[+Video] 20 Jam di Annapurna Base Camp Himalaya

14 April 2016, pukul satu siang. HaruHanya itu yang memenuhi hati. Ketika akhirnya saya mencapai papan ucapan selamat datang di Annapurna Base Camp, pada ketinggian 4130 meter di atas permukaan laut.

Rasanya segala lelah terbayar sudah. Solo trekking selama lima hari dengan rute Nayapul – Ghandruk – Chhomrong – Dovan – Machhapuchhare Base Camp (MBC) – Annapurna Base Camp (ABC), akhirnya berhasil saya selesaikan. Kini ia telah menjelma, dari mimpi menjadi kenyataan.

annapurna-base-camp-trekking-route-bartzap-dotcom
Rute solo trekking menuju Annapurna Base Camp, yang saya tempuh selama lima hari.

Dan sesi trekking terakhir, selama tiga jam sebelum mencapai base camp puncak tertinggi kesepuluh di dunia tersebut, adalah yang terberat. Medan yang saya lalui hari itu benar-benar berbeda. Dalam kungkungan basin Annapurna yang diapit oleh puncak-puncak angkuh Himalaya, saya menjalani trekking yang lebih melelahkan dari empat hari sebelumnya.

Padang salju licin yang sesekali menyembunyikan lubang-lubang penjebak, udara beku yang mengalir deras, dan kabut yang memekat, memaksa saya untuk berjalan lebih lambat. Selain serangan kelelahan yang mudah melanda, akibat paru-paru yang tercekat karena tipisnya oksigen.

medan-terakhir-menuju-annapurna-base-camp
Sebagian dari puncak-puncak Annapurna masif yang terlihat dari Machhapucchare Base Camp. Dan gletser itulah yang harus saya sebrangi untuk mencapai Annapurna Base Camp.
dalam-perjalanan-menuju-annapurna-base-camp-bartzap-dotcom
Menanti hilangnya kabut yang menyembunyikan jalur menuju Annapurna Base Camp.

***

Ketika saya tiba, warna coklat masih tergelar pada tanah, menyembulkan aksen kehijauan dan bebungaan yang tumbuh dari tunas-tunas muda. Tak lama lagi musim semi menjelang, meskipun salju masih sering turun seperti hari itu.

annapurna-base-camp-menjelang-badai
Wajah pelataran di sekitar Annapurna Base Camp sebelum badai salju.

Sejenak saya mengambil waktu, menengadahkan wajah ke udara, demi merasakan guguran kristal-kristal beku pada wajah. Rasanya tak pernah sekalipun saya membayangkan, jika hujan salju yang saya temui pertamakali akan berada di antara bayang-bayang puncak Himalaya.

Semua terasa sempurna.

***

Puncak-puncak Annapurna Selatan, Annapurna I, Machhapuchhare, Hiunchuli, Ganggapurna, dan beberapa lainnya sambung menyambung membentuk benteng masif, bagi Annapurna Base Camp yang terletak pada sebuah cekungan raksasa. Konon, Annapurna yang berarti Dewi Kesuburan memiliki kecantikan yang berbeda-beda pada tiap-tiap musim yang dilaluinya sepanjang tahun.

Meskipun Annapurna Base Camp dapat dicapai dengan relatif mudah bagi siapapun yang memiliki kondisi kebugaran standar, puncaknya sendiri dianggap sebagai salah satu yang paling mematikan di dunia. Bahkan, jika dibandingkan dengan puncak Everest di Sagarmatha sekalipun. Hanya dua dari setiap tiga pendaki, yang dapat kembali turun dalam keadaan hidup demi menaklukkan sang dewi.

musim-semi-di-annapurna-base-camp
Pertanda musim semi di wilayah Annapurna.

Sekumpulan tugu peringatan bagi mereka yang tewas dan hilang di Annapurna, dibangun secara khusus di bagian barat base camp. Rasanya belum hilang dari ingatan, ketika pada bulan Oktober 2014 serbuan badai dan longsoran salju di kawasan Annapurna merenggut nyawa empat puluh tiga trekker, dan melukai ratusan lainnya. Itu adalah musibah terburuk sepanjang sejarah trekking di pegunungan Himalaya.

Sembari membaca beberapa pesan penuh cinta yang ditinggalkan bagi mereka yang menjadi korban, saya mengingatkan diri sendiri, jika pegunungan terkadang membungkus kenyataan yang kontradiktif. Ia cantik, sekaligus dapat mematikan pada saat yang bersamaan!

tugu-peringatan-di-annapurna-base-camp
Tugu peringatan di bagian barat Annapurna Base Camp.

Bahkan, pada ketinggian setinggi itu pegunungan dapat membunuh seseorang dengan memanfaatkan kelemahan fisik manusia. Acute Mountain Sickness (AMS), yang gejala awalnya sangatlah halus, dapat merenggut nyawa trekker yang tak pandai memperhatikan dirinya sendiri. Bersama dengan serangan hypothermia, ia menjadi momok yang paling saya takuti sepanjang melakukan solo trekking menuju Annapurna Base Camp.

Saya sempat bertemu dengan seorang trekker Thailand yang terbaring lemah di ruang komunal penginapan Annapurna Base Camp, akibat terserang AMS. Meskipun tanpa erangan, guratan wajahnya menyibakkan nyeri yang menyiksa. Alih-alih menikmati kemegahan Himalaya, ia justru menantikan dengan segera datangnya helikopter yang akan membawanya kembali ke Kathmandu.

***

Selepas ashar, tak ada yang dapat saya lakukan di penginapan, kecuali memandangi guguran salju yang semakin rapat dan mengaburkan puncak-puncak Annapurna. Pemandangan dari ruang komunal yang berbatas kaca menjadi satu-satunya hiburan yang ada, selain perbincangan singkat dengan beberapa trekker yang berkumpul di sana.

Malas yang mendera dan dingin yang menggigit, segera menggusur saya ke dalam kehangatan sleeping bag di kamar berdinding batu. Tak butuh waktu lama sejak pertama meringkuk, sayapun hilang dalam lelap.

annapurna-base-camp-menjelang-badai-salju
Kawasan penginapan di Annapurna Base Camp, sebelum badai salju. Dan hanya ada empat penginapan yang tersedia di sana.

Sekitar jam tujuh malam, seorang pegawai penginapan membangunkan untuk bersantap. Ia menanyakan apakah saya terserang kantuk yang berlebihan dan kehilangan nafsu makan? Ia memastikan jika saya tak terserang AMS pula.

Selama menjalani solo trekking saya membekali diri dengan beberapa batang coklat, yang sesekali saya konsumsi di perjalanan. Dan setiap kali waktu makan tiba, menu favorit yang saya pilih adalah sup krim jamur atau mie dengan ekstra bawang putih. Alasan saya singkat, karena menu itu sedap di lidah!

Namun, belakangan  saya baru tahu, jika coklat dan bawang putih adalah dua makanan yang dapat mengurangi kemungkinan terserang AMS. Sebuah kebetulan? Ah, rupanya Tuhan melindungi saya dengan cara yang tak terduga.

***

Hujan salju yang turun sejak lewat tengah hari, terasa semakin deras. Pelataran terbuka di depan kamar saya, sudah tak tampak lagi bertapal batu. Lapisan putih tebal telah menenggelamkannya. Sementara angin kencang yang bergulung, memancing desau resah pegunungan yang memicu ngeri.

Sebuah badai salju! Ia melengkapi kisah perjalanan saya.

tumpukan-salju-di-annapurna-base-camp

Rupanya kondisi alam yang memburuk, telah menghalangi tibanya helikopter bagi trekker Thailand yang terserang AMS. Untungnya, ia masih bisa bertahan dalam kondisi stabil. Saya berbincang sejenak dengan rekannya, demi mengetahui perkembangan terakhir. Sementara sang pemandu yang berkebangsaan Nepal tak dapat menyembunyikan cemas yang mengisi benaknya. Kami berharap esok pagi cuaca cerah.

Untunglah. Lewat tengah malam, semua berubah. Tak ada lagi hujan salju, dan anginpun telah melemah. Pada pucuk-pucuk kemuncak, ratusan bintang bertabur melingkupi langit yang pekat. Indah, meskipun tusukan udara beku masih membalut.

Dari balik jendela kamar dan kantuk yang belum usai, saya menikmatinya sejenak. Sembari menyesali air minum dalam botol yang telah membatu.

***

wajah-annapurna-base-camp-setelah-badai-salju
Wajah Annapurna Base Camp di pagi hari, setelah semalaman badai salju.

Saya menjalani shalat subuh terbeku di keesokan hari. Dan menjumpai pelataran Annapurna Base Camp yang tampil dalam wajah berbeda. Hanya ada tumpukan putih tebal dimana-mana, yang menyisakan sedikit guratan hitam karang Himalaya.

Meskipun terbungkus sarung tangan, ujung jemari saya mulai mati rasa. Begitupun dengan cuping hidung dan telinga. Tapi saya dan puluhan trekker lainnya, menatap sabar ke arah timur. Menantikan gemilang surya pertama, yang membersit dari punggung agung Machhapuchhare.

menanti-matahari-di-annapurna-base-camp-dari-balik-machhapucchare
Menantikan matahari yang masih berada di balik punggung Machhapuchhare.

Kemudian benderang itu datang, menimpa dinding-dinding lain Annapurna. Dengan jelas akhirnya saya bisa menatap punggung selatan Annapurna I, lembah yang dalam di hadapannya, serta gunungan salju pada Hiunchuli. Tak ada lagi sisa padang kecoklatan yang saya lihat sehari lalu. Tak ada pula kabut pekat yang menyekap. Hanya pupur putih beku sejauh mata memandang.

Waktu saya di sana tak lagi lama. Tanpa peduli pada kebas, saya menikmati salju. Menginderanya lekat-lekat agar ia tersimpan dalam benak.

puncak-annapurna-satu-bagian-selatan-terlihat-dair-annapurna-base-camp
Wajah puncak Annapurna I bagian selatan, mulai tertimpa sinar matahari. Ia merupakan puncak paling mematikan di penjuru bumi.

annapurna-base-camp-dilihat-dari-gerbang-selamat-datang

bermain-salju-di-annapurna-base-camp

***

15 April 2016, pukul sembilan, selepas sarapan pagi. Haru. Dan itu kembali merebak di hati. Ketika saya mengucapkan salam perpisahan pada Annapurna. Serta terimakasih akan dua puluh jam yang penuh kesan.

bartzap-meninggalkan-annapurna-base-camp

Dari permukaan kolam beku yang memantulkan wajahnya, saya tengok ia kembali. Sembari berharap akan berjumpa dengannya lagi suatu hari nanti.

Dhanyavaad Annapurna, Dhanyavaad Himalaya!

***

Video: [Vlog] A Morning in Annapurna Base Camp Himalaya, 2:23 menit.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

148 thoughts on “[+Video] 20 Jam di Annapurna Base Camp Himalaya

    1. Makasih mas Sandi. Hmm saya pakai tongsis yang untuk Go Pro. Sistemnya lipat, bukan yang retract.

      Wah, pasti bakal keren nih kalau mas Sandi yang bikin vlog nya 🙂

      Like

      1. Pasti bakal makin keren deh, kalau rajin. Saya belakangan gak terkejar nih nge-vlog, kelamaan ngeditnya hahahaha.

        Untuk video yang ini saya rekam pakai Go Pro. Tapi di channel saya ada beberapa vlog lainnya, yang saya rekam pakai kombinasi digicam dan juga smartphone. Bahkan ada yang saya edit pakai smartphone juga.

        Monggo mampir ke channel saya mas, kalau berkenan 🙂

        Like

  1. Pasti pengalaman yang tak terlupakan ya Mas bisa mencicipi gunung tertinggi di dunia. Mungkin ini cuma mimpi bagi saya, ebuset saya tak bisa membayangkan bagaimana kalau saya yang melakukan pendakian itu. Sendiri pula, waduh. Salut bangetlah buat dirimu.
    Dari sini saya seolah mendapat pandangan bahwa “mencolek maut” buat berkenalan dan merasakan keagungannya akan membuat kita beroleh hadiah yang asyik banget. Ini betul-betul sangat keluar dari zona aman dan nyaman. Tapi kepuasannya, saya yakin, tiada tara. Sekali lagi selamat!

    Liked by 1 person

    1. Mungkin bisa dicoba dengan trekking secara berkelompok Gara. Aku yakin bisa, kalau persiapannya pas.

      Tapi memang iya sih, di solo trekking ini aku menantang dan mencoba keluar dari zona nyaman. Deg-degan pasti ada, tapi alhamdulillah begitu dicoba lancar dan tak semenakutkan yang aku kira.

      Terimakasih sudah mampir baca dan tinggalkan komen ya Gar 😊

      Like

  2. Mendaki gunung membutuhkan fisik yang kuat, mental juga harus siap. Aku yakin perjuangan ke sini benar-benar berat. Karena kita terlahir di iklim tropis harus menyesuaikan cuaca yang berbeda.

    Oya mas, mau tanya. Kalau bawa kamera ke tempat seperti itu, persiapan yang kita butuhkan apa agar lensa tidak mengembun dan lainnya. Apakah ada alat khusus yang dipakai?

    Liked by 1 person

    1. Untuk gear yg lebih menjadi concern ku kemarin sih masalah baterai. Karena dalam keadaan suhu dingin ekstrim, baterai jadi cepat drop, bahkan termasuk ketika disimpan.

      Maka aku bawa tas es krim yg bisa dilipat. Karena bagian dalamnya bisa lebih stabil mempertahankan suhu.

      Kalau soal mengembun? Hmmm … Kok aku lupa ya kemarin itu ngembun atau nggak. Seingatku sih gak. Mungkin karena di sana kelembaban udaranya rendah dan nyaris tidak ada perbedaan suhu di dalam dan luar ruangan.

      Untuk persiapan fisik memang agak spartan. Menjelang berangkat, aku perbanyak olahraga kardio. Lumayan membantu sih, untuk membangun daya tahan. Meskipun di hari-hari awal, rasanya ampun-ampunan juga hehe 😁

      Like

  3. Seronoknya Bart!

    Belum pernah terfikir untuk ke sana namun lepas baca posting ini, rasa seronoknya ke sana namun harus prepare dulu kan.

    AMS itu secara senyap2 ya serang pendaki? Alhamdulillah kamu okay aja gak apa2. 🙂

    Aku fikir Everest itu sudah cukup mencabar tapi rupanya mau ke Puncak Annapurna lebih cabarannya ya.

    Liked by 1 person

    1. Aku sengaja mencoba Annapurna dulu, supaya kuat menghadapi cabaran Everest nantinya Khai.

      Iya, preparation harus. Soalnya kondisi alam di sana berbeda jauh dengan di Indonesia.

      Alhamdulillah Khai, sampai kembali ke Indonesia aku aman sentosa.

      Nak cuba kah?

      Liked by 1 person

  4. Juara!

    Rasanya, setelah perjalanan MEGAH ini, gunung es mana lagi yang akan ditaklukkan mas Bart? 🙂 2 momok di atas gunung itu asli bikin ngeri. Untuk aku yang AC aja gak kuat, gak bisa bayangin kemana-mana yang terlihat tumpukan salju. Well, di Kashmir ngerasain juga sih, tapi kan ya nggak sampe berhari-hari.

    Liked by 1 person

    1. Hmmm jawaban atas pertanyaanmu yg pertama nanti insya Allah akan kau tahu di bulan April 2017 Yan. Doain lancar yaaaa …

      Ah iya aku jadi penasaran kalau di Kashmir seperti apa musim dinginnya. Ehm tapi kalau di Kashmir, penghangat ruangan pasti ada khan yaaaa? Di Nepal by request aja, dan bayaaaaar 😂😂😂

      Like

      1. Faktanya, karena selama di Kashmir kami hidup menumpang dan tinggal di house boat/hotel murah, penghangat gak ada mas. Bahkan pemanas air pun kadang nggak nyala. Dan, itulah untuk pertama kalinya aku mandi pake air es haha, asli kayak air batu es gitu. Mandinya sambil mengerang kedinginan :p itupun mandi sehari sekali doang hehehe.

        April 2017…. awesome!

        Liked by 1 person

      2. Sepatu yang aku pakai sih anti air. Jadi salju nya gak tembus melalui permukaan sepatu, tapiii … Aku pernah terperosok ke dalam lubang yang tertutup salju, dan saljunya masuk melalui sela-sela sepatu di pergelangan kaki. Dan itu gak enak banget. Lupa pakai gaiter soalnya 😁

        Like

  5. Saya tercekat. Jemari saya ikut merasakan dingin. Walaupun belum pernah mendaki di gunung bersalju, setidaknya saya sempat merasakan ujung jemari yang nyaris beku saat muncak ke Mahameru. Syukurlah matahari segera terbit dan menghangat.

    Membaca nama-nama gunung di rangkaian himalaya itu nama-nama sakral, perjalananmu bagaikan perjalanan spiritual. Saya angkat topi, dua jempol, salut! 🙂

    Ah iya, apakah Mas Bart merasa agak menggigil ketika bercakap-cakap dalam video tersebut? Hehe.

    Liked by 1 person

    1. Pas bikin video itu? Aku kedinginan banget. Sebenarnya video itu lebih panjang. Dan ada sesi dimana aku menggigil, mbrambang karena haru sendiri, dan juga blank harus ngomong apa saking dinginnya.

      Kalau gak salah di video itu ada satu scene juga dimana aku lupa nama salah satu puncak gunung yg aku tunjuk. Ya itu, blank karena dingin hahahaha

      Aku percaya kalau Mahameru itu bisa dingin juga. Soalnya pas aku ke Prau aku sempat ngalamin dingin yg lebih parah dibandingkan winter yg aku alami di Nepal tahun 2013. Sampai sendi-sendi jariku gak bisa ditekuk atau digerakkan juga Qy.

      Liked by 1 person

      1. Betul Qy. Bahkan gunung yang tak seberapa tinggi pun bisa merenggut nyawa kalau kita sepelekan. Seperti kasus terbaru di Gunung Pangrango, yang menimpa salah satu grup petualang muda.

        Liked by 1 person

      2. Itulah sebabnya. Tak ada gunung yang dapat disepelekan. Bahkan itu berlaku untuk semua jenis kehidupan di alam bebas ya. Aku aja pernah hanyut dan hampir tewas terbanting dari atas curug. Padahal air yang menyeret cuma setinggi dengkul 😥😥

        Liked by 1 person

  6. Tahan nafas baca ceritanya. Padahal udah baca juga live updatenya. Pengalaman berharga bgt ya Bart. Aku sampe bilang ke Naufal, utk nyoba jadi traveler. Biar dia lebih tangguh. Bekal hidup banget deh buat anak laki-laki. Cool.

    Liked by 1 person

    1. Makasih Ne. Dan aku setuju banget soal dorongan untuk Naufal. Traveling itu mengajarkan banyak hal bagus menurutku. Soal manajemen, mengenal diri sendiri, mengatasi keterbatasan dan halangan, sampai dengan menghargai alam dan mendekatkan diri pada Tuhan.

      Makasih udah baca dan tinggalkan komen ya Ne 😊

      Like

  7. Thank very much Bart sir,written about the Arnpurna base camp trek, yes Arnapurna Base camp trek is the one of the best trek in the world,….

    Liked by 1 person

    1. You’re welcome Santosh. It’s my pleasure to share my experience about trekking in Annapurna region.

      Indeed, Annapurna Base Camp trek is one of the best.

      Like

  8. Breathtaking.. Runut, keindahannya tercerita dengan baik, bikin betah bacanya. Doaku masih sama, in shaa Allah bisa ke sana juga, someday.. Aamiinn..

    Liked by 1 person

  9. entahlah aku kuat apa enggak kalau ke ABC, secara aku gak terlalu kuat sama dingin, tapi ada impian ingin ke sana juga, kalo aku bart gak berani solo trekking, kerenlah pokoknya, pengalaman yang amat berharga banget bart

    Liked by 1 person

  10. Speechless…
    Badai salju in mid April? Uuuuh… mules bacanya… Tetapi omong-omong bagaimana dengan trekker Thailand yang kena AMS apakah helikopternya datang sebelum dirimu pulang? Sepanjang trek hujan gak bulan April? katanya itu pre-monsoon ya? Gimana dengan lintah? hahaha geliiii ma lintah soalnya… wkwkwkwk

    Liked by 1 person

    1. Trekker Thailand itu akhirnya dijemput turun setelah sunrise, alhamdulillah dia masih bisa bertahan.

      Waktu kemarin sih sempat hujan sekali, waktu sampai Dovan. Hujannya awet dari sore sampai lewat tengah malam. Pas turunnya juga begitu, hujan lagi di Dovan.

      Kalau April itu masuk musim semi mbak. Hmm sepanjang yg aku ingat, gak nemu lintah satupun. Mungkin bukan alamnya hehehe

      Liked by 1 person

  11. akhirnya baca juga, awalnya semangat pengen naik gunung,pas baca 2 dari 3 pendaki yang umumnya selamat pas turun gunung,duh mengkeret semangat ku buat naik gunung Annapurna ini pan kapan. Waktu bart solo trekking apa nggak ketemu trekker lainnya di perjalanan? bawa tripod ke sana? kalo salju kan tangan kebas, kamu pake sarung tangan yg ada bolongannya di jempol biar tetap bisa ngambil foto? duh serem ya resiko hipotermia dan AMS itu kalo naik gunung #melipir aku liputan shopping ke mall aja kalo gitu pas traveling hahahaha

    Liked by 1 person

    1. Hehe 2 dari 3 itu untuk yang summiting aja Na. Kalau trekking masih relatif aman lah, walaupun masih harus waspada terhadap AMS dan hypothermia.

      Di jalan aku ketemu trekker lain, paling rame sih kalau udah di lodge. Di hutan seringnya sendiri. Bisa 2 – 3 jam sendirian gak ktemu orang di jalan. But, it was so much fun. I did enjoy it being alone in the wild nature hahahaha

      Aku gak bawa tripod. Kebesaran. Tapi aku bawa gorilla pod. Enak. Ukuran ringkas, dan bisa disangkutin kemana aja. Jadi kalau foto sendiri, aku dibantu bebatuan, pohon, atau batang-batang kayu. Selain pakai tongsis untuk GoPro.

      Itu jari udah mati rasa Na. Mencet tombol shutter nya perlu perjuangan hahahaha

      Liked by 1 person

      1. Wah berapa kilometer ya? Aku belum pernah hitung. Soalnya ketinggian yang lebih aku hitung sih hehehehe.

        Initialnya aja yaaa. Coklat murah meriah di Indonesia kok, merk SQ 😁

        Liked by 1 person

  12. Wah sangat luar biasa sekali perjuangan mas bart bisa sampai di Himalaya, rasanya kalau membaca ini hmmm berat banget ya mas tapi memang mas Bart luar biasa ya jadi tantangan seperti ini bener-bener dipersiapkan dengan matang, kalau saya terus terang mungkin gak akan sanggup nih menghadapi trekking begini dengan iklim, dan nuansa yang totally berbeda dengan di negeri kita. Dan satu lagi mas bart sendirian lagi, kayaknya mas perlu bagi pengalaman ini ke sebuah acara talkshow atau seminar atau kelas inspirasi mungkin pasti akan sangat bermanfaat bagi orang indonesia atau generasi muda yang mungkin mempunyai potensi untuk menjadi hiker ditunggu ya mas talkshow nya heheheh Terima kasih

    Liked by 1 person

    1. Makasih Fer. Hehehehe aku belum pede nih kalau sampai talkshow, masih belum seberapa soalnya perjalananku. Tapi kalau share-share berdasarkan pengalaman boleh lah.

      Btw, sebenarnya ini proyek nantang diri sendiri sih Fer. Pas persiapannya juga terkadang aku mikir sanggup apa nggak. Tapi pas udah di lapangan, yaaaa nyemangatin diri sendiri. Alhamdulillah beres, meskipun ampun-ampunan juga hahaha.

      Aku yakin kalau persiapannya tepat, dan pas, pasti dirimu bisa. Yuk, cobain.

      Like

  13. Pasti rasanya campur aduk. Seru, deg degan, dan pastinya ruar biasa nih pengalaman ya. Sop bawang putih#ngasal dan coklat ternyata sangat membantu diperjalanan gitu ya..
    Aku juga pengen trekking kek gitu #hiks kapan ya aku bisa..?

    Liked by 1 person

      1. jadi ingat waktu pertama kali naik gunung, saat itu aku bawa banyak coklat buat sumber tenaga dan memang manjur sih bisa nyampai puncak. Cuma minusnya adalah meremehkan air minum hmmm merasakan gimana rasanya dehidrasi dan terpaksa nyari rerumputan yang berukuran agak besar guna dikemah2 batangnya untuk sekedar membasahi tenggorokan.

        Liked by 1 person

  14. Aku bacanya sambil melongo nih Mas, baca kalimat demi kalimat pelan2 supaya nggak ada yang ketinggalan. Aku pengen banget ke sini juga tapi aku tuh kurang disiplin, masih blm mau keluar dari zona nyaman nampaknya, hehe. Ah seru sekali! Plus seram karena sendiri, harus selalu waspada gitu pasti lebih banyak energi yang diperlukan. Meski begitu happinessnya pasti dobel2 jg kali ya, hehe. Semoga lancar untuk trip selanjutnya 🙂

    Liked by 1 person

      1. Mungkin, soalnya sebenarnya aku belum biasa juga hehehehe. Pas trekking nya juga ampun-ampunan, tapi ya mau gimana lagi, udah di lokasi.

        Next, rencana terdekat sih balik ke Himalaya lagi hehehehe

        Liked by 1 person

  15. Mas bartzap tulisannya menginspirasi banget,jadi gag sabar kepengen treking ke sana juga mas. baca tulisannya jadi gag khawatir buat jalan sendiri.

    Liked by 1 person

  16. bro,
    berarti naik & turun lewat jalur yg sama ya ?

    Bisa dijelasin ngga rute masing-masing hari?

    Misal:
    (day 1) Nayapul – Birethanti – Hille – Tikhedhunga – Ulleri
    (day 2) …

    Liked by 1 person

    1. Kalau dari Chhomrong sampai ke ABC, jalurnya akan sama, karena memang hanya satu.

      Sedangkan dari Nayapul bisa beragam. Ada yang langsung ke Chhomrong via Ghandruk. Ada yang mampir dulu ke Poon Hill via Ulleri baru ke Chhomrong. Ada pula yang langsung ke Chhomrong tapi via Siwai.

      Kalau saya kemarin menggunakan rute ini:
      Day 1 –> Pokhara – Nayapul – Ghandruk.
      Day 2 –> Ghandruk – Chhomrong.
      Day 3 –> Chhomrong – Dovan.
      Day 4 –> Dovan – MBC.
      Day 5 –> MBC – ABC.
      Day 6 –> ABC – Dovan.
      Day 7 –> Dovan – Jhinu Danda.
      Day 8 –> Jhinu Danda – Siwai – Pokhara.

      Tapi ini tergantung kecepatan dan kekuatan ya. Karena di antara Chhomrong sampai dengan MBC ada Sinuwa, Bamboo, Himalaya, Deurali. Jadi bisa dipilih untuk berhentinya tergantung kekuatan masing-masing.

      Like

      1. Kenapa ambil rute ini? Karena lebih cepat saja sih, sesuai dengan rencana perjalanan. Tadinya mau via Poon Hill, tapi karena waktunya tidak mencukupi saya ubah arah. Improvisasi waktu cek ulang rute nya di Pokhara.

        Sama seperti jawaban di postingan tentang Lukla. Saya membawa carrier 38 liter. Baik ketika naik ke Annapurna Base Camp maupun Everest Base Camp.

        Like

  17. halooo….seneng banget bisa ketemu blog yang bahas soal Nepal hingga Himalaya. kebetulan Oktober nanti saya berencana solo travelling kesana dan berharap bisa ke Himalaya….oh yaa pengen nanya2 lebih detail bisa via email or another socmed?

    Like

  18. Alhamdulillah sampai ABC. Keren Mas Bart. Tulisannya enak dibaca, susunan kalimatnya sangat bagus sehingga tdk bosan membacanya. Dari jawaban setiap pertanyaan jg sangat santun, mencerminkan kepribadian Mas Bart. Insya Allah November tahun ini sy ke Annapurna Base Camp semoga lancar tanpa kendala… Aamiin. Sukses terus Mas Bart, Barakallah

    Like

    1. Alhamdulillah, kalau bisa memberikan bacaan yang tidak membosankan.
      Terimakasih sudah mampir yaaa 🙂

      Dan semoga lancar perjalanannya ke Annapurna Base Camp.
      Aamiin 🙂

      Like

Leave a comment