Masjid Menara Kudus: Dari Palestina ke Tanah Jawa

Jika saya harus menilai, dari seluruh masjid yang pernah saya kenali, maka Masjid Menara Kudus adalah yang paling istimewa. Karena kompleks masjid serta makan Sunan Kudus (Raden Ja’far Shadiq) itu menjadi tempat saya menghabiskan masa kecil hingga awal remaja. Kebetulan rumah keluarga kami berbagi dinding dengan benteng bata kuno yang membatasi kompleks masjid. Sehingga, selain sebagai tempat beribadah, area masjid itu juga menjadi taman bermain saya sejak kecil.

kamar-tidur-ukiran-rumah-khas-kudus-bartzap-dotcom
Tipikal ukiran di dalam rumah khas Kudus.

Meskipun saya sudah meninggalkan kota Kudus lebih dari dua dekade, namun kenangan akan sudut-sudut kompleks masjid tersebut, masih melekat dengan kuat. Tahun demi tahun, saya terbiasa dengan segala aktifitas di sekitar bangunan istimewa itu. Mulai dari acara peribadahan, hingga acara budaya dan tradisi yang sangat spesifik setiap saatnya.

Kenangan akan lengkingan sirine yang memecah senja bulan Ramadhan, irama beduk dan kentongan yang bertalu menjelang adzan, keriuhan dhandangan  di minggu terakhir bulan Sya’ban, hingga lautan massa yang mengalap berkah bukak luwur pada awal bulan Muharram. Semua itu bersanding dengan keistimewaan sejarah dan arsitektural yang melingkupi kompleks masjid dan makam Sunan Kudus.

Raden Ja’far Shodiq: Sang Senopati, Imam, Hakim, dan Ulama

Menurut tarikh, Sunan Kudus yang bernama asli Raden Ja’far Shadiq, merupakan putra dari Sunan Ngudung -kakak dari Sunan Ampel-. Hal itu, otomatis juga menjadikan dirinya sebagai cucu dari Sunan Gresik, sekaligus sepupu dari Sunan Bonang.

Lahir dan tumbuh dalam keluarga muslim yang taat, Raden Ja’far Shodiq juga mendapatkan pendidikan agama dari beberapa guru. Diantaranya adalah Sunan Ampel, dan Kyai Telingsing (The Ling Sing), seorang ulama sekaligus pencetus seni ukiran kayu khas pesisir utara Jawa yang berasal dari Yunnan Selatan – Tiongkok .

detail-pada-rumah-adat-kudus-pengaruh-kyai-telingsing
Detail ukiran pada rumah adat Kudus, yang merupakan pengaruh dari seni ajaran Kyai Telingsing.

Demi menambah pengalaman dan ilmunya, sang raden melakukan beberapa perjalanan hingga ke Timur Tengah. Selain jazirah Arab, ia juga menjejakkan diri di Al-Quds atau Yerusalem, Palestina. Kota berbenteng agung yang sangat memukau itu, ternyata meninggalkan jejak mendalam pada hatinya.

collectie_tropenmuseum_de_moskee_van_demak_tmnr_10016515
Masjid Agung Demak di masa lalu, dokumentasi koleksi Tropen Museum Belanda.

Pada tahun 1524, Sunan Ngudung yang merupakan senopati dan imam agung masjid Kesultanan Demak, gugur dalam sebuah pertempuran melawan pasukan Girindrawardhana, yang mengkudeta tahta sah Kerajaan Majapahit dari tangan Prabu Brawijaya.

Serangan itu sendiri dilancarkan sebagai wujud bantuan Kesultanan Demak terhadap Kerajaan Majapahit, karena posisi Raden Patah (Sultan Demak I) yang merupakan anak kandung dari Prabu Brawijaya. Namun, karena banyaknya bangsawan yang terlibat gerakan kudeta Girindrawardhana, maka penyerangan itu juga berujung pada runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Kompetensi Raden Ja’far Shodiq yang mumpuni, membuat dirinya segera ditunjuk sebagai senopati dan imam agung masjid Kesultanan Demak, demi menggantikan ayahnya. Dan karena prestasinya yang cemerlang, tak lama kemudian Raden Ja’far Shodiq diberikan jabatan baru sebagai qadhi atau hakim agung Kesultanan Demak. Sementara jabatan lamanya, kemudian dipercayakan kepada Raden Said (Sunan Kalijaga).

Namun, pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, terjadi perselisihan pendapat antara Raden Ja’far Shodiq dan Raden Said. Yang menyebabkan Raden Ja’far Shodiq mengundurkan diri dari jabatan resminya. Dan selanjutnya, ia memilih untuk hidup di desa Tajug, sebuah tanah perdikan yang dahulu telah dianugerahkan kepadanya oleh Raden Patah.

baitul-maqdis-di-palestina-model-al-quds-versi-sunan-kudus
Kompleks Masjidil Aqsha (kubah biru) di Yerusalem, Palestina.

Bayangan akan Al-Quds di Palestina, telah menginspirasi dirinya untuk membangun versi kecilnya di desa Tajug. Dengan berbekal beberapa batu hadiah yang diperolehnya dari negeri di timur tengah itu, ia membangun sebuah masjid dan kota baru.

Bahkan, ia menyematkan nama Al-Aqsha pada masjid itu, serupa dengan yang ada di Palestina. Dan menamai kotanya dengan Al-Quds, yang kemudian dikenal sebagai Kudus.

Masjid Menara Kudus: Antara Jawa, Mughal India, dan Persia

Berdasarkan inkripsi berbahasa Arab pada batu yang diletakkan di atas mihrab imam, masjid Al-Aqsha di kota Kudus mulai dibangun pada tahun 956 Hijriah atau 1549 Masehi. Dengan langgam dasar bangunan yang terpengaruh budaya Hindu-Buddha, yang pada saat itu masih menjadi kepercayaan mayoritas penduduk pulau Jawa.

Pada masa awal berdiri, Masjid Al-Aqsha menerapkan prinsip-prinsip bangunan suci ataupun puri era Majapahit pada denah tata letaknya. Dengan batu bata merah yang disusun tanpa semen, sebagai materi utamanya.

Hal ini bisa dilihat dari adanya candi bentar yang berfungsi sebagai gerbang pembatas nista mandala (jaba pisan) dengan lingkungan terluar. Yang didirikan sejajar dengan tembok bata sebagai benteng kecil yang melingkupi kompleks masjid, dan pintu tambahan di beberapa sisi lainnya. Sementara dua buah gerbang paduraksa juga dibangun untuk memberikan pembatas terhadap madya mandala (jaba tengah) dan utama mandala (jero), yang menjadi inti dari bangunan suci masjid.

candi-bentar-dan-paduraksa-masjid-al-aqsha-menara-kudus-sunan-kudus-bartzap-dotcom
(kiri) Candi Bentar pada pelataran luar. (kanan) Gerbang Paduraksa, tanpa lawang kembar pada serambi depan Masjid Al Aqsha.

detail-lantai-dan-tiang-serambi-masjid-al-aqsha-menara-kudus-sunan-kudus-bartzap-dotcom

Syukurnya, meskipun telah berusia hampir lima abad, bagian-bagian tersebut masih dapat disaksikan hingga kini. Meskipun, ada sedikit perubahan di sana sini. Misalnya seperti gerbang paduraksa pertama yang tak lagi memiliki lawang kembar di kedua sisinya, dan kini diletakkan di dalam serambi masjid.

Saya agak penasaran ketika membandingkan foto dokumentasi gerbang paduraksa masjid itu di masa lalu dan masa sekarang. Karena jika diperhatikan, dahulu bagian kaki gerbang paduraksa berada sejajar di permukaan tanah dengan bagian kaki candi bentar. Namun kini, gerbang paduraksa telah terletak lebih tinggi, akibat penaikkan permukaan lantai masjid, yang seolah-olah diposisikan sebagai siti hinggil keraton.

collectie_tropenmuseum_gespleten_poort_bij_de_moskee_van_koedoes_tmnr_10016516
Candi Bentar dan Gerbang Paduraksa Masjid Al-Aqsha pada masa lalu. Kaki-kakinya berdiri sejajar di atas tanah. (dokumentasi koleksi Tropen Museum Belanda)
detail-ukiran-gerbang-paduraksa-masjid-al-aqsha-menara-kudus-sunan-kudus-bartzap-dotcom
Detail ukiran kayu jati pada gerbang paduraksa.

Ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, sebagian kaki gerbang paduraksanya ditenggelamkan ke dasar lantai masjid. Atau, yang kedua, gerbang paduraksa tersebut dibongkar, dan ikut dinaikkan mengikuti permukaan lantai masjid yang baru. Jika melihat dari sisa yang ada, kemungkinan yang terjadi adalah yang kedua. Namun, jika itu dilakukan, maka itu adalah sebuah pekerjaan yang luar biasa rumit.

mustaka-masjid-al-aqsha-menara-kudus-sunan-kudus-bartzap-dotcom
Mustaka Masjid Al-Aqsha dilihat dari balik atap kompleks makam Sunan Kudus.

Meskipun tak ada dokumentasi yang tersisa. Kemungkinan bangunan awal Masjid Al-Aqsha juga memiliki bentuk atap tajug tumpang. Yang menyerupai bentuk piramida tersusun, dengan hiasan kepala layaknya mahkota yang disebut mustaka.

Pada tahun 1918, bangunan utama masjid Al-Aqsha dipugar dan diperbesar dari bentuk aslinya, yang menyebabkan gerbang paduraksa kedua masuk ke dalam bangunan inti. Dan pada tahun 1933, perluasan kembali dilakukan dengan penambahan serambi masjid di bagian depan, yang berada di antara pelataran candi bentar dan gerbang paduraksa pertama.

pelataran-masjid-menara-kudus-sunan-kudus-bartzap-dotcom
Hasil pemugaran besar terakhir dari Masjid Al Aqsha yang masih bertahan hingga sekarang.
kubah-dan-kopula-serambi-masjid-al-aqsha-menara-kudus-sunan-kudus
Kubah, menara ber-kopula, serta fasad pada serambi Masjid Al Aqsha.
detail-kaligrafi-kaca-patri-masjid-al-aqsha-menara-kudus-sunan-kudus-bartzap-dotcom
Tiada Tuhan selain Allah, (dan) Muhammad adalah utusan Allah.

Berbeda dari bagian lainnya yang bernuansa Hindu-Buddha dan arsitektur Jawa, maka serambi yang baru justru mengadopsi gaya bangunan Mughal India, yang juga terpengaruh unsur Persia.

Hal ini bisa dilihat dari bentuk kubah serambinya yang menyerupai umbi. Dengan fasad-fasad lebar yang dihiasi oleh jendela-jendela berkaca patri dan kaligrafi. Serta dua buah menara ramping yang berpuncak kopula (kubah kecil tanpa dinding, melainkan dibatasi tiang penyangga) sebagai portal utamanya.

Akan tetapi, kopula pada serambi tersebut, murni hanya berfungsi sebagai pelengkap estetika. Bukan sebagai menara penangkap angin, yang membantu dalam memberi kesejukan bagian dalam masjid.

Menara Kudus: Marka Tanah dan Simbol Akulturasi

Tak ayal lagi, menara ini adalah bagian paling menarik di dalam kompleks Masjid Al-Aqsha. Berdiri menjulang setinggi 18 meter, dan berdasar persegi dengan ukuran penampang 10 x 10 meter. Menara ini dibangun dari materi batu bata, yang konon disusun tanpa bantuan semen.

menara-kudus-masjid-al-aqsha-sunan-kudus-bartzap-dotcom

Saya teringat, dahulu sering naik hingga ke lantai teratasnya. Untuk itu, saya harus melewati tangga batu yang curam. Dan kemudian disambung dengan memanjat tangga kayu jati yang berdiri hampir tegak lurus, setelah melewati sebuah pintu kecil yang sangat rendah. Di lantai puncak itu terdapat sebuah beduk dan kentongan yang selalu ditabuh dengan irama tertentu menjelang adzan berkumandang.

Jika dilihat sekilas, menara ini mirip dengan candi-candi Hindu-Buddha yang terpancung. Hanya saja ia menghadap ke barat, alih-alih ke utara atau selatan. Terdiri dari bagian kaki, tubuh, serta kepala yang dihiasi oleh atap tumpang. Dan dilengkapi dengan  hiasan antefiks. Sementara 32 buah piring porselen yang menghias sisi-sisinya, menunjukkan adanya sentuhan budaya Tiongkok di masa pembangunannya.

lantai-atas-menara-kudus-masjid-al-aqsha-sunan-kudus-bartzap-dotcom

detail-menara-kudus-masjid-al-aqsha-sunan-kudus-bartzap-dotcom

Keberadaan menara pada area masjid, merupakan sesuatu yang kurang lazim di masa itu. Terlebih bentuknya yang masif dan tunggal, serta langgamnya yang ekletik. Hal itu, seolah-olah menjadi simbol akan sikap keterbukaan Sunan Kudus terhadap kebudayaan lokal. Dimana akulturasi merupakan sesuatu yang diperbolehkan, selama ia tidak menciderai prinsip dasar tauhid Islam yang telah baku.

*****

Pada akhirnya, Sunan Kudus tak hanya mewarisi bangunan masjid dan menaranya yang sangat fenomenal. Prinsip-prinsip ajaran yang dikembangkannya juga telah mempengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk kuliner khas Kudus yang membangkitkan selera dan tiada duanya.

Belum pernah berwisata ke Kudus?
Yuk, sekarang saatnya mampir!

pesan-bijak-sunan-kudus-bartzap-dotcom
Pesan bijak Sunan Kudus, yang saya tulis di buku harian: “Yen siro landep, ojo natoni. Yen siro banter, ojo nglancangi. Yen siro mandhi, ojo mateni.” Jika kau tajam, jangan melukai. Jika kau cepat, jangan mendahului. Jika kau sakti, jangan membunuh.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

107 thoughts on “Masjid Menara Kudus: Dari Palestina ke Tanah Jawa

  1. Ja’far Shodiq ini orang Indonesia asli atau orang keturunan Arab, kenapa namanya Arab? apakah ganti nama karena masuk islam. Pernah baca kayaknya ada Sunan dari Wali Songo yang orang Arab dan ada yang orang China secara agama islam menyebar karena perniagaan yang memang sering dilakukan oleh bangsa Arab, India dan China

    Liked by 1 person

    1. Ada beberapa sumber sejarah mengenai ini. Dan agak kontroversial. Tapi kalau ditarik garis ke atas, semuanya sama-sama mengarah bahwa Ja’far Shodiq ini adalah keturunan arab dan masih memiliki pertalian darah dengan Rasulullah.

      Dan memang beberapa sunan yang ada di tanah Jawa adalah keturunan Arab, atau China. Dan ada pula yang memang masih asli dari luar, misalnya Syech Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik.

      Liked by 1 person

      1. Ya di jaman itu semua orang traveling dengan cara yg kurang lebih sama. Either naik kapal, atau hewan kalau via darat. Bisa berbulan-bulan dan bertahun-tahun kalau berkunjung antar benua.

        Aku pernah baca salah satu Pangeran Mangkunegara diundang ke Belanda untuk menghadiri acara pernikahan putri dan pangeran. Sebulan sebelumnya sudah berangkat, dan total perjalanan 3 bulan, soalnya sekalian keliling eropa. Coba bayangin duitnya berapa 😂😂😂

        Liked by 1 person

      2. Mantaaap, semangat ya bu Guru. Dulu Biologi dan Mikrobiologi salah satu mata pelajaran/kuliah favoritku. Apalagi kalau udah praktek nguprek-nguprek mikroba 😁😁😁

        Jadi ingat, dulu pernah ada insiden ngompres autoclave semalaman, karena gak bisa dibuka, gara-gara nge-depress nya keterlaluan. Sampai vakum! 😂😂😂

        Liked by 1 person

      3. hahaha untung gak meledak autoclavenya, btw aku setahun lho penelitian mikrobiologi di lab karena skripsiku meneliti bakteri jerawat hahaha, jadi aku PD sih kalo ngomongin jerawat soalnya udah baca teorinya cukup banyak plus di lab pula praktikum :)))

        Liked by 1 person

      4. Hahaha ‘menangkap bakteri’ nya enak dong, mencetin jerawat orang. Jadi yang diteliti apanya? Pengaruh terhadap obat? Penjinakannya atau bagaimana?

        Tulis dong sekali-kali, siapa tau diendorse sama skin care product 😁😁

        Liked by 1 person

      5. Hahaha, bakterinya beli di Lab Mikro UI Depok dikirim ke Palembang biar dapet galur murni, klo mencet jerawat orang ntar bakterinya nyampur, gak murni Propionibacterium acnes. Mengetahui daya hambat ekstrak kencur ke pertumbuhan bakteri P. acnes kesimpulannya umbi kencur bisa jd obat jerawat tapi masih harus uji lanjutan kalo mau dijadikan bahan kosmetik ke kulit manusia

        Liked by 1 person

    1. Emang gak sembarangan sih untuk bisa naik ke atas Sir, dan memang bagian atasnya tidak dibuka untuk umum. Karena area nya sempit, pembatasnya rendah. Jadi bahaya kalau dibuka untuk sembarang orang.

      Aku bisa naik, karena kebetulan kakekku dulu adalah pengurus desa Kauman Menara. Jadi kenal banyak orang. Tapi sepertinya saat ini, beberapa orang tersebut sudah almarhum.

      Like

      1. Hahahaha kata siapa?

        Coba nanti kalau aku ke sana lagi, aku coba cari yang masih aku kenal ya. Maklum Sir, udah lama banget pindah dari Kauman Menara khan 🙂

        Like

      2. Nah itu, kemarin liat di IG dan langsung pengeeeen … meskipun gak seberapa tinggi, tapi jalurnya menantang dan pemandangannya luar biasa juga.

        Like

  2. Aku membayangkan romantis masuk orang anak kecil Bart, menghabiskan hari-hari di sekitar masjid Menara Kudus ini. Mulai dari subuh sampai subuh lagi penuh nuansa religius. Belum lagi Jika jatuh hari-hari istimewa yang diperingati di masjid ini. Ini pasti membentuk karakter ya, Bart 😍

    Liked by 1 person

    1. Yang pastinya banyak cerita Ni. Dulu kita boleh latihan sepeda dan bermain sepatu roda di pelatarannya, kalau sekarang sih kayaknya udah gak boleh.

      Sedikit banyak iya, membentuk karakter. Paling tidak aku mempunyai pandangan lain tentang hidup di sekitar masjid yang kental budaya-budaya lokalnya. Walaupun pada akhirnya, perjalanan hidup juga mempengaruhi karakter yang sekarang ini.

      Kalau gak salah uni juga sudah sempat berkunjung ke masjid ini ya?

      Like

      1. Ya perjalanan lanjutan dari kehidupan anak-anak juga memberi sumbangsih terhadap karakter kita yang sekarang.

        Baru dua kali Bart ke masjid Menara Kudus ini. Semoga masih dikasih umur untuk berkunjung berikutnya. Amin

        Liked by 1 person

  3. Kalau lihat foto lamanya dan ngebandingin dengan kondisi sekarang, nggak jauh berubah ya. Gak kayak Masjid Agung Palembang, udah berubah banget. Walau masih sedikit “beruntung” masjid dibangun ulang menyerupai bentuk bangunan asli yang lama.

    Punya rumah bersisian dengan benteng gitu pasti luar biasa. Rasanya tiap hari bersentuhan dengan (bukti) sejarah 🙂

    Liked by 1 person

    1. Untuk kompleksnya, terutama yang berasal dari batu bata memang masih banyak yang sisanya bisa dilestarikan sampai saat ini. Sementara masjid nya sudah jauh jauh lebih besar daripada bangunan aslinya.

      Iya betul banget Yan. Kadang dulu, aku suka menyusuri bagian-bagiannya, menyentuh bata-bata kunonya, sambil berharap punya kekuatan untuk bisa membaca sejarah benda dengan hanya menyentuhnya 😀

      Like

      1. hahaha. Aku pun mas, jika berada di satu tempat, pinggir sungai Musi aja, ngebayangin 50 atau 60 tahun lalu suasananya macam apa.

        Kadang kalau nemu buku tua yang ad a foto-fotonya seneng banget. Dan selalu terbersit dalam hati, semoga di akhirat bisa punya kemampuan untuk melihat masa lalu 🙂

        Liked by 1 person

      2. Wah, kita sama banget soal ini Yan. Tentang foto dan buku tua dokumentasi, juga keinginan di ‘hari nanti’ itu. Semoga tercapai ya. Amiiin ….

        Like

    1. Haha iya benar Rullah. Kebetulan ini, aku sengaja datang pagi-pagi. Sekalian main ke rumah saudara-saudara dan teman masa kecil plus nengokin rumah keluarga. Dan sekitar 30 menit kemudian, area ini ramai banget. Banyak rombongan peziarah.

      Tapi belum seberapa sih, dibandingkan momen bukak luwur yang bisa dipadati ribuan manusia 😀

      Like

  4. Dulu pernah singgah di Kudus tapi cuma buat kulineran doang. Belum sempat eksplorasi masjidnya, hehe. Aturan mesti balik ke sana lagi nih.
    Saya masih samar apakah Masjid Kudus ataukah Masjid Demak yang kabarnya dibangun di atas reruntuhan sebuah candi Hindu. Hmm. Tapi dari lansekapnya, pembagian pola halaman masjid ini memakai konsep Tri Mandala ya. Gaya Majapahitnya pun terasa sekali dengan batu bata, atapnya yang tumpang, dan candi bentar yang jika digabung seperti Gapura Bajang Ratu. Ngomong-ngomong masjid ini menghadap ke mana, Mas? Dan lawang kembar yang dimaksud itu apa pintu kecil di kiri dan kanan paduraksa tempat orang masuk dan keluar?
    Menara Kudus itu memang mirip sekali dengan bale kulkul di pura-pura masa kini. Makin penasaran dah dengan denah masjid ini. Ada sesuatu yang bisa diambil di dalamnya.

    Keren banget Mas tulisannya… menggelitik dan bikin penasaran. Padat dan sangat jelas. Nanti kalau ke Kudus sudilah kiranya Mas menjadi guide, hehe.

    Liked by 1 person

    1. Nah soal kabar masjid yang didirikan di atas reruntuhan candi Hindu, aku malah baru dengar nih Gara. Dan sepanjang yg aku tau, baik dari buku-buku, kisah dari mulut ke mulut, dan beberapa literatur lainnya, Menara Kudus itu didirikan di atas sumur.

      Sumur tersebut sengaja ditutup, karena dipercaya dapat menghidupkan orang yg telah meninggal. Sementara hal itu kabar burung belaka. Maka demi menghindari fitnah sumur tersebut ditutup.

      Soal info masjid yang dibangun di atas reruntuhan candi tadi, malah mengingatkanku pada Masjid Babri di Ayodhya India 😁

      Betul sekali, dan ternyata bukan hanya Masjid Menara Kudus yang menggunakan prinsip Tri Mandala. Melainkan juga beberapa bangunan keraton lain di tanah Jawa. Termasuk Keraton Kasepuhan di Cirebon.

      Untuk masjid, sebagaimana umumnya karena mengikuti arah kiblat di Indonesia (setiap negara berbeda, tergantung pada posisinya terhadap Ka’bah di Makkah) maka pintu masuknya ada di bagian Timur, dan berujung di bagian Barat. Jadi kalau ditanya gini, aku bingung, menghadap kemana itu mau diukur dari pintu masjidnya atau bagaimana. Soalnya, kami yg shalat itu selalu menghadap ke arah barat (membelakangin pintu masuk masjid).

      Dan betul, itu dia lawang kembar yang dimaksud. Hanya saja dua pintu di samping paduraksa tersebut saat ini sudah tidak ada. Kemungkinan rusak karena dimakan usia, atau memang sengaja dipotong.

      Kalau Gara ada waktu mengeksplor kompleks ini, pasti ada banyak hal menarik yang bisa ditemukan. Ini aja aku mempersingkat banyak hal, misalnya: aku tidak membahas soal 8 pancuran di area wudhu yang mengadopsi prinsip 8 Jalan Kebaikan.

      Siap Gara, kalau ada rejeki bareng main ke Masjid ini, aku akan dengan senang hati mengguide.

      Like

      1. Iya, saya dulu bacanya sepintas. Lupa di mana pula. Coba saya cari lagi, siapa tahu ketemu, hehe.
        Berarti kalau begitu, candi bentarnya ada di sebelah timur paduraksanya ya Mas. Sip sip, makin pengen ke sana, hehe. Banyak filosofinya ya bangunan ini, keren banget.

        Liked by 1 person

      2. Betul Gara, candi bentarnya ada di sebelah timur. Lalu paduraksa pertama ada di sisi bawah kubah serambi, dan paduraksa kedua ada di sisi bawah atap tumpang masjid bagian dalam.

        Sementara untuk menaranya, tangga dan pintu masuknya ada di sisi barat.

        Iya Gara, dirimu harus ulik area masjid ini. Bukan cuma masjidnya, tapi juga sampai ke area di bagian samping dan belakangnya, karena masih banyak bangunan lainnya.

        Like

      3. Sip Mas, bisa saya bayangkan. Suka deh dengan akulturasinya. Seni dan arsitektur memang universal ya. Nilai-nilai kebaikan religi pun demikian. Sejuk banget.
        Oke sekarang saya ke Kudus pakai Pintu Doraemon #eh. Hehe…

        Liked by 1 person

      4. Betul, begitu pula pandanganku soal arsitektur. Terpengaruh itu wajar-wajar saja, tentunya ada modifikasi supaya selaras dengan ajaran yang mengadopsinya.

        Hahaha, kalau punya pintu kaya gitu, aku nitip beliin Soto Kudus, Lentog, sama Nasi Pindang yaaa. Lagi pengen hahahaha

        Liked by 1 person

    1. Makasih mas. Dan momen buka luwur itu gak bakal terlupakan. Apalagi di saat para peziarah berebut nasi bungkus jati iwak kebo dan potongan kelambu makan Sunan.

      Aku biasanya cukup ngintip dari jendela dapur simbah aja 😁😁😁

      Like

  5. Apa benar jaman dulu gak lazim ada menara di masjid? Hems, apa kabar minaret-minaret yang bersejarah di belahan bumi lain?

    Duh aku di Kudus ada loh sodara tapi nggak tahu rumahnya haha. Ziarah ke sini kalau nggak salah sudah dua kali deh.

    Liked by 1 person

    1. Nah, penjelasannya sudah aku tuliskan sedikit di artikelnya. Kalau minaret-minaret di belahan bumi lain itu, selain berfungsi sebagai pelengkap estetika, juga dibangun sebagai menara penangkap angin.

      Sedangkan di Indonesia, tidak ada fungsi macam itu. Setahuku hanya ada dua masjid yg memiliki menara masif tunggal di Indonesia. Yaitu menara Kudus, dan satunya lagi sebuah masjid di Banten. Jadi maksudku, yang tidak lazim itu untuk ukuran masjid-masjid di Nusantara 😁😁

      Pada saat ini, memang banyak masjid di Indonesia yang dilengkapi dengan menara. Selain penghias, juga sebagai tempat menyimpan pengeras suara ataupun beduk.

      Walah piye thooo, coba tanyain alamatnya di Kudus bagian mana. Kulon opo wetan?

      Like

  6. Kudus adalah salah satu kota favorit di Jawa Tengah. Suka dengan suasananya yang damai, makanannya ENAK SEMUA & lihat sisa-sisa bangunan kuno. 2012 lalu pernah diajak menginap di rumah mbah temen kantor di daerah Kauman, belakang masjid agung simpang tujuh. Dari sana kita ubek-ubek semua destinasi wisata heritage & kuliner.

    Kebetulan saat itu sedang ada Dhandangan. Main ke masjid menara, ziarah ke makam Sunan Kudus, jajan sate kerbau di warung sebelah kiri masjid, lalu lanjut hunting printilan di Dhandangan. Seru.

    Sepakat kalau dibilang Masjid Menara Kudus ini termasuk salah satu yang paling unik di Indonesia. Akulturasi budayanya begitu kentara. Harmonis! Dan pertanyaan saya tentang mengapa masjid ini dinamakan Al Aqsha, kini terjawab sudah. Thanks ceritanya Kak Bart. Kapan kita jajan lentog & soto kerbau bareng nih? Haha.

    Liked by 1 person

    1. Wah itu momen yang tepat banget mas, pas rame-ramenya karena dhandangan. Hahaha emang belanja apa di dhandangan? Itu momen yang ditunggu banyak orang setiap tahunnya, terutama anak-anak.

      Hahaha iya nih kapan yaaa? Yowis kalau aku main ke sekitar Semarang Kudus aku colek via wa yaaa. Soalnya jadwal acara kita silangan terus 😁😁

      Like

  7. Karen Bart. Ceritanya detail banget dilengkapi photo2 yang cantik pula. Pasti banyak kenangannya ya Mesjid ini, terutama di bulan Ramadhan dimana banyak anak muda yang ikut tarawih dan sholat Subuh berjamaah 😊😊

    Liked by 1 person

    1. Terimakasih mbak. Iya betul banget, bulan itu istimewa. Lebih ramai tepatnya. Karena memang di hari-hari biasa pun masjid ini selalu ramai. Karena memang banyak kegiatan rutinnya, termasuk kajian subuh nya.

      Liked by 1 person

    1. Iya, ada mempercayai seperti itu. Tepatnya gerbang paduraksa nya sih. Soalnya dulu khan siapapun yang ingin bertemu dengan sunan, harus lewat situ.

      Ada pula yang mempercayai bukan hanya gerbang paduraksanya saja. Melainkan, Sunan Kudus sudah membentengi pintu masuk Kudus dengan ajian kalacakra, yang bisa merontokkan kekuasaan siapapun penguasa yang melewatinya. Tapi menurutku, itu ya cuma takhayul aja 😁

      Nah, kapan-kapan main dong mas. Mumpung gak jauh juga khan dari Pati.

      Liked by 1 person

    1. Mungkin karena Sunan Kudus ini cucunya Sunan Gresik mas. Jadi ngikutin pakai sirine hahahaha.

      Btw, suling ini bentuknya kaya apa? Pakai menara juga atau bagaimana?

      Like

    1. Iya betul Ne. Meskipun kita juga harus bijak dalam memaknai sejauh apa akulturasi itu. Sudah pernah datang ke sini Ne? Kalau belum, kapan-kapan berkunjung yaaaa 😊

      Like

    1. Ayo Isna, main ke Kudus. Dulu rumah salah satu nenek memang begitu ukiran kayu full. Tapi kemudian kayu-kayunya sudah dijual dan sekarang sudah berganti menjadi rumah batu biasa. Perawatannya gak mahal, gak kuat.

      Tapi kalau dirimu main ke Kudus, ada banyak rumah macam itu yang bisa dilihat dan dikunjungi.

      Liked by 1 person

  8. Dari segi arsitektur, Masjid Menara Kudus ini memang menurutku one of the most unique in Indonesia (despite hubungan emosionalmu dengannya). Menara bata merahnya beda dari yang lain, baik dari segi material penyusun maupun bentuknya. (Setauku) Tak banyak masjid di Jawa dengan paduan arsitektur multikultur yang menonjol seperti itu, biasanya masjid-masjid Sumatera.

    Liked by 1 person

    1. Makasih masukannya Gi, aku justru masih kurang referensi tentag masjid-masjid di Sumatra. Insya Allah, nanti ada waktu untuk mengeksplor masjid-masjid di sana.

      Like

  9. baru tau kalau nama kudus itu dari kata al quds, wah baru tau juga kalau sampeyan masa kecilnya dihabiskan di kota kudus ini juga. satu lagi, pinter nulis aksara hanacaraka juga hehehe

    Liked by 1 person

  10. kalau dulu pernah baca2 keturunan walisanga itu memang orang-orang arab, kecuali sunan kali jaga..dia yang asli jawa dan diangkat jadi wali karena ke alimannya..
    saya pernah ke Kudus tapi blm sempat mampir ini masjid kak..pengen , masjid kok bisa unik bangunannya perpaduan antara islam sama hindu..eh pernah ding, replikanya di taman maerokoco semarang 😀

    Liked by 1 person

    1. Sunan Muria khan anaknya Sunan Kalijaga, berarti bukan keturunan Arab juga. Btw, penyebutan Walisanga ini masih dispute sih. Ada yang bilang memang cuma mencakup 9 wali itu saja. Ada juga yang menyatakan kalau itu cuma istilah dari perkumpulan para wali (ulama) di Jawa pada masa itu saja.

      Like

  11. Belum pernah berkunjung ke Kudus. Dan melihat arsitektur masjid menara kudus berasa bangat perpaduan budaya pada jaman itu yach. Membayangkan masa kecil bermain-main diarea komplek pasti banyak bangat kenangan yang tersimpan disana.

    Liked by 1 person

  12. Aku tertarik menyimak cerita masa kecil berbagi tembok rumah dan tembok masjid. Pasti seru sekali ya.
    Sampai sekarang masih belum kesampaian ke Masjid Kudus ini. Perjalanan terakhir kemarin sempat dirancang untuk mampir, tapi akhirnya gagal karena jalanan pantura yang rusak dan banjir sana-sini bikin waktu perjalanan jadi lebih panjang dari biasanya. Semoga perjalanan melintasi pantura berikutnya bakal bisa mampir.

    Liked by 1 person

    1. Buatku sih seru, dan masih terbayang detail-detailnya. Terlebih lagi wajah Kudus di masa kecil itu sedikit berbeda dengan sekarang. Lebih sederhana tapi ngangenin, dan bangunan-bangunan kuno itu lebih terasa lagi kuno nya. Terus dulu tinggal di rumah kakek nenek yang masih bernuansa colonial, dengan lantai-lantai bermotif yang sekarang itu bisa jadi ‘harta karun’ buat foto-foto di instagram.

      Semoga lain kali kesampaian main di masjid satu ini ya. Dan harus cobain juga kulinernya Kudus, sedap-sedap dan unik. Bisa dibaca di sini: https://bartzap.com/2016/02/29/kuliner-kudus-tentang-melepas-rindu-pada-kota-kretek/

      Like

  13. Jika dihitung, saya baru dua kali ke masjid ini. Pertama, saat ziarah Wali kala SD dulu, dan tahun lalu kala mampir ke rumah teman di Kudus. Tapi, kisah tentang masjid ini, baru ini saya baca langsung dan dapat wawasan baru. Selama ini saya hanya membaca sejarah dakwah sang sunan saja di buku-buku teks, tapi belum mempelajari tentang masjid menaranya 🙂

    Liked by 1 person

    1. Suka banget! Paduan antara banyak kenangan di sana dan juga sejarah serta arsitekturnya yang menarik.

      Kak Mumun sudah pernah main ke Kudus belum?

      Like

  14. halo mas bartz, salam kenal.
    saya juga orang kudus ,cicit dari H Abubakar Echsan yang katanya keturunan suna kudus.
    saya dulu kecil juga di kudus di kedung paso.
    waktu sekolah di TK tiap sabtu kita jalan2 ke bawah pohon beringin di menoro.
    disitu guru bikin acara macam2.
    kangen masa itu.
    kangen pohon beringin

    Liked by 1 person

    1. Salam kenal juga mbak Tety.
      Wah ternyata punya sejarah keluarga dari Kudus juga rupanya. Kalau gak salah Kedung Paso ini masuknya Jepara ya? Dan belakangan ada air terjun yang terkenal juga di sana.

      Like

Leave a reply to Anne Adzkia Cancel reply