Hari masih terlalu dini ketika bus yang membawa saya tiba di Butterworth. Bayangan akan benteng gagah kota Melaka pun rasanya belum sirna dari mimpi. Namun dalam waktu singkat saya harus mengumpulkan kesadaran dari lelap, demi melanjutkan perjalanan menyeberangi selat Melaka menuju George Town.
Tanpa petunjuk yang jelas dan hanya mengandalkan aliran penumpang lain, saya melangkah menuju pelabuhan. Rupanya kami adalah rombongan pertama yang akan menyeberang pada fajar itu, karena pintu pelabuhan Sultan Abdul Halim yang mengarah ke ferry pun masih tertutup. Kantuk yang belum hilang sedari tadi segera melahirkan sebuah tekad. Sampai hotel, harus lanjut tidur dulu! Bersama penumpang lain serta angin laut yang lembab dan bergaram, saya menanti ferry pertama menuju pelabuhan Raja Tun Uda di Pulau Penang.

Selanjutnya, saya benar-benar tiba di Pulau Penang pada awal hari. Ketika kendaraan umum paling pagi pun tampaknya belum beroperasi. Dengan hanya mengandalkan kemampuan membaca peta, saya berusaha mencapai penginapan yang telah dipesan dengan berjalan kaki.
Terlepas dari lelah yang telah mendera sejak menginap di KLIA dua malam sebelumnya, saya sangat menikmati jalan kaki di pagi itu. Di atas trotoar sepanjang Jalan Chulia, saya dapat menikmati wajah lelap George Town yang didominasi oleh bangunan-bangunan tua bergaya Eropa dan beraksen Tiongkok. Sekali dua, karya mural dan kriya logam unik menghadirkan potongan-potongan cerita yang terselip di antara sudut kota dan dinding bangunannya.
Guest Inn Muntri: Penginapan Murah nan Strategis
Saya hanya memiliki waktu selama tiga hari untuk menikmati Pulau Penang, khususnya George Town. Dan itu waktu yang sangat singkat, mengingat banyak hal menarik yang dapat dijelajahi di sana. Oleh karenanya saya berusaha menginap di tempat yang paling strategis.
Secara umum, menurut saya penginapan di George Town termasuk cukup mahal, jika dibandingkan dengan Kuala Lumpur, Bangkok, ataupun Yogyakarta, dan Bali sekalipun. Mungkin karena ia adalah kota wisata dan sebagai salah satu yang termakmur di Semenanjung Malaysia.

Maka Guest Inn Muntri yang saya inapi kala itu seolah menjadi permata tersembunyi, bagi pejalan berdana terbatas seperti saya.
Penginapan itu terletak di Jalan Muntri. Sebuah jalanan sempit di kawasan yang kaya oleh karya seni publik dan bangunan tua bersejarah. Harga menginapnya cukup murah. Sekitar Rp 200.000,- per malam, sudah termasuk akses WiFi dan sarapan pagi.
Meskipun sederhana, Guest Inn Muntri memiliki angka ulasan yang cukup baik di booking.com. Letaknya sangat strategis, karena shelter-shelter transportasi publik banyak tersebar di sekitarnya. Situs-situs bersejarah yang telah masuk ke dalam daftar UNESCO, dan titik-titik wisata kuliner pun dapat dicapai dengan berjalan kaki dari penginapan. Bahkan, Nasi Kandar Line Clear yang legendaris kesedapannya, serta buka 24 jam itu, hanya berjarak satu blok saja darinya.

Negeri Penang: Jejak Multi Etnis di Tanjung Bidara
Jauh sebelum Penang mengambil namanya dari pohon Pinang (Areca catechu), ia dikenal terlebih dahulu sebagai Tanjung Bidara. Namun, sesungguhnya sejarah Penang telah dimulai sejak 5000 tahun yang lalu.
Pada masa pra sejarah itu, Penang sempat dihuni oleh ras Negrito dari etnis Semang, yang diketahui juga tersebar secara terpisah di Asia Tenggara. Secara genetis, mereka masih bersaudara dengan etnis Andaman di Kepulauan Andaman, etnis Maniq di Thailand, dan beberapa ras negrito lainnya di Filipina dan Taiwan.
Sementara berdasarkan catatan ekspedisi Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming, Pulau Penang telah menjadi titik penting pada jalur pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara, sejak abad ke lima belas Masehi.

Pada abad ke delapan belas Masehi, beberapa orang Minangkabau tiba dan menetap di Pulau Penang. Di antaranya adalah Haji Muhammad Saleh atau Nakhoda Intan, yang memilih Batu Uban sebagai tempat tinggalnya, dimana ia membangun sebuah masjid jami’ di sana. Tak lama setelah itu, pedagang-pedagang Arab juga tiba di pulau itu dan memilih kawasan Jelutong sebagai tempat tinggal mereka. Pada perkembangannya, terjadilah pernikahan silang di antara orang-orang Minangkabau dan Arab, yang pada akhirnya menjadi cikal bakal suku Melayu di Pulau Penang.
Sebagian perantau dari bangsa Tiongkok juga kemudian menetap di Pulau Penang. Mereka secara perlahan mengadopsi kebiasaan-kebiasaan Melayu, disamping tetap menjalankan tradisi aslinya. Yang pada akhirnya mereka menghasilkan sebuah kebudayaan baru yang dikenal sebagai budaya peranakan, yang tercermin pada kekhasan pakaian, makanan, serta bangunan dan tata cara hidup.
Dalam skala yang berbeda dan tidak semasif ras lainnya, bangsa India, Yahudi, dan Armenia juga kemudian menjadi penghuni pulau itu. Masing-masing dari mereka meninggalkan jejak yang cukup dalam dan masih terjaga hingga kini.

Pada tanggal 17 Juli 1786, Kapten Francis Light, seorang petualang dan pedagang dari Perusahaan Dagang Hindia Timur tiba di Pulau Penang. Atas nama Raja George III dari Inggris dan perusahaan dagangnya, ia mengambil alih kepemilikan pulau itu dan bermarkas di bagian timur laut pulau, yang kemudian menjadi tempat berdirinya Benteng Cornwallis.
Pada tanggal 12 Agustus 1786, Kapten Francis Light mengubah nama Pulau Penang menjadi Pulau Pangeran Wales, yang didedikasikannya bagi putra mahkota Inggris kala itu. Dan ia memberikan nama George Town pada kota tempat tinggalnya, demi menghormati Raja George III.


Sejatinya Pulau Penang merupakan bagian dari Kesultanan Kedah. Namun Sultan Abdullah Mukarram Shah dari Kedah yang berkuasa kala itu, memberikan hak guna pakai pulau itu kepada Kapten Francis Light dengan imbal balik perlindungan militer bagi kesultanannya dari serangan Kerajaan Siam dan Burma.
Namun, secara licik Kapten Francis Light telah mengubah pakta perjanjian dengan Kesultanan Kedah, yang memicu kesultanan untuk mengambil kembali pulau itu. Akan tetapi, usaha itu gagal dan memaksa Kesultanan Kedah untuk menerima nilai sewa yang kecil bagi penggunaan Pulau Penang. Praktek pembayaran sewa itu kemudian tetap dilanjutkan oleh Kekaisaran Britania Raya, bahkan hingga kini Negara Konfedereasi Malaysia juga masih melakukan pembayaran kepada Kesultanan Kedah.
Jejak bangsa-bangsa yang pernah mewarnai Pulau Penang sejak masa lalu, hingga kini masih dapat dirasakan di sana. Di antaranya melalui bangunan-bangunan, tempat peribadatan, makanan, bahasa, serta kebudayaan, dan kehidupan sehari-hari. Bahkan beberapa papan nama jalan pun dituliskan dalam beberapa bahasa yang berbeda, demi menghormati keberagaman yang ada.
Secara demografis, kini Pulang Penang merupakan pulau terpadat di Semenanjung Malaysia. Dengan etnis Tionghoa sebagai mayoritas, disusul oleh etnis Melayu, etnis India, dan etnis lainnya dalam jumlah kecil. Dan Penang, merupakan sebuah negeri berpenduduk muslim tersedikit dibandingkan negara-negara bagian lainnya di Malaysia.
Jelajah George Town dan Sekitarnya
Setelah terpukau dengan tata ruang kota tua Melaka, maka George Town menjadi kota selanjutnya yang membuat saya berharap jika Indonesia bisa belajar darinya. Karena banyak sekali kota-kota tua di Indonesia yang memiliki catatan historis yang jauh lebih padat dan panjang, serta jejaknya masih tersisa hingga kini. Namun, pengelolaan kota-kota tua tersebut terasa memprihatinkan, seolah terdesak oleh kemajuan jaman yang tak terhindarkan, dan menenggelamkan sejarah yang pernah berjaya sebelumnya.
Keseriusan pemerintah negara bagian Penang dalam menjaga George Town terlihat dari dibentuknya sebuah agensi warisan budaya negara bagian yang bernama George Town World Heritage Incorporated (GTWHI) pada bulan April 2010.
GTWHI merupakan sebuah organisasi yang didedikasikan untuk melindungi, mempromosikan, dan menjaga George Town sebagai kota yang berkelanjutan. Organisasi ini bekerja sama dengan pemerintah federal, negara bagian, pemerintah lokal, dan juga beberapa organisasi non pemerintah untuk mengelola, memonitor, mempromosikan, dan mengeksekusi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan warisan budaya kota. Termasuk mengidentifikasi masalah, membangun strategi, dan mengundang para ahli serta pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam menciptakan solusi yang kreatif dan tepat guna.
Luar biasa! Tak heran jika George Town menjadi begitu tertata. Kota itu terasa betul-betul siap dalam menerima pengunjung yang ingin menjelajahinya.
Sebagai pejalan saya hampir tak menemui kesulitan yang berarti selama menjelajahi George Town dan sekitarnya. Segala dokumen yang saya butuhkan, seperti peta, brosur, dan petunjuk bisa saya dapatkan dengan mudah dimana-mana. Mulai dari hotel hingga area-area publik.

Hampir setiap bangunan bersejarah dan penting, selalu dilengkapi dengan papan keterangan yang menjelaskan informasi singkat mengenai objek yang bersangkutan. Sekaligus peta kecil, yang menjelaskan posisinya dan posisi bangunan menarik lain di sekitarnya.
Dengan sangat kreatif GTWHI mempersiapkan berbagai macam alternatif kegiatan bagi siapapun yang ingin menjelajahi kota itu. Mulai dari wisata sejarah dan arsitektur klasik, wisata kuliner, kegiatan alam, hingga berburu mural dan kriya logam yang instagramable. Masing-masing dari kegiatan tersebut memiliki brosur yang informatif dan menarik.
Bagi saya George Town sangat bersahabat, bahkan untuk pejalan hemat pemula. Gang-gang sempitnya yang tua, tidak terasa menyeramkan, meskipun tak banyak orang berlalu lalang. Sementara jalanannya dilengkapi oleh trotoar yang cukup menenangkan. Sistem transportasi kotanya teratur dan terjangkau, dengan jam operasi dari pagi hingga malam. Memang, ada anjuran untuk berhati-hati di daerah tertentu. Tapi secara pribadi saya merasa nyaman dan aman selama berada di sana, termasuk ketika berjalan-jalan di malam hari. Lagipula berhati-hati dimanapun, adalah hal yang wajar-wajar saja.
Selama tiga hari saya menghabiskan waktu menjelajahi sudut-sudutnya. Mulai dari menyambangi benteng, masjid, gereja, hingga rumah keluarga Tionghoa nan megah. Menyusuri labirin-labirinnya sembari berburu seni hias dinding, mencicipi makanan dan minuman otentiknya, mencoba sistem transportasi kota termasuk kereta yang menanjak tajam pada lerengan curam, hingga mengamati sebagian Pulau Penang dan Semenanjung Malaysia dari puncak Bukit Bendera.
Pada akhirnya, saya menyadari jika kunjungan itu benar-benar singkat. Masih banyak yang terlewat, meskipun Penang bukanlan sebuah pulau yang besar. Sembari menyeberangi Jembatan Penang yang membelah Selat Malaka, saya menandai kembali titik-titik tersisa yang berada di atas peta. Semoga saya bisa menjumpa Penang kembali. Segera.
Aku kelewatan yang nasi kendar line clear itu. Makannya malah di tempat lain, di dekat masjid Kapitan Keling atau Comtar karena dekat penginapan.
Muralnya juga nggak semua terjelajahi. Saat ke sana, kayaknya Penang panas luar biasa. Jalan kaki nyariin mural kok kayaknya nggak habis-habis. 😀 Tapi aku suka Penang, bisa naik GoPenang yang gratisan, duduk-duduk di tepi laut (?) deket benteng Cornwallis itu rasanya asoy!
LikeLiked by 1 person
Aku juga sempat nyobain Nasi Kandar yang di dekat Kapitan Keling, tapi kalau soal rasa Nasi Kandar Line Clear belum ada tandingannya Yan. Berarti dirimu harus balik lagi ke sana dan nyobain.
Iya sih memang Penang itu puanaaas banget hahaha. Lembab juga. Tapi pas aku di sana sempat ada satu hari hujan gitu, jadi agak ademan.
Iya, enak banget sore-sore duduk di tepi laut itu. Meskipun kalau soal pantai dan laut, Indonesia tetap juaranya sih 🙂
LikeLike
Haha iya, pantai di Indonesia kece-kece. Selama 3 hari di sana nggak ngerasain hujan. Panasnya maksimal 🙂
LikeLiked by 1 person
Seandainya lebih sejuk, pasti lebih enjoy ya. Btw panas-panas gitu paling enak makan es Chendul Yan 🙂
LikeLike
Wah nginep di Muntri yak, aku dulu juga nginep situ, tapi kok harganya mahal sih, ah tapi aku lupa berapaan dulu haha. Muralnya nggak ada peremajaan ya? Beberapa sudah hilang terkikis waktu.
LikeLiked by 1 person
Masa sih Lid mahal? Jangan-jangan dirimu pas nginep, pas lagi high season. Pas aku ke sana tahun 2014, masih lumayan banyak sih. Kadang aku suka gak sengaja nyari, eh nemu yang keren-keren yang nyelip-nyelip gitu di dalam gang.
LikeLike
Kalau liat foto-fotonya malah serasa di Eropa ya 😀
LikeLiked by 1 person
Kadang di Eropa, kadang di China, kadang di India Rullah. Tergantung areanya. Mereka membagi area-areanya gitu. Ada pecinannya, ada Little India nya dan sebagainya.
LikeLike
Jadi inget istilah Pecinan hehehe. Di Jepara juga istilah pecinan, lokasinya di pasar dan dekat klenteng 🙂
LikeLiked by 1 person
Hehehe kayanya itu istilah umum dimana-mana ya. Hampir di setiap kota ada. Kalau di luar kota sih sebutannya China Town.
LikeLike
Muntri Inn Penginapannya sangat sederhana sekali, aku suka style fotomu mas bro, instagramable..apalagi mural di tembok2 jadi mengingatkan saya dengan jogja..
LikeLiked by 1 person
Iya sederhana tapi cukup mas, soalnya khan seharian jalan. Kamarnya lumayan bersih, AC nya juga dingin, kamar mandinya bersih, WiFi nya kencang meskipun cuma di ruang komunalnya aja, trus waktu itu salah satu staff nya orang Semarang, jadi bikin aku betah.
Makasih lho mas Dhanang masukannya 🙂
Ah iya setuju, beberapa tempatnya mengingatkan aku sama Jogja 🙂
LikeLike
eh lagi online jg, langsung di bales sama mas Bart..yang penting kalau traveling memang nginepnya yang biasa biasa, dibanyakin outdoornya saja ya mas..kan buat bobo doang hehee
LikeLiked by 1 person
Iya nih mas, aku lagi baca postinganmu, mumpung di rumah bisa. Soalnya kalau di laut entah kenapa akses ke blog mu aku gak bisa, diblock gitu 😦
Hehehe iya sih mas, kecuali kalau liburannya emang buat staycation, ya carinya hotel yang asik banget buat gak kemana-mana 😀
LikeLike
waduh kagak tau ya mas kalau du laut bisa di block gitu..mungkin wordpress kurang bersahabat dengan laut mas hahaha
LikeLiked by 1 person
Hahaha iya nih gak tau kenapa 😀
LikeLike
Kangen kulineran di penang…
LikeLiked by 1 person
Kalau ko Deddy puas pastinya kulineran di Penang. Aku berusahan nyari laksa Penang otentik yang halal belum nemu nih. Boleh lho kalau ada infonya aku dibagi 🙂
LikeLike
Aku disana wisata haram :p enak2
LikeLiked by 1 person
Nah itu masalahnya buatku 😀
LikeLike
Itu bukan masalah kak, tapi tantangan sekaligus ujian heheh.
LikeLiked by 1 person
Yoiii 🙂
LikeLiked by 1 person
Lengkap tentang Penang, makasi infonya hehe.
Kangen Pasembur sama orange plum nya Penang
LikeLiked by 1 person
Sama-sama ko Leo. Ah iya, Rujak Pasembur enak. Aku kangen Nasi Kandar juga. Btw, kalau orang plum apaan ko?
LikeLike
orange plum itu minuman, di medan juga ada, jeruk ditambah buah plum, jadi asem-asem kecut seger mas hehehe
LikeLiked by 1 person
Ah ngebayanginnya aja udah bikin pengen. Makasih infonya ko, jadi pengen nyari kalau misalnya main ke Medan atau Penang lagi 🙂 *langsung catet*
LikeLike
Duh… Melacca sama Penang keren ya. Belum lagi wilayah lain di Malaysia macam selangor, perlis, perak dll… . Penang berapa lama prjalanan bart kalau dari KL ?
LikeLiked by 1 person
Hmm aku lupa berapa jam nya. Pas berangkat sih dari Malaka, malam jam 8 an, sampai Butterworth jam 5 kalau gak salah. Terus nyebrang setengah jam ke Pulau Penang nya (George Town). Pas pulangnya dari Penang pagi, sampai KL di jam makan siang. Gak terlalu lama kok Zi …
LikeLike
Jadi ingat kami pernah ‘singgah’ sangat sebentar di Georgetown, tapi nyebrangnya gak naik kapal. foto pertama kami lewati. 3 hari lumayan juga yah di Penang dan yah penginapannya emang cukup mahal yah. Tapi tetap kami mau kembali ke sana. 😀 ❤
LikeLiked by 1 person
Nyebrang via jembatannya ya kak? Nah betul khan, untuk fasilitas yang sama hotelnya memang lebih mahal di Penang ini. Lain-lain sih terjangkau.
Sama kak, pengen balik ke sana lagi. Kalau dirimu enak deh, bisa puas wisata kulinernya hehehe.
LikeLike
Waktu sampe Penang pas kabut asap tahun 2015 yang berasal dari Indonesia mulai merebak. Langit Penang waktu itu mulai agak kusam diselimuti kabut asap tipis. Tapi untungnya ada hari-hari yang cukup cerah (dan panas) juga, jadi lumayan lah buat foto-foto. Overall Penang menyenangkan sih — jalanannya enak dilihat, mural-muralnya menarik, dan instalasi seni lainnya juga bikin Georgetown tambah kece. Pas masuk ke nasi kandar Clear Line itu sempet agak jiper soalnya yang ngelayanin cepet banget geraknya, jadi merasa agak-agak gak enak kalo gara-gara aku bingung milih-milih makanan malah bikin antriannya lama, hehe..
LikeLiked by 1 person
Pas aku di sana juga gitu Bam. Gak ada kabut asap sih, cuma langitnya gak bersih-bersih amat. Makanya waktu di Bukit Bendera, pemandangan ke bawahnya gak begitu jelas, padahal habis hujan juga.
Hahahahaha dirimu nambah gaaaaak di Nasi Kandar Line Clear? 😂😂
O iya dirimu sempat ke Cheong Fat Tze ya? Aku belum nih, kelewatan terus. Makanya merasa masih punya hutangan dan pengen balik ke sana lagi.
LikeLike
Iya, ke Cheong Fat Tze Bart. Soalnya hotelku persis di belakangnya, dan dari jendela kamarku bisa keliatan bangunan mansionnya. Btw ya, kata James sebagai pecinta babi, assam laksa khas Penang itu gak pake babi sama sekali lho. Setelah aku cek di berbagai resep juga gak ada bahan-bahan mengandung babi yang dipakai soalnya ini adalah laksa seafood. Jadi harusnya aman sih kalo mau nyobain. Aku sih kurang suka, soalnya agak terlalu asam buat lidahku (iya lah, namanya juga assam laksa). 🙂
LikeLiked by 1 person
Seriuuuuussss? Coba nanti aku cek kalau ke sana lagi. Abis pas kesana aku nanya-nanya laksa yang halal, mereka pada gak tau hehehehe. Kayanya di sana belum ada ide wisata halal juga 😁😁
LikeLike
Georgetown, Pulau Pinang selalu ngangenin ya. Aku suka museum2nya, kuburannya hehe
Di Lebuh Muntri ada museum kamera, masuk tak?
LikeLiked by 1 person
Banget kak. Hehehe itu museum sebenarnya ada di dekat penginapanku, cuma karena dekat, aku tunda-tunda kunjunganku ke situ. Eh pada akhirnya malah gak sempat sama sekali ke sana hahahaaha. Langsung merasa berdosa 😁😁
LikeLike
Denger2 kabar di Penang mahu dibangun LRT kak. Semoga bisa ke sana lagi 😄
LikeLiked by 1 person
Wah kalau itu aku baru dengar. Tapi memang sih, dari bandara ke George Town nya jauh, dan taksi nya agak kurang bisa diandalkan (di seluruh Malaysia juga). Harganya kaya gak fair gitu 😁😁😁
Amiiin, insya Allah semoga.
LikeLike
Kalo ada uber mending naik uber kak. Aku kemarin via jembatan penang kak, naik travel dr hatyai waktu itu.
LikeLiked by 1 person
O iya bener juga ya. Sepertinya sih udah ada Uber di sana. Travel dari Hatyai ke Penang berapa dan berapa lama jam perjalanannya?
LikeLike
Lupa kalo harganya kak, udah setahun lepas. Waktunya sekitar 6 jam dr perbatasan Hatyai. Naik mobil van gitu.
LikeLiked by 2 people
Berarti dari Penang bisa ke Hatyai juga ya naik travel. Ah jadi punya ide nih kalau kapan2 ke sana lagi.
LikeLike
Aku waktu itu dari Hatyai ke Penang terus ke Melaka. Pas dr Penang ke Melaka naik bus.
LikeLiked by 1 person
Berarti jalur kita berlawanan. Aku justru dari Malaka ke Penang naik busnya hehehe
LikeLike
Siapa pun yang ingin menjelajah Penang mesti baca tulisan yang sangat lengkap ini Mas. Top banget. Muralnya bagus, menyatu dengan sekitar, jadi tidak terkesan hanya sebagai tambahan namun seolah sudah ada di sana dengan usia yang sama dengan tembok mana tempatnya terlukis.
LikeLiked by 1 person
Makasih Gara, ini udah aku singkat banget. Sampai pusing mutusnya mau di bagian info yang mana hehehe.
Nah iya, setuju banget. Mereka itu membuat mural dan kriya logam nya tanpa terlalu merubah dinding aslinya. Jadi kalau dindingnya sudah ditumbuhi lumut atau sedikit terkelupas ya dibiarkan saja. Jadi kesannya lebih menyatu. Dirimu harus main ke sini deh Gara. Banyak arsitektur lawas yang menarik di sini.
LikeLike
Sip Mas, semoga ada kesempatan dan sumber daya untuk ke sana ya, hehe.
LikeLiked by 1 person
Amiiiiin 😊
LikeLiked by 1 person
Suka banget dengan cara Bartzap bertutur terutama di poin “Negeri Penang : Jejak Multi Etnis di tanjung bidara” … ringkas, jelas dan informatif plus seru !!!
🙂
LikeLiked by 1 person
Makasih Eka 😊
LikeLike
Bart, kalau bercerita pasti lengkap. Salah-salah ikut menyusuri lorong lorong sempit, melihat mural dan naik transportasi yang ada di sana. Saya juga jatuh cinta pada Penang. Tak hanya Penang juga Melaka. Cara mereka merawat peninggalan kolonial dan menjualnya sebagai aset wisata, membuat kagum tak habis. Sayangnya waktu di Penang saya bersama para turis manja, kemana-mana pakai mobil, jadi banyak kehilangan detailnya 🙂
LikeLiked by 1 person
Iya ni, dan kalau dipikir-pikir secara materi Indonesia punya banyak kota yang potensial bisa digarap seperti itu ya. Cuma kita seperti belum menemukan resep yang pas supaya sukses.
Hehehehe berarti Uni harus balik lagi ke Penang, untuk mendapatkan detail-detail lainnya. Aku yakin pasti Uni bakal membawa cerita yang sudut pandangnya menarik juga. Btw, waktu itu berapa hari di sana ni?
LikeLike
Jadi kangen dengan Penang, terima kasih mas Bart tulisanya bener-bener buat aku kembali ke memori ketika mengunjungi kota ini 2 tahun lalu dan rasanya pengen banget balik lagi hehehe
LikeLiked by 1 person
Sama-sama Fer. Hehehehehe ternyata banyak yang kangen sama Penang yaaaa 😊
LikeLike
Lagian judunya kan “Mengenang Penang” yah mengenang itu kan asalnya dari kangen iya gak sih mas? maaf ya pembahasan saya agak absurd tentang kenang mengenang dan kangen hehehe
LikeLiked by 1 person
Hahaha iya bener banget. Ini juga aku tulis dalam rangka itu sih Fer. Karena kangen sama Penang 😁😁
LikeLike
jadi kangen ama penang beneran nih Bartz
LikeLike
Nah ayo ke Penang ko. Banyak tempat instagramable banget di sana, dan pastinya koko bakal puas wisata kulineran di sana 🙂
LikeLike
Gereja Saint George di George Town mirip istana mereka ya sekilas
LikeLiked by 1 person
Hehehe masa sih? Aku malah gak kepikiran kesitu Wan. Soalnya ada beberapa bangunan lain yang lebih grande di sekitarnya.
LikeLike
Iya sekilas. Bedanya nggak ada atap limas itu aja sih. Tapi sekuno-kunonya George Town keknya kamu beruntung nggak ngalami kisah horor di perjalanan kayak aku begini: https://iwantantomi.wordpress.com/2016/10/26/demi-idul-adha-di-masjid-agung-jawa-tengah/
😥
LikeLiked by 1 person
Wuih, kamu punya cerita horor. Nanti aku mampir baca deh. Eh ada sih pernah punya kisah horor, tapi kalau aku ceritain nanti kesannya aku suudzon sama golongan lelembut hahahaha
LikeLiked by 1 person
Satu catatan yang cukup indah mengenai Penang, benar-benar apresiasi sejarah dan budayanya 🙂
LikeLiked by 1 person
Terimakasih Dan. Betul sekali, aku merasa terkesan dengan pengelolaan Pulau Penang terutama George Town. Aku bisa belajar banyak dari sana.
Terimakasih sudah mampir membaca, tinggalkan komentar, dan reshare di twitter ya 😊
LikeLiked by 1 person
Negeri Penang bagus dalam menjaga warisan budaya tetapi kami tidak menghargai alam sekitar sepertimana di Indonesia. Aku cukup jatuh cinta dengan Bukittinggi di SumBar karena tempatnya begitu “untouched.”
LikeLiked by 1 person
Di situlah kita saling belajar dan mengisi kekosongan ya. Malaysia berhasil dalam mengelola warisan budaya, sementara Indonesia lebih ke arah wisata alam sekitar.
Wah kebetulan sekali bicara soal Bukittinggi, ayahku berasal dari sana. Dan aku jadi berpikir, seandainya aku ke Malaysia lagi, ingin singgah ke Negeri Sembilan yang kebetulan memiliki akar dari Sumbar. Ingin lihat sejauh apa hubungan yang masih terasa sampai sekarang.
Betul sekali soal Sumbar, potensi pariwisatanya memang masih kurang tergarap. Kami punya banyak homework terkait propinsi satu itu. Btw, Bukittinggi memang menyenangkan terutama wisata kulinernya 😊😊
LikeLiked by 1 person
Panjang, bro. Hahaha. Kayaknya bisa kamu split jadi beberapa topik 🙂
Aku cuma punya waktu kurang dari 2 hari 1 malam di Penang, Bart. Ditambah kurang riset! Banyak hal yang terlewat: karya mural yang nggak disadari, Bukit Bendera, KOMTAR, Gurney Drive, Lorong Burma, banyak deh. Andai dapat kesempatan ke Penang lagi, rasanya mau memuaskan keinginan yang tertunda.
Btw hostel di sana sama murahnya dengan di KL. Hostelku di KL 25 MYR, di sana dapat 20 MYR permalam, tapi memang dorm.
Sayangnya ada beberapa sudut di Penang yang kotor, misalnya di Little India. Banyak rumah makan yang buang limbah rumah tangga sembarangan ke selokan. Lalu dalam perjalanan ke kuil lewat jalan tol, maceeettt 😀
Tapi overall, Penang tetap lebih siap wisata daripada kota-kota historis serupa di Indonesia.
LikeLiked by 1 person
Justru ini versi pendeknya Gi. Rencananya sih memang nanti ada breakdownnya lagi, cuma gak banyak. Hehehe itulah, soal traveling kadang tempatnya sama persepsinya bisa berbeda kalau penulisnya berbeda. Aku liat hotelnya relatif mahal, dengan membandingkan yang selevel sih, bukan cuma harga aja. Bisa jadi mungkin karena itu pas high season, mungkin 😁😁
LikeLiked by 1 person
Aku dah 2x ke Penang thn 2013 n 2016, tp blm sempet ditulis sampe skrg, kerjaanku di penang itu makan2 dan jajan. Ada laksa penang yg halal dan terkenal di pasar air itam dkt kek lo si temple, rame yg beli tp yg jual org cina sdh kutanya halal dia bilang, aku gk beli soalnya lg puasa. Masih mau k penang lg soalnya msh ada tmpt jajan yg blm dicoba, ada festival durian di sana klo pas musim durian, enak bgt durian musang king malaysia. Btw aku pernah nginep di lebuh chulia dan di kimberly house di kimberly street tempatnya strategis dan murah
LikeLiked by 1 person
Wah makasih infonya. Iya nih kalau ke Penang lagi aku harus cobain itu laksa halalnya, penasaran soalnya. Waktu itu cuma makan nasi Kandar, lagi, lagi dan lagi. Trus Rujak Pasemboor, Char Kway Tiaw, sama nyobain beberapa macam es nya gitu.
LikeLiked by 1 person
Aku malah belum pernah makan nasi kandar soalnya yg di Line Clear itu lihat panci lauknya gede-gede jd keder, porsi makanku sedikit soalnya hahaha, kalau nggak sempet ke Penang buat makan laksa penang, di bandara KLIA2 ada foodcourt Quizin by Rasa nah di salah satu food stallnya ada menu Laksa Penang Bart, tapi klo mo yg lebih otentik ya ditempat asalnya
LikeLiked by 1 person
Hahaha gak usah keder, bilang aja nasinya sedikit. Gak banyak juga kok porsinya …. Menurutku 😂😂😂
Noted, makasih tambahan infonya yaaaa.
LikeLiked by 1 person
Aku ingetnya Penang tuh char kway teow, es cendol, ama hunting murals-nya haha. Eh iya, pas di sana jg, untung sempet liat festival Deepavali 🙂
Pengen balik lagi nih, yuk! 🙂
LikeLiked by 1 person
Yuuuuuk! Beneran lho.
LikeLike
waaaah jadi kangen Penang!!
Adis takdos
travel comedy blogger
http://www.whateverbackpacker.com
LikeLiked by 1 person
Emang Penang ngangenin 😊
LikeLike
Tempatnya kayak kuno2 gitu ya… tapi asik art2nya disetiap photomu….
LikeLiked by 1 person
Iya, masih ada bau-bau era kolonialnya di banyak tempat.
LikeLike
Nambah lagi info Penangnya. Rumah orang kaya klan Tionghoa yang berjaya di Penang itu artistik ya. Boleh masuk kedalam nggak liat isi rumahnya? Semoga tahun depan bisa kesana
LikeLiked by 1 person
Banget, Leong San Tong Khoo Kongsi ini pernah dijadikan set film Anna and The King yang diperankan oleh Jodie Foster dan Chow Yun Fat. Ooo boleh banget masuk dan liat-liat mbak. Keren banget kawasannya.
LikeLike
Weh, kerenlah bisa masuk, pake tiket masuk nggak? Klo iya bayar berapa? Atau jangan jangan gratis masuknya..#asyiik
LikeLiked by 1 person
Pakai tiket kak, cuma lupa berapanya. Gak mahal kok. Dan nanti dikasih stiker yg bisa kita pasang di baju, sebagai tanda bahwa kita adalah pengunjung resmi.
LikeLike
Penang ????? cuman kuliner yang gw ingat hahaha, makan disana enak semua dah murah. Kerjaan gw 4 hari disana cuman berburu warung2 kedai mamak
LikeLiked by 1 person
Jadi dirimu gak ingat di sana jalan sama siapa dan ngabisin malam bersama siapa mas? Sungguh terlalu. Ingatnya cuma makan aja hahahaha
LikeLike
Jadi kangen mantan #eh MURAL di penang maksudnya,,,
jadi kapan? kita ke penang (lagi). hahaha
LikeLike
Hahaha, itu ajakkin istrimu buat bulan madu kedua ke Penang Bud.
Sekalian mengenang mantan, #eh mural maksudnyaaaa 😀
LikeLike
Dari semua yang ada di Penang, bangunan favorit-ku Cheong Fatt Tse Mansion. Kalau makanan… hmmm, semuanya!
LikeLiked by 1 person
Itu hutanganku banget kak. Selama di sana, selalu kelewat mulu buat mampir ke Cheong Fat Tze Mansion. Harus balik lagiiii … Keren banget ya nampaknya?
LikeLike
waah lengkaap banget ceritanya sampe sejarahnya dikulik juga. mantaap 👍👍
nasi kendar itu nasi rames bukan sih mas kalo disini ?
LikeLiked by 1 person
Nasi Kandar itu kalau menurutku lebih mirip nasi kapau atau nasi Minang gitu. Rasanya mirip-mirip, walaupun secara isian ada yang berbeda. Dan sejak nyobain nasi Kandar, aku jadi suka makan okra 🙂
LikeLike
berasa ikut jalan-jalan kalo bart sudah bercerita, dan satu yang aku suka, orangnya gak narsis jadi kaya dokumenter 😀
LikeLiked by 1 person
Makasih masukannya kak. Jadi udah pas ya muncul sekali-kalinya di postingan, jangan sampai berlebihan munculnya? Hehehehe 🙂
LikeLike
tulisan jawi yang ada di petunjuk jalan itu merupakan adopsi aksara hanacaraka ya?
LikeLiked by 1 person
Itu huruf Malayalam atau Tamil sepertinya Hen, bawaan dari India. Karena kebanyakan India yang di Penang, asalnya dari India Selatan.
LikeLiked by 1 person
ooo kirain huruf jawi, mirip sih…
LikeLiked by 1 person
Sekilas dari jauh, tapi percaya deh bedanya jauuuh hehehe
LikeLiked by 1 person
Tulisanmu bikin pengen ke Penang, Bart. Semoga saya juga bisa kesana.
Penang juga salah satu daerah kayak di Malaysia, ya.
LikeLike
Insya Allah, aku doain semoga suatu saat nanti dirimu bisa sampai sana ya 🙂
LikeLike
ahhhh, jadi kangen penang. kulinernya itu lho yang bikin kangen. btw dulu gw dapet promo di tune hotel 18 ringgit per malem.hehehe
LikeLiked by 1 person
Ternyata banyak yang kangen Penang yaaa 🙂
LikeLike
jadi pengen ke Penang.. 😊
LikeLiked by 1 person
Jom main ke Penang 😊
LikeLike
Aiiih kerrreen… Tadinya, saya berpikir klo di sini g ada apa apa. Soalnya sering dengar dari orang aceh yg pergi berobat ke pulau ini. Dia bilang, biasa aja..
Apanya ya g biasa?? Kereeen gini.. tapi itu hotel mahal yaaa
Insya Allah..tahun ini harus bisa ke peneng.. amin
LikeLike
Biasa gak biasa suatu tempat sebenarnya tergantung sudah pandang juga sih bang. Bisa jadi orang Aceh yang ke Penang jalan-jalannya di sekitar rumah sakit aja. Coba kalau ke Georgetown, pasti beda. Apalagi kalau suka sejarah dan bangunan-bangunan lawas, plus makan-makan. Cuma memang kalau mau makan di Penang harus cermat pilihnya sih, terutama untuk muslim, banyak ranjaunyaaaa 😀
LikeLiked by 1 person
walaaah… jadi kalau ke penang harus ajak dikau ya? 😀
LikeLiked by 1 person
Boleh bang 🙂
LikeLiked by 1 person