa aja. Eh, rupanya begini penampakannya #pantesan si Bos sering bolak balik Malaka, Bahkan sampe rela cutinya dipake backpakeran kesini daripada pulang
LikeLiked by 1 person
Cakep banget, meskipun gak besar. Tapi justru itu yang bikin enak, bisa sambil jalan kaki menyusurinya. Aku rekomendasiin banget deh … Dicoba yaaa 😊
LikeLike
Boleh deh, ntar kapan ada waktu kesini coba jelajahi juga. Biar nggak kalah sama si bos. Hahaha..
LikeLiked by 1 person
Waduh, Malaka yang mengagumkan… iya, setiap jengkalnya menyimpan cerita sendiri. Rasa-rasanya memang mesti disempatkan satu (atau beberapa) kunjungan studi banding untuk melihat bagaimana keunikan Malaka dan Batavia juga, hehe. Pemerintah sana memang peduli sekali akan peninggalan sejarah ya. Bahkan bangunan yang sempat dihancurkan pun masih ada sampai hari ini. Coba lihat kastil Batavia, sudah jadi pangkalan truk. Sungainya pun masih sangat lebar dan bersih. Dan ada batu nisan seorang opper-koopman juga! Wah lengkap banget. Mudah-mudahan bisa ke sana, hehe.
LikeLiked by 1 person
Betul banget Gara. Aku berharap pemerintah kita bisa belajar dari mereka, studi banding yg agak beneran lah ya hehehe … Aku rasa kota-kota tua di Indonesia itu potensial banget untuk dikelola seperti itu. Meskipun memang butuh beberapa penyesuaian juga.
Iya itu nisan-nisanya mereka jaga dengan baik, sistem display nya juga menarik. Dan pas jalan-jalan di sana aku dapat semacam peta gitu -di terminal bus nya kalau gak salah-, jadi lumayan ada petunjuk lah mau kemana dan liat apa nya.
Aku doain semoga suatu saat dirimu bisa kesana dan berbagi cerita dari sisimu ya Gar. Amiin …
LikeLike
Woow. Kalau nisan sebenarnya hebat Jakarta, wong para gubernur jenderal rata-rata meninggalnya di sini semua. Tapi yah, mesti diakui kita masih kalah.
Duuh amin ya Mas, hehe.
LikeLiked by 1 person
Kita modalnya bagus, ngemasnya yg masih kurang ya Gar …
LikeLike
Yep.
LikeLiked by 1 person
Kunjungan nya dua tahun yang lalu? Ingatan dan catatan perjalanan nya apik benar
LikeLiked by 1 person
Iya, di Q4 2014. Alhamdulillah nih da, mumpung masih bisa ingat dan bisa nulisnya. Sekaligus melawan lupa. Da 😊
LikeLike
Kalo berkesempatan ke sana lagi, mau deh ke museum replika istana itu. Gak bosen rasanya datang ke kota cantik ini 🙂
LikeLiked by 1 person
Iya betul Yan, aku waktu itu terlewat, gak sempat ke istana satu itu. Kalau ke sana harus agak lama, jadi bisa mampir ke tempat-tempat lainnya juga.
Kayaknya gak bakal bosen deh, kalau setiap kesana dapat pelajaran baru lagi 😊
LikeLike
Entah kenapaa baca tulisan ini bikin mataku berkaca-kaca … emosi teraduk pas bagian sejarahnya. Kemaren ke Malaka karena bawa teman, jadinya bingung juga selain mutar-mutar sekitar bangunan merah dan jonker street. Padahal pengin sepedaan menelusuri sungai. Pengin stay di Malaka lebih dari dua hari terusss sepedaan sampai ke selat malaka . Sayangnya, Malaka PANASSSS nya ngalahi kota Padang. hiks!
Dan, aku masih menyimpan impian suatu hari nanti kawasan kota tua di Sawahlunto bisa seperti Malaka. Ya, suatu hari nanti !
LikeLiked by 1 person
Wah berarti dirimu bacanya penuh penghayatan banget, karena sampai berkaca-kaca begitu.
Iya betul, Malaka panaaas banget. Waktu itu juga saking panasnya, aku sempat ngadem dan beli es apa gitu di Dataran Pahlawan Mall di dekat menara Tamingsari.
Amiin amiin, semoga kota-kota tua di Sumbar bisa terjaga, terawat dan jadi tujuan wisata yang menjanjikan ya.
LikeLike
Kesannya tempat ini malah seperti berada di Eropa ya, bangunannya 🙂
LikeLiked by 1 person
Iya Rullah, karena memang peninggalan Kesultanan Malaka yg asli sudah musnah pada waktu pendudukan kolonial. Bisa jadi karena bangunannya yang terbuat dari kayu. Sementara ketika bangsa Eropa menguasainya, mereka lebih banyak menggunakan materi yang lebih awet dan tahan lama. Makanya lebih terasa Eropa nya.
LikeLike
Salut dengan Malaysia, ia memoles peninggalan2 tua menjadi sebuah ikon baru yang sangat rapi dan bersih, kapan Indonesia bisa seperti ini? belajar dari saudaranya?
LikeLiked by 1 person
Cara Malaysia mengemas pariwisata nya memang ok banget. Sehingga meskipun ‘modal’ mereka tidak sebanyak Indonesia, tapi kunjungan wisatanya bisa lebih banyak.
Kita harus belajar dari mereka …
LikeLiked by 1 person
satu lagi, mereka juga fokus ke wisata kota-kota baik kota tua maupun modern beda dengan kita yang (hanya pendapat saya saja) fokusnya ke alam terus. memang sih alam indonesia tiada bandingannya tapi ketika mengemas keunikan kota beserta isinya, wisatawan yang berkunjung akan merasa lebih hidup dalam perjalanannya.
LikeLiked by 1 person
Iya Hen setuju, memang wisata sejarah dan kota lama masih kurang digarap di Indonesia. Kalau soal keindahan alam sih jangan ditanya. Indonesia memang top soal itu.
LikeLiked by 1 person
atau mungkin karena rata-rata penduduk indonesia masih di bawah garis kemiskinan (alias kurang makmur) dan juga faktor pendidikan hingga wajah kota-kota kita rata-rata tidak jauh beda dengan ibukota jakarta?
LikeLiked by 1 person
Nggak juga sih Hen. Memang kayanya wisata sejarah kita dianggap kurang menarik aja sama penggarap. Padahal potensinya besar.
LikeLiked by 1 person
apa perlu menggandeng pihak swasta namun dengan aturan ketat untuk tidak merubah bentuk bangunan, minimal dari fasadnya..
LikeLiked by 1 person
Kayanya di Semarang udah mulai tuh praktek yg seperti itu, dan lumayan hasilnya. Salah satunya pemanfaatan bangunan Spiegel di kota lamanya. Jadi keren sekarang.
LikeLiked by 1 person
Iya pernah baca di tulisannya Halim
LikeLiked by 1 person
Malaka padahal udah sering saya rencanain tapi ujung-ujugnya gak jadi ke kota ini padahal penasaran banget dengan keindahan kota nya ini apalagi sungainya itu ya mas Bart. Hope someday bisa kemari thanks ceritanya keren mas
LikeLiked by 1 person
Nah, mumpung gak terlalu jauh Fer dari Medan, bisa tuh direncanakan segera. Semoga bisa ke sana secepatnya yaaa.
Makasih udah mampir ya Fer 😊
LikeLike
“…saya langsung merasa iri. Dan berharap jika kota-kota tua di Indonesia pun bisa ditata sebaik itu.” Ini yang berulangkali aku rasain Bart setiap habis mengunjungi kota-kota tua di beberapa negara di luar sana. Suatu mimpi yang bisa terwujud asal ada kemauan dari pemangku kepentingan di kota bersangkutan.
LikeLiked by 1 person
Pemangku kepentingan kota dan instansi lain yg terkait, plus kesadaran warga kotanya juga.
Rasanya kaya pengen teriak ya Bam, dan bilang: mbok ya studi banding ke sini aja, liat, modifikasi dan terapkan di tanah air.
LikeLike
Iya, warga kota, pemerintah daerah, pihak swasta, dll yang berhubungan langsung dengan kualitas/kepentingan suatu kota kan masuk ke dalam pemangku kepentingan (stakeholder). Harus ada kemauan kolektif dari semuanya. Ngomong-ngomong soal studi banding ke Malaka, yah gak mungkin lah Bart. Kan kurang oke buat nenteng Hermes. Kurang gereget gimanaa gitu — mirisnya memahami bagaimana mereka yang suka studi banding melihatnya hanyalah jalan-jalan semata yang dibayari pakai uang negara which is uang hasil pembayaran pajak kita-kita semua.
LikeLiked by 1 person
Nah itu, harus diubah studi bandingnya. Jangan cuma duduk-duduk ketemu parlemen setempat, tapi harus turba juga alias turun ke bawah. Lagian kalau ke Malaka, itu tas Hermes nya bisa dititipin dulu kok di Malaka Sentral. Ada jasa layanan penitipan di sana hahahahahaha
LikeLike
Hahahaha, jasa titip tas Hermes. Pas ngambil tasnya ngisi kencleng. 😀
LikeLiked by 1 person
Hahahaha seru khaaan
LikeLike
Kesultanan Malaka ini punya hubungan berarti dg Kekhilafahan ya kalau diliat dr sejarah perkembangannya serupa dg Kesultanan Aceh, atau cm perasaanku? 😅
LikeLiked by 1 person
Bisa jadi Ul. Sejauh ini sih aku belum menemukan literaturnya, cuma kalau berkaca dari sejarah beberapa Kesultanan Islam lainnya di Asia Tenggara, pada umumnya mereka memiliki hubungan dengan Kekhalifahan Islam. Malah kemungkinan, mereka bentuknya konfederasi juga, sehingga ketika satu diserang, yg lainnya akan ikut membantu. Makasih udah nanya soal ini. Aku jadi terdorong untuk nyari infonya lebih jauh 😊
LikeLiked by 1 person
Iya, soalnya menilik peta Turki Usmani yg menurutku emg menjangkau ke sini, sih. 😁
LikeLiked by 1 person
Aku rasapun begitu. Cuma di sejarah Indonesia atau kesultanan Melayu yg ditulis jaman sekarang, hal itu tidak pernah dibahas, meskipun ada beberapa buktinya. Biasalah, penulis sejarah khan kadang-kadang membawa motif tertentu.
LikeLike
Nah, motif itu yg kadang emg bikin kabur sejarah. History was made by the ruler.
LikeLiked by 1 person
Yup, sejarah itu tergantung siapa penulisnya. Walaupun hmm terkadang aku agak menyangsikannya. Karena aku yakin pasti ada penulis-penulis sejarah yg memiliki kredibilitas tinggi dan dapat menyingkirkan dorongan jahat untuk membelokkan sejarah dari hatinya.
LikeLiked by 1 person
Kupikir utk meminimalisir emg hrs baca banyak perbandinga sejarahnya. Mksdku, dr sisi penguasa, pihak luar, dll. Pd akhirnya ya emg kita hrs mau tdk mau mutusin mau percaya ke yg mana. Mslh benar salah ya… 😅
LikeLiked by 1 person
Setuju banget.
LikeLike
Beneran bikin pengen ke sana Bart. Pemandangan bangunan bersejarahnya eksotis banget ya.
LikeLiked by 1 person
Ajakkin anak-anak juga Ne, biar mereka juga bisa belajar tentang sejarah di Malaka. Sedikit banyak Kesultanan ini juga berhubungan dengan sejarah bangsa kita. Seru lho, bisa belajar sambil trekking juga.
LikeLike
Duh, Melacca bikin ngiler. Kaya nilai Historis, Bangunan tuanya kece…..
LikeLiked by 1 person
Ayo main ke Malaka Zi…
LikeLiked by 1 person
suka membaca sejarah lewat tulisan blog dan foto2nya Bart, soalnya aku dulu waktu sma paling males belajar sejarah. Parameswara sgt terkenal di Palembang karena dia pangeran yg melarikan diri ke Melaka utk meminta suaka perlindungan terhadap perang saudara, ada tugu Parameswara di dekat rumahku bentuknya seperti bunga itulah misterinya mengapa bunga? trus ada juga jalan Parameswara di Palembang. Aku sudah pernah ke Melaka tp cuma satu hari eksplore, masih kurang puas, belum sempat ditulis di blog, msh mencari inspirasi hehehe. Gak tau di gereja st paul itu aku merinding kayak ada sesuatu yg horor disana mgkn pas aku ke sana sore hari menjelang magrib ya.
LikeLiked by 1 person
Makasih sudah mampir dan baca.
Bunga apa jenisnya? Teratai kah? Kalau iya, mungkin itu perlambang Buddha. Btw waktu di gereja St. Paul gak lihat yang aneh-aneh khan?
LikeLike
sudah sering mampir dan baca kok Bart hahaha, nggak tau juga bunganya apa, bukan teratai nanti kapan2 aku kasih lihat lewat gambar di twitter ya. Waktu di St. Paul aku nggak lihat aneh2 tapi pas ke bagian dalam gereja aku nengok kuburan lewat jendela, jadi merinding pokoknya pas dibelakang hawanya dingin dan nggak enak pokoknya aku buru2 keluar gereja
LikeLiked by 1 person
Aku kok malah seneng ya pas di St. Paul. Adem soalnya dan banyak angin, pas kesana Malaka lagi panas buanget.
LikeLiked by 1 person
wah cuma seharian aja bisa ya mengelilingi Malaca? jadi pengen ke Malaca
LikeLiked by 1 person
Keliling kota tuanya aja, yg di dalam benteng, scan cepat sih bisa seharian Bud.
LikeLike
Memang bangunan bersejarah itu bisa jadi ajang jual pariwisata ya? 🙂 Tipe sungai-nya mengingatkan kanal-kanal di Belanda 🙂
LikeLiked by 1 person
Menurutku sih bisa mbak, lumayan menarik soalnya. Tapi balik lagi ke masalah selera pasarnya ya.
Mungkin memang pendekatan kanalnya mengadopsi Belanda juga, soalnya mereka pernah menguasai kota ini.
LikeLike
ke malaka bareng yok.. aku gak berani sendirian 😦 nanti gak ada yang fotoin aku :p hahaha…
LikeLiked by 1 person
Wakakakaka alasannyaaaa 😂
LikeLike
Ahhh, Melaka memang ngangenin! Bisa jalan kaki puas disana tanpa kena klakson mobil/motor :))
LikeLiked by 1 person
Bener banget, paling becak hias ya ketemunya hehehe
LikeLike
keren mas jepretannya, itu cuma sehari padahal, ya kan? kalau baca sejarah penjajahan asia tenggara jadi keinget pelajaran sd. nama alfonso d albuquerque adalah nama orang portugis pertama yang saya tahu, dan itu berasal dari pelajaran sejarah. 🙂
LikeLiked by 1 person
Iya, itu cuma sehari doang Za. Datang pagi, sorenya udah langsung cabut ke Georgetown di Pulau Penang.
LikeLiked by 1 person
Hebat, kagak ada capeknya kalo udah jadi hobi sih 🙂
LikeLiked by 1 person
Hahaha soalnya waktunya emang sempit.
LikeLiked by 1 person
asiik 😀 😀 mau dong bang diajak kesana hehehe
LikeLiked by 1 person
Ayoooo …
LikeLike
next trip kemana lagi bang ??
LikeLiked by 1 person
Belum tau nih, aku belakangan serba dadakan. Kemana kantong membawa aja hahaha.
LikeLike
asiik, kantongnya doraemon?? hahahaa
LikeLiked by 1 person
Wah kalau punya kantongnya Doraemon sih enak. Gak pernah pusing kalau lagi mau jalan kemana 😀
LikeLiked by 1 person
terjamin ya bang wkwkwk si doraemonnya yg kasian, si doi kan high class traveler jalan2nyakeluarangkasa 😀
LikeLiked by 1 person
Hahahahaha asal gak pake baling-baling bambu aja. Bisa masuk angin nanti malahan 😂😂
LikeLiked by 1 person
wkwkwk mana di jepang gk ada orang jual balsem lgi 😀 😀
LikeLiked by 1 person
Tolak Angin dooooong, biar pinter. Masa balseman, kaya mbah-mbah aja hahahaha
LikeLiked by 1 person
Ah aku kangen Melaka, suatu hari nanti akan ke sana dan harus nginap. Dulu cuma one day trip doang jadi kurang puas. Melaka masih panas gak kak?
LikeLiked by 1 person
Sama dong Lid, kurang puas ya kalau cuma one day trip doang. Waktu itu sih panaaaaas banget hahaha.
LikeLike
sungai disana luaar biasa yaa 😍😍😍. dan bangunannya luar biasa unik
LikeLiked by 1 person
Iya, seperti kembali ke masa lalu 🙂
LikeLike
Dulu ada yg bilang ke Malaka gak ada yg bisa dilihat cuma banguan tua doang, hih, padahal menarik begini penampakannya, dan mesti nginep nih kayaknya! *beda orang beda perspektif ya, hahaha*
LikeLiked by 1 person
Mungkin dulu yang bilang itu emang gak suka kota tua. Kalau di Malaka, harus nyobain sea food nya. Udang galahnya besar-besaaaar, ngiler abis pokoknya lihatnya. Tapi enaknya sih kalau bisa ‘bebas’ makan di Jonker Walk ya.
Tapi overall Malaka menyenangkan kok. Harus cobain!
LikeLike
Blog agan wajib jadi referensi liburan nih hehe, mau lanjut baca petualangannya yg di Nepal ahhh seru tuh kayanya apalagi saya terobsesi sama negri satu ini 😃
LikeLiked by 1 person
Terimakasih. Saya doain ada rejeki dan waktu main ke Nepal ya. Menyenangkan kok di sana. Murah dan orangnya ramah-ramah. Cuma memang ongkos ke sananya yang masih agak mahal. Tapi sesekali Air Asia sering ada promo murah juga ke sana 🙂
LikeLiked by 1 person
siappp amiin bismillah hehehe
LikeLiked by 1 person
Ish ish ish.. ceritanya bikin iri euy.. padahal saya juga udah ke melaka.. tp masih ada yg kurang. Misalnya, saya g ketemu kerkhorf belanda atau portugis di sana..
Btw, teknologi rumah tanpa paku di aceh juga ada. Keunggulannya adalah tahan gempa Da
LikeLike
Kok bikin iri sih bang? Hmmm masih pengen ke Melaka lagi gak? Kalau aku sih pengen. Rasanya masih ada yang kurang hahahaha.
Sepertinya bangunan rumah terutama yang tradisional di Indonesia banyak yang gak pakai kayu ya, dan memiliki keunggulan teknis semacam tahan gempa macam itu.
Kalau di Sumbar, rumah-rumah gadang itu kaki-kakinya tidak ditanam ke Tanah, melainkan hanya ditaruh di atas batu, sehingga ketika terjadi gempa, rumah tidak akan runtuh, melainkan hanya lepas dari batunya saja.
Kalau dipikir-pikir, keren ya system keteknikan jaman dulu.
LikeLike
nah kontruksi rumah gadang sama dengan rumah etnis aceh bang.. sama2 tahan gempa dan nggak ditanam di tanah
LikeLiked by 1 person
Wah, bisa jadi memang itu adalah teknologi global di masa itu yaaa. Anehnya justru manusia sekarang tidak melakukan perancangan yang anti gempa lagi seperti sebelumnya.
LikeLike
bukan teknologi global sih udah, sebenarnya, ada kaitan yang sangat erat antara aceh dengan minang. beberapa literature sejarah menyebutkan, beberapa raja aceh ada yang keturunan dari padang. ini terbukti dengan adanya gelar “Tuanku” dan Tengku di aceh uda..
makanya, saya menjadikan padang dalam toplist tujuan saya selanjutnya. ada sejarah yang harus saya rangkai 😀
LikeLiked by 1 person
Waaaah ini menarik banget. Harus kita ulik bang! 😉
LikeLike