Travelnovela Made in India

Sebagian besar orang yang mengetahui bahwa saya pernah ke India, menanyakan ‘drama‘ apa yang saya alami selama di sana. Mereka berpikir saya mempunyai segudang cerita ‘kurang menyenangkan’ ketika menjelajah tanah Kuru tersebut.

Tapi, saya justru bingung jika harus mengingat-ingat hal buruk apa yang pernah saya alami di India. Bukannya tak ada, melainkan karena hal-hal menyenangkan yang saya temui di sana lebih banyak daripada kisah-kisah kurang menyenangkannya. Pun hal-hal tersebut, tidak terlalu menjadi penghambat yang signifikan, melainkan bumbu penyedap yang menjadikan perjalanan ke India sebagai salah satu trip paling mengesankan yang pernah saya jalani.

Tapi baiklah, jika saya harus mengingat-ingat mungkin ini adalah beberapa drama -kurang mengenakkan- yang pernah saya alami selama di India.

Namaste, This is India!

Malam sudah beranjak dari titik tengahnya, ketika saya memasuki India melalui Kolkata. Dari jendela pesawat saya mengamati deretan pesawat lain yang sudah terparkir di Bandara Netaji Subhas Candra Bose. Beberapa tersaput debu halus, berjajar di balik kabut tipis. Pemandangan dari luar bandara yang ultra modern dengan atap-atapnya yang tinggi dan diterangi cahaya, sedikit meredakan kegugupan saya.

Sebelumnya, ketika transit di KLIA2, saya sempat berkenalan dengan Hermanto, seorang pemuda Indonesia yang juga akan menuju India. Karena sama-sama berangkat seorang diri dari Indonesia, maka kami bersepakat untuk berbagi kendaraan di Kolkata.

Awalnya Hermanto berniat untuk tidur di bandara Kolkata malam itu, dan baru akan memasuki kota setelah pagi menjelang. Demi alasan keamanan. Sementara sedari awal, saya memang berniat akan langsung menuju ke penginapan yang sudah saya pesan melalui facebook, meskipun saya tiba pada tengah malam.

Memang awalnya saya sempat memiliki niat yang sama dengan Hermanto, namun Rishi -pengelola penginapan yang akan saya inapi- meyakinkan saya bahwa sangat memungkinkan dan cukup aman untuk pergi ke penginapannya meski pada tengah malam. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Hermanto memutuskan untuk bergabung dengan saya, dan menginap di penginapan yang sama.

Dan dimulailah babak drama di India!

Beberapa hari sebelumnya, Rishi mengirimkan petunjuk tentang cara menuju ke penginapannya dari bandara. Intinya, segera setelah keluar dari terminal kedatangan, kami harus menuju konter resmi pre-paid taxi dan memesan kendaraan di sana. Untuk menuju ke alamatnya, perkiraan harganya adalah Rs 350. Saya diminta untuk mengarahkan taksi ke Motor Vehicles BTA Office di area Landsdowne pada pusat kota, lalu dari situ bisa langsung memasuki Mahendra Road yang ada di seberangnya, untuk sampai ke penginapannya. Terlihat mudah khan? Sip!

Screen-Shot-2015-11-12-at-10.08
Denah dari Landsdowne menuju penginapan di Kolkata.

Begitu berhasil melewati pos imigrasi dan keluar dari terminal kedatangan, kami segera mencari konter resmi pre-paid taxi. Namun, sebelumnya kami harus mencari money changer terlebih dahulu untuk menukarkan dollar yang kami bawa. Karena baik saya maupun Hermanto, belum membekali diri dengan rupee India. Sembari mendorong-dorong troli berisi ransel, kami menyusuri lobby terminal kedatangan, dari ujung ke ujung. Tapi tak ada satupun money changer yang kami lihat beroperasi dini hari itu. Sama sekali tidak ada!

Lalu kami berusaha mencarinya di terminal keberangkatan yang ada di lantai dua, namun begitu tiba di ujung eskalator beberapa tentara yang dilengkapi senjata laras panjang telah menghadang. Mereka mengatakan, bahwa kami tak bisa memasuki area itu, kecuali kami memiliki tiket keberangkatan. Dan salah seorang tentara menginfokan, bahwa money changer yang kami cari ada di lantai bawah, tepat sebelum keluar dari pintu terminal kedatangan. Yang artinya bahwa kami harus memasuki kembali terminal kedatangan untuk menukarkan uang. Baiklah!

Seorang tentara lain berkumis lebat dan menyeramkan harus kami hadapi sebelum memasuki kembali terminal kedatangan. Ia menggelengkan kepala a la India sembari mengatakan bahwa kami tak boleh masuk kembali. Namun, kami bersikukuh. Akhirnya ia membolehkan, dengan syarat hanya satu orang yang masuk, dan semua barang bawaan ditinggal di luar. Kami berbagi tugas. Herman masuk ke dalam dan menukarkan uang, sementara saya menunggu dan menjaga barang bawaan di luar.

Tak berapa lama, Herman keluar dengan wajah sedikit putus asa.

“Mending gak usah tukar uang di sini, bro! Mentang-mentang tengah malam dan kita lagi butuh, rate yang mereka kasih gak normal!”, ujar Herman sembari menunjukkan perhitungan rate penukaran uang yang mereka tawarkan.

“Ini sih pemerasan namanya!”, timpal saya setelah melihat rate tukar uang dan membandingkannya dengan referensi terakhir di XE.com

IMG_2787
Lobby terminal kedatangan Bandara Netaji Subhas Candra Bose, Kolkata. Sebelah kanan, adalah deretan konter pre-paid taxi.

Akhirnya saya berinisiatif untuk menuju konter pre-paid taxi dan menanyakan kemungkinannya apabila kami membayar dengan dollar Amerika. Sementara Herman berusaha mencari ATM dan menarik uang tunai secara langsung.

Usaha pemerasan lain terjadi di konter pre-paid taxi. Mereka tidak menerima pembayaran dengan dollar Amerika, tapi jika saya tetap mau, maka ia bisa membantu. Namun, hitung punya hitung nilai yang ia tawarkan setara dengan sepuluh kali lipat harga resmi yang seharusnya.

“How come you do that to the visitor?”, tanya saya.

“Well, this is India. I can help you now, if you want to. But, if you don’t want it, just sleep here until the-money-changers open tomorrow!”, dengan cueknya ia menjawab, sambil menulis-nulis sesuatu di sebuah buku besar.

“Oh yeah, you’re right this is India!”, jawab saya setengah kesal.

Untungnya tak berapa lama Herman datang sembari membawa beberapa lembar Rs 1000 yang masih baru, yang ia dapatkan dari ATM di terminal keberangkatan. Rupanya ia berhasil merayu tentara yang berjaga di atas, sehingga ia bisa memasuki area tersebut. Segera kami membeli tiket taksi di konter yang tadi saya tinggalkan, dan anehnya petugas tersebut melayani kami seolah-olah barusan tidak ada kejadian yang kurang menyenangkan.

Ok, this is one thousand rupees!“, ujar saya menekankan jumlah uang yang saya sorongkan ketika melalukan pembayaran.

Ini adalah salah satu tips yang harus diterapkan di India: Jika melakukan pembayaran dalam jumlah besar pada tempat-tempat tertentu, seperti taksi atau area-area umum, pastikan untuk menyebutkan jumlah uang yang kita bayarkan. Karena sering kali terjadi tanpa kita sadari mereka menukarkan uang kita dengan jumlah yang lebih kecil, lalu mengatakan bahwa uang yang kita bayarkan kurang.

IMG_5853
Taksi Ambassador khas Kolkata.

Jajaran taksi Ambassador berdesain unik a la Inggris dan berwarna kuning menanti kami, begitu keluar dari pintu lobby terminal kedatangan. Tak ada supir-supir berpakaian resmi, melainkan pria-pria India berbaju kumal yang bergerombol menanti para penumpang. Melihat kedatangan kami, salah seorang pria maju dan mengarahkan kami menuju taksi yang sudah berada di antrean. Segera setelah kami menempatkan ransel-ransel di bagasi, tiba-tiba ia menyodorkan tangan dan meminta bayaran.

What for?“, tanya saya.

For showing you the cab!“, ujarnya sembari menggoyangkan kepala.

You’re the driver, right?“, tanya kami.

No, I am not.“, dan entah dari mana asalnya, tiba-tiba muncul pria lain yang tanpa basa-basi meminta tiket kami, mengecek alamat dan langsung masuk ke dalam taksi menempati bangku supir.

Seketika, ingatan saya langsung melayang pada kejadian yang hampir serupa, ketika saya baru tiba di Kathmandu tahun 2013.

Arrgggh ,,, Welcome to India!

Don’t Worry, This is India!

Saya memutuskan untuk mengunjungi Sarnath, sembari menunggu waktu keberangkatan kereta yang akan membawa saya berpindah dari Varanasi menuju Agra. Sesuai dengan jadwal, kereta tersebut akan berangkat pada senja hari, sementara hotel yang saya inapi pun sudah mengharuskan saya untuk check out pada jam 12 siang. Daripada bosan menghabiskan waktu di Varanasi yang terlalu riuh, maka saya mencoba untuk mengunjungi kota suci umat Buddha yang terletak sekitar 13 km dari Varanasi tersebut.

Seharusnya saya sudah mengunjungi Sarnath dua hari sebelumnya, namun gara-gara obat anti malaria yang membuat saya mual-mual dan pusing seharian, maka hal itu baru bisa saya lakukan pada hari terakhir.

Setelah melakukan riset dadakan tentang transportasi yang harus saya gunakan, maka saya memutuskan untuk menggunakan angkutan lokal mirip bajaj di Jakarta, untuk pulang dan pergi ke Sarnath. Satu keanehan pertama yang saya temui di bajaj tersebut adalah, meskipun pada awalnya saya yang menyewanya, namun selama di perjalanan sang supir dapat menaikkan penumpang lain dan mengantarkan ke tujuannya, sembari mengantarkan saya. Hal ini membuat saya agak kesulitan untuk menentukan waktu tempuh yang sesungguhnya.

IMG_0354
Meskipun ini adalah bajaj yang saya tumpangi di Amritsar, namun seperti ini pulalah bajaj yang saya sewa di Varanasi.

Bajaj yang tampak ringkih tersebut dengan lincah berpacu zig-zag di antara sibuknya jalanan Varanasi yang padat, melesat di dalam gang-gang sempit, hingga melaju kencang melindas jalanan luar kota yang berlubang-lubang dan menghamburkan debu ke sekitarnya. Kurang lebih satu jam kemudian, saya sudah tiba di Sarnath yang sangat kontras dengan Varanasi. Tempat itu lebih tenang, ditumbuhi banyak pepohonan, dan waktu terasa melambat seiring dengungan lirih mantra-mantra Buddha di kejauhan.

Salah satu penyakit saya ketika mengunjungi situs-situs sejarah adalah, saya sering keasyikan hingga lupa waktu. Rasanya baru sebentar saja saya berkeliling di area arkeologi Buddha tersebut, namun tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Dan sesuai jadwal, kereta yang mengangkut saya ke Agra akan berangkat dua setengah jam lagi. Saya harus bergerak cepat, karena semua barang bawaan masih dititipkan pada penginapan di Varanasi.

IMG_2986
Sarnath, salah satu situs bersejarah umat Buddha di India (dan juga dunia). Suasananya yang tenang dan bersih, sangat kontras dengan Varanasi yang kumuh dan riuh.

Saya bergegas menuju bajaj, yang memang saya minta untuk menunggu. Saya katakan padanya untuk memacu bajaj secepat yang ia bisa, karena saya harus mengejar kereta.

Don’t worry!“, jawab sang supir sambil tersenyum dan menggoyangkan kepalanya.

Baru beberapa ratus meter bajaj itu bergerak, tiba-tiba saya merasakan ada keanehan pada jalannya kendaraan tersebut. Ia bergoyang-goyang tak seimbang, melambat, dan kasar mengikuti gelombang jalanan yang sedikit berlubang. Dan ternyataaaaa … Ban nya bocor! Saya cek jam tangan saya, sudah hampir jam tiga. Varanasi masih jauh, stasiun kereta pun di belahan lain kota itu. Aaarrrgghhh!

So, what will you do now?“, tanya saya padanya.

“Don’t worry!”, jawabnya sambil menunjuk sebuah jasa tambal ban yang tak jauh dari kami.

Untungnya memang ada tukang tambal ban di sekitar situ. Hanya saja, ketika kami sampai di sana ia sedang membongkar ban dari motor lain, yang tampaknya pun masih setengah beres. Sehingga bajaj yang yang saya sewa masih harus mengantre. Dengan santainya, ia meminta saya untuk menunggu pada sebuah dipan di bawah kerindangan pohon yang masih setengah meranggas meskipun itu adalah awal musim semi.

Menunggu adalah pekerjaan paling membosankan, apalagi pada tempat dimana waktu terasa jalan melambat. Sementara setiap kali saya melihat jam tangan, waktu justru berpacu lebih cepat. Perpaduan keduanya dan bayangan kesulitan yang akan saya hadapi bila tertinggal kereta, membuat saya galau. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada hal lain yang bisa saya lakukan kecuali berusaha untuk tetap berpikir positif. Percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja dan lancar.

IMG_5862
Meskipun terkadang penampilannya “ajaib”, menurut saya masakan India sedap-sedap.

Perut saya mulai menuntut untuk diisi, karena tadi saya melewatkan makan siang. Dan kebetulan sebuah kedai di seberang jalan, tampak ramai serta menguarkan aroma masakan yang mengundang selera. Saya menghampiri kedai tersebut, dan memesan makanan dengan bahasa seadanya, karena sang penjual pun tak menguasai bahasa Inggris. Salah satu yang sangat saya nikmati di India adalah makanannya, meskipun terkadang penampilannya ajaib, tapi rata-rata rasanya mantap. Anehnya, dulu saya sangat tidak menyukai masakan India, rempahnya terlalu kuat. Namun setelah beberapa hari di India, lidah saya segera menyesuaikan dengan baik.

Saya berusaha menikmati makanan yang saya pesan pelan-pelan, di antara tatapan aneh beberapa orang lokal yang memperhatikan saya, dan selalu tersenyum setiap kali saya memandang balik ke arah mereka. Dengan bahasanya sendiri, mereka mencoba memberi tahu saya, bagaimana cara menikmati makanan yang sedang saya santap.

Tak lama setelah saya menyelesaikan makan siang, sang supir bajaj menghampiri dan mengatakan bahwa kendaraannya sudah siap membawa saya kembali ke Varanasi, untuk mengambil bawaan dan segera menuju ke stasiun Varanasi Junction.

Menembus Varanasi pada waktu sore ternyata lebih sulit dibandingkan pada pagi hari. Aliran laju wisatawan dan peziarah menuju ghat di sungai Gangga untuk upacara Gangga Aarti menguasai jalanan, bersaing bersama kendaraan dan sapi-sapi yang melenggang ataupun duduk santai di area pejalan. Teriakan dan umpatan sesama supir bajaj ikut mewarnai suasana yang hectic tersebut.

IMG_5861
(kiri) Suasana jalanan dalam kota Varanasi. (kanan) Bahkan dalam keadaan penuh sesak itu, masih ada yang melakukan pooja di pinggir jalan.

Dengan bersusah payah saya harus berjalan bolak balik ke hotel yang saya inapi menuju titik dimana bajaj yang saya sewa diparkirkan, karena pada sore hari jalanan menuju hotel tersebut ditutup untuk semua kendaraan. Enam ratus meter yang panjang dan berat. Memanggul ransel dan tas kamera, berdesak-desakkan di antara lautan manusia, kendaraan, dan sapi!

Please speed up, I only have thirty minutes!“, pinta saya pada supir bajaj, begitu berhasil memasuki kendaraannya kembali.

Don’t worry, this is India! Everything is possible!“, jawabnya sambil menggoyang-goyangkan kepala.

Bajaj yang sudah terengah-engah sejak pagi itupun kemudian dipacu di atas jalanan Varanasi yang semakin padat. Meliuk-liuk mengikuti gerak zig-zag nya, hingga saya harus berpegangan pada tiang-tiang penyangga demi menstabilkan diri yang bergoyang-goyang. Saya berdoa agar bajaj tersebut bisa di tiba di stasiun sebelum jam lima, dan sang supir tidak mengambil penumpang lain untuk ikut serta seperti tadi pagi. Positive thinking, positive thinking! Hanya itu kata-kata lain yang saya ucapkan selain doa selamat.

Ajaibnya, dalam waktu lima belas menit kemudian saya berhasil sampai di depan Varanasi Junction. Lega. Masih ada waktu seperempat jam untuk bersiap-siap dan mencari peron kereta.

So, don’t worry, this is India. Everything is possible!

IMG_5854
Sang supir bajaj -yang saya lupa namanya-, dengan kalimat favoritnya “Don’t worry”.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

120 thoughts on “Travelnovela Made in India

  1. Waduh, stupa dan relungnyaa :mupeng. Mudah-mudahan suatu hari nanti bisa tandang ke situs-situs arkeologi yang ada di Lembah Sungai Indus dan Gangga itu–cuma mesti siap dengan deramaknya ya Mas. Saya mendapat beberapa pelajaran yang berharga dari sini–terutama sih berpikir positif :haha, soalnya saya orangnya skeptis banget, jadi berpikir positifnya kalau sudah kepepet :hehe :peace *malah curcol*. Thanks for sharing, Mas!

    Liked by 1 person

    1. Aku doakan Gara, terutama banget kamu harus lihat Varanasi. Pasti matamu akan melihat banyak hal-hal lain yg aku gak bisa tangkap. Dramanya harus dinikmati juga, ini khan India tanahnya drama hehehe

      Sama-sama Gara, senang kalau bisa kasih info tambahan juga 😊

      Liked by 1 person

  2. Huaaaa Mas. Setelah baca ceritanya kok semakin nambah alasan buat gak ke sana ya 😛
    As much as I love its movies, kok ya males juga ke sana setelah denger beraneka ragam cerita. Hehehe.. Maap ya kalo komennya gak nyambung.. 😀

    Liked by 1 person

  3. Baca ini jadi ikut geleng-geleng trus berkata “This is INDIA!” Hahahaha. Kalo nggak hati-hati jadi banyak scam ya, Bart. Kutunggu cerita yang banyak kesenangan di sana biar bisa nyuekin resiko kena scamnya hihihi. All is well… *nyanyik*

    Liked by 1 person

    1. Banyak banget, tapi banyak juga yang sudah berbagi di dunia maya, jadi seharusnya bisa lebih diantisipasi.

      Iya aku juga udah gak sabar untuk berbagi cerita-cerita menyenangkan selama di sana. Yang menurutku membuat India jauh lebih pantas untuk dikunjungi daripada dihindari. Dan setelah aku pikir-pikir, justru orang-orangnya lah yang mengisi sebagian besar cerita itu. Ayo nyanyiiiii … *tabuh gendang*

      Like

  4. Aseli telenovela banget yah. Kalo begini agak mikir juga ke India sendiri yah. BTW, tadinya aku mikir habis tambal ban, si bapak supir mau minta duit nambal, kalo bereran…*ternyata aku ke bawa suasana*.
    Kog kalo aku agak sebel yah baca; “This is India”, kesannya gak mau berbenah diri. 😥 atau karena biasanya pada kepepet makanya digituin? Ah, sudahlah.

    Liked by 1 person

    1. Dulu-dulu aku kalau baca cerita soal India juga suka jiper dan males ke India, tapi rasa pengen dan penasaranku lebih besar, akhirnya aku coba. Untuk solo traveler, terutama wanita, India merupakan destinasi yg harus dipikirkan berulang kali. Tapi tidak semua bagian India, karena India selatan relatif lebih aman daripada utara. Selain itu aku juga ktemu banyak solo traveler perempuan selama di sana, dan sejauh ini mereka enjoy-enjoy aja. Yang penting standard keamanan umum dan common sense aja diterapkan.

      Well, aku juga awalnya mikir gitu. Tapi akhirnya selama ada di sana, kalau ada yg kurang pas aku selalu ingetin diri sendiri “ini India bung, terima dan nikmati aja” .. Akhirnya malah asik selama di sana hehehe.

      Menurutku pribadi, India adalah negeri yang menarik dan memperkaya diri sebagai pejalan 😊

      Like

  5. Suka bacanya! Bikin memori kembali ke waktu di sana. Eh trus itu kamu keretanya gak telat Kak? Aku udah buru2 pas dari Agra mau ke Delhi, eh sampai stasiun, keretanya delay … EMPAT JAM! Huahahaha. Tapi tetep cekikikan sih. Hihi.

    Liked by 1 person

    1. Aku sempat delay juga, empat jam, waktu mau pergi ke Udaipur dari Agra. Tapi hikmahnya dapat teman orang lokal dari Kashmir dan angkatan laut dari Visakhapatnam. Jadi kalau main-main ke tempat itu nanti ada kenalan.

      Telatnya itu aja sih sekali-kalinya, lainnya kereta nya berangkat selalu on time. Benar-benar on time, aku sampai kaget. Aku pikir bakal telat terus waktu di India.

      Udah kebayang kalau kak Bulan jalan pasti banyak cekikikannya. By the way sama siapa aja waktu itu?

      Like

      1. Iya banyak cekikikannya. Hahaha. Waktu itu sama 2 teman, perempuan semua bertigaan jalan. Hehehe. Aku sempat delay dua kali. Pas Agra – Delhi sama pas Varanasi – Agra. Hihihi.

        Liked by 1 person

      2. Wanita-wanita hebat, karena India lumayan menantang meskipun negerinya menarik. Agra-Delhi delaynya empat jam juga? Bisa lamaan delayanya dong dibanding jarak tempuhnya hehehe … Kalau Agra – Varanasi sih emang semalaman ya, padahal dalam satu negara bagian Uttar Pradesh 😀

        Like

  6. beeh ikut deg-degan ya baca cerita ngejar waktu pake bajay, ngebayanginnya bajaynya reyot trus zig zag gitu.. untung sampai sebelum telat ya mas…
    *lagi penasaran dg cerita travel to india juga*

    Liked by 1 person

    1. Nah mungkin bisa dimulai dengan Borobudur hehehe

      Iya mas kemungkinan itu di India selalu ada. Tapi menurutku dimanapun itu selalu ada, apalagi daerah wisata. Cuma karena sebelum berangkat aku sudah baca-baca, jadi pas di sana sudah lebih aware. Jadinya jarang diisengin orang.

      Liked by 1 person

  7. Yes, betul banget soal harus jeli dengan hitungan uang di India. Pas mau bayar homestay di Hampi keponakan sang pemilik penginapan menghitung dengan cepat lembaran rupee yang aku kasih. Di satu titik aku ngeh bahwa ada lembaran yang terselip pas dia ngitung (mata teller bank kali :p). Bener aja di akhir dia ngitung dia bilang uangnya kurang. Uangnya aku ambil lagi sambil aku hitung dan bilang kenceng-kenceng di depan dia. Dia hitung ulang dan dia goyang-goyang kepala sambil senyum. :p

    Liked by 1 person

    1. Hahahaha dan kadang kita harus gitu sama mereka. Kadang mereka berusaha nipu atau memanfaatkan kita, tapi kalau kita gertak tegas mereka nya jiper. Pokoknya selama kita benar mah, ditegasin aja. Ah senang kalau kalian bisa lolos dari hal-hal macam itu.

      Ya iyalaaaah, mata bankir dilawan hahahaha …

      By the way, where art thou brother? Udah berhari-hari gak ada kabar. Udah nyampe mana sekarang?

      Malam ini aku mau lanjutin tulisan soal Nepal ah, siapa tahu bisa jadi pegangan buat kalian 😁😁

      Liked by 1 person

      1. Yang penting jangan terintimidasi sama tampang orang di sini, dan kadang mereka bicara Bahasa Inggris dengan cepet dan pake logat daerah. Kalo gak jelas sama apa yang mereka bilang aku sih selalu tanya sampe jelas dan clear di kedua belah pihak. Hari ini kami sampe di Thanjavur, di negara bagian Tamil Nadu. Di sini ada candi kuno dari zaman Kerajaan Chola yang dulu pernah menyerang Sriwijaya. Sore ini kami tadi ke candinya dan surprisingly gak penuh sama orang dan malah di beberapa sudut tenang banget. Tapiiii di Tamil Nadu lagi puncak-puncaknya musim hujan sih, jadi setiap kali matahari muncul langsung meluncur ke tempat yang aku mau ambil foto. Sok mangga dipublish postingan soal Nepal, mumpung di Thanjavur ini koneksi internetnya cukup reliable.

        Liked by 1 person

      2. Betul banget, tampang mah tampang, jangan dijadiin patokab. Ooo kalian ke Cholamandala alias Coromandel ya? Gak sabar pengen baca detail ceritanya. Makanan di Tamil Nadu gimana Bam? Seenak Kerala gak?

        Siap! Dan tenang aja, di Nepal juga sambungan internetnya lumayan bagus kok. Apalagi kalau kalian mampir ke Garden of Dreams 😊😊

        Like

      3. Iya. Jadi kami kurang lebih menyusuri sisi Malabar dan Coromandel di trip kali ini. Naaaah, soal makanan jujur aku kangen makanan di Goa dan Kerala karena di sana ada ikan, ayam, kambing. Sedangkan di Tamil Nadu sebagian besar makanan vegetarian. Di sini ada makanan buat sarapan namanya Idli. Lucunya Idli yang paling enak yang aku cobain justru pas di Goa. 😀

        Liked by 1 person

      4. Ooo mungkin karena di Goa banyak Katholik nya dan di Kerala banyak muslimnya ya dibandingkan di Tamil Nadu yg banyak Hindu nya? *nebak* … Jadi susah nemu protein hewani. By the way di Kolkata meskipun banyak Hindu nya tapi mereka masih makan ikan, karena letaknya yg dekat dengan laut.

        Kalian bakal ke Madras/Chennai juga?

        Idli? Hmmm keliatan enak dari namanya *ngiler*

        Like

      5. Sepertinya begitu, dan setauku kedua negara bagian tersebut bukan basis massa BJP (partai pemerintah India saat ini yang berhaluan Hindu-nasionalis) yang politisinya sering mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait agama. Nah kalau Kolkata mungkin karena secara tradisional itu basisnya partai Komunis, jadi umat di Hindu di sana gak se-strict di negara bagian lain. Tapi itu analisis ala-ala sih :p Yes, kami nanti di Chennai nginep di rumah salah satu blogger yang kami kenal.

        Liked by 1 person

      6. Ah iya, kalau yg basis nya BJP sering terjadi kerusuhan rasialis kaya di Ayodhya dan Varanasi. Ooo pantesan di Kolkata aku banyak lihat gambar palu arit di mana-mana, ej di Kathmandu juga dink. Tapi komunis di India agak beda ya? Gak segalak di negara lain -kesannya-.

        Selamat menikmati Madras!

        Like

      7. Dari salah satu artikel yang pernah aku baca, Partai Komunis di Kerala itu menurut Uni Soviet dan RRC (pada waktu itu) kurang komunis, makanya feel-nya beda dengan negara-negara komunis. Bart, aku masih sekitar seminggu sampe Chennai. Masih ada Kumbakonam (mau liat candi lain peninggalan Kerajaan Chola) dan Pondicherry (bekas jajahan Prancis) dulu.

        Liked by 1 person

      1. Mungkin itu resiko dengan besar dengan jumlah penduduk yang banyak ya? Belum lagi India adalah anak benua, sementara Indonesia adalah negara kepulauan. Eh nyambung gak sih jawabanku? 🙂

        Like

      2. Nah aku belum pernah ke China sih, jadi belum bisa komen, cuma kalau aku lihat turis2 dari negeri tirai bamboo yang suka agak ‘malesin’ itu kadang aku mikir kalau di sana juga begitu hehehe … Betul, balik ke mental masing-masing 🙂

        Like

      3. Kalau aku ketemu sama turis tiongkok yang malesin itu di India. Emang nyebelin, sampai inspektur yang di dalam kereta marahin mereka. Mereka terlalu curigaan, dan lebay.

        Like

      4. Ada temenku dari HK cerita: bahkan orang HK yangn sudah jadi bagian China pun, selalu merasa males melihat turis2 dari Negara itu, bahkan kadang mereka ikut malu kalau melihat kelakuan sodara2 mereka di tempat lain (seandainya ketemu pas lagi traveling). Tapi mungkin gak semuanya ya, hanya sebagian, tapi yang sebagian itu biasanya yang menodai susu sebelanjaan #eh

        Like

      5. Pas di India ketemunya traveler muda sih, tapi gak tau berdedikasi apa nggak. Mereka cerita kalau mereka gak pernah mau masakan local India, meskipun itu resto bagus. Mereka selalu makan di Subway, semacam McD gitu deh. Trus mereka nunjukkin seplastik sendok plastic, jadi meskipun mereka makan di Subway, sendoknya pakai punya sendiri. Rese deh pokoknya hahahaha

        Like

  8. Aku bisa ngebayangin gimana cemasnya ketika buru-buru ke suatu tempat dan kendaraan yang ditumpangi melajut tidak sesuai harapan. Tapi drama-drama itu malah jadi pelengkap keseruan perjalanan itu secara keseluruhan ya.. 😀

    Liked by 1 person

      1. Pengennya sih pas musim yang asik untuk diving, jadi sekalian eksplore Aceh daratan juga eksplor bawah lautnya. Boleh boleh, email abang ada di profile blog khan?

        Like

      2. iya email saya sama yang di profile.. nah itu klo bulan yang cocok susah nentuinnya bang.. karena di aceh itu memang bermusim. angin timur dan angin barat., klo sekarang musim angin timur, jadi bagian sebelah barat aceh semuanya lagi bagus2nya.. tapi terkendala hujan. klo musim angin barat, maka sebelah timur akan aman. tapi susah nyari spot bagusnya hehehe

        panjang kali lebar.. intinya bulan bagus itu pas bulan2 panas (dalam kalender islam) mas.. salah duanya bulan 3 nanti.. tuh repot kan? 😀

        Liked by 1 person

      3. Siiip, berarti nanti aku langsung kontak bang Yudi aja ya. Domisili di Banda Aceh nya atau dimana bang?

        Ooo mungkin karena letak Aceh yang secara geografis ada di dua sisi Sumatra sekaligus dan di ujung utara pula ya. Berarti cocoknya kalau lagi angina timur ya, jadi bisa diving. Hujan dikit-dikit gak papa deh, romantis hahaha

        Bulan tiga itu maksudnya Maret nanti khan ya? *langsung catat*

        Like

    1. Well, it was a very nice visit of course.

      But I have a bit unpleasant experiences when the tire of my cab developed a leak, while I have to caught the train from Varanasi to Agra. And a small incident of “money changer and pre-paid taxi” in Kolkata.

      But overall, my India Trip was great 🙂

      Like

  9. Wah keren ini. Varanes ini salah satu bagian paling bersejarah di Indihe sana. 😀
    Saya cuma takut transportasi yang buruk dan higienitas, itu yang membuat saya berkali-kali ragu untuk ke India. Tapi melihat ceritanya yang begitu menarik tampaknya India menjanjikan sekali ya.

    Liked by 1 person

    1. Sangat menjanjikan, dirimu pasti suka Chan. Aura berpetualangnya kerasa banget kalau ke India, karena banyak ‘kejutannya’. Kalau soal transportasi, beberapa banyak yang bagus bahkan lebih baik dari Indonesia. Yang paling jelas sih system perkereta-apian, terutama commuter line nya New Delhi. Kalau soal higienitas, mirip-mirip Indonesia lah, di beberapa tempat ada yang buruk, tapi yang bersih juga banyak 🙂

      Like

    1. Betul mas, dan karena ini ‘bumbu penyedap’ kadarnya secukupnya saja, jangan terlalu banyak, nanti malah jadi gak enak hehehe 🙂

      Terimakasih sudah datang baca-baca dan tinggalkan komentar ya 🙂

      Like

      1. Sebenere kalau dengar wisata India itu seringnya hal-hal yang kurang sedap alias negatifnya, padahal kan kejadian kurang menyenangkan bisa terjadi di belahan dunia manapun kan ya..

        Liked by 1 person

      2. Betul banget mas, yang namanya apes itu bisa dimana saja. Bahkan di dalam negeri atau kota sendiri pun bisa. Saya sengaja share yang kurang menyenangkannya dulu, karena nanti yang baik-baik dan menyenangkannya justru lebih banyak. Insya Allah akan saya tulis segera, setelah serial travelogue Nepal yang saya tulis beres 🙂

        Like

      3. Terimakasih mas. Hmm India memang terkesan menyeramkan, dan memang pasti bakal membuat kita terkaget-kaget, tapi sekalinya pernah kesana pasti bakal kangen lagi 🙂

        Like

      4. Yang ke Kerala? Nggak mas, saya coba daftar tapi belum rejeki untuk terpilih. Kemarin ke India atas biaya sendiri aja, memang sudah obsesi sejak lama 🙂

        Like

  10. Wah aku kelewat postingan ini. Sepanjang baca dari awal sampe habis, aku senyam-senyum-ngunyah (kebetulan lagi ngemil lol) sendiri. Bingung mau komen apa lagi hahaha, cuma mau bilang kangen India aja jadinya hehehe

    Liked by 1 person

  11. jadi penasaran kapan yaa bisa kesana aku pengen bgt ke india .tp gak berani kalo sendirian,, apalagi karakter org2 india yg ajaib agk ngeri .. btw cwe-cwe india cantik” nggk mas.. hhe

    Liked by 1 person

    1. Tetapkan dari sekarang, rencanakan. Banyak kok female solo traveler yang bisa survive di India. Yang penting pelajari dan siapkan baik-baik sebelum berangkat.

      Hmmm cewek India? Sama aja sih. Yang cantik banyak, yang biasa-biasa aja juga banyak 🙂

      Like

Leave a comment