Nepal (15): Lake and The City

Jika saja mengikuti rasa malas, sesungguhnya pagi itu kami enggan beranjak dari tempat tidur. Karena kamar kami terasa hangat, akibat kayu-kayu yang terbakar semalaman pada tungku perapian. Sementara kami percaya udara musim dingin yang berada di luar pasti melinukan tulang. Saya dapat merasakannya ketika menyentuh permukaan kaca pintu, demi melihat keriuhan para pemburu matahari terbit di undakan Sarangkot View Point yang tepat berada di samping balkon kamar.

Namun, bisa jadi itu adalah kesempatan terakhir kami selama di Nepal untuk dapat menikmati cahaya pagi pertama yang menimpa jajaran Himalaya, dan menyembulkan puncak-puncak Annapurna, Machapuchare, serta Dhaulagiri. Kami tak mau menyia-nyiakannya. Itu adalah kesempatan langka.

Pagi di Sarangkot

Pagi masih gulita ketika akhirnya kami bergabung bersama puluhan pejuang fajar yang memadati Sarangkot View Point. Uap-uap yang mengepul dari lubang hidung dan mulut, serta gemeretak halus dari gigi-gigi yang menggigil meningkahi suasana di tempat itu. Kami terduduk rapi pada undakan yang menghadap langsung ke arah gemunung yang tampak samar. Beberapa orang mencoba mengatur tripod dan kamera pada posisi terbaiknya sembari menahan dingin. Sementara kami berdua memilih tetap duduk merapatkan diri, serta menenggelamkan tangan pada kantung jaket yang lebih hangat.

Kemuncak Himalaya yang tersaput salju di kejauhan belum terbentuk jelas. Hanya siluetnya yang nampak gagah berlatar langit fajar yang cerah tanpa gemintang . Sementara berlapis-lapis kabut yang mengambang pada kaki-kakinya, membentuk samudera halimun yang menenggelamkan puncak-puncak kota, desa, serta aliran sungai.

annapurna-himalaya-dan-sunrise
Matahari mulai terbit di Himalaya Range Annapurna, bersamaan dengan kabut yang menipis pada kaki-kakinya.
desa-sarangkot
Desa Sarangkot di awal pagi.

Dan ketika semburat lembayung pertama hadir di angkasa, suara-suara rana kamera yang terbuka menambahkan keriuhan baru. Halus dan bergantian. Berusaha merekam kegagahan Himalaya yang mulai disingkap fajar.

Namun kemeriahan itu tak berlangsung lama, segera setelah matahari meninggi tempat itu mulai sepi. Para pengunjung yang kebanyakan datang dari penginapan yang jauh, segera kembali untuk sarapan pagi. Sementara kami yang memiliki kamar tak jauh dari view point, memilih untuk tinggal beberapa saat sembari berjemur menghangatkan diri.

bartzap-di-sarangkot-view-point
Berjemur di Sarangkot View Point setelah matahari meninggi.

Dari Puncak Gunung ke Tepi Danau

Ram telah menunggu di penginapan, dan segera menawarkan sarapan begitu kami tiba. Satu set menu dhal bhaat bagi kami masing-masing. Menu yang agak berat, namun sesuai untuk pagi yang dingin seperti itu.

Kami sempat berbincang-bincang sejenak dengan Ram sembari sarapan di atas balkon. Ia menceritakan tentang pengalamannya bekerja selama beberapa tahun di timur tengah, yang meskipun menjanjikan penghasilan yang lebih besar namun tak membuatnya betah. Ia memilih untuk kembali ke Nepal dan mengelola penginapan –Mountain View Lodge– yang bersahaja di Sarangkot. Lebih tenang dan dekat dengan keluarga, ujarnya.

bartzap-di-mountain-view-lodge-sarangkot-nepal
Saya, Ram dan keluarganya di Mountain View Lodge milik mereka. Meskipun sederhana, tapi WiFi dan masakan mereka juara.

Meskipun ketenangan di Sarangkot menyenangkan, kami tak berniat menghabiskan waktu lebih lama di sana pagi itu. Karena rasanya tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain bermalas-malasan di desa tersebut. Kami memilih untuk segera turun ke Pokhara, dan menghabiskan waktu yang lebih santai di sana.

Dengan sebuah taksi yang telah dipesankan oleh Ram, kami turun ke arah Danau Phewa, segera setelah menyelesaikan sarapan pagi.

hotel-lakefront-pokhara-nepal
Hotel Lakefront Pokhara yang terletak di pinggir Danau Phewa. (source)

Hotel Lakefront adalah penginapan kami selanjutnya. Meskipun saya memilihnya secara cermat dengan memperhatikan ulasan dan gambar yang dipajang di booking.com, namun saya sama sekali tak mengira jika hotelnya memang sebagus itu.

Kami mendapatkan sebuah kamar yang terletak di lantai dua, dilengkapi dengan sebuah balkon yang terbuka ke arah taman dan menghadap danau Phewa. Dari tempat itu, kami dapat bersantai menikmati pemandangan bukit dan gunung yang saling berbaris mengelilingi badan air yang menjadi kebanggaan Pokhara. Sementara selaput salju yang menutup puncak-puncak Himalaya mengintip samar di kejauhan.

pemandangan-di-sekitar-hotel-lakefront
Pemandangan di sekitar Hotel Lakefront, Pokhara.

Hotel tersebut masih baru. Bahkan kami dapat mencium aroma cat yang menguar samar dari dinding-dindingnya.  Kamar mandinya didominasi oleh keramik berwarna putih, dengan saluran air panas yang mumpuni. Sebuah televisi layar datar multi channel terpasang pada dindingnya, dimana saya sempat menemukan sebuah tayangan film bersubtitle bahasa Indonesia. Rupanya, salah satu siaran dari Indonesia tertangkap oleh jaringan parabola di kota tersebut.

hotel-lakefront-room-twin
Kamar twin dengan balkon, yang kami tempati di Hotel Lakefront. (source)

Tak hanya itu. Sebelumnya, pengelola hotel yang menyambut kami di lobby langsung mengajak berbincang dalam bahasa Melayu, begitu tahu kami berasal dari Indonesia. Rupanya ia pernah bekerja dan memiliki urusan perniagaan di Malaysia. Karena masih satu rumpun bahasa, maka kami tak menemui kesulitan untuk berkomunikasi lebih lanjut dengannya. Ia juga berbaik hati menjelaskan beberapa hal tentang Pokhara, dan apa yang bisa kami nikmati, serta lakukan selama berada di kota tersebut.

hotel-lakefront-night
Hotel Lakefront di malam hari. (source)

Pokhara: Santai di Kota dan Danau Phewa

Meskipun secara ukuran Pokhara adalah kota terbesar kedua di Nepal, dan merupakan salah satu tujuan wisata paling diminati di negeri tersebut, namun keadaan Pokhara sangatlah kontras jika dibandingkan dengan Kathmandu atau kota-kota lainnya. Saya merasakan suasana yang lebih santai di sana. Terlepas dari nyatanya geliat pariwisata yang sangat hidup di kota tersebut, Pokhara sangatlah menyenangkan untuk dieksplorasi, bahkan dengan berjalan kaki sekalipun.

suasana-jalan-utama-pokhara-01
Salah satu sudut jalan utama Pokhara di dekat Danau Phewa.

Siang itu, kami mulai menikmati Pokhara dengan menyusuri tepian Danau Phewa, yang kebetulan tembusan jalur pejalan kakinya terletak tak jauh dari hotel yang kami inapi. Danau air tawar terbesar kedua di Nepal tersebut memiliki luas kurang lebih 5,23 km persegi, dan terletak pada ketinggian 742 mdpl, dengan kedalaman rata-rata 8 meter dan titik terdalamnya adalah 24 meter.

Secara fungsi, Danau Phewa sebenarnya ditujukan untuk menunjang pembangkit listrik yang modulnya diletakkan di bagian selatan badan air tersebut. Namun, dalam kenyataannya danau tersebut merupakan ikon pariwisata yang sangat penting bagi Pokhara. Selain itu, juga menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat sekitar yang berprofesi sebagai nelayan ikan air tawar. Bahkan, masakan ikan air tawar merupakan salah satu menu yang selalu direkomendasikan pada berbagai rumah makan di sana.

danau-phewa-dan-jalur-pejalan-kaki
Suasana di sisi Danau Phewa pada sore hari.

Pada sepanjang jalur pejalan kaki yang terletak di pinggir Danau Phewa, kami menjumpai puluhan kafe serta rumah makan yang dirancang memiliki ruang terbuka yang menghadap langsung ke arah danau. Meskipun beberapa di antaranya terkesan sederhana, namun rata-rata terisi penuh oleh para turis asing yang menghabiskan waktu untuk bersantai sembari bersantap atau sekedar minum beer.

Kami sendiri pada akhirnya singgah pada sebuah kafe yang memiliki bangunan berbentuk dasar segi delapan dan beratapkan dedaunan semacam sirap. Travelmate saya memilih menghabiskan waktu di sana untuk membaca buku yang dibawanya dari Indonesia, sedangkan saya justru terlelap di atas bean bag bersama hembusan sepoi-sepoi angin lembah yang menyapu danau dan melenakan.

siluet-peace-pagoda-pada-puncak-bukit-ananda
Siluet bukit Ananda menjelang senja. Itu dia Peace Pagoda nya di atas sana!

“Besok kita trekking ke Peace Pagoda yuk?”, ajak saya begitu terbangun dari tidur, sembari menunjukkan siluet bangunan tersebut yang terletak di atas bukit Ananda, dan terlihat langsung dari tempat kami bersantai.

Selain Peace Pagoda yang bisa dicapai melalui sisi danau. Pokhara juga memiliki Kuil Tal Barahi yang berada pada sebuah pulau buatan di tengah Danau Phewa. Dan meskipun kuil berloteng dua ini dibangun untuk pemujaan dewa Wisnu, namun seringkali penganut Buddha juga terlihat bersembahyang di sana. Kuil ini merupakan salah satu refleksi kerukunan umat beragama di Nepal yang majemuk, baik dari segi ras maupun kepercayaan.

danau-phewa-kuil-tal-barahi-dan-peace-pagoda-pokhara
Perahu-perahu di Danau Phewa, bukit Ananda, dan pulau Kuil Tal Barahi. Coba tebak yang mana pulau kuilnya?

Kebetulan hari itu bertepatan dengan malam natal, dan Pokhara ikut larut dalam perayaan kelahiran sang mesiah dari Betlehem. Sungguh, awalnya saya merasa aneh karena bisa melihat kemeriahan natal di negeri mayoritas Hindu tersebut, mengingat jumlah pengikut kristiani di negeri itu sangatlah sedikit. Namun, saya bisa memahami karena memang kota tersebut telah bertahun-tahun menjadi salah satu tujuan liburan natal bagi turis-turis asing dari barat.

suasana-jalan-utama-pokhara
Jalan utama di Pokhara yang tak sepadat Kathmandu.
suasana-jalan-utama-pokhara-02
Tahu khan apa yang sedang dipanggang itu?

Kemeriahan natal sangat terasa dari banyaknya hiasan yang menyemarakkan suasana kota, termasuk ratusan kerlip lampu-lampu kecil yang menghiasi toko-toko serta bendera-bendera yang melayang di atas jalan-jalan utama. Bahkan pelayan toko-toko souvenir yang kami sambangi pada saat senja, selalu membuka dan menutup kunjungan kami dengan ucapan Merry Christmast!, terlepas dari mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya kami adalah pejalan-pejalan muslim.

malam-natal-di-pokhara
Kemeriahan malam natal di Pokhara.

Namun, hal terbaik dan paling menyenangkan dari kemeriahan saat itu adalah banyaknya diskon yang digelar oleh resto-resto yang beroperasi di Pokhara. Termasuk steak house yang kami kunjungi pada saat makan malam. Dimana kami menghabiskan potongan besar steak daging kerbau -atau mungkin daging Yak– yang lezat dan gurih, di tengah dinginnya udara Pokhara pada akhir bulan Desember 2013.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

59 thoughts on “Nepal (15): Lake and The City

    1. Insya Allah dan alhamdulillah di Pokhara aman untuk jalan-jalan sambil nenteng DSLR. Selama standard keamanan umumnya dijaga aja. Misalnya gak jalan sendirian di malam hari.

      Pokhara beda dengan Kathmandu. Di sana gak ada gang-gang sempit dan sepi. Bangunan lebih tersebar dan gak terlalu tinggi. Blok-bloknya juga lebih rapi. Dan pusat keramaian juga relatif aman. Jadi ya memungkinkan.

      Like

  1. Trus aku wis mbayangno, hehehe Kayaknya bakalan nambah sehari ini disini, sambil baca bukunya si Paul theorux. Untung aku atur itinerary dengan santai biar bisa bermalas malasan di sini. Terkadang itinerary hanya untuk direncanakan tapi tidak untuk diikuti 🙂

    Liked by 1 person

    1. Cocok banget santai-santai di sini sambil baca buku mbak. Aku juga nanti ambil waktu rehat sehari di Pokhara setelah balik dari Annapurna.

      Hahaha iya sih, itinerary khan buat jaga-jaga aja supaya gak mati gaya. Soal berapa persen ketaatannya, ya kita sendiri yang tetapkan 😀

      Like

  2. Membayangkan menghabiskan pagi yang dingin di Sarangkot, melihat matahari terbit dari balik Himalaya, terus dihidangkan sarapan oleh Ram yang mirip George Clooney..Terus ada pula orang tercinta di samping. Sedapnyo! 🙂

    Liked by 1 person

  3. I cannot read Bahasa 😀 but you have some great photos there! I visited Nepal but only stayed in Kathmandu. I would like to return one day and see Pokhara and Chitwan – I am also interested in the border crossing into Tibet. That would be cool one day! BTW, your hotel on the lake looks very nice 🙂

    Liked by 1 person

    1. Thank you Lee.

      Yes, I recommend Pokhara to be visited, since there are so many things you can do there. Especially if you enjoy the outdoor activities. I’ve never been in Chitwan, but I think the jungle safari is one of the best thing it offers to us.

      Indeed, the border crossing into Tibet is very interesting, but you have to make sure about the immigration papers etc before you do that. Hope you can make it soon …

      Like

  4. Aku cukup impressed sama beragamnya restoran di Pokhara, mulai dari masakan Nepal, Tibet, India, Jepang, Korea, Western, sampai Vietnam. Ya wajar sih karena traveler dari berbagai penjuru dunia datang ke Pokhara sebagai permulaan atau akhir untuk mengeksplorasi beragam jalur trek yang ada. Hari-hariku pun di sana diisi dengan makan, baca buku, makan lagi, internetan, baca buku, makan lagi, soalnya pas lagi puncak-puncaknya krisis bahan bakar yang mengakibatkan mati listrik yang sepertinya lebih dari 12 jam setiap hari. Tapi aku masih penasaran sama steak yak. Mudah-mudahan restorannya bisa beroperasi lagi berhubung blokade bahan bakar dari India sudah secara resmi berakhir.

    Liked by 1 person

    1. Iya Bam, sampai bingung khan milihnya mau makan apa? Padahal aku pengennya pas di sana nemu masakan Nepal yg authentic, tapi gak dapat, lagi-lagi dhal bhaat dan ikan air tawar. Atau mungkin aku kurang ngulik ya?

      Wah benar-benar malas-malasan ya? Tapi cocok sih, Pokhara memang cocok buat malas-malasan. Kotanya santai banget, gak sehectic Kathmandu. Cuma mati lampu 12 jam nya lumayan mengganggu juga ya. Amiin amiin, nanti aku foto dan tag-in deh steak yak nya yaaaa di bulan April 😉

      Like

    1. Kalau ditanya banyak, saya kurang tahu. Tapi kalau ditanya ada, jawabannya ada. Cuma dari pengalaman saya, scam itu ada dimana-mana, di hampir setiap tujuan wisata. Yang perlu kita lakukan cuma mewaspadainya dan melengkapi diri dengan informasi sebelum keberangkatan. Supaya kita mengenal modus operandinya.

      Tapi boleh dikata Nepal ini merupakan salah satu negara teraman dan ternyaman yang pernah saya kunjungi. Saya lebih sedikit bertemu dengan orang yang berusaha melakukan scam dibandingkan pada kunjungan saya di Thailand, Malaysia ataupun India.

      Like

  5. Bagaimana pun juga kampung halaman selalu merindu dan tempat kembali seperti ram yg gaji gede di timteng tapi memilih pulang. Tapi untuk saat ini gw blm kepikir untuk pulang ke gresik hahaha #Dibahas

    Liked by 1 person

    1. Makasih Lin, ya kebetulan sisi-sisi bagusnya yang aku tangkap di sini. Secara umum memang beberapa kota agak semrawut, tapi sumpah eksotis, soalnya kita kaya terlempar ke sekian tahun yang lalu 🙂

      Liked by 1 person

  6. Kalau saya jadi Ram juga kayaknya lebih baik pulang dan menatap keindahan puncak tertinggi dunia itu setiap hari, Mas :)). Keren banget Mas pemandangan di sana, kayaknya berjemur lama pun aku rela demi menikmatinya berlama-lama. Terus kotanya seperti setting novel–apa ini pengaruh deskripsinya yang menyentuh rasa seperti di novel-novel? :hehe.
    Nepal itu punya alam yang ekstrem banget indahnya, ya.

    Liked by 1 person

    1. Sama Gara, setuju. Apalagi Sarangkot itu damaaaaai banget, beda jauh dengan Kathmandu. Bahkan Pokhara pun cukup damai.

      Iya Gara, indah apalagi bagian2 Himalaya. Walaupun begitu, kalau dibandingkan dengan Bali misalnya. Aku prefer Bali sih hehehehe …

      Liked by 1 person

  7. amazed, baca tulisannya dari awal sampe akhir, kebetulan mei 2017 saya juga berangkat ke nepal, jadi cari bbrapa referensi tulisan ttg nepal, sayang gak sampe ke base camp everestnya, setelah baca tulisannya bersyukur banyak untung kmrn gak jadi ambil tiket yang akhir desember 2016 soalny sdh ketebak cuacanya sedingin apa 😀 … dan good luck untuk trip annapurnany 🙂

    Liked by 1 person

    1. Hallo terimakasih sudah sempatkan mampir dan baca-baca ya. Semoga info yang saya bagi di sini cukup bermanfaat dan bisa dijadikan pegangan.
      Selamat menikmati Nepal, dan terimakasih untuk doanya 🙂

      Like

  8. Twitpic Hotel Sherpa Ghandruk. Kamar bersih & hangat, air hangat, listrik & WiFi, cuma Rp 25.000,- semalam. #Annapurna berhasil buat aku penasaran tentang Nepal dan aku baca dari awal hingga postingan ke 15.
    Keren. Gak sabar nunggu postingan selanjutnya

    Liked by 1 person

    1. Waaaah makasih banyak ya, sudah bersabar dan luangkan waktu untuk membaca dari awal hingga postingan ke 15.
      O iya,saya barusan saja balik dari Nepal lagi, untuk Solo Trekking ke Annapurna Himalaya. Tetap stay tune ya, untuk baca kisah-kisah selanjutnya 🙂

      Like

  9. Kepala gue pusing mas lihat keindahan Nepal saking mupeng banget pengen kesana, masalah gue sih terkendala libur kantor, sayang kalo ke Nepal cuma bentar dan juga ada musim2 nya ya ke Nepal jgn sampe datang pas lagi musim hujan. BTW foto2 Nepalnya cakep banget, bening gitu hehehe

    Liked by 1 person

    1. Nah supaya gak tambah pusing, ayo mulai direncanakan untuk main ke Nepal. Waktu terbaik yang aku sarankan adalah April-Mei atau Oktober-November, pada bulan-bulan tersebut suhu di Nepal relatif menyenangkan dan udara pun cerah. Makasih ya sudah mampir dan sempatkan tinggalkan jejak. Sering-sering yaaa 🙂

      Like

    1. Saya terakhir kali ke sana bulan April 2016 lalu, dan tetap sekitar 7 jam. Kalaupun macet gak sampai selama itu. Atau kalau mau cepat, bisa coba pakai pesawat. Waktu terbang sekitar 30-45 menit.

      Like

  10. dikau kayaknya dapat ilham ya Da sehabis pulang dari Himalaya? ini tulisan kok nggak bisa berhenti ya di baca? 😀
    btw, saya selalu ingin ke india menikmati shimla dan daerah2 yang ada di film 3 idiot. tapi bila macam nepal gitu dan dingin? hmmmm saya alergi dingin Da 😀

    Liked by 1 person

    1. Ilham banyaaak, sampai repot mana dulu yg mau difollow-up hehehe.

      Harus dicoba bang. Bisa kok mengunjungi tempat2 itu di musim-musim yg lebih bersahabat, aku rasa di awal musim semi paling asik. Udaranya cuma sejuk dan langitnya cerah.

      Liked by 1 person

Leave a comment