[+Video] Pantai Labuana Donggala: Pria Tanpa Ibu Jari, Suku Kaili, dan Pantai Tersembunyi

Orang-orang yang kita temui dalam perjalanan seringkali lebih meninggalkan kesan, daripada sekedar tujuan yang kita datangi. Kehadiran mereka dapat memberi arti lebih, bahkan menggandakan nilai perjalanan itu sendiri. Seperti yang saya alami, ketika mendatangi Pantai Labuana Donggala di Sulawesi Tengah.

Nama Pantai Labuana yang terletak di Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, sebenarnya secara tak sengaja saya dapatkan ketika berselancar di dunia maya. Sebuah jurnal visual di Steller, mengenalkan saya pada pantai berpasir putih itu, yang kini tengah naik daun karena keindahannya yang baru saja terungkap ke dunia luar. Letaknya yang cukup jauh dari Kota Palu, dan tidak bersisian langsung dengan jalan raya, menyebabkan pantai ini tersembunyi selama bertahun-tahun.

Sekilas gambar tentang Pantai Labuana memang menunjukkan keelokannya. Namun ternyata perjalanan saya kesana tak hanya menyisakan kisah tentang pantai yang memiliki dermaga kayu nan instagramable, pasir putih yang sehalus tepung, dan spot-spot renang privat diantara lekuk-lekuk pantainya saja. Melainkan juga tentang keramahan Suku Kaili yang luar biasa.

Pantai Fatu Mapida yang Fotogenik

Ketika saya memutuskan untuk mengunjungi Sulawesi Tengah, nama Pantai Labuana hanya saya letakkan di dalam daftar alternatif saja. Karena menurut info yang saya dapatkan pantai ini letaknya cukup jauh dari Kota Palu. Yaitu sekitar 105 km ke arah utara, yang dihubungkan oleh Jalan Trans Palu Toli-Toli. Selain itu, sekitar 1 km jalur menjelang pantai, hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki.

Namun rupanya, saya memang ditakdirkan untuk berjodoh dengan pantai cantik berpasir putih ini.

Setelah dua hari berturut-turut bermain air di Pantai Tanjung Karang Donggala, sebenarnya saya dan teman perjalanan saya memiliki rencana untuk kembali ke sana, demi mengunjungi atol yang tertunda sebelumnya. Namun, tiba-tiba kami merasa sayang jika lagi dan lagi harus kembali ke pantai tersebut. Kami ingin melihat bagian lain Sulawesi Tengah di hari terakhir kunjungan yang tersisa. Dan akhirnya kami memilih Pantai Labuana, sebagai tujuan selanjutnya.

jalan-trans-palu-toli-toli-menuju-pantai-labuana-donggala2
Jalan Trans Palu Toli-Toli, yang menghubungkan Palu dengan Pantai Labuana Donggala.

Langit sedikit kelabu dan tak ada sinar matahari terik yang membakar kulit di hari kepergian kami ke Pantai Labuana. Bahkan udara di sepanjang perjalananpun terasa sejuk, sehingga jarak puluhan kilometer pertama yang kami tempuh menjadi menyenangkan.

Jalan Trans Palu Toli-Toli memberikan pemandangan yang berbeda dibandingkan Jalan Trans Palu Donggala yang kami lewati setiap hari pada dua hari sebelumnya. Meskipun sama-sama menyusuri pesisir Sulawesi Tengah bagian barat, Jalan Trans Palu Toli-Toli menghadirkan suasana pedesaan yang lebih menyegarkan.

Pantai-pantai berpasir hitam dan panjang mengawal kami di sebelah barat, sementara lansekap di bagian timur diisi dengan area perbukitan dan gemunung yang hijau, dengan hamparan sawah dan ladang yang luas, serta desa-desa yang dialiri oleh tubuh sungai berair jernih. Rumah warga yang bersih, sederhana, dan berhalaman luas, tampak berselang-seling dengan hutan pada sepanjang perjalanan.

pintu-pantai-fatu-mapida-pantai-labuana-donggala
Pintu masuk menuju Pantai Fatu Mapida.

Kami tergoda untuk singgah pada sebuah pantai berwajah kelabu, setelah satu jam berkendara. Walau tak berpasir putih, area pantai itu cukup luas, beriak tenang, dan dinaungi pepohonan rindang. Fatu Mapida namanya.

menikmati-pantai-fatu-mapida-pantai-labuana-donggala
Singgah sejenak di Pantai Fatu Mapida.
pantai-fatu-mapida-pantai-labuana-donggala-2
Ketenangan pagi di Pantai Fatu Mapida.

Pantai tersebut berada sekitar 3 meter lebih rendah daripada pintu masuknya yang terletak di sisi jalan. Di mata saya, pantai ini cukup fotogenik. Terletak pada teluk yang dibatasi oleh dinding karang nan tinggi, dengan pasir berwarna kelabu dan cenderung mengandung bebatuan yang bermassa besar. Di dekat pintu masuk terdapat karang-karang raksasa yang dapat dipanjat, dengan permukaan yang ketajamannya dapat menyayat kulit. Sementara di bagian utara justru pantainya ditutupi oleh serakan bebatuan besar yang bertindak sebagai pemecah ombak.

Meski Pantai Fatu Mapida menyambut kami dengan ramah, kami tak ingin berlama-lama di sana, karena Pantai Labuana yang menjadi tujuan kami hari itu masih terletak cukup jauh darinya.

menikmati-pantai-fatu-mapida-pantai-labuana-donggala-2
Menatap ombak yang mengalun tenang di Pantai Fatu Mapida.
pantai-fatu-mapida-pantai-labuana-donggala
Sekumpulan batu ‘pemecah ombak’ di bagian utara Pantai Fatu Mapida.
menikmati-pantai-fatu-mapida-pantai-labuana-donggala-3
Pantai Fatu Mapida yang sederhana namun fotogenik.

Pak Badru: Penolong Tanpa Ibu Jari

Rangkaian tanjakan curam dan berlenggok langsung menyambut, begitu kami kembali memacu motor sewaan. Hutan Sulawesi yang lebat membatasi pada sisi kanan, sementara lereng tebing pembatas pantai di sisi kiri. Hanya  ada satu dua kendaraan yang bersimpangan dengan kami, pada sepanjang jalan itu. Sungguh jalur yang sunyi. Dan kami menikmati.

Namun, belum lama kami meluncur pada jalan raya yang mulus. Tiba-tiba teman perjalanan saya melambatkan laju motor yang kami tumpangi.

Kenapa? Kayaknya ada yang salah ya?“, saya berusaha memastikan.

Iya nih, kayaknya ban belakangnya bocor deh. Coba cek mas!“, sahut teman perjalanan saya.

Dengan refleks saya berusaha menengok bagian bawah motor, dan meraihkan pandangan pada ban yang mulai tersok-seok di atas aspal.

Ah iya, ban nya kempes habis! Duh!“, ujar saya mengkonfirmasi.

Kami berhenti dan mulai berdebat ringan tentang siapa yang akan tetap menaiki motor dan siapa yang harus berjalan kaki. Masing-masing dari kami menunjuk yang lainnya untuk tetap menaiki motor.

Hingga kemudian saya mengambil keputusan.

Ok, lebih baik kamu yang tetap naik motor, dan aku yang jalan kaki! Karena aku sudah terbiasa jalan kaki jauh dan panjang selama berhari-hari kemarin di Himalaya.“, sebuah alasan dengan senjata kuat yang membuat teman seperjalanan saya manut.

Kita balik arah lagi. Tadi aku lihat di bawah sana ada beberapa desa, siapa tahu warga di sana bisa bantu kita.

jalan-trans-palu-toli-toli-menuju-pantai-labuana-donggala
DI jalanan sunyi inilah ban motor kami terkena masalah.

Saya menatap resah ketika teman perjalanan saya mulai menjauh dengan motor yang dipacunya pelan. Sesungguhnya, saya tidak mempunyai ide apapun untuk keluar dari masalah itu. Ban motor yang bocor parah, pada tengah jalan di antara hutan-hutan yang sepi, tentu sebuah mimpi buruk dari perjalanan hari itu. Satu-satunya jalan keluar adalah mengganti ban tersebut. Tapi di mana, di tengah jalan sunyi macam itu?

Tetap tenang. Tetap tenang. Positif thinking. Positif thinking!“, hanya itu yang saya gumamkan dalam hati berulang-ulang.

Tiba-tiba, seorang pengendara motor berwajah timur yang cukup angker, datang dari arah berlawanan menghentikan langkah gontai saya.

Adik mau kemana?“, tanyanya tegas dengan logat Sulawesi Tengah yang cukup kental.

Lalu saya mulai menceritakan apa yang baru saja terjadi, sembari meningkatkan kewaspadaan akan kemungkinan buruk lainnya. Karena saya baru menyadari, jika saat itu saya sudah tak melihat teman perjalanan saya lagi. Di situ hanya ada kami berdua. Saya dan seorang asing bermotor!

Naiklah kalau begitu, kita kejar kawanmu, dan saya antar kalian! Ada satu tempat yang bisa membantu kalian di bawah sana. Biar saya bantu.“, perintahnya.

Dengan sedikit ragu saya naik, dan mengikutinya. Tak berapa lama, kami berjumpa dengan teman perjalanan saya yang melaju pelan pada sebuah turunan. Saya memberinya isyarat dan mengatakan padanya untuk mengikuti motor yang saya tumpangi.

Pengendara motor itu kemudian bercerita pada saya, jika hari itu dia bermaksud pergi ke Palu. Kemudian ia melihat saya yang berjalan gontai dengan helm di tangan pada jalan yang sunyi, yang membuat ia berputar arah untuk menanyakan kenapa saya berjalan seorang diri pada daerah itu.

Ah itu sebabnya, mengapa ia datang dari arah yang berlawanan!

Kira-kira ada tukang tambal ban pak di dekat sini?“, tanya saya.

Ada, tapi agak jauh kalau jalan kaki. Makanya tadi saya ajak kamu naik motor saya.

Dan benar saja. Ia menghentikan motornya yang saya tumpangi pada sebuah bengkel tambal ban sederhana, dan menurunkan saya di sana. Sembari menunggu teman perjalanan saya dengan motor kami, ia berbaik hati menemani.

Sebuah kebetulan, dari ceritanya akhirnya saya tahu jika ia berasal dari sebuah desa di dekat Pantai Labuana. Ia kemudian menambahkan beberapa info, tentang cara mencapai pantai itu, dan berapa lama waktu yang kira-kira kami butuhkan untuk mencapainya dari titik kami berhenti saat itu.

Bilang saja kalian ingin pergi ke pantai pasir putih. Semua orang tahu. Pantai Labuana itu di Sirenja sudah!“, ujarnya dengan bahasa Indonesia yang sedikit terpengaruh tata bahasa setempat.

Segera setelah teman perjalanan saya tiba menyusul, sang pengendara motor yang menolong kami tadi berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya. Namun sebelum ia melaju, kami menanyakan namanya, karena sedari awal belum sempat berkenalan.

Nama saya Badru. Kalian lihat ini?“, ujarnya sembari menunjukkan telapak dan jemari tangan kanannya yang tanpa ibu jari.

Ibu jari saya putus terkena tali kapal! Di Sirenja kalian sebut saja nama saya, semua orang pasti tahu.“, pungkasnya sembari tersenyum dan kemudian berpamitan untuk terakhir kalinya.

Perjumpaan dengan Pak Badru hari itu –sekali lagi– mengajarkan kepada kami, bahwa menjaga pikiran dan sikap positif di dalam perjalanan adalah sebuah hal yang penting. Bahkan dalam keadaan darurat sekalipun. Dan pertemuan itu membuat kami percaya, jika masih banyak orang-orang baik yang bersedia membantu sesama dengan ikhlas di dunia ini.

Pantai Labuana: Pantai Tersembunyi dan Suku Kaili

Sisa perjalanan kami hari itu sangatlah lancar. Tak ada hambatan berarti, kecuali sesekali kami perlu melambatkan diri karena melewati serangkaian acara kenduri warga yang memakan sebagian badan jalan bagi acara mereka. Selain itu, GoogleMaps yang kami percayai sepanjang hari, sempat memberikan penunjukkan yang salah, dengan mengarahkan kami untuk menembus bukit yang tak mungkin dilalui motor. Namun, setelah kami sedikit ‘melawan’ penunjukkan arah aplikasi peta tersebut, akhirnya kami sampai pada pantai berpasir putih, yang terentang di balik desa nelayan yang sederhana. Pantai Labuana Donggala!

desa-dan-pantai-labuana-donggala
Desa dan Pantai Labuana di Sirenja, Donggala.

Anehnya, matahari yang sejak pagi tersembunyi di balik awan, tiba-tiba bersinar dengan sangat cerah. Dan keterikannya segera membakar kulit. Namun, ia juga seolah ingin menampakkan keindahan pantai yang kami jumpai. Bentangan pasir putih berselang-seling pada setiap cerukan pantai yang tersembunyi di balik tebing dan bebatuan. Meskipun sedikit surut, air laut yang mengisi teluk tampak bergradasi. Hijau toska bening, menuju biru yang pekat di bagian dalam.

Sebuah dermaga kayu berdenah huruf T dengan pagar pembatas pada sisi-sisinya membuat saya yakin jika kami tak salah tempat hari itu. Dermaga yang instagramable tersebut, seolah merupakan penanda khusus akan pantai yang kami buru. Air yang surut telah memaparkan sebagian kaki-kaki dermaga dari pasir putih yang mendasarinya.

dermaga-di-pantai-labuana-donggala2
Dermaga kayu di Pantai Labuana Donggala, ketika air pasang dan surut.

Malam tahun baru lalu, banyak orang yang datang ke Pantai Labuana ini. Ratusan dari mereka menaiki dermaga untuk berfoto-foto, sehingga membuatnya hampir roboh karena menopang tubuh-tubuh pengunjung.“, seorang gadis penjual makanan di kedai menjelaskan kepada kami mengapa sebagian tubuh dermaga tampak doyong ke arah lautan.

dermaga-di-pantai-labuana-donggala

Pada bagian selatan dermaga terdapat sebidang hutan bakau. Meskipun tak seberapa luas, namun kelebatan hutan itu itu cukup melindungi kulit dari sengatan matahari yang membakar. Padanya kami berlindung sementara menunggu matahari sedikit bersahabat untuk menemani berenang-renang di pantai.

Tak jauh darinya, ceruk-ceruk yang terdapat pada tebing-tebing pembatas laut membentuk gua-gua kecil. Beberapa nelayan menjelaskan, jika ada gua lain yang lebih cantik, yang dikenal sebagai Gua Cinta. Entah mengapa disebut seperti itu, namun untuk mengunjunginya kami harus menempuhnya dengan menggunakan kapal-kapal kecil milik nelayan.

hutan-bakau-di-pantai-labuana-donggala

gua-alami-di-pantai-labuana-donggala

Dari obrolan singkat di kedai, kami mendapat info jika sebelumnya Labuana hanyalah desa yang dipandang sebelah mata. Karena perekonomian mereka yang cenderung lebih rendah dibandingkan desa tetangganya. Bahkan jaringan listrik pun enggan menjamah. Namun, setelah keindahan pantai pasir putih terungkap, Labuana justru menjadi rebutan. Desa-desa tetangga berusaha untuk mengambil untung darinya. Semisal, menariki retribusi untuk siapapun yang melewati jalanan desa mereka demi mencapai Pantai Labuana.

sisi-sepi-pantai-labuana-donggala

Penduduk desa Labuana sendiri justru bersikap sebaliknya. Mereka tak setuju jika semua harus dikomersialisasi. Apa-apa tak harus ditukar dengan uang!

Bagi mereka, yang pada umumnya berasal dari suku Kaili, pengunjung adalah tamu. Jika mereka betah tinggal di Labuana yang sederhana, dan membatu ala kadarnya pun mereka terima. Kenyataan ini membuat saya dan teman perjalanan saya merasa terkesan dengan sikap mereka.

Mereka begitu terbuka dan mempercayai siapapun yang berkunjung ke Pantai Labuana. Jika di Pantai Tanjung Karang Donggala dan Pusat Laut, pengunjung hanya bisa berbilas sesuai takaran uang yang dibayarkan -per ember atau bak mandi-, maka di Pantai Labuana pengunjung bisa berbilas sesuka hati. Tak ada penjaga ruang bilas yang menagih uang untuk berbilas. Pengunjung cukup memasukkan uang mereka ke dalam toples plastik yang tergantung di sisi pintu ruang bilas. Kejujuran adalah modal yang dihormati suku Kaili di Labuana.

Kalian bebas berenang di bagian mana saja. Silahkan pilih tempat yang kalian suka.“, begitu pesan mereka.

berenang-di-pantai-labuana-donggala-3
Pantai Labuana Donggala yang sepi, serasa memiliki pantai pribadi.
berenang-di-pantai-labuana-donggala-2
Pantai Labuana Donggala, cocok untuk dijadikan tempat berenang-renang.

Pengunjung yang tak terlalu banyak hari itu, membuat kami serasa memiliki pantai pribadi. Berenang-renang dari satu sisi ke sisinya yang lain.

Meskipun tak ada karang-karang cantik pada dasarnya, Pantai Labuana tetap memikat. Pasir putihnya yang sehalus tepung,  terasa tak terlalu lekat di kulit. Pun dasarnya landai, luas, dan tak terlalu dalam.

berenang-di-pantai-labuana-donggala
Dasar Pantai Labuana Donggala yang tanpa karang. Hanya pasir putih dan sedikit padang lamun.

Jika saja hari itu masih panjang, dan jika saja esok kami tak harus kembali ke Jakarta, tentu kami ingin lebih lama berenang-renang di sana. Ah bukan kali itu, tapi mungkin kali lain kami akan kembali dan berlama-lama di Pantai Labuana.

berenang-di-pantai-labuana-donggala-4
Pantai Labuana Donggala adalah spot wajib jika kalian mengunjungi Sulawesi Tengah.

VIDEO: Swimming at Labuana Beach – Donggala

 

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

80 thoughts on “[+Video] Pantai Labuana Donggala: Pria Tanpa Ibu Jari, Suku Kaili, dan Pantai Tersembunyi

  1. Ceritanya lumayaan paaanjang yah kak, aku sanggup baca di pagi sela-sela waktu kantor ini sampai cerita pak Badru yang baik hati. Emang positif thinking itu perlu yah. Tapi agak senep2 juga sih kalo daerah yang sepi dan baru pertama di datangin. Aku juga akhir2 ini suka jatuh hati dengan kesanku selama di perjalanan dan orang2 yang aku temui di antaranya… 😀
    Btw, semua pemandangannya bagus banget,pantainya masih terlihat bersih2. Itu air2nya manggil banget minta diberenangin. 🙂

    Liked by 2 people

    1. Hehehe iya nih, udah lama gak nulis. Kok jadinya susah nulis agak singkat, maunya berpanjang-panjang cerita. Mungkin aku lagi kangen berbagi cerita kayaknya.

      Iya benar. Pas ban motornya bocor, sempat panik juga sih dalam hati. Soalnya mau balik lagi ke Palu, jauuuuuuh. Terus ingat juga selama di jalan sebelumnya, jarang banget ketemu rumah-rumah penduduk. Kalaupun ada, jaraknya berjauhan. Sempat kebat kebit juga sih, sampai akhirnya ketemu Pak Badru 🙂

      Aku jamin kak, aslinya Pantai Labuana ini lebih indah lagi. Bisa dilihat di videonya juga yang ada di bagian akhir cerita.

      Btw, makasih lho kak udah sempatin mampir baca dan tinggalkan komen. O iya, udah lama juga ya kita gak ketemu di dunia maya. Kayanya dirimu juga agak jarang up date tulisan belakangan ini ya?

      Liked by 1 person

      1. Nah, pantesan terakhir baca update-annya bulan berapa gitu, aku kira, aku gak sengaja klik button unfollow karena beberapa teman yang lama gak update ternyat tak sengaja begitu. 😥
        Ntar kalo sempat baca lanjutannya. udah update lagi koq, cuma ganti gaya, maklum suka bosenan. 😀 😀
        Lama banget emang gak ketemu di dunia maya ini.

        Liked by 1 person

    1. Pemandangan yang menyegarkan dan menentramkan banget. Berada di antara nyiur dan hutan-hutan yang hijau. Jarak yang jauh juga langsung terbayar begitu sampai di Pantai Labuana yang indah dan sepi itu. Hmmm di Karimunjawa pasti banyak yang mirip-mirip seperti ini ya pantainya?

      Like

  2. Aku terharu membaca tentang Pak Badru. Betapa Masih banyak orang baik di dunia ini ya, Bart. Melihat kamu berjalan gontai dengan helm di tangan Mungkin dia berfikir bahwa motormu telah dirampok orang, makanya dia balik lagi untuk menolong. Semoga rejeki Pak Badru lancar dan kesehatannya baik-baik saja. Sehingga akan banyak lagi pejalan yang akan dia tolong. Amin

    Liked by 1 person

    1. Iya Ni, sepertinya itu yang ada di pikiran Pak Badru. Aku sempat merasa gak enak sih waktu Pak Badru sudah pergi, soalnya aku sebelumnya aku sempat mikir kalau dia itu bermaksud jahat. Ternyata justru dia yang berbaik hati dan ikhlas membantu kami.

      Amiin amiin, doa yang sama untuk Pak Badru dan keluarganya juga.

      Like

  3. GPS terkadang bikin nyasar karena pilihan rute yang nyeleneh hahaha. Kalau sudah masuk ke pedesaan gitu lebih suka GPS manual alias Gunakan Penduduk Setempat, biar lebih dekat dengan lokal juga, tentu tetep positif thinking biar semua juga berjalan dikelilingi aura positif 😀

    Liked by 1 person

    1. Hehehe benar Lim, akhirnya aku pakai “GPS Manual” juga sih, tapi itu pas udah sekitar 1 Km lagi menjelang pantai. Dan itupun cuma nanya tentang tikungan di dalam desa aja 😀

      Like

    1. Iya Alhamdulillah, pertemuan dengan orang-orang ramah dan menyenangkan seperti mereka membuat pengalaman perjalanan menjadi lebih manis. #eeaaa Manis! 😀
      Nah ayo mas main-main ke Palu dan sekitarnya, mampir juga ke Pantai Labuana. Dijamin gak nyesel deh 😉

      Liked by 1 person

    1. Nah, Pantai Labuana ini meskipun sama-sama bagian dari Kabupaten Donggala, letaknya berjauhan dari Pantai Tanjung Karang. Karena aslinya Kota Palu itu letaknya memotong Kabupaten Donggala. Jadi Pantai Labuana ada di utara, mengarah ke Toli-Toli, sedangkan Pantai Tanjung Karang ada di selatan.

      Like

  4. Satu hal yang masih susah saya pelajari jika bersinggungan dengan penduduk setempat ya ini: berpikir positif dan tetap ramah :hehe. Masih perlu banyak belajar nih, sebab kedekatan dengan penduduk sekitar pada gilirannya membuat kita bisa tahu lebih dalam tentang kehidupan di sana, tidak termasuk cerita-cerita berbumbu yang seru-seru :hehe. Pantainya mantap Mas, cocok kayaknya buat belajar berenang, habis dasarnya masih pasir lembut berkontur rata yang tidak bikin panik :)).

    Liked by 1 person

    1. Sebenarnya aku termasuk yang agak susah juga sih untuk cepat dekat sama orang baru dan asing. Tapi sepertinya tergantung orang asingnya, kalau mereka terbuka dan ramah, kayaknya langsung cair aja hehehe …

      Wah iya Gara, pantai ini cocok banget buat belajar berenang dan mulai ‘menaklukkan’ trauma pada lautan. Pantai apa ya yang kira-kira sepadan dengan Pantai Labuana ini di Bali dan Lombok?

      Liked by 1 person

      1. Kurang tahu juga Mas padanannya kalau di Bali dan Lombok pantai yang mana. Maklum, kalau jalan ke pantai tak pernah jauh-jauh :haha.
        OK, mari menjadi orang yang ramah! Siapa tahu dengan menjadi orang ramah, banyak juga orang ramah yang mendekati kita.

        Liked by 1 person

      2. Hahaha gak pernah jauh dari garis pantai maksudnya. Duh, tiba-tiba aku ingat pernah ringan di satu pantai yang berair tenang di Lombok Selatan, cuma aku lupa namanya hahahaha …

        Yup, harus itu jadi orang ramah. Dan aku rasa hukumnya begitu ya, kalau kita positif pasti akan menarik hal-hal yang positif juga selama berada di perjalanan.

        Liked by 1 person

  5. Haduh haduh, postingan ini bikin aku pengen traveling ke Indonesia bagian timur lagi. Aku sendiri merasakan setelah hidup di Jakarta beberapa lama bikin aku agak gampang curiga sama orang asing yang tiba-tiba mendekat. Tapi aku selalu berusaha melawan pikiran itu dan bersikap waspada sewajarnya aja, terutama pas traveling. Waspada, tapi bukan berarti jadi parno.

    Anyway, liat Pantai Labuana jadi ikutan berasa anget. 😀

    Liked by 1 person

    1. Iya Bam, sama. Kebiasaan hidup di Jabodetabek membuat aku juga suka curigaan kalau ada orang asing mendekat. Apalagi aku beberapa kali pernah mengalami pengalaman ditodong dan dirampok beramai-ramai. Sehingga itu berefek juga ketika traveling ke daerah lain. Cuma memang kalau lagi jalan, aku suka ngingetin diri sendiri supaya lebih positif thinking, dan Alhamdulillah sih lebih banyak ditolong orang daripada dijahatin (amit-amit).

      Kamu harus ke Pantai Labuana ini suatu saat nanti Bam. Pantainya asik, bagus, dan relative masih sepi plus masyarakatnya jauh dari kata materialistis, semoga sih hal ini bisa bertahan lama. Btw kita khan dah pernah naik gunung bareng, kapan-kapan harus nyobain basah-basahan bareng. Gimana?

      Like

  6. Meski hanya sebentar d Pantai Fatu Mapida, tapi karena menjadi destinasi anti mainstream, rasanya ke sana tetap berkesan ya.

    Segala sesuatunya tidak ada yang kebetulan, termasuk dengan kejadian ban motor yang bocor. Kalau tidak bocor, mungkin lo nggak akan ketemu Pak Badru. Yang berarti mungkin akan lebih sulit menemukan Pantai Donggala, dan tidak memiliki sisi lain dalam perjalanan ini 😀
    Asyiknya bisa berenang, gue nggak bisa. *nyebur ke bak mandi*

    Liked by 1 person

    1. Iya, Pantai Fatu Mapida ini meninggalkan kesan mendalam, berupa luka di pergelangan lengan dekat nadi. Lukanya sih gak seberapa sebenarnya, tapi bekas lukanya serem, seperti bekas percobaah bunuh diri 🙂

      Masa sih dirimu gak bisa renang Gi? Aku pikir malah jago lho, soalnya waktu itu lihat fotomu yang renang-renang di hotel mana itu di Cilacap.

      Liked by 1 person

    2. Bang Nugiiiiii kok sama sih gak bisa renang. Buahahahahahahahaha.
      Aku suka sedih sedih ngiri kalo mantai atau snorkel gitu gak maksimal kalo gak bisa renang apalagi feeediving

      Liked by 1 person

      1. Hahahaha sini sini ayo aku ajarin berenang. Gratis kok. Tapi ongkosin aja ke tempat prakteknya yaaa, dan kita praktek di Ora Beach 😂😂😂

        Like

  7. wih serunya mana plus video jadi bisa mendapatkan gambaran lebih tentang pantai labuana donggala tapi emang masih sepi gt ya kak??

    Liked by 1 person

    1. Sulawesi Tengah menurutku potensial banget dijadikan sebagai tujuan wisata baru, gak cuma Donggala aja. Coba deh sekali-kali main ke sana, pasti suka.

      Salam kenal juga, dan terimakasih ya sudah mampir 🙂

      Liked by 1 person

  8. Yaaa ampun kasihan banget yaa pantai nya berwajah kelabu, smeoga hati mu ngak kelabu yaa kak hehehe

    Btw kalo denger atau baca nama donggala yg ada di otak gw cuman mainan monopoli hehehe. Jadi kangen ama KALEDO nya donggala nich

    Liked by 1 person

    1. Hahaha nggak dong, hatiku cerah ceria malah di waktu itu.

      Iya sama mas, aku juga selalu ingat permainan monopoli. Hahaha di Jakarta ada khan yang juga Kaledo juga?

      Like

  9. Sepintas saya baca judulnya adalah suku di Indonesia yang semua sukunya tanpa ibu jari karena adat yang wajib dipotong hehehe ternyata kena tali kapal 😀 Suka baca ceritanya, panjang tapi nggak ngebosenin

    Liked by 1 person

  10. Oke, aku mau komen yang mana dulu 😀

    Pertama, menemukan kendala di situasi yang tak terduga itu emang bikin ketar-ketir. Aku ngerasain banget di beberapa perjalanan terakhir dan… alhamdulillahnya selalu saja berakhir dengan baik. Rasanya pertolongan Allah itu adaaaa aja ya mas.

    Trus, itu kisah pak Badru yang mengalami kecelakaan saat bekerja >.< masih banyak dialami oleh masyarakat kita. Aku jadi ingat tim pencari harta karun di Sungai Musi yang menyelam hanya dengan menggunakan kompresor! orang Indonesia banyak nekatnya dan kadang mengabaikan faktor keselamatan. Untunlah beliau selamat dan hatinya baik sehingga bersedia membantu pejalan seperti mas Bart.

    Dan itu… pantainya jernih banget! Tumpukan batu yang (seolah) memisahkan pantai itu mengingatkanku kepada pantai Matras di Sungai Liat, Bangka Belitung sana.

    Liked by 1 person

    1. Iya Yan, dan pertolongan macam itu di perjalanan suka membuat kita belajar banyak juga. Kadang terharu melihat ketulusan orang-orang yang mau berbaik hati ke kita yang masih asing ini. Dan kadang-kadang kita yang suka gak enak ya, karena kadang mikir orang itu mau berbuat jahat, padahal mereka mau nolong kita.

      Iya betul, mungkin saking kerasnya dunia ini, jadi terkadang mereka mengabaikan safety, demi mendapatkan nafkah bagi keluarganya.

      Asiik, aku catat ah, Pantai Matras di Sungai Liat yaaa ,,, siapa tahu kapan-kapan mampir ke sana 🙂

      Like

      1. Hahahahahahaha.

        Eh iya kolamnya semacam lagoon gitu, persis dipisahkan pasir pantai aja. Aku suka, karena kalo habis mandi air asin bisa langsung ke kolam air tawar hehehe.

        Liked by 1 person

      2. Hahaha pasti deh itu film ‘super dewasa’! 😀

        Iya dong Yan, mantai dong. Jarang-jarang aku lihat liputanmu soal pantai … kalau di Sumsel sendiri ada gak sih pantai andalannya?

        Like

  11. Salah satu keasyikan free traveling tuh kalo menemukan tempat wisata yang engga diketahui orang banyak. Serasa menjadi pertamax di kaskus.
    Btw om, itu punggungnya tattooable banget deh.
    (INI KOMEN APAAAAAA)

    Liked by 1 person

    1. Haha mungkin rasanya sesenang agan-agan kaskus yang dapat pertamax gitu ya? 🙂

      Tattoo yaa? Serem kalau nanti bosen dan nyesel, susah ngehapusnya 😀 *padahal pernah pengen*

      Like

    1. Sekitar 4 jam deh sekali jalan. Jadi kalau mau ke Labuana dari Palu, harus berangkat pagi-pagi. Biar gak kemalaman juga kembalinya.

      Labuana is a must! Recommended.
      Ayo kunjungi, mumpung masih asli 😊

      Like

  12. Keren dan memikat banget pantainya. Ini jenis pantai yang aku suka, dengan pasir lembut dan tanpa karang dan ngga bikin kaki luka. Apalagi kelihatannya arusnya tenang ya, jadi bisa berenang dengan nyaman. Indonesia memang full of hidden paradise 🙂

    Liked by 1 person

Leave a comment