Nepal (17): Cremation – Scenes of Life and Death at Pashupatinath

Segala yang bermula akan memiliki akhir. Begitu pula dengan perjalanan kami. Setelah sembilan hari di Nepal, akhirnya kami harus segera berpisah dengan negeri di kaki Himalaya itu. Entah kebetulan atau tidak, tapi yang tersisa dari itinerary kami adalah Kuil Pashupatinath, yang terkenal dengan upacara perabuannya. Selama 24 jam dalam sehari, kuil tersebut menjadi tempat persinggahan terakhir bagi mereka yang mati. Sebelum akhirnya meluruh menjadi abu. Kembali pada ketiadaan, ketika sisa raga dilarung pada sungai Bhagmati.

Pashupatinath: Antara Legenda dan Sejarah

Menurut legenda Hindu Nepal, suatu ketika Dewa Siwa menghilang dari kahyangan dan menyamar sebagai seekor rusa, serta berkeliaran pada sebuah hutan di sisi timur sungai Bhagmati. Namun kemudian penyamarannya terungkap, ketika para dewa yang curiga merenggut tanduknya hingga patah, serta memaksanya untuk menunjukkan wujud aslinya. Patahan tanduk sang rusa kemudian berubah menjadi sebuah lingga yang dipuja.

Namun dengan berlalunya waktu, lingga tersebut menghilang. Hingga berabad kemudian seorang peternak memperhatikan seekor kerbaunya yang sering menyirami sebidang tanah dengan susunya sendiri. Karena penasaran, peternak itu menggali tanah tersebut, dan menemukan kembali lingga Pashupatinath yang telah hilang.

kuil-pashupatinath-kathmandu-nepal
Pemandangan keseluruhan kompleks Kuil Pashupatinath. Kuil utamanya adalah yang berpuncak emas di sisi kanan. (sumber: Wikipedia)

Pashupatinath sendiri merupakan nama jelmaan Dewa Siwa sebagai dewa para hewan, yang secara tradisi dijadikan pujaan nasional bangsa Nepal.

Menurut tarikh Gopalarajavamsavali (Gopu), kuil Pashupatinath pertama kali dibangun oleh Raja Supuspa Deva dari wangsa Linchchhavi, pada kisaran abad ke 8 Masehi. Yang kemudian direkonstruksi ulang pada masa kekuasaan Raja Shivadeva. Dan disempurnakan lagi pada masa Raja Ananta Malla, dari Kerajaan Malla.

Selain sebagai Kuil Dewa Siwa, Pashupatinath juga dikenal sebagai Kuil Kehidupan.

Kisah Para Bhatta dan Rajbhandari

Kuil Pashupatinath yang terletak di sisi sungai Bhagmati itu, dianggap sebagai salah satu kuil Hindu paling suci di dunia. Tidak sembarang orang dapat memasukinya. Bahkan, hanya penganut Hindu Nepal yang dapat menapakkan kakinya hingga ke bangunan inti kuil.

Para penganut Hindu serta Buddha keturunan India dan Tibet masih diperbolehkan masuk, hingga ke pelataran kuil. Sementara penganut Sikh dan Jain, diperbolehkan masuk ke dalamnya jika mereka merupakan keturunan India.  Namun, penganut Hindu dari barat atau bangsa lain serta non Hindu, sama sekali tidak diperbolehkan masuk ke dalam area kuil. Sepasukan penjaga khusus dibentuk dan berjaga di gerbang kuil, untuk memastikan siapa saja yang dapat melewatinya.

sisi-lain-kuil-pashupatinath
Salah satu sisi kompleks Kuil Pashupatinath di Kathmandu, Nepal. (sumber: Baraka)

Lingga Pashupatinath yang disucikan pada bagian sanctum kuil pun hanya boleh disentuh oleh para pendeta khusus yang disebut Bhatta, yang juga melaksanakan ritual harian di kuil tersebut. Dalam pekerjaannya mereka dibantu oleh beberapa orang asisten yang disebut Rajbhandari, yang bertugas memelihara kuil serta mengurus segala keperluan kerja para Bhatta.

Berbeda dengan kebiasaan pada banyak kuil Hindu di seluruh dunia. Pendeta utama (Bhatta) di Kuil Pashupatinath, tidak bersifat keturunan. Melainkan mereka dipilih secara khusus melalui metoda audisi yang sangat berat dan ketat, dan secara tradisi mereka berasal dari India. Sementara para Rajbhandari justru sebaliknya, mereka merupakan warga Nepal dari kasta satriya, keturunan para pendahulunya yang membantu para Bhatta dari masa-masa awal kuil berdiri.

Upacara Kremasi di Kuil Kehidupan

Karena adanya larangan bagi penganut non Hindu untuk masuk ke dalam bangunan utama kuil, maka kami hanya bisa mengamatinya dari undakan di sisi timur sungai Bhagmati. Sebenarnya posisi tersebut sangat strategis. Letaknya yang agak tinggi, membuat kami dapat mengamati hampir keseluruhan kompleks kuil, termasuk Bhameswar Ghat yang menjadi tempat berlangsungnya upacara perabuan.

denah-kompleks-kuil-pashupatinath-kathmandu-nepal
Denah Kompleks Kuil Pashupatinath di Kathmandu Nepal

Secara tradisi, sebagai tempat perabuan Bhameswar Ghat dibagi menjadi dua. Sisi yang berada tepat di samping Kuil Pashupatinath merupakan altar perabuan para bangsawan yang diperuntukkan bagi perabuan Raja dan keluarganya ataupun petinggi-petinggi negara. Sedangkan sisi lainnya -yang dipisahkan oleh jembatan- dipergunakan untuk perabuan masyarakat umum.

Ironisnya, pada bulan Juni 2001, altar perabuan para bangsawan di Kuil Pashupatinath menjadi saksi “tanda berakhirnya” Kerajaan Nepal. Ketika Raja Birendra dan seluruh anggota keluarganya diperabukan secara bersamaan di tempat tersebut, setelah mereka tewas terbantai secara misterius di Istana Narayanhiti.

raja-birendra-pangeran-dipendra-dan-keluarga
Anggota keluarga Kerajaan Nepal yang tewas dalam pembantaian berdarah di tahun 2001. (Duduk): Raja Birendra dan Ratu Aishwarya. (Berdiri kiri ke kanan): Putri Shruti, Putra Mahkota Pangeran Dipendra, dan Pangeran Nirajan.

Sejumlah ritual biasanya dilakukan sebelum perabuan, dengan maksud untuk mensucikan jiwa jenazah yang akan diperabukan. Upacara dimulai dengan menandu jenazah, demi mengunjungi kuil Pashupatinath untuk yang terakhir kalinya. Setelahnya, pakaian yang dikenakan sang jenazah akan dilepaskan dan dilarung ke dalam sungai. Dan kain kafan berwarna putih serta jingga selanjutnya digunakan untuk membungkus jenazah, dengan menyisakan bagian wajah serta kepala yang tetap terbuka.

Sebelum jenazah diletakkan di atas altar perabuan, beberapa anggota keluarga (pria) terdekat akan menandunya untuk mengitari tumpukan kayu yang akan digunakan, sebanyak tiga kali, searah putaran jarum jam. Dan setelah jenazah diletakkan di atas tumpukan kayu tersebut, anak pria tertuanya akan melakukan putaran yang sama, sembari membawa kayu penyulut yang telah menyala. Kemudian kayu penyulut tersebut diletakkan di dekat mulut jenazah untuk memulai proses perabuan. Hal ini dilakukan, karena umat Hindu percaya jika jiwa sang jenazah akan pergi meninggalkan raga melewati mulutnya.

platform-kremasi-di-pashupatinath-senja-hari
Platform perabuan untuk masyarakat umum di Kuil Pashupatinath pada senja hari.

Proses perabuan berlangsung selama beberapa jam, sebelum akhirnya sang jenazah berubah menjadi abu. Selama proses itu, keluarga terdekat akan menunggu di sekitarnya sembari merapalkan mantra-mantra doa. Sementara petugas perabuan dan sejumlah pendeta memproses perjalanan terakhir sang jenazah. Segalanya berakhir ketika abu jenazah yang tersisa disiram dari altar perabuan dengan menggunakan air menuju aliran sungai Bhagmati. Altar perabuan itu seketika bersih kembali, dan siap untuk menerima proses perabuan lainnya.

Siklus tersebut berlangsung terus menerus di Kuil Pashupatinath, siang malam tanpa henti. Setiap hari, setiap musim, sepanjang tahun. Karenanya, mungkin di antara semua kuil yang ada di Nepal, Pashupatinath adalah yang tersibuk.

kremasi-di-varanasi
Suasana perabuan di Varanasi, India. (sumber: Baraka)

Dibandingkan dengan Varanasi di India, proses perabuan di Pashupatinath terasa lebih terbuka bagi pengunjung. Hampir tak ada larangan untuk memotret dan mengikuti jalannya upacara tersebut, selama pengunjung berada pada jarak yang ditentukan. Sudah barang tentu, lensa tele menjadi perlengkapan wajib yang harus dibawa oleh setiap fotografer yang ingin mengabadikannya.

bartzap-di-pashupatinath-kathmandu-nepal

Segala yang terjadi di Pashupatinath kala itu, terasa seperti dua hal yang kontras di mata. Kepulan asap putih yang membubung ke udara, mengapungkan jiwa yang melayang ke angkasa. Ditingkahi gemeretak kayu membara meluluh lantakkan jejak-jejak kehidupan. Tubuh yang luruh menjadi abu, larut kembali ke dalam bumi. Dari tiada, menjadi ada, dan kembali tiada. Sementara Om Jai Jagdish Hare -syair pemujaan yang mengagungkan kekuatan Tuhan sebagai pencipta jagat raya- mengalun bergaung memecah redup senja. Semua berpadu membentuk jukstaposisi: perabuan dan penciptaan, kematian di kuil kehidupan.

Bersama malam yang semakin dingin, dan bayangan akan roda Samsara, kami mengakhiri kunjungan di Negeri Seribu Dewa.Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

71 thoughts on “Nepal (17): Cremation – Scenes of Life and Death at Pashupatinath

  1. Aku lihat foto paling atas berasa magis banget deh kuil ini. Dan baca sampai habis bikin saya kagum, ingat beberapa sekuel cerita satu novel, sama film India!
    Kayaknya untuk ritual itu dari yang ditulis, sama seperti di film India itu ^.^
    Suka tulisan ini dipadu dengan legenda dan sejarah. Ciyusan aku baru tau keluarga raja itu dibantai misterius 😦
    Lucky you, Kak, bisa berkunjung ke tempat ini dan thanks a lot share ke kami ^.^

    Liked by 1 person

    1. Sekuel novel yang manakah?
      Iya kebanyakan orang akan mengasosiasikan proses kremasi dengan apa yang jamak dilakukan di Varanasi India. Padahal yang di Kathmandu lebih enak diamatinya. Gak ada larangan yang berlebihan. Dan kalau dibandingkan dengan ngaben di Bali beda banget.

      Secara upacara ngaben lebih agung kesannya, meskipun yang diaben adalah rakyat jelata. Sedangkan yang di Nepal dan India, lebih sederhana, meskipun tetap sakral.

      Sama-sama, terimakasih juga sudah berkunjung dan tinggalkan komen yaaa 🙂

      Like

  2. Mereka masih menggunakan kayu untuk membakar jenazah dan belum menggunakan oven, ya Bart. Aku bisa membayangkan bagaimana magisnya saat arak-arakan jenazah terakhir kalinya di bawah mengelilingi kayu yang akan melumat seluruh eksistensi fisiknya. Bagaimana lantunan puji-pujian mengiringi ritual tersebut, kalau dari dekat spasi membuat merinding bulu Kuduk ya.

    Oh ya saat Abu terakhir di luncurkan ke sungai Apakah semua nya memang sudah jadi abu? Tidak ada sisa tulang-belulang? Mengingat tulang tungkai dan geraham yang amat keras mestinya api dari kayu tidak bisa melumatkan seluruhnya ya?

    Liked by 1 person

    1. Iya uni, yang di Pashupatinath ini masih menggunakan kayu. Sama seperti di Varanasi juga. Sepertinya mereka akan tetap mempertahankan itu. Untuk lantunan doanya lirih, harus benar-benar dekat supaya bisa mendengarnya. Itupun masih sayup karena berbarengan dengan bunyi kayu yg terbakar dan api yg menyala-nyala.

      Selama proses perabuan itu, ada proses penghancuran juga. Jadi tulang-tulang yg agak besar dihancurkan manual, langsung di atas altarnya. Setelah beres, langsung disiram menggunakan air dari sungai itu sendiri, untuk dilarungkan ke aliran besarnya. Semua sama, baik raja dan para bangsawan, maupun rakyat jelata. Yang membedakan cuma letak altar perabuannya saja.

      Liked by 1 person

  3. ini prosesinya dari sore-malam atau dari pagi-malam kak? apakah harus datang paling awal gitu biar dapat spot terbaik? merinding ya lihat prosesinya trus ada bau2 tertentukah? soalnya aku agak sensitif dan gampang pusing kalo ke tempat yang berbau wangi2 tertentu

    Liked by 1 person

    1. Prosesinya sepanjang hari dan malam. Mau datang kapanpun pasti ada. Aku sih datangnya pas sudah senja sampai malam, dan kameraku kurang mumpuni, jadi aku gak bisa membuat dokumentasi yang terlalu detail kecuali dengan kata-kata.

      Hmmm pasti banyak sih bebauan yang agak asing di sana. Paling nggak bau dupa, setanggi, dan sesajian. Cuma gak tau ya, lama-lama aku terbiasa. Dan lama-lama aku juga suka kangen sama bebauan itu.

      Kalau bau kremasi beda lagi. Hmmm susah dilukiskan. Tapi aman kok, tinggal menjauh dari arah angina aja.

      Liked by 1 person

    1. Karena waktu itu pertamakalinya buatku, aku takjub dibuatnya. Merinding juga. Karena kematian itu salah satu hal yang paling aku takuti. Membayangkan proses dekomposisi tubuh secara normal aja aku suka begidik, lah ini malah melihat prosesn peleburan yang ‘dipercepat’.

      Sensasinya agak absurd sih. Bayangin aja, sisa kehidupan itu datang, masih utuh, lalu diupacarai, dikremasi, dan beberapa waktu kemudian hilang sudah di dalam air sungai.

      Like

  4. yang aku kagumi dari setiap tulisanmu kak, selain ceritanya, juga detailnya. kok bisa ya cerita dengan sedetail itu? apalagi ini kan budaya bangsa lain yang diluar kebiasaan kita, bahasanya pun berbeda, istilahnya pun unik-unik. berarti kan selama traveling teliti banget observasinya. atau ketika traveling sambil bawa catatan kecil gitu? keren lah cerita2nya! ditunggu versi cetaknya! 😀

    Liked by 1 person

    1. Makasih apresiasinya mas Fahmi.

      Iya, aku kalau jalan selalu bawa catatan kecil. Terus juga nulis di gadget, bikin postingan kecil di sosmed supaya aku ingat timelinenya. Selain itu aku juga kumpulin apapun yang bisa dijadikan bahan penunjang, seperti: brosur, tiket, dokumentasi papan keterangan dan lain-lain. Sisanya aku ngobrol-ngobrol juga sama orang lokal dan cek berita-berita terkait.

      Seperti misalnya kejadian pembantaian keluarga Kerajaan Nepal ini khan sempat heboh di tahun 2001. Aku cek ulang ceritanya, dan ternyata di Nepal banyak buku-buku juga tentang itu, iseng-iseng aku baca juga di toko buku. Curang ya, nggak beli, tapi baca di tempat hahahaha.

      Ya kurang lebihnya gitu mas, buat nambahin detailnya.

      Siaap. Doain ya, semoga bisa segera bikin versi cetaknya. Ini udah mulai nyicil halaman-halaman pertama.

      Like

      1. Aku sih lebih banyak pakai lensa lebar dan lensa normal. Meskipun punya lensa tele, jaraaaang banget dipakainya. Malah belakangan lebih sering pakai kamera dengan lensa fix 28 mm (lebar) aja kalau jalan kemana-mana. Lebih ringkas juga. Cuma ya zoom nya pakai kaki, untuk standar zoom ya 🙂

        Like

  5. Baca tulisan kamu itu saya harus duduk tenang, Bart. Hahaha. Harus diresapi kata per kata karena sayang banget klo dibaca terlalu cepat. Bikin buku gih, saya pembeli pertamanya.

    Perjalanan di Nepal ini kok kayak mencapai klimaksnya banget. Melihat prosesi pemakaman (dalam hal ini kayak Ngaben gitu sih). Gimana rasanya, Bart? Dengan semua perjalanan kamu di Nepal trus diakhiri dengan sesuatu yg kayaknya klo buat saya sih jadi bahan utk refleksi banget, kematian.

    Teman saya pernah ke Nepal juga. Lupa bagian mana Nepalnya (bukan Galih yg saya maksud heuheu). Dia menyaksikan prosesi pemakaman juga, bedanya jenazah diletakkan di tanah lapang terus ntar burung-burung bangkai berdatangan makan jenazah tersebut. Saya baca di buku Agustinus Wibowo malah lain lagi. Jenazahnya dihanyutkan ke lautan supaya dimakan ikan-ikan (cmiiw). Walo beda-beda, tapi tujuannya sama. Mengirim arwah ke surga.

    Wah makin banyak saya tahu ttg Nepal, makin pengen ke sana, Bart. Pengen motret Nepal.

    Liked by 1 person

    1. Duh makasih banget kalau begitu sudah menyempatkan diri untuk serius membacanya. Dan kayaknya dirimu orang keberapa ya yang sudah mendorong aku untuk membuat buku. Sebenarnya aku sudah mulai mencicil halaman-halaman awal sih. Cuma merasa butuh teman untuk brainstorming nih. Sekali lagi makasih ya. Doain dong biar lancar nulisnya, dan segera bisa meluncurkan karya buku 😉

      Rasanya, jujur aja takjub dan terhenyak. Melihat kematian itu selalu membuat aku berhenti sejenak dan memikirkan banyak hal juga tujuan akhir hidup. Ditambah prosesi ‘peleburan terakhir’ yang aku lihat ini khan, berbeda jauh dari keyakinan yang aku anut. Jadi mikir banyak. Bisa jadi satu tulisan terpisah mungkin.

      Btw, kalau membaca deskripsimu, itu adalah prosesi pemakaman langit. Tapi sepertinya itu bukan di Nepal, melainkan di Tibet, atau bisa jadi juga Nepal bagian Upper Mustang yang pada dasarnya adalah Kerajaan Tibet yang Hilang. Di sana karena keterbatasan sumber daya alam, mau tidak mau pemakamannya seperti itu. Mereka tidak mungkin melakukan kremasi, karena kayu menjadi komoditi yang mahal di area padang tandus di ketinggian itu.

      Iya betul, pada dasarnya setiap keyakinan percaya bahwa semua eksistensi kehidupan di dunia ini berasal dari ketiadaan. Dan secara materi kita ini berasal dari alam, sehingga setiap kematian itu harus dikembalikan pada ketiadaan dan juga alam.

      Nah, harus banget ke Nepal Ulu. Stay tune ya, abis ini aku akan posting ‘9 Hal yang Bisa Kamu Lakukan di Nepal’, supaya gak blank kalau mau Nepal.

      Makasih sudah baca dan komen panjang yaaa. I do appreciate it 🙂

      Like

    1. Setahu saya, kalau di Nepal prosesinya lebih sederhana, sehingga hampir setiap keluarga bisa segera melakukannya. Jenazah yang datang juga masih relatif ‘segar’. Kalau ngaben di Bali khan biasanya untuk rakyat biasa jenazahnya dikubur dulu, jadi waktu diaben sudah dalam bentuk tulang belulang. Selain itu memang proses ngaben di Bali melibatkan upacara besar.

      Like

  6. Whoaaa, ngebaca ini jadi ingin ke Pashupatinath juga… 😍
    Dan cara kremasi di sana ternyata mirip sama yang umat Hindu lakukan di Indonesia (khususnya Bali), saya ngeh pas bagian “beberapa anggota keluarga (pria) terdekat akan menandunya untuk mengitari tumpukan kayu yang akan digunakan, sebanyak tiga kali, searah putaran jarum jam”. Sama persis! 😂 (bisa di baca di tulisan saya pas ngaben kakek saya kemarin).

    Liked by 1 person

    1. Wah, makasih banyak infonya, akhirnya aku jadi tau ada kemiripannya juga dengan ngaben di Bali.

      Soalnya aku malah belum pernah melihat prosesi ngaben. Dan aku rasa ngaben di Bali lebih ‘extravaganza’ ya, dibandingkan di Nepal maupun India. Pengen deh suatu saat bisa menyaksikan prosesi ngaben 🙂

      Like

      1. Hahaha iya khan ,,, yang di Bali itu ngabennya selalu terlihat megah dan meriah.

        Nah itu lah menariknya ya, akulturasi budaya Bali memberikan aksen lokal yang menarik. Btw, apakah umat Hindu Bali juga memiliki persamaan kepercayaan bahwa roh yang meninggal akan keluar melalui mulutnya?

        Terus bisa ditambahkan info gak Gung, kenapa di Bali banyak jenazah yang dikuburkan dulu baru diaben beberapa saat kemudian?

        Like

      2. Hihihi, betul banget. Terlihat megah karena memang sesajen yang dipakai memang banyak. 😁
        Hmm, kalau yang “roh yang meninggal akan keluar melalui mulutnya” itu saya kurang tahu (ilmu saya masih dasar sekali…). Tapi begitu abu jenazah sudah dilarung ke laut, maka rohnya akan langsung bersatu dengan Sang Pencipta.
        Jenazah yang dikuburkan itu alasannya bisa berbagai macam. Misal pas kakek saya meninggal, jenazah almarhum dikubur dulu karena belum dapat hari baik untuk melaksanakan ngaben (ini penting), juga karena harus menyiapkan dana untuk sesajen ngaben (yang jumlahnya tidak sedikit). 🙂

        Liked by 1 person

      3. Ah mungkin itu ya salah satu alasannya, ada perhitungan hari baiknya, selain memang harus mempersiapkan dana untuk sesajen dan upacaranya.Btw, kalau misalnya diaben tanpa sesajen dan upacara yang lengkap boleh atau nggak Gung?

        Like

    1. Iya Yan, lebih terbuka dan tidak terlalu banyak larangan seperti di Varanasi. Yang penting kita tidak mengganggu prosesinya ketika akan mendokumentasikannya. Hmmm ,,, ngilu dan takjub, membayangkan tadinya masih ada jasadnya dan beberapa jam kemudian sudah dilarung ke sungai.

      Liked by 1 person

  7. Nice writing, Ian…
    May I call you with that nick?

    Baca tulisan-tulisan antum, berasa baca INTISARI, detail tapi akurat.

    I might not the first person who agree with the others, you SHOULD write a book, or at least send some of your writing to media, I’m sure they’ll love it.
    I’m proud of you, friend, I really am.

    Ga nyangka yah, antum dah bisa mencapai angan-angan yg pernah antum ceritakan dulu.

    Ada pertanyaan nih, brow…
    In many of your sentences, you mentioned we, rather than I. I’m wondering who might be its referring to?!
    No offence, brow, but I believe everyone also’ve been waiting for that big day…

    Liked by 1 person

    1. Sure brother, no problem hehehe 🙂
      Makasiiih. Doain ya biar lancar dan segera jadi bukunya, soalnya kadang malas-malasan juga nyusunnya, pilobaeun urusan 😀

      Hmm iya Win, soalnya pas ke Nepal pertama kali itu jalannya bareng teman. Siapa dia? Anak SMAKBo juga, adek kelas. Dan kalau jeli, sesekali muncul kok di postingan sebelumnya.

      Big day? ooo yang itu ,,, hahahaha. Doain aja deh, kalau ada rejeki dan jodoh juga bakal nyampai ke tahap itu 🙂

      Like

  8. kuilnya betul2 eksklusif .. mungkin aturan ini hanya berlaku untuk kuil yang ini saja.
    malah jadi bikin penasaran … hehehe
    baca ceritanya .. ironis sekali akhir keluarga kerajaan Nepal. Nepal bagi saya selalu eksotis dan misteri

    Liked by 1 person

    1. Iya, betul-betul eksklusif, bahkan untuk sesama Hindu sekalipun. Sebenarnya aku penasaran juga sih alasan pastinya apa.

      Yup, tragis dan ironis. Padahal Raja Birendra dan keluarganya ini termasuk penguasa yang amat dicintai oleh rakyatnya.

      Mas, di Nepal juga menarik buat sepedahan lho. Bahkan ada paketan kegiatan bersepeda di Himalaya. Gak pengen coba apa?

      Like

      1. nah iya ini termasuk masih baru, selain adegan persidangan yang khas, film india juga terkenal dengan adegan nyanyi puja tapi terkesan menyalahkan dewanya karena tidak bisa berbuat banyak saat ada masalah

        Liked by 1 person

  9. Iya sayangnya pengunjung ga boleh masuk ya di Pasupatinath. Berhubung muka saya sekilas kaya kebanyakan orang disana sempat coba masuk tapi langsung dilarang sama om2 penjaganya. Sempet penasaran sama proses kremasi hindu di indonesia eh pas bacaa komen ada yang ngejelasin diblognya, terjawab deh semua pertanyaan hehe

    Like

    1. Hehehe mencoba peruntungan ya, nekad masuk ke dalam kuil utama Pashupatinath? Mungkin, penjaganya tetap tahu mana orang Nepal asli dan yang bukan, meskipun wajah kita hampir mirip dengan mereka 🙂

      Like

Leave a comment