Mengenang Penang

Hari masih terlalu dini ketika bus yang membawa saya tiba di Butterworth. Bayangan akan benteng gagah kota Melaka pun rasanya belum sirna dari mimpi. Namun dalam waktu singkat saya harus mengumpulkan kesadaran dari lelap, demi melanjutkan perjalanan menyeberangi selat Melaka menuju George Town.

Tanpa petunjuk yang jelas dan hanya mengandalkan aliran penumpang lain, saya melangkah menuju pelabuhan. Rupanya kami adalah rombongan pertama yang akan menyeberang pada fajar itu, karena pintu pelabuhan Sultan Abdul Halim yang mengarah ke ferry pun masih tertutup. Kantuk yang belum hilang sedari tadi segera melahirkan sebuah tekad. Sampai hotel, harus lanjut tidur dulu! Bersama penumpang lain serta angin laut yang lembab dan bergaram, saya menanti ferry pertama menuju pelabuhan Raja Tun Uda di Pulau Penang.

lorong-di-georgetown-penang-malaysia
Wajah George Town: Pertemuan antara masa lalu, dan masa kini.

Selanjutnya, saya benar-benar tiba di Pulau Penang pada awal hari. Ketika kendaraan umum paling pagi pun tampaknya belum beroperasi. Dengan hanya mengandalkan kemampuan membaca peta, saya berusaha mencapai penginapan yang telah dipesan dengan berjalan kaki.

Terlepas dari lelah yang telah mendera sejak menginap di KLIA dua malam sebelumnya, saya sangat menikmati jalan kaki di pagi itu. Di atas trotoar sepanjang Jalan Chulia, saya dapat menikmati wajah lelap George Town yang didominasi oleh bangunan-bangunan tua bergaya Eropa dan beraksen Tiongkok. Sekali dua, karya mural dan kriya logam unik menghadirkan potongan-potongan cerita yang terselip di antara sudut kota dan dinding bangunannya.

mural-dan-kriya-logam-di-george-town-penang-malaysia

Guest Inn Muntri: Penginapan Murah nan Strategis

Saya hanya memiliki waktu selama tiga hari untuk menikmati Pulau Penang, khususnya George Town. Dan itu waktu yang sangat singkat, mengingat banyak hal menarik yang dapat dijelajahi di sana. Oleh karenanya saya berusaha menginap di tempat yang paling strategis.

Secara umum, menurut saya penginapan di George Town termasuk cukup mahal, jika dibandingkan dengan Kuala Lumpur, Bangkok, ataupun Yogyakarta, dan Bali sekalipun. Mungkin karena ia adalah kota wisata dan sebagai salah satu yang termakmur di Semenanjung Malaysia.

guest-inn-muntri-george-town-penang-malaysia
Bagian resepsionis Guest Inn Muntri, George Town.

Maka Guest Inn Muntri yang saya inapi kala itu seolah menjadi permata tersembunyi, bagi pejalan berdana terbatas seperti saya.

Penginapan itu terletak di Jalan Muntri. Sebuah jalanan sempit di kawasan yang kaya oleh karya seni publik dan bangunan tua bersejarah. Harga menginapnya cukup murah. Sekitar Rp 200.000,- per malam, sudah termasuk akses WiFi dan sarapan pagi.

guest-inn-muntri-george-town-penang-malaysia-2

guest-inn-muntri-george-town-penang-malaysia-3

Meskipun sederhana, Guest Inn Muntri memiliki angka ulasan yang cukup baik di booking.com. Letaknya sangat strategis, karena shelter-shelter transportasi publik banyak tersebar di sekitarnya. Situs-situs bersejarah yang telah masuk ke dalam daftar UNESCO,  dan titik-titik wisata kuliner pun dapat dicapai dengan berjalan kaki dari penginapan. Bahkan, Nasi Kandar Line Clear yang legendaris kesedapannya, serta buka 24 jam itu, hanya berjarak satu blok saja darinya.

nasi-kandar-line-clear-george-town-penang-malaysia
Nasi Kandar Line Clear, salah satu makanan halal favorit saya selama di George Town.

Negeri Penang: Jejak Multi Etnis di Tanjung Bidara

Jauh sebelum Penang mengambil namanya dari pohon Pinang (Areca catechu), ia dikenal terlebih dahulu sebagai Tanjung Bidara. Namun, sesungguhnya sejarah Penang telah dimulai sejak 5000 tahun yang lalu.

Pada masa pra sejarah itu, Penang sempat dihuni oleh ras Negrito dari etnis Semang, yang diketahui juga tersebar secara terpisah di Asia Tenggara. Secara genetis, mereka masih bersaudara dengan etnis Andaman di Kepulauan Andaman, etnis Maniq di Thailand, dan beberapa ras negrito lainnya di Filipina dan Taiwan.

Sementara berdasarkan catatan ekspedisi Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming, Pulau Penang telah menjadi titik penting pada jalur pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara, sejak abad ke lima belas Masehi.

leong-santong-khoo-kongsi-george-town-penang-malaysia
Leong San Tong Khoo Kongsi. Sebuah rumah klan kaya Tionghoa yang berjaya di Pulau Penang.

Pada abad ke delapan belas Masehi, beberapa orang Minangkabau tiba dan menetap di Pulau Penang. Di antaranya adalah Haji Muhammad Saleh atau Nakhoda Intan, yang memilih Batu Uban sebagai tempat tinggalnya, dimana ia membangun sebuah masjid jami’ di sana. Tak lama setelah itu, pedagang-pedagang Arab juga tiba di pulau itu dan memilih kawasan Jelutong sebagai tempat tinggal mereka. Pada perkembangannya, terjadilah pernikahan silang di antara orang-orang Minangkabau dan Arab, yang pada akhirnya menjadi cikal bakal suku Melayu di Pulau Penang.

Sebagian perantau dari bangsa Tiongkok juga kemudian menetap di Pulau Penang. Mereka secara perlahan mengadopsi kebiasaan-kebiasaan Melayu, disamping tetap menjalankan tradisi aslinya. Yang pada akhirnya mereka menghasilkan sebuah kebudayaan baru yang dikenal sebagai budaya peranakan, yang tercermin pada kekhasan pakaian, makanan, serta bangunan dan tata cara hidup.

Dalam skala yang berbeda dan tidak semasif ras lainnya, bangsa India, Yahudi, dan Armenia juga kemudian menjadi penghuni pulau itu. Masing-masing dari mereka meninggalkan jejak yang cukup dalam dan masih terjaga hingga kini.

patung-francis-light-dan-fort-cornwallis
Sebagian dinding Benteng Cornwallis dan patung Kapten Francis Light.

Pada tanggal 17 Juli 1786, Kapten Francis Light, seorang petualang dan pedagang dari Perusahaan Dagang Hindia Timur tiba di Pulau Penang. Atas nama Raja George III dari Inggris dan perusahaan dagangnya, ia mengambil alih kepemilikan pulau itu dan bermarkas di bagian timur laut pulau, yang kemudian menjadi tempat berdirinya Benteng Cornwallis.

Pada tanggal 12 Agustus 1786, Kapten Francis Light mengubah nama Pulau Penang menjadi Pulau Pangeran Wales, yang didedikasikannya bagi putra mahkota Inggris kala itu. Dan ia memberikan nama George Town pada kota tempat tinggalnya, demi menghormati Raja George III.

denah-benteng-cornwallis-di-george-town-penang-malaysia
Denang Benteng Cornwallis di George Town, Pulang Penang.
gereja-saint-george-george-town-penang-malaysia
Gereja Saint George di George Town, Pulau Penang.

Sejatinya Pulau Penang merupakan bagian dari Kesultanan Kedah. Namun Sultan Abdullah Mukarram Shah dari Kedah yang berkuasa kala itu, memberikan hak guna pakai pulau itu kepada Kapten Francis Light dengan imbal balik perlindungan militer bagi kesultanannya dari serangan Kerajaan Siam dan Burma.

Namun, secara licik Kapten Francis Light telah mengubah pakta perjanjian dengan Kesultanan Kedah, yang memicu kesultanan untuk mengambil kembali pulau itu. Akan tetapi, usaha itu gagal dan memaksa Kesultanan Kedah untuk menerima nilai sewa yang kecil bagi penggunaan Pulau Penang. Praktek pembayaran sewa itu kemudian tetap dilanjutkan oleh Kekaisaran Britania Raya, bahkan hingga kini Negara Konfedereasi Malaysia juga masih melakukan pembayaran kepada Kesultanan Kedah.

jelajah-george-town-penang-malaysia

Jejak bangsa-bangsa yang pernah mewarnai Pulau Penang sejak masa lalu, hingga kini masih dapat dirasakan di sana. Di antaranya melalui bangunan-bangunan, tempat peribadatan, makanan, bahasa, serta kebudayaan, dan kehidupan sehari-hari. Bahkan beberapa papan nama jalan pun dituliskan dalam beberapa bahasa yang berbeda, demi menghormati keberagaman yang ada.

Secara demografis, kini Pulang Penang merupakan pulau terpadat di Semenanjung Malaysia. Dengan etnis Tionghoa sebagai mayoritas, disusul oleh etnis Melayu, etnis India, dan etnis lainnya dalam jumlah kecil. Dan Penang, merupakan sebuah negeri berpenduduk muslim tersedikit dibandingkan negara-negara bagian lainnya di Malaysia.

Jelajah George Town dan Sekitarnya

Setelah terpukau dengan tata ruang kota tua Melaka, maka George Town menjadi kota selanjutnya yang membuat saya berharap jika Indonesia bisa belajar darinya. Karena banyak sekali kota-kota tua di Indonesia yang memiliki catatan historis yang jauh lebih padat dan  panjang, serta jejaknya masih tersisa hingga kini. Namun, pengelolaan kota-kota tua tersebut terasa memprihatinkan, seolah terdesak oleh kemajuan jaman yang tak terhindarkan, dan menenggelamkan sejarah yang pernah berjaya sebelumnya.

sudut-george-town-penang-malaysia

Keseriusan pemerintah negara bagian Penang dalam menjaga George Town terlihat dari dibentuknya sebuah agensi warisan budaya negara bagian yang bernama George Town World Heritage Incorporated (GTWHI) pada bulan April 2010.

GTWHI merupakan sebuah organisasi yang didedikasikan untuk melindungi, mempromosikan, dan menjaga George Town sebagai kota yang berkelanjutan. Organisasi ini bekerja sama dengan pemerintah federal, negara bagian, pemerintah lokal, dan juga beberapa organisasi non pemerintah untuk mengelola, memonitor, mempromosikan, dan mengeksekusi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan warisan budaya kota. Termasuk mengidentifikasi masalah, membangun strategi, dan mengundang para ahli serta pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam menciptakan solusi yang kreatif dan tepat guna.

Luar biasa! Tak heran jika George Town menjadi begitu tertata. Kota itu terasa betul-betul siap dalam menerima pengunjung yang ingin menjelajahinya.

Sebagai pejalan saya hampir tak menemui kesulitan yang berarti selama menjelajahi George Town dan sekitarnya. Segala dokumen yang saya butuhkan, seperti peta, brosur, dan petunjuk bisa saya dapatkan dengan mudah dimana-mana. Mulai dari hotel hingga area-area publik.

papan-informasi-di-depan-gereja-saint-george
Papan informasi di depan Gereja Saint George. Papan informasi macam ini, selalu ada di setiap objek-objek wisata di seluruh kota.

Hampir setiap bangunan bersejarah dan penting, selalu dilengkapi dengan papan keterangan yang menjelaskan informasi singkat mengenai objek yang bersangkutan. Sekaligus peta kecil, yang menjelaskan posisinya dan posisi bangunan menarik lain di sekitarnya.

Dengan sangat kreatif GTWHI mempersiapkan berbagai macam alternatif kegiatan bagi siapapun yang ingin menjelajahi kota itu. Mulai dari wisata sejarah dan arsitektur klasik, wisata kuliner, kegiatan alam, hingga berburu mural dan kriya logam yang instagramable. Masing-masing dari kegiatan tersebut memiliki brosur yang informatif dan menarik.

mural-di-george-town-penang-malaysia

mural-di-george-town-penang-malaysia-3

Bagi saya George Town sangat bersahabat, bahkan untuk pejalan hemat pemula. Gang-gang sempitnya yang tua, tidak terasa menyeramkan, meskipun tak banyak orang berlalu lalang. Sementara jalanannya dilengkapi oleh trotoar yang cukup menenangkan.  Sistem transportasi kotanya teratur dan terjangkau, dengan jam operasi dari pagi hingga malam. Memang, ada anjuran untuk berhati-hati di daerah tertentu. Tapi secara pribadi saya merasa nyaman dan aman selama berada di sana, termasuk ketika berjalan-jalan di malam hari. Lagipula berhati-hati dimanapun, adalah hal yang wajar-wajar saja.

lorong-di-georgetown-penang-malaysia-2

Selama tiga hari saya menghabiskan waktu menjelajahi sudut-sudutnya. Mulai dari menyambangi benteng, masjid, gereja, hingga rumah keluarga Tionghoa nan megah. Menyusuri labirin-labirinnya sembari berburu seni hias dinding, mencicipi makanan dan minuman otentiknya, mencoba sistem transportasi kota termasuk kereta yang menanjak tajam pada lerengan curam, hingga mengamati sebagian Pulau Penang dan Semenanjung Malaysia dari puncak Bukit Bendera.

kuliner-di-georgetown-penang

mural-di-george-town-penang-malaysia-2

george-town-penang-dan-semenanjung-malaysia-dari-bukit-bendera

Pada akhirnya, saya menyadari jika kunjungan itu benar-benar singkat. Masih banyak yang terlewat, meskipun Penang bukanlan sebuah pulau yang besar. Sembari menyeberangi Jembatan Penang yang membelah Selat Malaka, saya menandai kembali titik-titik tersisa yang berada di atas peta. Semoga saya bisa menjumpa Penang kembali. Segera.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

107 thoughts on “Mengenang Penang

  1. Aku kelewatan yang nasi kendar line clear itu. Makannya malah di tempat lain, di dekat masjid Kapitan Keling atau Comtar karena dekat penginapan.

    Muralnya juga nggak semua terjelajahi. Saat ke sana, kayaknya Penang panas luar biasa. Jalan kaki nyariin mural kok kayaknya nggak habis-habis. 😀 Tapi aku suka Penang, bisa naik GoPenang yang gratisan, duduk-duduk di tepi laut (?) deket benteng Cornwallis itu rasanya asoy!

    Liked by 1 person

    1. Aku juga sempat nyobain Nasi Kandar yang di dekat Kapitan Keling, tapi kalau soal rasa Nasi Kandar Line Clear belum ada tandingannya Yan. Berarti dirimu harus balik lagi ke sana dan nyobain.

      Iya sih memang Penang itu puanaaas banget hahaha. Lembab juga. Tapi pas aku di sana sempat ada satu hari hujan gitu, jadi agak ademan.

      Iya, enak banget sore-sore duduk di tepi laut itu. Meskipun kalau soal pantai dan laut, Indonesia tetap juaranya sih 🙂

      Like

    1. Masa sih Lid mahal? Jangan-jangan dirimu pas nginep, pas lagi high season. Pas aku ke sana tahun 2014, masih lumayan banyak sih. Kadang aku suka gak sengaja nyari, eh nemu yang keren-keren yang nyelip-nyelip gitu di dalam gang.

      Like

    1. Kadang di Eropa, kadang di China, kadang di India Rullah. Tergantung areanya. Mereka membagi area-areanya gitu. Ada pecinannya, ada Little India nya dan sebagainya.

      Like

    1. Iya sederhana tapi cukup mas, soalnya khan seharian jalan. Kamarnya lumayan bersih, AC nya juga dingin, kamar mandinya bersih, WiFi nya kencang meskipun cuma di ruang komunalnya aja, trus waktu itu salah satu staff nya orang Semarang, jadi bikin aku betah.

      Makasih lho mas Dhanang masukannya 🙂

      Ah iya setuju, beberapa tempatnya mengingatkan aku sama Jogja 🙂

      Like

      1. eh lagi online jg, langsung di bales sama mas Bart..yang penting kalau traveling memang nginepnya yang biasa biasa, dibanyakin outdoornya saja ya mas..kan buat bobo doang hehee

        Liked by 1 person

      2. Iya nih mas, aku lagi baca postinganmu, mumpung di rumah bisa. Soalnya kalau di laut entah kenapa akses ke blog mu aku gak bisa, diblock gitu 😦

        Hehehe iya sih mas, kecuali kalau liburannya emang buat staycation, ya carinya hotel yang asik banget buat gak kemana-mana 😀

        Like

    1. Kalau ko Deddy puas pastinya kulineran di Penang. Aku berusahan nyari laksa Penang otentik yang halal belum nemu nih. Boleh lho kalau ada infonya aku dibagi 🙂

      Like

      1. Ah ngebayanginnya aja udah bikin pengen. Makasih infonya ko, jadi pengen nyari kalau misalnya main ke Medan atau Penang lagi 🙂 *langsung catet*

        Like

    1. Hmm aku lupa berapa jam nya. Pas berangkat sih dari Malaka, malam jam 8 an, sampai Butterworth jam 5 kalau gak salah. Terus nyebrang setengah jam ke Pulau Penang nya (George Town). Pas pulangnya dari Penang pagi, sampai KL di jam makan siang. Gak terlalu lama kok Zi …

      Like

  2. Jadi ingat kami pernah ‘singgah’ sangat sebentar di Georgetown, tapi nyebrangnya gak naik kapal. foto pertama kami lewati. 3 hari lumayan juga yah di Penang dan yah penginapannya emang cukup mahal yah. Tapi tetap kami mau kembali ke sana. 😀 ❤

    Liked by 1 person

    1. Nyebrang via jembatannya ya kak? Nah betul khan, untuk fasilitas yang sama hotelnya memang lebih mahal di Penang ini. Lain-lain sih terjangkau.

      Sama kak, pengen balik ke sana lagi. Kalau dirimu enak deh, bisa puas wisata kulinernya hehehe.

      Like

  3. Waktu sampe Penang pas kabut asap tahun 2015 yang berasal dari Indonesia mulai merebak. Langit Penang waktu itu mulai agak kusam diselimuti kabut asap tipis. Tapi untungnya ada hari-hari yang cukup cerah (dan panas) juga, jadi lumayan lah buat foto-foto. Overall Penang menyenangkan sih — jalanannya enak dilihat, mural-muralnya menarik, dan instalasi seni lainnya juga bikin Georgetown tambah kece. Pas masuk ke nasi kandar Clear Line itu sempet agak jiper soalnya yang ngelayanin cepet banget geraknya, jadi merasa agak-agak gak enak kalo gara-gara aku bingung milih-milih makanan malah bikin antriannya lama, hehe..

    Liked by 1 person

    1. Pas aku di sana juga gitu Bam. Gak ada kabut asap sih, cuma langitnya gak bersih-bersih amat. Makanya waktu di Bukit Bendera, pemandangan ke bawahnya gak begitu jelas, padahal habis hujan juga.

      Hahahahaha dirimu nambah gaaaaak di Nasi Kandar Line Clear? 😂😂

      O iya dirimu sempat ke Cheong Fat Tze ya? Aku belum nih, kelewatan terus. Makanya merasa masih punya hutangan dan pengen balik ke sana lagi.

      Like

      1. Iya, ke Cheong Fat Tze Bart. Soalnya hotelku persis di belakangnya, dan dari jendela kamarku bisa keliatan bangunan mansionnya. Btw ya, kata James sebagai pecinta babi, assam laksa khas Penang itu gak pake babi sama sekali lho. Setelah aku cek di berbagai resep juga gak ada bahan-bahan mengandung babi yang dipakai soalnya ini adalah laksa seafood. Jadi harusnya aman sih kalo mau nyobain. Aku sih kurang suka, soalnya agak terlalu asam buat lidahku (iya lah, namanya juga assam laksa). 🙂

        Liked by 1 person

      2. Seriuuuuussss? Coba nanti aku cek kalau ke sana lagi. Abis pas kesana aku nanya-nanya laksa yang halal, mereka pada gak tau hehehehe. Kayanya di sana belum ada ide wisata halal juga 😁😁

        Like

    1. Banget kak. Hehehe itu museum sebenarnya ada di dekat penginapanku, cuma karena dekat, aku tunda-tunda kunjunganku ke situ. Eh pada akhirnya malah gak sempat sama sekali ke sana hahahaaha. Langsung merasa berdosa 😁😁

      Like

    1. Wah kalau itu aku baru dengar. Tapi memang sih, dari bandara ke George Town nya jauh, dan taksi nya agak kurang bisa diandalkan (di seluruh Malaysia juga). Harganya kaya gak fair gitu 😁😁😁

      Amiiin, insya Allah semoga.

      Like

  4. Siapa pun yang ingin menjelajah Penang mesti baca tulisan yang sangat lengkap ini Mas. Top banget. Muralnya bagus, menyatu dengan sekitar, jadi tidak terkesan hanya sebagai tambahan namun seolah sudah ada di sana dengan usia yang sama dengan tembok mana tempatnya terlukis.

    Liked by 1 person

    1. Makasih Gara, ini udah aku singkat banget. Sampai pusing mutusnya mau di bagian info yang mana hehehe.

      Nah iya, setuju banget. Mereka itu membuat mural dan kriya logam nya tanpa terlalu merubah dinding aslinya. Jadi kalau dindingnya sudah ditumbuhi lumut atau sedikit terkelupas ya dibiarkan saja. Jadi kesannya lebih menyatu. Dirimu harus main ke sini deh Gara. Banyak arsitektur lawas yang menarik di sini.

      Like

  5. Bart, kalau bercerita pasti lengkap. Salah-salah ikut menyusuri lorong lorong sempit, melihat mural dan naik transportasi yang ada di sana. Saya juga jatuh cinta pada Penang. Tak hanya Penang juga Melaka. Cara mereka merawat peninggalan kolonial dan menjualnya sebagai aset wisata, membuat kagum tak habis. Sayangnya waktu di Penang saya bersama para turis manja, kemana-mana pakai mobil, jadi banyak kehilangan detailnya 🙂

    Liked by 1 person

    1. Iya ni, dan kalau dipikir-pikir secara materi Indonesia punya banyak kota yang potensial bisa digarap seperti itu ya. Cuma kita seperti belum menemukan resep yang pas supaya sukses.

      Hehehehe berarti Uni harus balik lagi ke Penang, untuk mendapatkan detail-detail lainnya. Aku yakin pasti Uni bakal membawa cerita yang sudut pandangnya menarik juga. Btw, waktu itu berapa hari di sana ni?

      Like

      1. Lagian judunya kan “Mengenang Penang” yah mengenang itu kan asalnya dari kangen iya gak sih mas? maaf ya pembahasan saya agak absurd tentang kenang mengenang dan kangen hehehe

        Liked by 1 person

      1. Wuih, kamu punya cerita horor. Nanti aku mampir baca deh. Eh ada sih pernah punya kisah horor, tapi kalau aku ceritain nanti kesannya aku suudzon sama golongan lelembut hahahaha

        Liked by 1 person

    1. Terimakasih Dan. Betul sekali, aku merasa terkesan dengan pengelolaan Pulau Penang terutama George Town. Aku bisa belajar banyak dari sana.

      Terimakasih sudah mampir membaca, tinggalkan komentar, dan reshare di twitter ya 😊

      Liked by 1 person

      1. Negeri Penang bagus dalam menjaga warisan budaya tetapi kami tidak menghargai alam sekitar sepertimana di Indonesia. Aku cukup jatuh cinta dengan Bukittinggi di SumBar karena tempatnya begitu “untouched.”

        Liked by 1 person

      2. Di situlah kita saling belajar dan mengisi kekosongan ya. Malaysia berhasil dalam mengelola warisan budaya, sementara Indonesia lebih ke arah wisata alam sekitar.

        Wah kebetulan sekali bicara soal Bukittinggi, ayahku berasal dari sana. Dan aku jadi berpikir, seandainya aku ke Malaysia lagi, ingin singgah ke Negeri Sembilan yang kebetulan memiliki akar dari Sumbar. Ingin lihat sejauh apa hubungan yang masih terasa sampai sekarang.

        Betul sekali soal Sumbar, potensi pariwisatanya memang masih kurang tergarap. Kami punya banyak homework terkait propinsi satu itu. Btw, Bukittinggi memang menyenangkan terutama wisata kulinernya 😊😊

        Liked by 1 person

  6. Panjang, bro. Hahaha. Kayaknya bisa kamu split jadi beberapa topik 🙂

    Aku cuma punya waktu kurang dari 2 hari 1 malam di Penang, Bart. Ditambah kurang riset! Banyak hal yang terlewat: karya mural yang nggak disadari, Bukit Bendera, KOMTAR, Gurney Drive, Lorong Burma, banyak deh. Andai dapat kesempatan ke Penang lagi, rasanya mau memuaskan keinginan yang tertunda.
    Btw hostel di sana sama murahnya dengan di KL. Hostelku di KL 25 MYR, di sana dapat 20 MYR permalam, tapi memang dorm.

    Sayangnya ada beberapa sudut di Penang yang kotor, misalnya di Little India. Banyak rumah makan yang buang limbah rumah tangga sembarangan ke selokan. Lalu dalam perjalanan ke kuil lewat jalan tol, maceeettt 😀
    Tapi overall, Penang tetap lebih siap wisata daripada kota-kota historis serupa di Indonesia.

    Liked by 1 person

    1. Justru ini versi pendeknya Gi. Rencananya sih memang nanti ada breakdownnya lagi, cuma gak banyak. Hehehe itulah, soal traveling kadang tempatnya sama persepsinya bisa berbeda kalau penulisnya berbeda. Aku liat hotelnya relatif mahal, dengan membandingkan yang selevel sih, bukan cuma harga aja. Bisa jadi mungkin karena itu pas high season, mungkin 😁😁

      Liked by 1 person

  7. Aku dah 2x ke Penang thn 2013 n 2016, tp blm sempet ditulis sampe skrg, kerjaanku di penang itu makan2 dan jajan. Ada laksa penang yg halal dan terkenal di pasar air itam dkt kek lo si temple, rame yg beli tp yg jual org cina sdh kutanya halal dia bilang, aku gk beli soalnya lg puasa. Masih mau k penang lg soalnya msh ada tmpt jajan yg blm dicoba, ada festival durian di sana klo pas musim durian, enak bgt durian musang king malaysia. Btw aku pernah nginep di lebuh chulia dan di kimberly house di kimberly street tempatnya strategis dan murah

    Liked by 1 person

    1. Wah makasih infonya. Iya nih kalau ke Penang lagi aku harus cobain itu laksa halalnya, penasaran soalnya. Waktu itu cuma makan nasi Kandar, lagi, lagi dan lagi. Trus Rujak Pasemboor, Char Kway Tiaw, sama nyobain beberapa macam es nya gitu.

      Liked by 1 person

      1. Aku malah belum pernah makan nasi kandar soalnya yg di Line Clear itu lihat panci lauknya gede-gede jd keder, porsi makanku sedikit soalnya hahaha, kalau nggak sempet ke Penang buat makan laksa penang, di bandara KLIA2 ada foodcourt Quizin by Rasa nah di salah satu food stallnya ada menu Laksa Penang Bart, tapi klo mo yg lebih otentik ya ditempat asalnya

        Liked by 1 person

  8. Nambah lagi info Penangnya. Rumah orang kaya klan Tionghoa yang berjaya di Penang itu artistik ya. Boleh masuk kedalam nggak liat isi rumahnya? Semoga tahun depan bisa kesana

    Liked by 1 person

    1. Banget, Leong San Tong Khoo Kongsi ini pernah dijadikan set film Anna and The King yang diperankan oleh Jodie Foster dan Chow Yun Fat. Ooo boleh banget masuk dan liat-liat mbak. Keren banget kawasannya.

      Like

      1. Pakai tiket kak, cuma lupa berapanya. Gak mahal kok. Dan nanti dikasih stiker yg bisa kita pasang di baju, sebagai tanda bahwa kita adalah pengunjung resmi.

        Like

    1. Nasi Kandar itu kalau menurutku lebih mirip nasi kapau atau nasi Minang gitu. Rasanya mirip-mirip, walaupun secara isian ada yang berbeda. Dan sejak nyobain nasi Kandar, aku jadi suka makan okra 🙂

      Like

  9. Aiiih kerrreen… Tadinya, saya berpikir klo di sini g ada apa apa. Soalnya sering dengar dari orang aceh yg pergi berobat ke pulau ini. Dia bilang, biasa aja..

    Apanya ya g biasa?? Kereeen gini.. tapi itu hotel mahal yaaa
    Insya Allah..tahun ini harus bisa ke peneng.. amin

    Like

    1. Biasa gak biasa suatu tempat sebenarnya tergantung sudah pandang juga sih bang. Bisa jadi orang Aceh yang ke Penang jalan-jalannya di sekitar rumah sakit aja. Coba kalau ke Georgetown, pasti beda. Apalagi kalau suka sejarah dan bangunan-bangunan lawas, plus makan-makan. Cuma memang kalau mau makan di Penang harus cermat pilihnya sih, terutama untuk muslim, banyak ranjaunyaaaa 😀

      Liked by 1 person

Leave a comment