Nepal (8): Dusk in the City of Newar

Sore telah jatuh, dan bayangan mulai menghilang dari ujung kaki-kaki kami. Demi mengejar waktu sebelum gelap senja menjebak, Roshan segera membawa kami ke Dattatreya Square. Sebuah pusat kota lainnya, dimana Kuil Dattatreya berada.

Dibangun pada tahun 1427 M atas perintah Raja Newar kala itu -Yaksha Malla-, kuil ini berbentuk pagoda bertingkat dua. Memiliki satu teras dengan tiki jhyas (kisi-kisi) yang menjorok keluar pada tingkat duanya. Pada bagian depan, ia dijaga oleh sepasang patung pegulat Rajput -Jaimal dan Phatta-. Tangga masuknya tak begitu tinggi, hanya sekitar sembilan undakan saja. Sementara satu patung Garuda yang bersimpuh dengan tangan mengapurancang, dibangun pada kolom batu yang menghadap ke pintu masuknya.

IMG_3387
Kuil Dattatreya, di tengah kepadatan Bhaktapur kini.

Kuil ini dibangun untuk Dattatreya, sebuah perwujudan Trimurti, perpaduan kekuatan dari Shiwa, Wishnu dan Brahma. Dipercaya bahan kayu yang digunakan untuk membangun kuil ini, hanya berasal dari sebatang pohon saja. Selain ukiran kayunya yang detail, keunikan kuil ini terletak pada adanya ukiran erotis yang terpateri pada tembok bagian luarnya.

Bangunan Istana Kerajaan Newar yang lama juga terletak pada area ini, bersama dengan beberapa museum yang masih beroperasi hingga kini. Kabarnya Kuil Dattatreya termasuk yang bisa menyintas bala gempa Nepal April 2015 lalu.

DSC_0071
Deretan lampu persembahan di depan kuil.

Chakra Mandala dan Momo dalam Labirin

Senja mulai merayap dan suhu semakin dingin ketika Roshan membawa kami menyusuri labirin-labirin Bhaktapur. Gang-gang sempit itu berbatas bata merah lembab dan dingin, dengan aksen pintu serta jendela kayu berukir yang tampak renta. Menyiratkan umur kota yang tak lagi muda. Konon desain dan bahan yang digunakan untuk membangun Bhaktapur telah disesuaikan dengan iklim yang ada. Pada musim panas, ruangan-ruangan di dalam rumah akan terasa dingin, sedangkan pada musim dingin yang membeku akan menyimpan kehangatan yang cukup.

IMG_3301
Saya dan Roshan di lorong Bhaktapur.

Pada satu tikungan sempit saya melihat sebuah gallery Thanka, yaitu kerajinan khas Nepal yang dipengaruhi budaya Tibet. Berupa lukisan atau bordiran yang dibuat pada selembar sutra atau bahan lainnya. Biasanya bergambar dewa dewi Buddha, pemandangan atau Mandala. Kata thanka sendiri kemungkinan berasal dari kata-kata Tibet “thank yig”, yang artinya catatan tertulis.

Dalam film Samsara arahan sutradara Ron Fricke, yang merupakan sequel dari Baraka, ada adegan dimana beberapa orang biksu Tibet bersama-sama membuat Mandala pasir.

Dalam kepercayaan Buddha-Tibetan, mandala pasir adalah sesuatu yang unik dan dapat memberikan efek pemurnian serta penyembuhan. Biasanya seorang guru akan memilih desain mana yang akan dibuat. Lalu para biksu akan merancangnya dengan bantuan musik dan mantra-mantra tertentu. Dalam hitungan hari, mandala tersebut akan diisi dengan detail-detail yang terbuat dari pasir, dan setelah beres akan dihancurkan kembali dengan aliran air. Fungsi mandala ini bagi mereka adalah untuk mengubah akal yang biasa-biasa saja menjadi yang tercerahkan.

Berdasarkan kitab suci Tibet, mandala pasir memancarkan energi positif ke lingkungan dan orang yang melihatnya. Ketika membuat mandala, para biksu merapalkan mantra dan bermeditasi untuk memohon kekuatan dewa yang berada di dalam mandala. Kekuatan penyembuhan mandala menyebar ke alam sekitarnya, bahkan sebelum mandala itu disapu oleh aliran air, sebagai ekspresi lebih jauh untuk membagi  berkah dari mandala.

Terlepas dari itu, dan perbedaan keyakinan yang saya miliki, mandala-mandala yang dihasilkan oleh mereka terlihat sangat artistik dan menarik.

DSC_0028
Contoh Chakra Mandala yang terbuat dari -semacam- pasir berwarna. Jika dilihat dari atas, terlihat efek 3D nya.

Tibet adalah tanah impian saya sejak kecil. Sehingga apapun yang menjadi bagiannya, membuat semangat saya bergelora. Saya berkeliling dan mengamati kerja para seniman yang sedang menyelesaikan karyanya di gallery tersebut. Dan kemudian menanyakan apakah mereka mempunyai Chakra Mandala yang bisa saya beli dengan harga cukup terjangkau serta dalam ukuran yang tidak terlalu besar.

Pemilik gallery kemudian menunjukkan pada saya beberapa gulungan Chakra Mandala dalam ukuran persegi yang berdimensi sekitar 30 x 30 cm.

“Setiap Chakra Mandala ini memiliki arti dan peruntungan yang berbeda-beda. Coba amati detailnya dengan kaca pembesar!”, sembari ia menyodorkan sebuah kaca kanta berukuran kecil.

Luar biasa, detail Chakra Mandala itu terlihat sangat menakjubkan, dan muncul ibarat gambar 3D di bawah kaca pembesar. Saya tak bisa membayangkan bagaimana ketelitian sang seniman dalam mempersiapkannya. Deretan gambar manusia, hewan dan detail-detail lainnya yang ukurannya cukup renik, tertata mengikuti lingkar dan persegi berpola.

“Karya yang sedang kau pegang ini, dibuat oleh seniman yang hampir buta”, ujar pemilik gallery menambahkan.

Terlepas dari kebenaran info terakhir itu, saya sangat terpesona dengan keindahan Chakra Mandala yang sedang saya pegang. Dan setelah mengamati pada desain yang lain, akhirnya Chakra Mandala itulah yang saya ambil.

Pemilik gallery sempat menerangkan, bahwa Chakra Mandala yang saya pilih itu berfungsi untuk memberikan kesejahteraan dan peruntungan bagi pemiliknya. Tapi bagi saya, tak lain alasan membelinya adalah karena keindahan seninya semata. Selain itu, saya berpikir bahwa membeli karya-karya pengrajin lokal adalah salah satu sumbangan saya bagi daerah setempat. Dengan itu mereka bisa tetap eksis dan berkembang.

Selama harganya masih realistis dan masuk ke dalam budget, kenapa tidak? Lagipula ini adalah sebuah karya indah yang saya dapatkan langsung di tanah yang jauhnya tak terkira dari Indonesia.

DSC_0031
Para seniman Thanka sedang menekuni karya mereka.

Bhaktapur semakin tenggelam dalam senja yang redup. Lorong-lorongnya mulai menyisakan gelap yang panjang. Kami sempat melewati sebuah tegalan sempit yang ditumbuhi gerombolan padat bunga Sarsu yang  telah menguning. Juga sebuah masjid Jami. Saya cukup terkejut mengetahui adanya masjid ini, karena ketika saya meriset perjalanan ini, sama sekali saya tak menemukan satupun info tentang adanya masjid di dalam kota tua Bhaktapur.

Perjalanan kami bersama Roshan berakhir di Taumadhi Square. Tepat di tempat yang sama ketika kami bertemu tadi siang. Setelah memberikan sejumlah uang yang menjadi ongkos panduannya sesuai perjanjian, sedikit tips serta bertukar nomor kontak, kami berpisah dengannya.

Selanjutnya saya dan travelmate saya, menyempatkan diri untuk menyusuri Bhaktapur yang telah gelap ditelan senja. Penerangan yang menyinari kota tua itu tampak seadanya. Tak banyak dan juga tak terlalu terang.

Namun begitu kemeriahan belum juga hilang dari Taumadhi Square. Ratusan orang lokal dan beberapa turis masih berlalu lalang. Sebagian mencari makan malam, atau beberapa liquor yang bisa menghangatkan tubuh yang semakin didera beku.

Dalam perjalanan pulang, menuju guest house, kami mampir pada sebuah kedai Momo. Ah, belum lengkap datang ke Nepal kalau belum mencoba makanan satu ini!

IMG_4075
Momo yang lezat dan menggoda.

Yaitu semacam dumpling berisi daging kerbau, ayam atau sayuran yang dimakan beserta siraman bumbu khas Nepal. Bayangkanlah, segumpal daging cincang berbumbu lezat dilindungi oleh selapis kulit momo yang lembut. Kuahnya juga berempah, tidak terlalu kuat seperti bayangan saya, meskipun warnanya kuning pekat. Disajikan dalam keadaan panas mengepul, cocok mengisi perut kami yang sudah kelaparan dan diserang beku.

Momo bisa ditemui hampir di seantero Nepal. Tersedia dalam pilihan vegetarian atau non-vegetarian. Dan harganya pun sangat murah. Malam itu kami menyantap seporsi momo yang mengenyangkan, hanya dengan ongkos setara lima ribu rupiah saja. Perut kenyang, hati puas dan dompet aman.

IMG_3992
Di depan Gerbang Emas Bhaktapur Durbar Square, sebelum berpindah ke Dattatreya Square.

Setelah ini masih ada sedikit cerita kami tentang Bhaktapur, sebelum berpindah ke Kathmandu dan menemui Mata Ketiga. Baca lanjutan kisah perjalanan kami di sini

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

27 thoughts on “Nepal (8): Dusk in the City of Newar

    1. Aku doain semoga kesampaian kesana ya Lim. Hmmm sebenarnya sih pengennya gitu, ini juga lagi kepikiran. Btw, kalau dah masuk ke blog gini, masih menarik gak untuk dibukukan?

      Bantu-bantu saran dong 🙂

      Like

      1. Biar seru harus bikin cerita dari sudut yang berbeda lagi. Tapi biasanya nih, kalau fokus nulis ke buku, penulis jadi pilih2 mo disimpan atau dipublish hihihi. Kudukung dirimu bikin buku pokoke bro 😀

        Liked by 1 person

      2. Mau nya sih gitu Lim, bikin novel perjalanan yang settingnya di Nepal. Cuma masalahnya aku belum terbiasa nulis cerita fiksi.

        Atau kalau nggak tetap menuliskan apa yang ada di dalam blog ini, cuma untuk buku diberi detail-detail tambahan yang berguna buat pejalan yang mau nyobain ke Nepal.

        Tadi juga kepikiran sih, kalau dibikin buku, sementara yang di sini belum beres. Nanti yang di sini tetap dilanjutkan atau gimana? Hahahaha galau tauuuu 😀

        Makasih untuk dukunganmu Lim. Aku pertimbangkan banget-banget ini 🙂

        Like

  1. Berasa ikut jalan-jalan di tengah udara dingin sambil melihat bentuk Hindu yang lain di salah satu sudut dunia. Apik tenan tulisannya, ini keren sekali. Mandala memang simbol pemujaan yang masih sangat sering digunakan dalam agama Budha ya, meski juga menarik sebagai cenderamata. Dan di Candi Sewu kalau saya tak salah kompleks bangunannya menuruti bentuk mandala itu. Ha, lengkaplah sudah, bisa berinteraksi dengan masyarakat sekitar, mencicipi makanan yang enak sambil menghidupkan ekonomi masyarakat lokal. Iya, yang kebanyakan digambar di lukisan itu Bodhisatva, rasanya pernah saya lihat tapi di mana, ya…

    Liked by 1 person

    1. Terimakasih Gara. Akhirnya dirimu muncul lagi setelah sekian lama hehe.

      O iya, aku lihat juga begitu ya, dan aku yakin kalau Sewu bisa dibangun kembali keseluruhan pasti keren. Akan menjadi kompleks candi berlabirin mandala.

      Liked by 1 person

      1. Iya, labirin Sewu memang asyik banget, megah, membingungkan, tapi misterius kalau sampai ada keunikan tersembunyi yang membedakan setiap sudutnya (relief bodhisatva atau dhyani buddha-nya, misal) :hehe. Semoga restorasinya berjalan lancar ya :amin.

        Liked by 1 person

      2. Sepertinya begitu, meskipun ada beberapa seperti Angkor Wat yang juga mendunia. Selain itu filosofi Hindu juga lebih banyak memberi pengaruh, bahkan ke candi-candi Buddha sekalipun.

        Liked by 1 person

  2. Halo, Mas.
    Senang sekali bisa ketemu blog ini. Keren dan lengkap.
    saya bisa minta kontak Dai Rishan? 11 – 24 Nov 2018 ini saya ingin ke Nepal. Hope that bisa ketemu dan dibantu oleh Roshan.
    BR,
    Yanti

    Liked by 1 person

Leave a comment