Segera setelah memastikan diri untuk berangkat solo trekking ke Annapurna tahun lalu, saya memutuskan untuk mencari kamera baru. Karena selain usianya yang sudah uzur, kamera DSLR yang saya miliki kala itu ukurannya cukup besar. Begitu pula dengan lensa ultra lebar yang menjadi satu-satunya andalan saya bagi setiap pemotretan lansekap. Paduan keduanya tentu akan menghasilkan bobot yang lumayan di perjalanan.
Solo trekking memaksa saya untuk lebih memperhatikan setiap detail barang yang harus dibawa. Ringan, tepat guna, dan seringkas mungkin adalah syarat yang saya tetapkan. Setelah memilih, memilah, berdiskusi dengan beberapa kawan, dan membaca lusinan referensi, akhirnya saat itu saya menjatuhkan pilihan pada kamera Fujifilm X70.
Fujifilm: Lain Dulu, Lain Sekarang
Beberapa tahun lalu, tak pernah terlintas bagi saya untuk memiliki kamera digital buatan Fujifilm. Selain karena tak banyak penggunanya, selama 10 tahun lebih saya terhitung setia pada satu jenis merek. Yaitu, Canon. Saya pernah menggunakan beberapa varian kamera dari merek mapan tersebut. Mulai dari jenis consumer, prosumer, hingga kelas profesionalnya. Baik untuk keperluan dokumentasi pribadi, maupun komersil kecil-kecilan. Untuk proyek foto dan juga video clip.

Namun kini berbeda, Fujifilm telah memikat hati saya. Alasan awalnya cukup sederhana. Karena Fujifilm membawa kembali nostalgia, melalui fitur film-simulationnya. Sebagai fotografer yang sesekali masih menggunakan kamera analog, fitur satu itu sangatlah menarik hati. Dan setelah saya telaah lebih jauh, ternyata kamera-kamera Fujifilm lebih dari itu. Mereka memang pantas untuk dijadikan andalan.
Kini Fujifilm menjadi salah satu pemain yang cukup diperhitungkan di pasaran. Terutama pada kelas mirrorless. Baik yang mengadopsi sistem fokus SLR maupun rangefinder.
Fujifilm X70: Kecil-Kecil Cabe Rawit
Saya menjatuhkan pilihan pada kamera ini, karena ukurannya yang ringkas. Dan sebagai kamera kelas prosumer, Fujifilm X70 memiliki fitur-fitur yang cukup lengkap. Seolah-olah sebuah kamera profesional dalam genggaman.
Saya hampir tak menemui kesulitan yang berarti ketika menjelajahi sistem antar muka penggunanya. Menu-menunya mudah dipelajari dengan cepat, meskipun ada beberapa hal yang baru bagi saya. Sistem presetnya pun sangat menarik. Terutama dengan adanya fitur film simulation yang mengadopsi tonal film-film buatan Fujifilm yang sudah terkenal, seperti Provia, Astia, Velvia, Pro. Negative dan ditambah dengan Classic Chrome yang eksotis.

Fujifilm X70 memiliki tampilan retro, menyerupai kamera rangefinder klasik. Hanya saja ia tak memiliki jendela bidik, dan digantikan oleh sebuah layar sentuh LCD yang dapat diputar hingga 45 derajat ke bawah dan 180 derajat ke atas. Dipadu dengan lensa sudut lebar 18.5 mm, maka kamera ini cocok untuk membuat foto selfie yang keren dan merekam lansekap Himalaya yang megah. Benar-benar pas dengan kebutuhan saya untuk solo trekking kala itu.
Saya juga sangat suka dengan cara Fujifilm meletakkan cincin diafragma X70, yang berada langsung pada lensanya. Tinggal putar saja, maka jumlah cahaya yang dibutuhkan bisa diatur seketika. Tak perlu lagi repot mengakses tombol kontrol pada panel belakang. Selain itu, hal ini juga memberikan sensasi ‘penggunaan kamera analog’ yang lebih nyata.

Dan yang paling menyenangkan adalah kamera ini juga dilengkapi dengan fitur WiFi. Yang memudahkan saya untuk memindahkan gambar ke dalam gawai. Sehingga dapat disunting, dan diunggah ke dunia maya segera. Selain itu, dengan bantuan aplikasi Fujifilm Camera Remote -yang dapat beroperasi di sistem Android dan iOS-, saya juga dapat mengoperasikan kamera ini dari jarak jauh. Sekali lagi, urusan selfie menjadi lebih mudah.
Menurut saya, kekurangan minor dari kamera ini hanya terletak pada baterenya yang sedikit boros -akibat penggunaan LCD terus menerus, karena tak ada jendela bidik-, dan juga tombol aktivasi videonya yang kurang ergonomis. Selain itu? Tak ada masalah.
Kamera Segala Medan
Fujifilm X70 kemudian menjadi kamera andalan saya dalam satu tahun terakhir. Bahkan boleh dikata, saya tak pernah lagi menggunakan DSLR setelahnya. Saya membawa kamera ini hampir dalam setiap kesempatan, terutama ketika bepergian dan berpetualang. Mulai dari berburu pantai, trekking di hutan, menyusuri sudut kota, mengulas penginapan, memotret makanan, hingga kembali lagi untuk solo trekking ke Himalaya di awal tahun ini.
Pada awalnya saya sempat agak ragu ketika akan membeli kamera satu ini. Karena lensanya yang fixed, alias tak bisa diganti-ganti. Pun ia merupakan lensa sudut lebar. Yang berarti saya harus lebih berhati-hati untuk menggunakannya dalam foto-foto portraiture, karena pasti akan ada efek distorsi lensa. Dan juga saya harus siap untuk ‘menggunakan bantuan kaki’ lebih banyak, jika membutuhkan zoom-in dan zoom-out.
Namun, entah mengapa pada akhirnya saya merasa tertantang. Fixed lens, siapa takut?
Dan memang, kemudian waktu membuktikan segalanya. Saya hampir tak memiliki kendala dan keluhan selama menggunakan kamera ini. Meskipun lensanya tunggal dan bersudut lebar.
Ukurannya yang ringkas, bobotnya yang ringan, layar sentuh LCD nya yang dapat diputar, dan fitur remote WiFi, membuat kamera ini cocok untuk keperluan street photography. Terutama ketika saya berada pada posisi yang agak rikuh untuk membidikkan lensa secara terbuka. Kamera ini memungkinkan saya untuk mengambil gambar selayaknya mata-mata. Cukup gantungkan di leher, lalu operasikan melalui gawai. Meskipun, sebenarnya ini adalah hal yang sangat jarang saya lakukan.
Bukaan diafragma lensanya yang maksimal pada f/2.8 dan teknologi ISO dari Fujifilm yang mumpuni, juga mempermudah saya dalam memotret pada kondisi minim cahaya. Seperti misalnya ketika saya mengulas Hotel iBis Styles Jakarta Mangga Dua Square, yang pencahayaan kamarnya diatur untuk bermalas-malasan. Kamera ini mampu mereproduksi warna interior hotel itu dengan sangat baik, meskipun agak remang-remang.
Begitupun ketika harus memotret makanan. Dengan film simulation standar Provia ataupun Astia, warna yang dihasilkan cukup alami. Saya hampir tak perlu mengatur kembali warnanya dengan software pengolah gambar sesudahnya. Berbeda dari DSLR saya sebelumnya, yang cenderung menghasilkan warna sangat datar dan membutuhkan pengaturan kembali sebelum dipresentasikan.
Selama saya gunakan, kamera ini mengalami ujian tertingginya pada suhu ekstrim sebanyak dua kali. Yaitu ketika saya berada di Annapurna Base Camp di bulan April 2016, dan Everest Base Camp di bulan April 2017. Ternyata, pada suhu sedingin (sekitar -10 derajat Celsius) itu pun, kamera ini masih dapat berfungsi dengan sempurna. Dan tetap baik-baik saja sesudahnya.

Bagi saya, Fujifilm X70 adalah salah satu kamera travel terbaik yang pernah saya miliki. Ringkas, ringan, berfitur lengkap, performa bagus, dengan kualitas gambar yang menawan!
Saya rasa, jika kalian membutuhkan sebuah kamera travel yang dapat diandalkan di segala medan, bersedia untuk lebih banyak ‘menggunakan bantuan kaki’, serta tidak bermasalah dengan distorsi, maka Fujifilm X70 ini sangat pantas untuk dipertimbangkan.
Disclaimer: Tulisan ini tidak disponsori oleh pihak Fujifilm manapun. Dan ulasan yang dituliskan di atas, baik kelebihan maupun kekurangan, merupakan opini murni dari pengalaman saya selama menggunakan kamera Fujifilm X70.
bagi generasi 90an, model kamera dengan desain vintage seperti ini memang membangkitkan kembali nostalgia, masih ingat betul pas SMP saat bareng teman2 sehabis ujian traveling rame2 ke sungai sih tapi saat itu memakai kamera analog, foto2nya masih kusimpan walaupun kamera juga hasil minjam. hehehehe beberapa hasil foto juga ada yang terbakar, terus lensanya tertutupi jempol pada bagian pojoknya, pokoknya lucu kalau diingat
LikeLiked by 1 person
Dan ternyata memang saat ini, bentuk kamera yang vintage tapi fiturnya canggih, justru yang sedang naik daun ya.
LikeLiked by 1 person
iya bener…bahkan popularitas roll film datang lagi : )
LikeLiked by 1 person
Betul! Masih suka main film (kamera analog) Hen? Aku sesekali masih. Malah ada beberapa roll yg belum aku pakai nih.
LikeLiked by 1 person
nggak…terakhir ya pas SMP itu hahaha
LikeLiked by 1 person
Ayooo dicoba lagi. Apa perlu aku main ke Banjarnegara sambil bawa film roll-rollan? 😀
LikeLiked by 1 person
kangen juga sih, seni menggunakan kamera analog, dari sekian jatah roll pasti ada yang kebakar wkwkwkw
LikeLiked by 1 person
Waduh, kalau kebakar sih aku udah jarang. Tapi missed-focus kadang-kadang masih ada 🙂
LikeLiked by 1 person
lah dulu kan taunya maen pencet aja, eh aku foto2nya masih ada, nanti tak posting di instastory hehehe
LikeLiked by 1 person
Tag yaaa 🙂
LikeLiked by 1 person
iya…tapi hasilnya jelek banget wkwkw, kalau dilihat bikin malu sendiri
LikeLike
lagi melirik dan menimbang – nimbang benda itu, lha pas dibahas di sini. sebagai canoners, pernah juga pakai fuji jaman lampau; makin tergoda baca review-mu kk Bart, mulai keberatan bawa dslr 😂
LikeLiked by 1 person
Wah, kebetulan banget dong kak Olip. Bisa ditelaah lagi kurang lebihnya di tulisanku ini. Sejauh ini, menyenangkan kok pakai kamera ini.
LikeLike
Aku belum pernah pakai fuji, rencananya sih mau nambah kamera fuji; dan sekarang masih nabung semabri mencari target hahahahah
LikeLiked by 1 person
Ayo nabung nabung yang rajin. Semoga segera terbeli ya Rullah 😊
LikeLike
Sama ya ternyata kita. Aku dulu awalnya pakai kamera pocket Cannon. Lalu sekarang pake mirrorless fuji X-A2. Harganya beti2 lah sama ini. Gambarnya emang lebih bening sih. Puas pokoknya hehehe. Tapi yang menyebalkan, pas di Bangkok, kamera itu gak sengaja jatuh dan belum direparasi sampai sekarang. Hiks 😥
LikeLiked by 1 person
Wah, sayang banget. Bagian mananya yang rusak? Kalau gak bisa dibenerin, beli yang baru aja Di hehehe …
LikeLike
akusik setia dengan SLR ku tapi terkadang tergoda mirrorlesz karena lebih ringkas badannya.
tak kira X70 ini bisa digangi lensanya, eh .. ternyata fixed. tapi hasil fotl e kinclong . sippp
LikeLiked by 1 person
Hati-hati mbak, makin kemari mirrorless makin menggoda lho. Dan justru keringkasannya itu yg membuat kita tergoda, karena performanya sudah bisa menandingi DSLR yg sudah mapan.
Jangan khawatir soal lensa fixed, kalau sudah jadi pegangan sehari-hari dan satu-satunya, lama-lama juga terbiasa kok. Menyenangkan.
LikeLike
Yang satu pake Olympus. Yang 2 lagi setahuku pake Fuji 😀
LikeLiked by 1 person
Sama. Bahkan jikapun akan ganti kamera, kayaknya mau beli DSLR lagi. Soalnya kok beberapa temen yang pake mirrorless pada rentan ya kameranya. Dikit-dikit rusak. Dan aku tahu mereka termasuk telaten ngurusin kamera, bukan orang yang sembarangan. Apa kebetulan aja ya? haha, soalnya ya balik-balik ke orangnya juga sih.
LikeLiked by 1 person
Kayanya aku tau deh salah satu temanmu yang mirrorless nya sering rusak. Bisa infoin gak Yan, mereka pakai brand nya apa? Soalnya yang aku tau selama ini Fujifilm sih jarang ada masalah.
Jangan-jangan hanya mirrorless tertentu, atau memang itu kasus yang spesifik banget.
Tapi memang iya sih, pada akhirnya itu kembali ke orangnya juga.
LikeLike
Ini ada colokan eksternal micnya gak? Kan buat ngevlog juga bakalan bening suaranya klo ditambah mic ehehe. The best camera is the one that you can afford to buy 🙂
LikeLiked by 1 person
Ada Lid. Tapi ukurannya 2.5 mm, jadi harus ditambahin converter lagi karena rata-rata jack mic yg beredar di pasaran kita itu ukurannya 3.5 mm.
Tapi murah kok converternya, cuma 10 ribu rupiahan aja. Aku sampai beli dua hehehe …
Indeed Lid, I do agree with you.
LikeLike
Bagus mas, tapi bingung mau komentar apa soalnya saya sudah pakai Sony. hahahahaa. Tetapi apapun itu, kamera ringkas itu memang sangat penting. Makanya saat sony mengeluarkan seri full frame denganbody agak besar saya agak sedih. karena sejatinya esensi mirroles adalah kamera kecil ber sensor APSC
LikeLiked by 1 person
Awalnya aku juga sempat naksir Sony. Tapi setelah lihat kemungkinan ke depannya bakal beli lensa tambahan, langsung mundur. Sony mahal-mahal 😀
Iya ya, Sony justru bikin ngeluarin seri full frame. Dengar-dengar lensa 35 mm nya pun lumayan bulky. Padahal aku sekarang justru pengen mendedikasikan diri di lensa cakupan segitu.
LikeLiked by 1 person
Gak ah mas, malah lebih kecil banget 35mm. Kalo 85 -1.4 10- 18 baru lebih tebel. Overall sebenarnya bisa disiasati pake manual biar lebih murah. hahahhaa. Harga lensa juga kalo untuk apsc standart. hehehe
LikeLiked by 1 person
Masa sih mas? Soalnya aku lihat di blog nya Nicoline (fashion photographer) kok besar ya? Atau jenis lainnya ya, dan aku salah baca hahaha … Iya sih bisa diakalin pakai manual.
LikeLike
Hahahah dia beli yang seri G master mas. Jenis lensa setara zeiss. Itu emang gede-gede :D. Kalo seri SEL sih kecil
LikeLiked by 1 person
Terima kasih untuk ulasannya yang sangat jujur. Ini bisa jadi salah satu pertimbangan saya kalau-kalau suatu hari nanti kamera perlu diganti, hehe. Memang nggak usah diragukan ya kualitas kamera Fujifilm ini. Teruji untuk segala situasi. Dengan demikian nggak usah punya banyak kamera untuk situasi yang berbeda-beda, hehe. Betul, DSLR kadang bisa jadi agak membatasi dengan ukurannya yang lumayan. Saya ada satu mirrorless, dan kalau bawa itu, rasanya jadi seperti tidak bawa kamera, hihi. Memang ya, perkembangan zaman menuntut semua jadi lebih ringkas.
LikeLiked by 1 person
Iya Gara, kayanya sekarang itu tuntutan jamannya begitu. Benda harus semakin ringkas, ringan, tapi hasil kerjanya bagus.
Sama-sama Gara, makasih lho sudah mampir. Kapan-kapan kita hunting foto dan tukar cerita sejarah bareng yaaa.
LikeLike
Kuy Mas, diagendakan, hehe… kebetulan saya lagi sering ke Bogor, hihi.
LikeLiked by 1 person
Harus cocokkin jadwal pas aku mendarat nanti ya Gara 🙂
LikeLike
Siap!
LikeLiked by 1 person
Kak hasil photomu bagus. Pengen jg pakai fuji tp no hepeng
LikeLiked by 2 people
Mauliate Win ,,, Manabung ma ho asa adong heppeng mu 😉
LikeLike
Kayaknya punya kamera bagus itu sebuah investasi ya mas, asik banget foto-fotonya jadi keren semua. 😀
Jadi ingin nabung buat beli kamera. 🙂
LikeLiked by 2 people
Bagus dan gak bagus pada akhirnya jadi relatif sih, karena kita selalu melihat kamera di atas kita. Tapi ada satu titik, dimana ‘rasanya kamera ini sudah cukup’ … untuk mengcover kebutuhan dan mengembangkan sisi kreatif kita. Dan ada juga satu titik dimana kita merasa butuh upgrade. Pengelamanku sih begitu Gung 🙂
Tapi memang, kamera yang ‘cukup mumpuni’ itu investasi yang bagus.
Ayo nabung yang rajin, biar bisa beli kamera yang cukup mumpuni yaaaa 🙂
LikeLiked by 1 person
Wuidiih fotonya keren2…
Saya juga baru bbrp bulan ini memantapkan hati pake mirrorless fujifilm, tapi baru XA-3, hehe.
Mudah2an saya bisa punya kesempatan hunting foto keren juga.
LikeLiked by 2 people
XA3 juga udah oke dan cukup tuh mas untuk bikin foto-foto yang keren. Aamiin aamiin saya doain mas, biar bisa hunting foto yang keren-keren. Dirajinin ya ngeblog nya. Baru aktif lagi khan? Hehehe …
LikeLike
Iya baru bisa aktif lg nih mas.
Kemarin2 ampir gak punya waktu yg luang untuk nulis2. D kantor sibuk, d rumah hectic krna ada bayi.
Tp alhamdulillah skrg anak udah lumayan gede jadi sy bisa nyempet2in buat nulis, hehehe.
LikeLiked by 1 person
Siip, ditunggu cerita-ceritanya mas. Semangaaaat 😊
LikeLiked by 1 person
Mupeng sih… tapi, … -_- *nelan ludah lihat harganya*
LikeLiked by 2 people
Sekenan yang bagusnya juga banyak kok Eka. Cuma harus pandai-pandai milihnya aja 🙂
LikeLike
Wow kameranya kece, ulasan yang bermanfaat Bart, soalnya orang kalo mau beli kamera tuh harus baca banyak referensi soalnya harganya mahal dan nggak mau kecewa kan setelah dibeli fitur dan hasilnya mengecewakan meskipun sebenarnya hasil foto tergantung skill fotografer itu sendiri
LikeLiked by 2 people
Semoga ulasan yg gak dalam-dalam ini bisa membantu yaaaa.
Aku setuju kalau hasil foto itu tergantung dari fotografernya. Tapi photo-gear yg pas juga akan membuat foto yg dihasilkan jadi jauh lebih memuaskan. Intinya sih perpaduan keduanya lah.
LikeLike
Keren-keren hasil fotonya. Kadang kamera seperti Fujifilm x70 memang membantu dengan kualitas lensa dan opsi shooting yang menyeni tapi si tukang potret-nya ini kayaknya jagoan juga 😀
LikeLiked by 2 people
Hehe makasih mbak Indah.
Untuk yang suka jalan sendiri dan gak mau repot, kamera-kamera macam X70 ini memang membantu banget.
LikeLike
Absolutely fantastic photos ~ beautiful work.
LikeLiked by 2 people
Thank you so much Dalo 🙂
LikeLike
Aku pernah pakai kamera Fuji X-M1 dan X-E2. Nyobain punya temen sih lebih tepatnya. Dan emang ya ada harga ada kualitas. Wkwkwkw.
Tapi pas nyoba X-E2, agak bingung sih. Mungkin karena nyobainnya cuma bentar terus belum biasa kali ya.
LikeLiked by 2 people
Bingungnya di bagian mananya? Iya sih itu biasa, kalau baru awal kita agak bingung-bingung dikit. Tapi kalau dah biasa pasti asik 🙂
LikeLike
Ahaha ya bingung wajar sih. soalnya gak pernah pegang aja
LikeLiked by 1 person
Iya, siapapun pasti butuh waktu buat adaptasi dengan kamera pada kali pertama. Jangankan beda brand ya, untuk brand yang sama tapi beda tipenya aja pasti kita butuh waktu. Kaya semalam aku nyobain pakai Fujifilm XPro1, waktu awal-awal masih bingung dengan sistem fokus manualnya 😀
LikeLiked by 1 person
Ahahaha iya iya bener kak bart
LikeLiked by 1 person
Kamera yang bagus ni Bart, cantik gambarnya!
Aku dulu pakai kamera compact biasa aja. Kemudian guna compact Fujifilm. Sekarang suka sama mirrorless Nikon, terus guna Nikon J5 Hehe
LikeLiked by 2 people
Betul Khai, cocok untuk light traveling.
Mirrorless nya Nikon aku belum pernah coba, tapi yang pasti kualitas Nikon sudah terbukti tajam dan jernih ya 🙂
LikeLike
temen aku rekomendasikan camera fuji X70 ini, dan aku merasa jadi lebih yakin camera ini sangat baik setelah baca review kakak..
cuma ada 1 hal yang masih ragu,
karna sebenernya kebutuhan foto aku bukan unt traveling, melainkan unt portfolio makeup aku, apakah camera ini cocok?
karna sebelumnya aku pakai canon eos m10 dan hasilnya tidak tajam dan tidak sebaik fuji seri X-A10 dkk nya..
hampir semua makeup artis menggunakan fuji X-A3 10 dkk karna hasilnya seperti pakai kamera beauty, detail n bagus juga..
aku butuh pendapat kakak, apakah camera X70 ini rekomend unt foto portfolio makeup / potrait / orang?
makasih kak
LikeLiked by 2 people
Hai Bernike, terimakasih sudah mampir baca dan tinggalkan komentar di sini ya.
Ok, aku akan coba bantu jawab. Secara pribadi sih, seandainya kebutuhanmu lebih untuk foto portrait/make-up/orang, aku akan lebih sarankan setidaknya ambil seri X-A10 atau X-A3 saja. Karena lensanya yang lebih fleksibel. Dengan lensa kit alias bawaan merekapun dirimu sudah bisa membuat foto-foto make-up atau portrait yang bagus. Terutama jika lensanya diset pada panjang fokus 35 mm ke atas.
X70 ini sebenarnya cukup bagus, hanya saja karena fokus lensanya yang 18 mm, maka akan kurang cocok untuk foto wajah. Karena akan terjadi distorsi, yang membuat wajah model terlihat lebih lebar atau kurang serasi.
Tapi aku sih berani jamin, semua kamera-kamera Fuji kualitas gambarnya keren-keren.
Semoga cukup terbantu dengan jawabanku yaaa 🙂
LikeLike
sekali lagi, makasi banyak kaka bart… informasinya selalu informatif dan tepat guna. saya tau, saya mau apa ! ditunggu review kamera barunya. horay!!
LikeLiked by 1 person
Sama-sama Nita.
Alhamdulillah, kalau tulisan ini bermanfaat dan membantu untuk mengambil keputusan.
Siaaap, insya Allah kalau dah punya data yang cukup mewakili dibikin ulasannya deh. Sejauh ini sih, asik-asik aja. Justru yang pengen diulas adalah lensanya 😀
LikeLike
Lahi galau cari kamera Baru buat travelling , eh nyasar kesini. Sudah pakai LSR selama ini, tapi kok berat ya… apalgis ekarang bagasi bayar. huhuhu. aku baca baca lgi deh reviewnya tentang fuji tentu saja disesuaikan dengan budget
LikeLike