Nepal (14): Road to Himalaya!

Pada akhir shalat subuh yang beku, saya menyelipkan doa agar dapat melihat Himalaya. Karena sejak kedatangan kami di Nepal, tak sedikitpun lekuknya yang dapat kami nikmati. Saputan debu tebal yang mengisi angkasa selama berhari-hari, telah menghalangi kami dari menikmati pemandangan agung itu.

Sesuai rencana, hari itu kami akan berpindah menuju Pokhara. Kota terbesar kedua di Nepal yang berada pada ketinggian 800 mdpl. Menurut informasi, kota itu mempunyai beberapa titik terbaik untuk mengamati Himalaya dari jarak yang lebih dekat. Terutama wilayah Annapurna yang legendaris.

Maka, Pokhara menjadi harapan kami selanjutnya akan sang ancala.

Antara Kathmandu dan Pokhara

Meskipun gambar bus turis yang akan membawa kami ke Pokhara, sudah saya lihat di brosur hotel sejak dua hari sebelumnya, saya tetap berusaha untuk tak menempatkan harapan yang terlalu tinggi. Segalanya bisa terjadi di Nepal. Apalagi tipuan foto di setiap brosur wisata adalah satu hal yang jamak terjadi di seluruh dunia.

Namun bolehlah, pagi itu bus turis yang kami jumpai cukup menyenangkan. Meski tak terlalu mewah, namun kondisinya cukup baik. Bahkan jika dibandingkan dengan bus-bus antarkota di sekitar Jakarta. Dan untungnya, bus tersebut tidak seperti angkutan massal yang digunakan oleh penduduk lokal. Dimana para penumpang dijejalkan ibarat sarden dalam kaleng.

Bus itu berbangku deret dua-dua, dengan kursi yang empuk dan cukup luas menampung lebar tubuh kami. Sandaran kursinya pun terasa ergonomis. Dan selain nyaman, bus yang saya tumpangi juga berangkat sesuai jadwal. Tepat jam tujuh pagi, kami meninggalkan Kathmandu.

Sebenarnya jarak antara Kathmandu dan Pokhara tidaklah terlalu jauh. Jika dibandingkan, mungkin setara dengan jarak antara Jakarta dan Bandung. Namun, untuk jarak sepanjang itu kabarnya kami akan menghabisakan waktu selama tujuh jam perjalanan.

pemandangan-antara-pokhara-kathmandu-5
Suburban Kathmandu di hari cerah dan tanpa kabut debu.

Pemandangan Kathmandu yang sesak, berdebu, dengan segala macam kabel yang bersaling-silang di udara, segera berganti ketika bus mulai memasuki area luar kota. Kumpulan rumah penduduk semakin merenggang satu sama lain. Himpunannya memisah bagai koloni bakteri yang berkelompok-kelompok di atas cawan petri.

Turunan demi turunan menghiasi jam-jam awal perjalanan, karena kami meluncur dari Kathmandu yang berada pada ketinggian 1400 mdpl. Di situlah saya mulai menemukan alasan tentang mengapa waktu tempuh antara dua kota tersebut sangatlah lama.

pemandangan-antara-pokhara-kathmandu-2
Suasana pedesaan selepas Kathmandu, mengarah ke Pokhara.
pemandangan-antara-pokhara-kathmandu-1
Ladang, desa, dan sungai di antara daerah berbukit mengarah ke Pokhara.

Kondisi jalanan Nepal tidak sebaik Indonesia. Meskipun jalan yang kami lalui tak dihiasi lubang-lubang menganga, namun strukturnya tak memungkinkan untuk dipacu kendaraan dalam kecepatan tinggi. Selain itu lebarnya pun tak seberapa, sehingga setiap kali dua kendaraan saling berpapasan, maka kecepatannya harus sedikit diturunkan untuk menghindari senggolan.

Bayangan akan tujuh jam perjalanan yang membosanankan segera sirna, begitu bus tiba pada area yang lebih rendah. Tembok-tembok bukit dan pegunungan hijau mengapit di hampir sepanjang jalan. Puncak-puncaknya tak dapat kami lihat karena tertutup oleh arakkan kabut yang bergumpal-gumpal. Di sisi lain, jurang-jurang dalam berisi sungai lebar dengan aliran berwarna coklat muda hingga hijau toska turut mengiringi. Dan sesekali terlihat jembatan suspensi panjang menghubungkan satu sisi sungai dengan seberangnya.

Saya menyarankan kepada siapapun yang menempuh jalur darat dari Kathmandu menuju Pokhara, untuk duduk di sisi kanan, karena itu adalah sisi terbaik untuk menikmati semua pemandangan tersebut. Begitupun sebaliknya, jika mengarah kembali ke Kathmandu.

pemandangan-antara-pokhara-kathmandu-4
Suasana jalan menuju Pokhara, dan makan siang di pinggir sungai.

Di separuh waktu perjalanan, kami sempat singgah pada sebuah rest area, serta menghabiskan makan siang pada sisi sungai. Saya menandaskan sepiring penuh masakan Nepal nan sedap, sembari menatap aliran riam yang bergemuruh dari hulu lelehan salju. Sementara bayang-bayang halus kemuncak Himalaya yang terbalut putih mulai terlihat di kejauhan.

Hallo Sarangkot, Namaste Himalaya!

Sebuah taksi membawa kami dari Pokhara Bus Station menuju desa Sarangkot yang berada pada ketinggian 1600 mdpl. Pada sepanjang perjalanan, berkali-kali kami melemparkan pandangan ke arah Himalaya yang berdiri dalam jarak yang lebih dekat dari sebelumnya. Ia gagah, ibarat benteng raksasa. Tinggi menjulang dengan lekuk-lekuk hitamnya yang tajam, dimahkotai lapisan salju abadi pada puncak-puncaknya yang jarang dilalui manusia.

mountain-view-lodge-sarangkot-pokhara
Pemandangan dari balkon dan suasana kamar di Mountain View Lodge, Desa Sarangkot, Pokhara.

Penginapan sederhana yang kami sewa hari itu pun turut memanjakan hasrat akan Himalaya. Sebuah kamar yang dilengkapi perapian, kami dapatkan pada bagian rooftop. Dari balkonnya yang luas kami dapat mengintip sebagian puncak-puncak atap dunia. Sementara tumpukan pegunungan, danau Phewa, dan liukan sungai melingkupi kota Pokhara yang berada jauh di bawah. Bersama matahari yang semakin condong ke arah horison, semua itu berubah menjadi siluet jingga. Sempurna!

Sunset_flying_above_Himalayas
Tipikal senja di Pokhara, dilihat dari desa Sarangkot. (source)

“Kalian beruntung, karena hari ini cerah. Kalian bisa menikmati senja terbaik sembari memandangi Annapurna, Dhaulagiri, dan Machapuchare dari atas sana!”, ujar Ram, sang pengelola penginapan, sembari menunjukkan arah view point yang berada agak sedikit di atas kami.

Meskipun tanjakan menuju Sarangkot View Point itu tak seberapa panjang, namun kecuramannya cukup membuat napas kami menderu-deru setelah lima menit pendakian kecil. Mungkin juga itu disebabkan oleh karena kami yang terlalu bersemangat ingin menatap Himalaya.

Kami tak banyak berkata-kata, selain bertukar kekaguman setelah sampai di sana.

“Akhirnyaaa, Himalaya!”

Senja Terbaik dan Tekad Pada Annapurna

Kala itu adalah salah satu senja terbaik yang pernah saya nikmati seumur hidup. Karena sebelumnya saya sudah menikmati beribu-ribu senja di perkotaan, beratus-ratus senja di lautan, dan berpuluh-puluh senja sembari menatap horison dari tepi pantai. Namun senja yang menenggelamkan pegunungan bersalju itu adalah yang pertama kalinya. Pun, ia adalah Himalaya yang super megah.

Berjuta-juta tahun yang lalu ia adalah bagian dari samudra, sementara saat itu kami menatapnya sebagai salah satu bagian dari daratan tertinggi di muka bumi.

senja-di-annapurna-himalaya
Annapurna Himalaya menjelang senja.

Jingga senja yang halus menempa pendar-pendar keemasan pada Himalaya. Machapuchare dengan puncaknya yang lancip dikelilingi oleh multi puncak Annapurna, sementara Dhaulagiri berada jauh di sisi barat. Mereka meremang bersama, diiringi desauan angin yang menyapu lembah. Tak ada suara riuh, hanya bisikan yang kami gumamkan setiap kali butuh bertukar kata.

Dan ketika gelap telah sempurna menenggelamkan Himalaya, kami mengamati bulir-bulir halus bara muncul di kejauhan. Kontras memerah di atas karpet salju yang telah kelam.

“Itu apa ya? Titik api?”, tanya travelmate saya.

“Mungkin. Atau bisa jadi itu lampu-lampu para pendaki. Mereka yang sedang menuju Annapurna.”, jawab saya sembari menduga.

“Ah, aku mau kesana.”

“Aku juga. Dan insya Allah, aku akan segera kesana. Ke Annapurna!”

*****

annapurna-di-pagi-hari
Menatap Annapurna dari Sarangkot View Point.

Pada saat tulisan ini saya siapkan, saya juga sedang mempersiapkan keberangkatan saya ke Annapurna, yang rencananya akan saya lakukan pada bulan April 2016. Pemantapan itinerary, pembelian tiket, pemesanan akomodasi, semua sudah selesai. Tinggal latihan fisik dan persiapan peralatan yang masih berlangsung.

Perjalanan ini merupakan bagian dari impian saya untuk Solo Trekking ke Annapurna, yang berhasil saya dapatkan modalnya dari memenangkan lomba menulis pada Cross|Over Writing Competition yang diadakan pada akhir tahun 2015 lalu.

Doakan ya, semoga saya tetap selamat dan segalanya lancar. Sehingga bisa berbagi cerita tentang perjalanan itu nantinya. Amiin.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

115 thoughts on “Nepal (14): Road to Himalaya!

    1. Gak salah lagi kalau kamu mah fokusnya pasti ke makanannya dulu Dit hahahaha …

      Iya itu mirip nasi goring tapi isiannya sayur-sayuran gitu, bumbunya mirip masala, tapi gak sekuat masakan India. Sedap deh. Dan yang lainnya dhal bhat, sama semacam sayuran goreng tepung gitu. Mirip bakwan, tapi bumbunya khas. Harus coba. Masakan Nepal sedap-sedap. Percaya deh 😉 *menebar rasa lapar*

      Yakin mau trekking 9 hari full gak? hehehe

      Like

      1. Enaaaaak, tapi sayang euy mereka jualnya tanpa cabe rawit. Apalah artinya bakwan tanpa cengek 😀

        Kalau ada gojek mah namanya ngojek, bukan trekking atuh. Eh tapi lucu juga ya kalau judul artikelnya jadi: Solo Ngojek to Annapurna! 😀

        Like

      2. Ah abon cabe! Itu ide bagus, makasih Dit. Sambal sachetan Indonesia juga, soalnya paling sedap. O iya satu hal dink yang gak enak di Nepal, chilli sauce mereka. Lain-lainnya enaaaaak 😀

        Like

    1. Namanya juga salju abadi, ya sepanjang tahun.

      Tapi cuma pada puncak-puncaknya saja. Dan karena memang di dunia ini tidak ada yang abadi, serta ditunjang pula dengan pemanasan global yang terus meningkat setiap tahunnya, kabarnya tebal serta luasan salju di Himalaya semakin berkurang dari tahun ke tahun.

      Kalau ini berlangsung terus, siapa tau suatu saat nanti salju di Himalaya hanya muncul pada musim dingin saja. Tidak lagi abadi. Dan nama Himalaya yang artinya Kediaman Salju hanya akan menjadi kiasan dan sejarah belaka.

      Like

  1. Bagian akhir yg minta didoakan kok bikin akuh terharu ya. :). Jatuh juga nih airmata… Maaf ya saya lebay. Hehehe suweer inih mah asli .untuk doa akan selalu kita panjatkan,semoga sehat selamat dan happy, pulang ditunggu tulisan perjalanannya. Aamiin ya. Rabbal aalamiin.

    Liked by 1 person

    1. Hehehe iya Lim kebetulan begitu.

      Seingatku semalam cuma 200 ribuan, udah termasuk sarapan, dan gratis kayu perapian. Plus keramahan pengelolanya. Bayangkan, malamnya si ibu pengelolanya nyariin kayu bakar dan bantuin menyiapkan perapiannya. Keramahan mereka benar-benar nilai plus yang luar biasa.

      Liked by 1 person

  2. Oh jadi kamu tuh nginep juga di Sarangkot to? Aku pikir kamu cuma nginep di Pokhara, terus ke Sarangkot-nya day trip. Bart, pokoknya kita harus ketemuan sebelum kamu berangkat, ok? 😀

    Liked by 1 person

    1. Iya Bam, aku nginep di Sarangkot. Soalnya pengen dapatin sunset dan sunrise nya sekalian. Lagian lebih praktis, dari kamar tinggal jalan kaki 10 menit ke view point. Kalau dari Pokhara khan lumayan jauh 🙂

      Boleh boleh, kita ketemuan ya. Tapi harus cocokkin jadwal deh. Btw kita ini mau ktemuan di Jakarta, Semarang, atau aku nyusul ke Singapore recokkin acara mamacation mu? hahahaha

      Like

    1. Rencananya trekking sampai Base Camp nya aja mas, kalau untuk mendaki ke puncaknya selain persiapan fisiknya belum yakin, juga ongkosnya gak kuaaat hehehe

      Like

  3. Penginapannya sederhana ya hehehe tapi kesannya mewah gitu. Aku suka gaya tulisan yang seperti ini, mencoba meresapi apa yang dilihat, didengar dan dirasakan kemudian menggambarkannya melalui sebuah kata demi kata..sukses selalu ya..

    Liked by 1 person

  4. Subhanallah, pemandangan dari Kathmandu ke Pokhara indah banget, bang! Asri, sejuk, segar, momen yang bakal membuatku tak mampu berkata-kata..

    Btw, November ini gue juga diajak ke Nepal sama temen, mau trekking ke Annapurna. Tapi nggak tahu deh gue jadi ikut atau enggak, total perjalanan 2 minggu, gimana cutinya coba. Hahaha.

    Liked by 1 person

    1. November udah masuk musim dingin lho Guh, bakal lebih menantang sih jadinya, soalnya musim dingin di Nepal kejaam. Gak ada heater di ruangan 😀

      Iya sama, rencananya besok juga aku dua mingguan di Nepal. Nah soal cuti emang jadi PR banget ya 🙂

      Like

    1. Iya enak, kalau itu di deket rumah, pasti sering tak sambangi deh. Soalnya makanannya murah, enak, dan tempatnya bikin betah.

      Amiin amiin, makasih ya doanya Feb 🙂

      Like

  5. Wow!! Solo trekking? Semoga menyenangkan dan jadi salah satu cerita terpenting dalam hidup dikau, Om Bart!

    Bikin video juga dong nanti. Biar makin multimedia blog-nya. Hehe. Atau buku. Pasti keren! Saya dukung!

    Liked by 1 person

    1. Amiin amiin, nuhun kang Iyos.
      Video ya? Pengen sih, tapi nanti tergantung bagaimana batere bisa bertahan dan bagaimana ngecharge nya hahahaha 😀

      Kalau buku pengeeeeen banget, doain yaaa 🙂

      Liked by 1 person

  6. Doh keren banget Mas pemandangannya, sumpah ya saya kalau melihat foto-foto di blog ini, apalagi dengan penjelasannya, jadinya pasti sesak napas gara-gara keren banget dan saya bingung mau ngomong apa lagi :haha. Puncak Himalaya kan semua punya nama, saya rikues fotonya satu-satu ya Mas :haha. Amin, semoga sehat selalu sampai April besok, jadi bisa ke sana dan menyelesaikan misi! Semangat!

    Liked by 1 person

    1. Foto puncaknya satu-satu? Nanti yang aku temuin ya. Palingan Machapuchare, beberapa Annapurna dan Dhaulagiri. Gak sabar juga nih pengen lihat mereka lebih dekat.

      Amiin amiin, makasih doanya ya Gara 🙂

      Liked by 1 person

    1. Kalau dari segi keelokan sih Indonesia juara mbak, karena di Nepal banyak debu. Hijau daun jadi agak kusam. Tapi memang ada bagian-bagian Nepal yang lebih cantik dan tidak ada di Indonesia.

      Insya Allah mbak, doakan lancar ya. Iya betul mbak, ini kunjungan pertama saya lagi ke Nepal paska gempa nya.

      Liked by 1 person

    1. Padahal masih banyak tempat lain selain Everest di sana, dan di film itu keeksotisan Nepalnya cuma sedikit dicovernya. Sisa nya settingnya di gunung-gunung bersalju nya 🙂

      Like

  7. Halo Kak Bart. Ini kali pertama aku mampir ke blogmu dan terkejut saat tahu impian kita sama yaaa. Solo trekking ke Annapurna! Dunia sempit banget! Hahahaha. Ceritamu sungguh menggugah gelora petualangan Kak! Kutunggu ceritamu yaaaaa! Safe trekking! 😉

    Like

    1. Hai Winnie,
      sering dengar juga tentang namamu dari link dan obrolan teman-teman travel blogger lainnya. Makasih ya sudah sempat berkunjung ke sini.
      Wow sama juga pengen trekking ke sana. Kebetulan aku baru balik dari Solo Trekking ke Annapurna itu beberapa hari yang lalu, nanti aku bagi ceritanya di blog ini. Mampir-mampir lagi yaaa 🙂

      Like

  8. Bagussss bingiiitsss… Ulasannya seperti kita baru nonton salah satu channel NatGeo yg sering kulihat di TV berlangganan…Semoga suatu hari bisa kesana dengan suami, Aamiin. Btw, Selamat Bart utk kemenangan n hadiahnya… 👍👍👍👍.

    Liked by 1 person

    1. Aamiin… Allahumma Amin… Bart,mungkin bisa ditambahkan beberapa info ttg tarif hotel, biaya naik bus atau makanan khas n beberapa suvenir dari sana… 😊

      Liked by 1 person

      1. Kalau itu memang tidak dicantumkan di sini, tapi nanti akan ditayangkan di postingan khusus tentang budget, itinerary, dan tips trick nya.

        Makasih ya concern nya Ratna 🙂

        Like

Leave a reply to Halim Santoso Cancel reply