Grand Palace: Antara Kemegahan dan Tragedi

9 Juni 1946, pukul 9.20 pagi.

“Sang Raja bunuh diri! Sang Raja bunuh diri!”, Chit -pelayan pribadi Raja Rama VIII- berteriak-teriak menggemparkan seisi Aula Singgasana Boromphiman yang menjadi kediaman resmi Raja Thailand di kompleks Grand Palace.

Dengan serta merta Ibu Suri Srinagarindra -diikuti Chit kembali- berlari memasuki peraduan Raja. Dan mereka menemukan Raja Ananda Mahidol (dibaca: Anand Mahidon) telah tewas terlentang bersimbah darah dengan luka tembak pada kepala, di atas ranjangnya. Sepucuk pistol American Army kaliber 45 tergeletak beberapa inchi dari tangan kirinya.

King_Ananda_Mahidol_portrait_photograph
Raja Rama VIII Ananda Mahidol, dari Dinasti Chakri Thailand.

Peristiwa tersebut telah berlalu enam puluh sembilan tahun yang lewat, namun misteri yang tersisa di balik tragedi itu belumlah berakhir. Memang beberapa orang telah diseret ke meja pengadilan dan dijatuhi hukuman mati sebagai ganjaran. Tapi berbagai spekulasi dan teori tetap berkembang di balik pintu-pintu pribadi.

Tak pernah ada pembahasan terbuka di dalam negeri, karena Thailand menganut prinsip hukum lèse-majesté yang melindungi privacy serta harga diri Raja bersama keluarga inti Kerajaan.

Dan peristiwa tewasnya Raja Rama VIII Ananda Mahidol, yang ketika itu baru berusia 21 tahun, menjadi salah satu kisah kelam di balik kemegahan Grand Palace.

Grand Palace: Permata Gemerlap di Rattanakosin

Sejak dirintis pertamakali pada tahun 1782 oleh Raja Rama I Phutthayutfa Chulalok, kompleks Grand Palace kini memiliki luas keseluruhan 218.400 meter persegi. Dengan denah hampir persegi panjang yang dibatasi oleh dinding pada sekelilingnya. Kompleks Istana yang dalam bahasa Thailand memiliki nama resmi Phra Borom Maha Ratchawang (Thai: พระบรมมหาราชวัง) ini dibangun pada sisi timur sungai Chao Phraya, pada sebuah pulau semu yang disebut sebagai Rattanakosin.

Biasanya orang sudah merasa mengunjungi Grand Palace ketika mereka sampai pada satu tempat, dimana terdapat bangunan Thai klasik yang megah, dengan warna-warna mencolok dan beberapa di antaranya tampak gemerlap oleh lapisan keemasan serta detail yang blink-blink. Sebenarnya itu hanyalah Kompleks Wat Phra Kaew, yang menjadi bagian kecil dari kompleks Grand Palace.

IMG_1467
Kerapatan detail yang mempesona di Wat Phra Kaew.

Secara struktur denah, Grand Palace dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Kompleks Wat Phra Kaew,
2. Area Luar,
3. Area Tengah,
4. Area Dalam.

Grand Palace Map
Denah Grand Palace: (1) Kompleks Kuil Emerald Buddha. (2-7) Area Luar. (8-34) Area Tengah. (35) Area Dalam.

Kompleks Wat Phra Kaew adalah sebuah kapel kerajaan dimana sebuah patung Buddha dari batu giok disucikan di dalamnya. Sedangkan area luar saat ini berisi kantor-kantor yang berhubungan dengan informasi Grand Palace, kesekretariatan dan beberapa museum. Lalu area tengah merupakan daerah utama dimana bangunan inti istana berada, termasuk beberapa aula singgasana, dan ruang penerimaan serta rumah peristirahatan bagi tamu agung kerajaan. Sementara area dalam adalah bagian yang dahulunya ditempati oleh para wanita dan harem Raja, termasuk di antaranya ratu, selir, dayang-dayang beserta anak-anak mereka.

Meskipun Thailand mengambil Buddha sebagai agama resmi kerajaan, namun banyak sekali bagian dari kebudayaan mereka yang dipengaruhi oleh Hindu India. Mulai dari nama resmi Bangkok yang cukup panjang, serta dinyatakan sebagai “pemberian Dewa Wisnu dan dibangun oleh Dewa Indra”. Pemakaian gelar Raja Rama bagi seluruh penguasa Dinasti Chakri, yang diambil dari epos Ramayana. Hingga detail-detail yang berada di dalam kompleks Grand Palace.

IMG_6966
Patung Kinara-Kinari. Mahluk mitologi Hindu, penghuni hutan Himavanta di Gunung Meru.

Saya sempat melihat deretan lukisan pada dinding bagian dalam kompleks Wat Phra Kaew yang ternyata merupakan penggambaran epos Ramayana. Lalu ada pula detail Garuda yang sedang mencengkeram dua ular naga, yang mengingatkan saya pada cerita pencarian Tirta Amerta. Dan juga kubah Dusit Maha Prasat yang desainnya merupakan permodelan dari Puncak Meru, yang dalam mitologi Hindu dipercaya sebagai pusat jagad raya. Begitu pula dengan adanya miniatur Gunung Kailasa tepat di barat daya Dusit Maha Prasat.

Buddha_Yodfa_Chulaloke_portrait
Raja Rama I Phutthayutfa Chulalok, perintis Dinasti Chakri. (sumber: Wikipedia.com)

Karena keterbatasan dana dan material, pada awal pembangunannya Grand Palace hanyalah terbuat dari kayu. Yang dikemudian hari diperkuat dengan bangunan-bangunan batu, setelah kerajaan Siam yang baru terbentuk tersebut mulai stabil.

Demi menambah material bagi istana barunya, Raja Rama I memerintahkan bawahannya untuk pergi ke Ibukota Lama Ayutthaya, yang telah hancur pada tahun 1767 akibat berperang dengan bangsa Burma. Ia menitahkan mereka untuk mengumpulkan sebanyak mungkin batu bata dari sisa ibukota tersebut, tanpa boleh mengambil satupun dari kuil-kuil yang masih ada. Sehingga dengan demikian sesungguhnya material asal Grand Palace di Bangkok adalah penyusun kota lama Ayutthaya.

Dan dengan berlalunya waktu, di kemudian hari Grand Palace tumbuh menjadi sebuah kompleks gemerlap yang menjadi permata bagi dinasti dan dan kerajaan yang dirintisnya.

DSC_0206
Pintu masuk Phra Mondop yang rumit dan cantik.
DSC_0196
Lambang Dinasti Chakri, berbentuk cakra dan berhiaskan angka sembilan, pada sebuah singgasana emas.

Wat Phra Kaew: Kuil Emerald Buddha

Biasanya begitu memasuki kompleks Grand Palace melalui Gapura Visetchaisri, pengunjung akan langsung diarahkan ke Kuil Emerald Buddha (Wat Phra Kaew) yang terletak di bagian timur laut.

Ini adalah bagian yang paling mencolok dari Grand Palace. Dimana gerombolan menaranya yang indah sudah bisa terlihat dari kejauhan. Perpaduan antara puncak keemasan chedi bergaya Sri Lanka, puncak mondop (mandapa/pendopo) bergaya Thai, puncak menara bergaya Khmer yang disebut prang, hingga atap Kuil Emerald Buddha yang terdiri dari genteng keramik berwarna  biru tua, kuning dan jingga.

IMG_1389
Kemuncak blink-blink dari Kompleks Wat Phra Kaew.

Bersiaplah untuk silau, mengerjapkan mata dan berdecak kagum selama mengunjungi kompleks ini pada siang hari. Karena luasnya lapisan keemasan serta detail-detail reflektif, yang memantulkan cahaya matahari ke segala penjuru.

Bagian ini memberi impresi dan ibarat penegas tentang kedudukan Raja Thailand yang merupakan penguasa terkaya di planet bumi. Hampir setiap jengkal dari kompleks kuil ini merupakan karya seni bernilai tinggi, yang untungnya bisa kita sentuh secara langsung.

DSC_0191
Chedi Sri Rattana, bergaya Sri Lanka.
IMG_6967
Silau man! Siap-siap kacamata, jika berkunjung di siang hari.

Dan kalau cukup jeli, sebagai orang Indonesia kita bisa melihat satu patung Buddha berbahan batu andesit yang diberikan kepada Raja Rama V Chulalongkorn, sebagai timbal balik pemberian patung gajah perunggu yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta. Patung Buddha tersebut terletak di sisi barat daya perpustakaan, Phra Mondop.

DSC_0181
Patung Buddha berbahan batu andesit, dari Borobudur Indonesia.

Dan bintang dari kompleks ini adalah sebuah patung Buddha yang terbuat dari sebongkah batu giok berwarna hijau tua. Sejarah tentang pembuatan patung ini tidaklah jelas, karena tidak ada satupun sejarawan yang bisa mendekati dan menelitinya lebih lanjut. Mengingat hanya Raja Thailand dan orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan mendekati patung ini.

Patung yang pernah saya bahas dalam postingan di sini, terhitung secara rutin tiga kali dalam setahun diganti kostumnya oleh Raja Thailand atau Putra Mahkota yang diberi mandat oleh Raja. Patung ini memiliki tiga set kostum berbahan emas sesuai pergantian musim, yaitu musim panas, hujan dan dingin. Dimana kostum musim panas dan hujan merupakan buatan Raja Rama I, dan kostum musim dingin dibuat oleh Raja Rama II.

DSC_0287
Replika Emerald Buddha, terbuat dari gelas hijau, disimpan di Wat Doi Suthep Chiang Mai. Gak bisa lihat aslinya? Lihat yang ini aja ya!

Dari dua kali kunjungan ke kompleks ini, sayangnya saya tidak pernah berhasil mengabadikan patung fenomenal ini. Karena letaknya yang jauh berada di ujung aula kuil, sementara kita hanya diperbolehkan melihatnya dari halaman luarnya saja. Pun ukuran patung ini hanya setinggi 66 cm, sementara ia diletakkan pada singgasana yang tinggi.

Area Tengah nan Ekletik

Jika kita keluar dari kompleks Kuil Emerald Buddha melalui gerbang sebelah selatan, maka kita akan tiba di area tengah Grand Palace. Dimana hampir semua bagian inti istana, terutama yang berhubungan dengan tahta kerajaan berada di sini. Pada area ini terdapat puluhan bangunan yang kesemuanya memilik arti penting dan filosofis bagi Dinasti Chakri.

IMG_6992
Phra Thinang Chakri Maha Prasat.

Phra Thinang Chakri Maha Prasat yang berarti Aula Singgasana Para Chakri yang Berpuncak Emas nan Agung merupakan salah satu bangunan yang paling mencolok di area ini. Berupa gedung bergaya ekletik yang didominasi cat putih gading pada dindingnya, berarsitektur eropa abad ke sembilan belas pada bangunan utamanya, dan memiliki desain atap khas tradisional Thai.

Gedung ini dibangun oleh Raja Rama V sekembalinya dari kunjungannya ke Singapura dan Jawa pada tahun 1875. Aula Singgasana ini selesai pada tahun 1882, dan saat ini lebih sering difungsikan sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu agung dari negara lain.

Apple-Chancery
Tentara yang bertugas menjaga Chakri Maha Phrasat Throne Hall.

Tepat di sebelah barat Chakri Maha Prasat, terletak bangunan lain yang tak kalah indahnya, yaitu grup Phra Maha Prasat yang salah satu bagiannya adalah Phra Thinang Dusit Maha Prasat.

Pada area ini dahulunya terdapat sebuah aula yang didirikan oleh Raja Rama I untuk merayakan penobatannya. Namun, pada tahun 1789 aula tersebut tersambar petir dan ludas terbakar. Dari kejadian tersebut, Raja Rama I meramalkan bahwa Dinasti Chakri hanya akan bertahan hingga 150 tahun ke depan. Seorang putri yang hidup pada masa itu, mencatat ramalan sang raja dalam jurnal pribadinya.

Bertahun-tahun kemudian Raja Rama V membaca catatan tersebut, dan merasa bahwa jangka 150 tahun itu terlalu pendek dan tidak mungkin. Namun pada akhirnya ramalan itu terbukti, ketika pada tahun 1932 terjadi kudeta tak berdarah, yang mengakhiri kekuasaan absolut Raja Siam, dan mengubah sistem kerajaan menjadi monarki konstitusional.

IMG_6991
Dusit Maha Prasat Throne Hall, dan kemuncak emasnya.

Phra Thinang Dusit Maha Prasat, merupakan sebuah aula yang didesain beratap tinggi ibarat gunung, untuk merepresentasikan Gunung Meru, yang dipercaya sebagai pusat jagad raya dalam mitologi Hindu.

Puncak menara emasnya yang tinggi dibagi menjadi tiga bagian. Bagian dasar berupa tujuh lapisan bertumpuk, yang melambangkan tingkatan swarga. Bagian tengah berbentuk seperti lonceng, yang diibaratkan sebagai stupa dimana abu sang Buddha disimpan. Dan bagian atasnya yang menyerupai puncak chedi, diambil dari bentuk tetesan embun yang merepresentasikan pembebasan dari Samsara atau lingkaran kelahiran kembali. Menara emas tersebut disokong oleh empat Garuda pada sisinya, sebagai simbol martabat Raja.

Pada saat ini, Phra Thinang Dusit Maha Prasat difungsikan sebagai tempat persemayaman para Raja, Ratu dan keluarga inti Kerajaan. Biasanya jenazah para bangsawan tersebut disemayamkan di aula ini selama seratus hari sebelum diperabukan.

Boromphiman dan Tragedi Wangsa Chakri

Aula Singgasana Boromphiman pertama kali dibangun oleh Raja Rama V Chulalongkorn untuk Putra Mahkota pertama Siam, Pangeran Maha Vajirunhis. Namun, sebelum sang pangeran sempat menempati kediaman resminya ini, ia terlebih dahulu meninggal pada usia 16 tahun akibat terserang penyakit typhus.

Selanjutnya bangunan ini ditempati oleh Pangeran Vajiravudh yang dikemudian hari naik tahta menjadi Raja Rama VI. Sementara, Pangeran Prajadhipok pun sempat bertempat tinggal pada bangunan ini, beberapa hari menjelang penobatannya sebagai Raja Rama VII.

640px-Boromphiman_Palace
Aula Singgasana Boromphiman (Phra Thinang Boromphiman), bangunan residensial paling besar dan modern pada masanya, di Grand Palace. (sumber: Wikimedia.com)

Pada masanya, gedung ini merupakan bangunan paling modern di seantero kompleks Grand Palace. Desain khusus disiapkan sehingga bangunan ini bisa menerima kehadiran motor dan mobil di sekitarnya. Meskipun bangunan ini dari luar terlihat bergaya arsitektur barat, namun bagian dalamnya murni menggunakan gaya tradisional Thai. Pada bagian utama aulanya, tepat di bawah kubahnya dilukiskan gambar empat dewa –Indra, Varuna, Agni dan Yama– yang kesemuanya menggunakan pendekatan tradisional Thai.

Setelah Pangeran Ananda Mahidol naik tahta sebagai Raja Rama VIII, dan sekembalinya ia dari menuntut ilmu di Swiss pada bulan Desember 1945, ia menjadikan Aula Singgasana Boromphiman sebagai kediaman resminya. Di sini ia tinggal bersama adiknya Bhumibol Adulyadej (dibaca: Phumipon Adunyadet) -yang dikemudian hari menjadi Raja Rama IX-, dan ibundanya Ibu Suri Srinagarindra.

ananda-mahidol1-a
Raja Rama VIII Ananda Mahidol yang telah naik tahta sejak usia 9 tahun, beserta sang adik Pangeran Bhumibol Adulyadej yang dikemudian hari naik tahta sebagai Raja Rama IX.

Namun sayang, pada pagi hari tanggal 9 Juni 1946, sebuah tragedi berdarah mencabut nyawa muda sang raja. Ia tewas bersimbah darah dengan luka tembak pada kepala, di atas ranjang istananya. Begitu banyak spekulasi dan teori yang berkembang. Mulai dari skandal pembunuhan, kecelakaan tak sengaja, hingga bunuh diri.

Beberapa fakta janggal terkumpul selama penyelidikan yang berlarut-larut, baik yang diungkap secara resmi maupun tidak. Yang membuktikan bahwa sejatinya sang raja tewas terbunuh ketika sedang lelap tertidur, dan bukan bunuh diri.

Secara resmi Kerajaan Thailand menyatakan jika sang raja tewas akibat kecelakaan. Namun begitu dua orang pelayan raja dan seorang sekretaris pribadi raja diseret ke meja hijau sebagai tersangka dan kemudian dijatuhi hukuman mati. Peristiwa tersebut menjadi salah satu tragedi terbesar yang melukai wangsa Chakri.

IMG_6968
The Royal Pantheon, dengan kemuncaknya yang bergaya Khmer.
IMG_1439
Tiga stupa bernuansa biru, bergaya Khmer atau disebut Prang dari Phra Atsada Maha Chedis (seluruhnya berjumlah delapan).
IMG_6999
Puncak-puncak kompleks Wat Phra Kaew dan kemacetan di sampingnya.

Setelah Raja Rama IX Bhumibol Adulyadej naik tahta menggantikan kakaknya, ia memilih untuk tidak tinggal di kompleks Grand Palace. Melainkan menjadikan Kompleks Istana Chittralada di daerah Dusit sebagai kediaman resminya.

Namun begitu, hingga kini Grand Palace tetap berfungsi sebagai Istana bagi upacara-upacara besar kerajaan dan keagamaan, serta tempat menerima dan menjamu tamu-tamu agung Kerajaan Thailand.(br)

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

80 thoughts on “Grand Palace: Antara Kemegahan dan Tragedi

  1. Dulu ke Grand Palace kebengong-bengong melihat isi dalamnya sampai ga tau kalau ada tragedi berdarah kematian raja. Suka sekali sama Grand Palace, tapi cukup sekali aja deh masuk ke situ. Tiketnya mahal! Hahahaha… :p

    Liked by 1 person

    1. Nah itu karena tiketnya mahal, harus didalami benar-benar. Dan itu tiket udah sekalian dengan Kompleks Istana Dusit.

      Udah sempat ke Vimanmek Mansion dan Anantha Samakhom Throne Hall di kompleks istana Dusit khan?

      Like

      1. Dan aku dikira orang Korea, masa dikasih brosur pake bahasa Hangeul. Jadi terpaksa deh aku belajar bahasa Korea buat bikin tulisan ini hahaha … *mulai ngayal*

        Like

      2. Memang sih biasanya yang dikira warga lokal trus gak bayar itu sifatnya untung-untungan, tapiii kalau aku pribadi sih mendukung untuk membayar tiket, kawasan wisata manapun. Karena dengan begitu, kita membantu mereka untuk menjaga objek wisata yang kita kunjungi.

        Liked by 1 person

      3. Guilty but pleasure ya? Hahaha ,,, ya kalau gak sengaja dan gak tau mah gak papa lah. Asal jangan emang disengajain banget. Hmmm kira-kira kalau ke Buckingham Palace, bisa gak ya pake trik macam ini? 😀 *lalu ditangkap MI6*

        Like

  2. Kece banget tulisannya mas!
    Waktu ke sana malah gak sempat masuk saking mepetnya waktu >.< kejar-kejaran mau ke Wat Pho dan Wat Arun. Begitulah kalo pergi rame-rame ya :p memang paling enak sendirian atau sama temen yang minatnya sama.

    Liked by 1 person

    1. Makasih Yan ,, haha iya biasanya orang kemari agak kejar-kejaran. Kalau aku waktu itu sengaja ngambil waktu satu hari khusus untuk ke Grand Palace, pas ada sisa waktu baru berkunjung ke yang lainnya … Bener, paling enak emang jalan sama teman yang minatnya sama, atau jalan sendiri. Atau sama teman yang minatnya beda juga gak papa, asal anaknya asik bisa pisah sementara dulu untuk ngejalanin minat masing-masing.

      So, ditunggu ya kisah lanjutan jalan2mu ke HK 🙂

      Like

  3. Duh di fotonya kok kelihatan sepi yak,,, jepretanku banyak yang bocor karena banyak manusia,,, dah kayak cendol hahahaha…

    Ah kalau tragedi di mana-mana royal family pasti ada prahara rumah tangga… Itu fotonya kayak jamanku cilik, aku dulu juga imut dan ganteng loh haha

    Liked by 1 person

    1. Iya dooong, pas motret aku minta Grand Palace nya dikosongin! 😀

      Sebenarnya ada kisah lanjuta, yang lebih underground gitu soal terbunuh nya Raja Rama VIII tapi jangan deh, terlalu berspekulasi. Bisa-bisa nanti aku jadi penulis teori konspirasi jadinya.

      Ya iya lah, waktu kecil imut. Nak saiki piye Lid? hehe

      Like

      1. Eh ya bener loh, aku juga pas ke sana kayak cendol saking ramenya. Ini pagi sekali atau sore sekali diambil fotonya mas? atau emang tuh orang pada diusir ya hahaha

        Like

      2. Sebenarnya sih, ini juga pas lagi rame-ramenya. Cuma aku nungguin moment yang pas aja. Begitu agak kosongan, langsung jepret. Seingatku ini siang menjelang sore, aku masuk setelah makan siang. Jam-jam segitu Grand Palace jarang sepi, terutama area Wat Phra Kaew, ditambah pula untuk warga Thai mereka bebas melenggang masuk tanpa tiket …. hahaha ya kali aku sanggup bayar buat kosongin Grand Palace 🙂

        Like

    1. Memang kalau mau masuk ke Grand Palace ada aturan berpakaiannya, cuma seingatku sewa celananya gak terlalu mahal, dan semacam deposit aja. Aku lupa detailnya kalau itu hehehe …

      Lain kali ke Bangkok, coba masuk dan eksplor. Keren mas, gak rugi deh 🙂

      Like

  4. Baru tahu cerita kelam Raja Rama VIII dari tulisanmu ini, Bart! Pertama masuk Grand Palace aku juga mengganga, takjub dengan istana yang istana banget, langsung miris dengan kejayaan kerajaan2 di Indonesia nggak ada yang bisa meniru kekokohan Siam. Lah yg patung Buddha pernah ambil gambarnya tp baru tahu juga kalo itu barteran dengan patung Gajah di Munas hahaha. Jd pingin balik sana lagi buat cermati satu-persatu deh. 😀

    Liked by 1 person

    1. Siiip, semoga ini bisa jadi info menarik buatmu dan yang lainnya ya Lim.

      Hmmm sebenarnya sih pada waktu Siam berdiri, ada beberapa Kerajaan di Indonesia yang sedang berjaya, tapi entah kenapa yang di Indonesia pada akhirnya mengecil dan runtuh.

      Aku percaya bahwa setiap bangsa itu ada masanya. Karena jauh sebelum Siam berdiri di abad ke 18 itu, mereka punya kerajaan-kerajaan besar lainnya seperti Lanna, Sukhotai, Ayutthaya. Dan Indonesia sendiri punya sejarah panjang dan agung melalui Sriwijaya, Majapahit, Sunda dll. Cuma memang sih kita acungi jempol dengan kepiawaian Thailand menjaga warisan budayanya.

      Naah patung Buddha itu menarik lho sejarahnya. Jadi pada masa itu Raja Rama V pernah berulang kali berkunjung ke Indonesia. Salah satunya ke kota Bogor. Dan beliau selalu menginap di Hotel Belle Vue, yang saat itu merupakan hotel favorit di Buitenzorg dan seantero Hindia Belanda. Sayang aku lupa nunjukkin lokasi hotel itu dimana sekarang.

      Hotel itu disebut di banyak catatan traveler yang pernah mengunjungi Buitenzorg, dan dipuji kestrategisan letaknya.

      Dan ternyata Raja Rama V itu membuat jurnal pribadi (dengan bantuan putrinya yg menjadi sekretaris pribadi), tentang kunjungannya ke tanah Jawa. Itu ada bukunya. Aku penasaran pengen cari dan baca. Pasti menarik melihat jurnal perjalanan dari sudut pandang raja.

      So, kapan mau balik lagi ke Bangkok Lim?

      O iya, bocoran dikit. Sukhumband Paribatra yang menjadi walikota Bangkok saat ini, ternyata kakeknya adalah Pangeran Paribatra (putra Raja Rama V), yang pernah diasingkan dan meninggal di Bandung. Coba cari tempat yang namanya Bunderan Siem di daerah Cipaganti, nah itu dulu merupakan villa kecil untuk pengasingan sang Pangeran.

      Sebenarnya banyak hal yang masih pengen aku tulis semalam, cuma pas aku lihat udah sampai 2000 kata, yowis tak lanjut kapan2 aja 😀

      Liked by 1 person

      1. Menarik ya ternyata ada keterikatan yang kuat semenjak dulu, antara Siam dan Indonesia terutama dengan Buitenzorg. Hotel Belle Vue –> ini nama kok jadi terngiang-ngiang di kepala hahaha, mesti dibawa ke situ pas balik Bogor lagi nih. Wait wait… jadi Pangeran Paribatra meninggal di Bandung? Tapi makamnya di mana? Ini kayanya mesti kamu tulis jadi satu tulisan khusus biar aku nggak banyak nanya di kolom komentar 😛

        Like

      2. Yup menarik banget. Bahkan dengan beberapa Kerajaan lainnya, seperti Kesultanan Yogyakarta, Surakarta termasuk kepangeranan di sekitarnya.

        Siap, kalau ke Bogor aku ajak ke tempat bekas Hotel Belle Vue. Tapi siap-siap kecewa ya melihat sekarang tempat itu jadi apa.

        Nah soal Pangeran Paribatra ini perlu aku jawab di sini atau nggak? Kalau nunggu aku cerita, harus nunggu lho hehehehe

        Like

  5. Istananya megah. Namun saya tidak terlalu kaget melihat ada napas Hindu dalam peninggalan Budha sebagaimana di sini napas Budha kentara betul ada dalam peninggalan Hindu :hehe, sebab seperti kata Mpu Tantular, “Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal” :hehe. Setidaknya itu yang kami yakini :)). Tulisan ini bagus banget Mas, dari cerita terus deskripsinya semua terjalin dengan sangat rapi. Saya baru tahu soal arca Buddha yang jadi hadiah barter patung gajah di depan Museum Nasional :hehe, ia ditempatkan dengan sangat baik sekali, meski agak kontras, batu andesit dengan semua gemerlap emas di sana :)).

    Liked by 1 person

    1. Gara, boleh dong diartikan petikan kalimat dari Mpu Tantular itu artinya apa? Aku penasaran …

      Terimakasih Gara, untuk pujiannya 🙂

      Nah justru itu, karena kontrasnya dan letaknya langsung mengarah ke arus pengunjung, patung Buddha itu pasti mudah terlihat.

      O iya, patung gajah dari perunggu itu dibuat sebanyak dua buah. Satu disimpan di depan Museum Nasional, dan satu lagi di Singapore. Namun Raja Rama V dalam kunjungannya yang kedua ke Batavia menyatakan bahwa dia sangat menyukai cara penempatan di Tanah Jawa, dibandingkan cara penempatan yang di Singapore. Kesannya pemberian beliau tersebut, terasa lebih suci.

      Raja Rama V mencatat dalam jurnal perjalanannya juga, bahwa beliau sempat menyangsikan urutan kisah Ramayana yang dipasang di Prambanan (saat itu Prambanan sedang direnovasi, dan beliau sempatkan untuk berkunjung). Menurut beliau, jika dibandingkan dengan urutan kisah Ramayana yang dipasang di Wat Phra Kaew, ada beberapa panil yang tertukar dan terbalik.

      Aku saat ini lagi penasaran banget pengen cari naskah buku catatan perjalanan Raja Rama V ke tanah Jawa yang sampai dua kali ini. Pasti asik khan baca catatan perjalanan dari sudut pandang Raja, sudah begitu ia bercerita soal tanah Jawa pula 🙂

      Liked by 1 person

      1. “Karena sebenarnya tattwa (inti) dari Jina (Buddha) dan Siwa itu adalah satu”.
        Heei, iya, soal penempatan relief, dari penelitian Lydia Kieven ada beberapa candi yang reliefnya sengaja ditidakurutkan karena ada pesannya tersendiri. Jadi kalau memang benar ada relief Candi Siwa dan Candi Brahma yang urutannya berbeda dan itu bukan karena saat restorasi pemasangan kembali reliefnya khilaf, kemungkinan besar ada artinya sendiri mengenai itu. Cuma kalau saya tak salah ingat, beberapa kali saya ke Prambanan, reliefnya baik-baik saja dari segi urutan… ataukah varian Ramayana di Indonesia memang ada pelintirannya dibandingkan hasil karya Bhagawan Walmiki?

        Like

      2. Makasih Gara untuk translasi petikan Mpu Prapanca nya.

        Aku jadi ingat waktu di Nepal, ada salah satu orang lokal yang bilang: di Nepal, seorang Buddha bisa berdoa di kuil Hindu. Meskipun tidak sebaliknya, karena pada dasarnya orang tua Siddharta adalah seorang Hindu juga.

        Nah itu, pasti Raja Rama V menulis alasannya pada jurnal pribadinya. Hmm bisa jadi juga Ramayana versi Indonesia, sedikit berbeda dengan versi Thai.

        Aku jadi penasaran juga sih, pengen tau tepatnya di bagian mana Sang Raja merasa panil itu tertukar urutannya.

        Liked by 1 person

      3. Hmm, kali ini saya yang mesti berterima kasih soal kata-kata orang lokal di Nepal itu karena sepertinya itu yang selama ini saya cari-cari :hore. Terima kasih banyak! Astaga, banyak-banyak terima kasih!
        Hmm, misterius sekali. Nanti kalau saya sudah lebih sehat, kayaknya saya mau coba cari bukunya. Semoga ditemukan :amin.

        Liked by 1 person

      4. Wah begitu ya, ternyata kalimat orang Nepal tadi begitu berarti buatmu? Senang lihatnya …

        Gara, siapapun di antara kita yang terlebih dahulu menemukan buku itu, jangan lupa harus bagi-bagi yaaa hahahaha 😀

        Liked by 1 person

  6. Menarik sekali deskripsi dan lengkap dengan sejarah berdarah-nya. Kadang hal-hal yang tersembunyi seperti ini jadi menarik untuk dibahas – sampai jadi bahan gosip dan cerita fantasi 🙂 Moga-moga bisa ke sana suatu saat nanti 🙂

    Like

    1. Iya mbak. Habis mau nulis soal jalan-jalan ke Grand Palace aja, udah terlalu banyak yang ngebahas.

      So aku ambil sedikit cerita, yang masih jarang orang tahu. Lagipula, memang kisah-kisah para bangsawan itu selalu menarik untuk dibahas, digosipin dan diceritakan ulang hehehe

      Amiin amiin, semoga suatu saat nanti dirimu bisa kesana ya mbak 🙂

      Like

    1. Mungkin karena kejadiannya sudah lama juga ya, sekitar 69 tahun yang lalu. Walaupun begitu ini salah satu kejadian menyedihkan yang menimpa Kerajaan Thailand, karena Raja Rama VIII menjadi satu-satunya Raja mereka yang meninggal dengan cara tragis.

      Like

      1. Untuk yang satu ini sih sepertinya bukan perseteruan keluarga atau konflik politik, mengingat sang raja masih sangat muda, dan pemerintahan dilaksanakan oleh seorang regent. Lebih ke murni kecelakaan, namun menyeret beberapa orang yang apes untuk ditumbalkan menjadi ‘pelaku’.

        Like

      2. menurut saya kenapa sang raja muda harus mengalami “kecelakaan” itu? misterius banget kan… tp sepertinya misteri ini akan dipendam dalam2 secara kerajaan thai agak tertutup kan kalo ada masalah dalam keluarga mereka

        Like

      3. Hmm ada beberapa artikel underground dan tulisan terbuka yang menganalisa bahwa raja muda ini meninggal akibat ulah ‘becanda’ yang salah waktu dari sang adik. Pas apes, senjatanya meletus di dahi sang raja. Jadi bukan sengaja dibikin celaka …

        Dan betul soal itu, karena mereka menganut prinsip hokum lese-majeste maka masalah-masalah yang sekiranya bisa mencemarkan nama keluarga, akan mereka tutup rapat-rapat.

        Liked by 1 person

      4. ya mas… kewibawaan kerajaan di atas segala2nya…
        btw itu kok kayak di negeri kita, yg ada dua kakak beradik main pistol, eh..ibu negara langsung kumat sakit jantungnya…. #ups..

        Like

      5. Hahaha, nah kalau ini kakak adik suka main pistol2an. Kalau bangunin sodaranya yang lagi tidur pake acara main todong-todongan. Nah si kakak lagi kurang sehat, ditodong sama adiknya suruh bangun, gak sengaja menyalak senjatanya, maka terjadilah yang seharusnya terjadi … tragis. Tapii ini berita tak resmi yang tidak akan pernah dikonfirmasi kebenarannya. Cuma Tuhan dan mereka saja yang tahu 🙂

        Liked by 1 person

  7. Ah cocok sekali iamenyandang gelar Grand Palace. Agung sekali bangunannya. Mungkin tragedi dalam keluarga kerajaanbagian asib yg tak bisa mereka hi dari ya…:)

    Like

  8. Khop khun kha.. 🙂
    saya ke Grand Palace Tanggal 17 Agustus, saya juga ke Vinmanek Mansion tapi hanya sampai depan. ternyata hari itu tutup karena berdekatan dengan perayaan hari Ibu (hari lahir Ratu).
    tiket masuk Grand Palace bisa dipake ke Vinmanek juga kan ya..
    sayang bgt wktu itu sy datang di hari yang ga tepat.
    sebelumnya juga saya ke Doi Suthep, Chiang Mai, tapi kurang memperhatikan patung yg terbuat dari giok hijau itu, hheh

    Liked by 1 person

    1. Sabai dee mai khrap? 🙂

      Iya tiket Grand Palace juga jadi satu dengan tiket Museum Koin dan Regalia di Grand Palace, tiket Vimanmek Mansion dan kelompok Istana Dusit lainnya, termasuk Ananda Samakhom Throne Hall.

      Mungkin lain kali kalau ke Bangkok bisa dicoba ke point2 itu, karena keren banget.

      Ooo udah sampai ke Doi Suthep juga?

      Makasih udah berkunjung dan tinggalkan pesan di sini ya 😊

      Like

  9. waktu dulu mau berangkat solo traveling ke kamboja ada temen bilang, “nggak usah masuk istana phnom penh, masih bagusan istana bangkok.” dan akupun termakan omongan temanku itu, nggak jadi masuk istana kamboja.

    tapi sampai 72 purnama berlalu, belum kesampaian juga main ke istananya raja bhumibol ini hahaha, yasalam! malah mainnya ke istana boneka di dufan 😛

    Liked by 1 person

    1. (((ISTANA BONEKA)))

      Padahal masuk mah masuk aja, meskipun Grand Palace Phnom Penh gak semegah yang di Bangkok, pasti ada sisi sejarahnya yang menarik untuk diulik.

      Berarti ini saatnya ngatur rencana main ke Bangkok lagi mas, sekalian masuk ke Grand Palace nya 🙂

      Like

    1. Aku udah lupa berapa, berapa ratus ribuan gitu. Masih terjangkau sih, tapi dibanding tempat lain, memang agak mahal.

      Hmmm tempatnya luas, aku pernah di situ 3 jam belum beres. Tapi udah cukup puas lah 2 jam an. Tergantung kecepatan jelajah dan nguliknya Chocky. Kalau yg demen merhatiin detail sih bisa lebih lama.

      Like

  10. menarik baca ulasanya mas nya dan menambah wawasan, ngak sia2 saya kesana meski pun harus berjuang dengan banyak orang kebetulan dalam masa berkabung , jadi tambah sumpek tapi setidaknya bisa masuk dan melihat kemegahan nya

    Liked by 1 person

  11. Kita dengan Kerajaan Khmer juga punya kaitan sejarah dari masa Wangsa Syailendra, dimana Pangeran Khmer Suryavarman atau Jayavarman kalau tidak salah pernah dibawa ke Tanah Jawa, setelah dewasa dia kembali ke tanah kelahirannya di Kamboja dan menajdi raja di Kerajaan Khmer Kuno.

    Liked by 1 person

Leave a comment