Tenzing-Hillary Lukla: Memacu Adrenalin Pada Bandara Paling Berbahaya di Dunia

tenzing-hillary-lukla-airport-bartzap-dotcom

Ini satu rahasia! Meskipun saya senang bepergian ke tempat-tempat yang jauh, sesungguhnya saya tak begitu suka terbang.  Namun, terbang adalah sesuatu yang tak mungkin saya hindari. Jangankan untuk melanglang buana, pekerjaan saya pun mengharuskan untuk terbang secara rutin. Setidaknya, sebulan dua kali saya harus terbang dengan menggunakan pesawat dan helikopter sekaligus. Tak terbang, maka tak gajian.

Tak peduli apapun maskapainya, sesi terbang adalah sesuatu yang membuat saya kurang nyaman. Terlebih jika pada sepanjang perjalanan terjadi goncangan, ataupun cuaca yang tak menyenangkan. Membayangkannya pun rasanya sudah malas. Tapi anehnya, saya justru merasa bersemangat ketika mengetahui harus terbang menuju Lukla, sebagai bagian dari perjalanan solo trekking ke Everest Base Camp (EBC) di Nepal, dua minggu yang lalu.

Rasa gugup memang tetap ada, karena Lukla menjadi kunci pembuka dan penutup solo trekking kali ini. Dan bagaimana pula tak gugup? Jika kemudian saya tahu bahwa bandara di Lukla merupakan yang paling berbahaya nomor satu di dunia.

Bandara Tenzing-Hillary Lukla: Mengapa Ia Berbahaya?

Lukla merupakan pintu masuk bagi setiap trekker dan pendaki yang bermaksud untuk menaklukkan puncak-puncak Himalaya, yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Sagarmatha. Selain puncak Everest yang melegenda, taman nasional kebanggaan Republik Nepal itu juga menjadi tuan rumah bagi beberapa puncak lain yang tak kalah menariknya. Sebut saja Ama Dablam, Thamserku, Makalu, Lobuche, Pumo Ri, Gokyo Ri, Nuptse, Lhotse, Lhotse Shar, Imja Tse, hingga Mera.

Lukla sebagai pintu masuk menuju Taman Nasional Sagarmatha.

Nama Tenzing-Hillary disematkan kepada bandara di Lukla sebagai sebuah penghormatan bagi Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay Sherpa, yang dikenal sebagai manusia-manusia pertama yang sanggup mencapai puncak Everest. Selain juga kepada upaya Sir Edmund Hillary yang merintis pembangunan bandara di Lukla.

Bandara ini terletak pada ketinggian 2800 meter di atas permukaan laut. Dengan landas pacu tunggalnya yang memiliki panjang 460 meter, lebar 20 meter, dan tingkat kemiringan 12 persen. Serta dilengkapi dengan empat apron untuk pesawat, dan satu landasan helikopter.

Pendaratan hanya bisa dilakukan melalui runway 06 di timur laut, sementara untuk lepas landas menggunakan runway 24 di barat daya. Dimana ujung ujung runway 06 merupakan jurang sedalam lebih dari 600 meter, dan ujung runway 24 adalah tebing bebukitan.

Sebuah pesawat bersiap lepas landas meninggalkan Lukla. Sebelum jurang harus sudah berhasil mengudara!

Akibat letaknya yang diapit oleh pegunungan, maka sesi terbang berputar-putar untuk mencari pendaratan terbaik tidak mungkin dilakukan. Hanya ada dua kemungkinan saja dalam sekali pendaratan. Berhasil atau gagal!

Berdasarkan desainnya, selain menggunakan helikopter, bandara ini hanya dapat diakses oleh pesawat berjenis small-fixed-wing dan short-take-off-and-landing (STOL), seperti Dornier Do 228, Let 410 UVP-E20, dan De Havilland Canada DHC-6 Twin Otter.

Pesawat jenis DHC-6 Twin Otter milik Tara Air, dan Let 410 UVP-E20 milik Goma Air di apron Bandara Tenzing-Hillary Lukla.

Karena faktor topografi, landasan pacu yang pendek dan miring, udara yang tipis, jalur mendarat serta lepas landas yang tak bisa diubah, dan faktor cuaca yang sulit ditebak, maka bandara ini ditasbihkan sebagai yang paling berbahaya di dunia.

Dibutuhkan pilot-pilot dengan keberanian serta kecakapan yang tinggi, untuk dapat mendarat serta lepas landas secara selamat pada Bandara Tenzing-Hillary Lukla.

Pengalaman Terbang dan Mendarat Paling Menantang

Meskipun penerbangan saya dijadwalkan pada pukul 7.45 pagi, saya sendiri sudah berada di terminal domestik Bandara Tribhuvan Kathmandu sejak dua jam sebelumnya. Demi check-in yang tepat waktu, dan berjaga-jaga untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan.

Dan benar saja.  Sepagi itu antrian calon penumpang yang didominasi oleh para trekker dan pemandunya sudah mengular di konter-konter check-in. Tumpukan tas-tas logistik mereka ikut berjejalan di sekitar jalur yang ada. Suasana check-in pun tak semulus yang saya bayangkan. Karena tampak para pemandu yang umumnya sudah mengenal petugas bandara, bisa dengan mudahnya menyerobot antrian.

Beberapa kali saya harus mundur kembali ke garis belakang, karena petugas bandara mengatakan jika pesawat untuk saya belum tersedia. Yang kemudian saya curigai, bahwa sebenarnya kursi pesawat tersebut lebih didahulukan bagi para trekker yang akan berangkat secara berkelompok. Hal itu pun dibenarkan oleh beberapa trekker lain dari Ukraina, Amerika, dan Itali yang mengantri bersama saya.

Setelah drama antrian yang cukup lama, akhirnya saya berhasil mendapatkan boarding pass untuk penerbangan pukul 9.30 pagi. Yang berarti dua jam lebih lambat dari jadwal yang seharusnya.

Boarding pass Tara Air menuju Lukla, yang sangat collectible.

Kala itu saya memilih Tara Airlines, yang merupakan anak perusahaan dari Yeti Airlines, sebagai maskapai yang akan mengangkut saya ke Lukla. Dan kebetulan saya mendapatkan pesawat berjenis DHC-6 Twin Otter yang bersayap tinggi dan berbaling-baling ganda.

Bangku-bangku di dalam kabin penumpang yang beratap rendah itu memiliki susunan dua lajur di sebelah kanan, dan satu lajur di sebelah kiri. Dengan ruang kemudi yang terbuka tanpa pintu. Sehingga semua penumpang bisa melihat dengan jelas kesibukan pilot dan co-pilot, serta peralatan terbang dan navigasinya. Sementara seorang pramugari cantik yang berbaju khas Tibetan mendampingi kami di bangku paling belakang.

Pramugari Tara Airlines, dan kostum Tibetan nya.

Tak ada sesi safety briefing yang lengkap a la penerbangan domestik biasanya. Hanya sebuah instruksi untuk membaca kartu keselamatan yang ada, pembagian gula-gula susu dan kapas penutup telinga, serta peringatan untuk mengencangkan sabuk pengaman sebelum keberangkatan. Ditambah satu bocoran, bahwa penerbangan pagi itu akan diselingi oleh guncangan turbulensi yang cukup mendebarkan! Pfiuuh.

Dan terbukti. Setelah 15 menit dari lepas landas yang cukup mulus di Kathmandu, penerbangan pagi itu mulai dihiasi oleh guncangan yang memompa jantung. Karena ukuran pesawat yang sangat kecil, membuat guncangan-guncangan itu terasa jauh lebih dahsyat daripada yang pernah saya alami sebelumnya. Kami seperti dibanting-banting berulang kali di udara. Dan dengan jelas saya bisa mengamati pilot serta co-pilot yang sibuk mengatur ini dan itu di ruang kemudinya, demi menstabilkan pesawat yang tampak tua dan sangat manual itu.

Namun, tak ada yang lebih mendebarkan daripada ketika pesawat mulai menukik ke arah bawah, tanda jika kami akan segera mendarat. Barisan pegunungan Himalaya yang gagah dan bersaput salju terlihat angkuh di kejauhan. Sementara landas pacu bandara Lukla yang pendek, mulai tampak menanti kami di antara bebukitan dan jurang yang menopangnya.

Geraman mesin dan baling-baling pesawat terdengar semakin kuat dan bising, seolah berusaha menahan laju tukikan. Sementara hantaman sisa guncangan turbulensi masih saja menggetarkan tubuh pesawat. Kesibukan di dalam ruang kemudi pun semakin meningkat. Sesekali saya melihat pilot dan co-pilot tampak berusaha menahan gagang kemudi sekuat tenaga, sembari mengatur tuas throttle demi menjaga keseimbangan pesawat.

Hingga kemudian …

Braak!!“, suara hantaman keras roda pesawat yang menyentuh landasan, memberi tanda jika kami sudah berhasil mendarat di Lukla.

Alhamdulillaah, akhirnya!


Meskipun Lukla dapat dicapai melalui perjalanan darat, sesi terbang tetap menjadi opsi yang paling banyak diambil oleh para trekker maupun pendaki Himalaya. Karena dapat mempersingkat waktu dan menghemat tenaga. Sebab untuk mencapai Lukla, dari Kathmandu hanya dibutuhkan waktu selama tiga puluh menit saja melalui perjalanan udara. Sementara perjalanan darat, baik dengan kendaraan ataupun trekking, paling cepat akan memakan waktu selama tiga hari.

Jika cukup beruntung, sepanjang penerbangan kita sudah bisa mengintip Himalaya di kejauhan. Bangku kiri adalah posisi terbaik.

Dan walaupun terbang ke Lukla jauh lebih mahal dibandingkan perjalanan darat, sesi terbang ini wajib untuk dicoba. Karena akan memberikan sensasi berbeda bagi siapapun yang melakukannya. Termasuk pengalaman terbang sejajar dengan barisan atap dunia.

Kapan lagi khan terbang menuju atau dari bandara paling berbahaya di dunia? Siapa lah yang tak terpacu adrenalinnya.

Berani coba?

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

154 thoughts on “Tenzing-Hillary Lukla: Memacu Adrenalin Pada Bandara Paling Berbahaya di Dunia

  1. Aiihhhh harus nya lebaran ini saya sudah traveling ke sini, tapi gagal karena sesuatu hal… mudah2 tahun depan gak ketunda lagi. Kayaknya gw harus nyoba bandara yang satu ini deh bang . hahahaha
    tapi ngomong-ngomong ternyata budaya kolusi dan nepotisme itu memang ada dimana-mana ya bang… ck…ck..ck..

    Liked by 1 person

    1. Semoga secepatnya bisa ke sana yaaaa. Aamiin 😊

      Hehehe iya KKN ada di mana-mana. Tapi di Nepal lumayan sih untuk pelayanan publiknya cukup jelas biaya2 resminya.

      Like

  2. hiyyyy … serem tapi kerennn .. sya pernah lihat liputannya di nat geo … memang seremmmm, ternyata om bartzap mengalaminya secara langsung …. hebatttt.
    ga kebayang deh gimana rasanya .. seharusnya SOP sebelum penerbangan diharuskan para penumpang menuliskan surat wasiat … hahaha

    Liked by 1 person

    1. Saran saya, cobain ABC dulu deh. Kalau disuruh membandingkan bagusan mana itu agak susah. Soalnya baik ABC dan EBC memiliki keistimewaan masing-masing, termasuk juga kesulitannya. Agak sulit dibandingkan begitu saja.

      Tapi kalau saya ditanya, saya akan sarankan untuk mencoba ABC dulu. Soalnya kalau sudah pernah EBC nanti malah bisa meremehkan jalur trekking lainnya. Meskipun sebenarnya gak perlu gitu sih …

      Like

    1. Waktu itu saya menggunakan Yeti Airlines dan kalau gak salah harganya sekitar USD 249 pp. Untuk lebih jelasnya bisa langsung kunjungi websitenya, silakan digoogling ya, dengan keyword Yeti Airlines.

      Saran saya sebaiknya beli jauh-jauh hari secara online. Waktu itu saya membeli sekitar 3 bulan sebelum keberangkatan, karena kursinya yang terbatas.

      Liked by 1 person

      1. Waduh, saya 1,5 bulan lagi berangkat belum booking tiket, tadinya mau beli langsung krn saran di tripadvisory ada yg beli langsung.. khawatir penerbangannya reschedule terus krn cuaca baiklah mungkin ini masih keburu booking sprtinya krn pergi off season tdk bgtu ramai

        Liked by 1 person

      2. Kalau soal cuaca memang gak bisa diprediksi. Tapi sebaiknya beli tiket saja dulu, karena kalau harus direschedule itu bisa, selama ada tiket. Tapi kalau go show belum tentu dapat seat.

        Liked by 1 person

    1. Kadang memang masalah terbang itu mau gak mau harus mau ya, kalau udah urusan bepergian … apalagi kalau harus nyebrangin laut 😀

      Like

  3. Aaakkhh akhirx mampir juga d blogx om Bart..
    Jadi ikutan deg-degan ngeliat ekspresi fotox d sesi mendarat antara seru-takut-dan pengen pipis yaaaa beda tipis laaahh 😂😂
    Boleh d share itinx kmrn ga om *pasangmukamemohon

    Kereenn om, mudah2an bs cpt nyuzul jejakx om bart lewat itinx juga

    All the best om

    Liked by 1 person

    1. Sejauh ini memang tulisan saya lebih ke travel experience nya aja mbak. Soalnya di luar sana, sudah banyak teman-teman yang lebih jago dan rajin nulis itinerary 🙂

      Tapi mungkin nanti kalau sudah ada waktu, saya bikin tulisan yang berkaitan dengan itinerary. Cuma konsepnya lebih ke tulisan berseri sih. Doakan 🙂

      Like

  4. Kemaren Februari 2018 ke sono, cuman gak sempet merasakan mendarat di Lukla, karena pas berangkatnya ada badai, jadi milih naik heli dan turun di Surke (desa kecil di bawah Lukla), pulangnya baru nyobain take off dari Lukla ke Kathmandu naik Tara Air dan sepanjang perjalanan rasanya kayak naik prosotan, asli serem banget, tapi pengen balik lagi.

    Liked by 1 person

Leave a comment