Menguak Misteri Kuliner Kalimantan di Signatures

Sampai saat ini, bagi saya Kalimantan adalah misteri. Pulau yang termasuk dalam lima pulau terbesar di Indonesia ini, masih belum terekam jelas dalam memori saya.

Hutan tropis yang lembab dan hijau, suku Dayak pedalaman dengan rupa dan riasan uniknya, serta hijau toska perairan yang masih asing terjamah adalah gambaran Kalimantan yang saya rekam dari media-media, selain pasar terapung di Banjarmasin yang terkenal itu.

Sehingga, ketika Signatures Restaurant dari Hotel Indonesia Kempinski Jakarta menggelar Indonesian Food Promotion yang merupakan festival masakan dari lima wilayah kuliner di Indonesia, tanpa ragu-ragu saya menunjuk Kalimantan sebagai pilihan. Demi mengenal pulau satu ini lebih dekat.

IMG_2121
Ruang makan semi indoor pada Signatures Restaurant.

Saya tiba di Hotel Indonesia Kempinski, pada jam makan siang di hari terakhir bulan Agustus 2015. Itu adalah kali pertama bagi saya menginjakkan kaki di hotel paling legendaris di Jakarta tersebut.

Meskipun sudah mengalami renovasi, namun tetap, bangunan utama hotel itu menguarkan nuansa enampuluhan yang kuat. Dingin dan gigantik. Dan saya gugup.

Namun, sambutan ramah staff penerima tamu, segera mencairkan perasaan itu. Dan semakin terasa santai begitu memasuki Signatures Restaurant.

Terletak pada lantai dasar hotel, Signatures Restaurant memiliki desain interior modern kontemporer yang menyajikan suasana makan yang menyenangkan. Atap-atap kaca disusun sedemikian rupa sehingga membebaskan cahaya matahari menghujani ruangan tanpa mengurangi kenyamanan pengunjung. Pelat-pelat logam berlubang bermotif daun menjadi separator elegan yang memisahkan area indoor dan outdoor. Sementara foto-foto duotone dari tahun enampuluhan menghiasi beberapa bagian dinding, demi menegaskan status legendarisnya. Termasuk imaji Presiden Soekarno, Marylin Monroe dan Presiden John F. Kennedy yang tercetak dalam ukuran besar.

IMG_2119
Bagian dalam Signatures Restaurant. Masih lengang ketika saya datang.

Demi menyajikan keotentikan kuliner Kalimantan, Signatures Restaurant mendatangkan langsung Chef Meliana Christanty dari Pangkalan Bun – Kalimantan Tengah, sebagai Chef de Cuisine di minggu keempat gelaran tersebut.

Meskipun berasal dari Jawa Tengah, dan masih terasa medok aksen Jawa dalam caranya bertutur, namun chef nan ramah ini telah dikenal luas dedikasinya dalam menjaga dan mengenalkan kuliner khas Kalimantan. Terhitung beberapa resep rahasia dari suku Dayak dan kerajaan di Kalimantan ia perkenalkan pada minggu itu.

IMG_2128
Chef Meliana Christanty yang mengenalkan saya pada kesedapan kuliner Kalimantan.

“Karena misi pribadi saya adalah memperkenalkan dan menjaga kelangsungan warisan kuliner tradisional Kalimantan”, ujarnya dalam wawancara pribadi melalui whatsapp beberapa hari kemudian bersama saya.

Selama satu minggu penuh, ia bersama team nya menyiapkan satu jenis soup, delapan hingga sepuluh jenis main course, dua jenis masakan di carving station dan dua hingga empat jenis dessert khas Kalimantan, yang berganti-ganti setiap harinya.

Empat Sekawan Pembuka

Dengan antusiasme tinggi, saya mulai menyibak misteri Kalimantan melalui indera pencecap. Sebagai pembuka saya memilih beberapa sajian dari cold kitchen nan eksotis, yaitu Rujak Ebi Singkawang, Lawa Mentimun, Lawa Gamai, dan Landau Lauk Pare.

Lidah saya mengenal rasa manis dan masam rujak jawa pada Rujak Ebi Singkawang. Namun ada aksen gurih udang terselip di antara buah-buahan yang menjadi pengisi utamanya. Karena memang rujak ini menggunakan petis dan terasi Kalimantan. Ditambah dengan ebi goreng yang dihaluskan sebagai taburan terakhir sebelum rujak ini disajikan. Sebuah pembuka yang cocok untuk menetralkan lidah yang pahit setelah terakhir bersantap di waktu sarapan!

Lawa Gamai yang merupakan hidangan khas Kesultanan Bulungan Kalimantan Utara, menambah satu khasanah baru pada masakan berbahan rumput laut yang pernah saya coba. Selama ini saya hanya menyantap bahan ini pada minuman segar semacam es campur dan masakan Jepang.

Lawa Gamai terdiri atas rumput laut yang diberi bumbu lawa -kelapa parut sangrai tumbuk, air jeruk nipis, gula pasir, garam, dan cabai rawit merah- dengan suwiran udang galah sebagai pelengkap. Menjadikan masakan ini ibarat jembatan menuju main course yang gurih dan lebih berat. Rasanya ringan dan samar, menuntun saya lebih dalam untuk menelisik kuliner Kalimantan. Tidak ada yang berlebih. Asin, manis, asam, pedas dan gurih berpadu pada komposisi yang pas, tanpa satu mendominasi lainnya.

IMG_5375
Empat pembuka khas Kalimantan yang istimewa. Dari kanan atas searah jarum jam: Lawa Mentimun, Landau Lauk Pare, Rujak Ebi Singkawang, Lawa Gamai.

Sementara Lawa Mentimun sedikit berbeda. Buah mentimun yang berkarakteristik hambar dan kaya air, diolah dengan bumbu lawa sehingga menaikkan citarasanya. Kesedapan mendera lidah, setiap kali irisan mentimun berbumbu tersebut pecah dalam kunyahan.

Dan dari semua pembuka tersebut, Landau Lauk Pare menjadi favorit saya. Normalnya saya tidak menyukai buah pare, namun demi mengenal Kalimantan dalam kesempatan yang langka itu, saya menantang diri sendiri untuk mencoba hidangan pembuka satu ini. Dimana buah pare mentah diolah dengan bumbu khusus sehingga merubah penampakannya seolah telah dalam kondisi setengah matang.

Dengan berhati-hati saya menyuap pembuka tersebut dan mengunyahnya. Tentu saja ia pahit. Getir menyebar. Namun, bumbu peramunya segera menghadirkan citarasa sedap.

Sungguh tak dinyana, dalam sekejap saya menandaskan Landau Lauk Pare. Anehnya, tak ada rasa pahit yang bertahan lama di lidah. Satu kalimat yang pantas dijadikan penyimpul dari kuliner satu ini: pahit sekejap, menyisakan sedap!

Sate Berkuah, Sambal Dayak hingga Soto Cassava

Ada sekitar sepuluh jenis main course yang dihidangkan pada hari itu. Tentu saja kalau mengikuti nafsu, saya ingin mencicipi semuanya. Dan ketika melihat jumlahnya yang cukup banyak, saya merasa harus mengatur strategi. Namun, pada akhirnya saya memilih untuk mencoba beberapa yang sekiranya paling unik saja.

“Coba Sate Ayam Melayu nya mas, unik banget lho! Saya ambilkan ya?”, tiba-tiba Chef Meliana muncul di samping saya yang sedang bingung di depan meja main course, dan mau memulai dari mana.

Dengan berbaik hati, ia mengambilkan satu porsi Sate Ayam Melayu untuk saya, sembari menjelaskan perihal tentang masakan tersebut. Sate yang berasal dari Malayu – Kalimantan Barat ini, ketika masih tertata di atas wadah saji, sekilas hampir tidak memiliki perbedaan dengan sate lainnya.  Namun, ketika seporsi sate tersebut sedang dipersiapkan oleh Chef Meliana, barulah terlihat keunikannya.

Jika pada umumnya sate disajikan hanya dengan disiram bumbu kacang, kecap atau oncom -seperti Sate Maranggi Jawa Barat-, maka Sate Ayam Melayu justru dihidangkan dengan kuah kaldu.

Mangkuk sate diisi dengan potongan ketupat, lalu disiram kuah kaldu. Beberapa tusuk sate ditaruh di atasnya, lalu ditaburi potongan daun bawang segar dan bawang goreng. Setengah potongan buah  jeruk limau ditambahkan, untuk penambah rasa dari kuahnya.

IMG_2066
Seporsi Sate Ayam Melayu, sedap dan unik.

Sate ini selain dibuat dari daging ayam juga bisa dari daging sapi. Dan kuah kaldu yang digunakan selalu mengikuti jenis daging satenya. Di tempat aslinya, jenis jeruk yang digunakan biasanya adalah jeruk Kit Kia atau Sengkit, yang merupakan jenis jeruk sambal Pontianak.

Sate Ayam Melayu terasa manis dan berempah, karena memang dimarinasi oleh bumbu yang cukup padat, termasuk ketumbar dan perasan jeruk Kit Kia. Sementara kuah kaldunya yang diberi kayu manis dan bunga pekak, terasa gurih dengan aroma yang menggoda. Originally unique!

Pada meja yang sama dengan Sate Ayam Melayu, saya melihat sebuah cobek batu yang berisi semacam bumbu yang telah dihaluskan. Ternyata itu adalah sambal khas suku Dayak Kahayan dari Kalimantan Tengah. Sambal Dadah Belasan namanya.

“Dadah artinya bakar, dan belasan artinya terasi!”, ujar Chef Meliana menjelaskan.

IMG_2054
Sambal Dadah Belasan, khas suku Dayak Kahayan.

Sambal yang terbuat dari cabai merah, bagian dalam daun serai, kemiri, bawang merah dan terasi ini memiliki penampilan yang semi padat dan berserat.

Bumbu penyusun sambal ini disiapkan melalui metoda yang berbeda-beda -mentah, goreng, bakar-, lalu dihaluskan menjadi satu. Setelah itu, sambal dilekatkan pada cobek tanah liat berukuran kecil dan dibakar langsung, dengan cara dibalik, di atas arang yang membara.

Pembakaran di atas arang ini selain berfungsi untuk menaikkan citarasa sambal, juga untuk memperkuat aroma terasi yang berada di dalamnya.

Biasanya sambal ini digunakan sebagai pelengkap dalam menyantap ikan atau ayam bakar. Namun, dimakan langsung dengan nasi pun sudah cukup sedap.

Saya mencoba sambal ini bersama beberapa kerat Iwak Baubar (ikan bakar) dan Iga Sapi Masak Habang a la Banjarmasin – Kalimantan Selatan, yang terhidang di carving station.

Masak habang sendiri maksudnya adalah dimasak dengan bumbu-bumbu dan cabe habang, atau cabai merah besar yang dikeringkan. Menurut Chef Meliana, biasanya yang bisa dimasak habang adalah bahan berdasar protein seperti telur ayam, telur bebek, daging sapi, daging bebek, ampela dan hati ayam atau bebek.

Meskipun dimasak dengan cabai, namun Iga Sapi Masak Habang ini tidak terlalu pedas di lidah. Bumbunya berpadu pas bersama keratan daging iga yang empuk dan juicy. Rasanya saya ingin menambah beberapa kerat daging iga ini, tapi karena masih ada beberapa jenis masakan lain yang belum saya coba, maka saya mengurungkannya.

IMG_2081
Soto Manggala, kaldunya ringan namun sedap.

Selanjutnya saya mencoba satu-satunya jenis soup yang dihidangkan hari itu. Soto Manggala dari Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Sesuai dengan namanya, Manggala yang berarti cassava atau singkong, maka soto jenis ini memang menggunakan umbi tanaman tersebut sebagai bahan utamanya, selain daging ayam sebagai bahan lainnya.

Di tempat asalnya, bagian ayam yang paling umum digunakan adalah kaki atau cekernya. Namun, khusus untuk di Signatures Restaurant, Chef Meliana memilih bagian dada ayam untuk dimasak dan disajikan.

Walau dibumbui dengan beberapa rempah, namun kaldu dari Soto Manggala ini terasa ringan di lidah. Kuahnya tak terlalu kental, meskipun mengandung singkong yang kaya pati. Saya sangat menyukai rasa soto ini, baik tanpa atau dengan sambal yang saya tambahkan. Dan sedikit perasan jeruk nipis, membuat soto ini terasa semakin sedap.

Bebek Masak Lo, yang merupakan masakan peranakan dari Pontianak, menjadi salah satu jenis main course yang saya coba selanjutnya.

Menurut saya, bebek adalah salah satu jenis daging yang agak tricky untuk diolah, karena seringkali terasa liat dan amis. Namun, teknik memasak yang digunakan oleh Chef Meliana, mampu menghasilkan masakan bebek yang sangat enak di lidah.

Dimasak dengan api kecil dalam waktu lama bersama bumbu yang diantaranya adalah bawang putih, lengkuas, dan mushroom soy sauce, menjadikan daging bebek pada masakan ini terasa lembut serta tak berbau amis.

IMG_2118
Kesibukan di Carving Station.

Menurut saya, secara umum masakan pembuka dan main course Kalimantan memiliki rasa yang ringan. Meskipun menggunakan banyak rempah, terkadang rasanya tidaklah setegas masakan dari wilayah lain seperti Sumatra, Jawa, Bali atau Sulawesi. Namun, begitu mungkin di sinilah letak daya tarik masakan Kalimantan. Samar dan misterius seperti tanahnya.

Dua Sejoli Penutup

Perut saya memang belum terasa penuh, namun saya memutuskan untuk segera berpindah ke menu penutup, karena saya tak ingin selera di lidah saya menjadi turun akibat kekenyangan. Saya melangkah ke meja dessert dan melihat-lihat apa yang sudah disiapkan hari itu.

Semangkuk Bubur Gunting dan seporsi Es Sarang Burung Walet tampak segar menggoda, dan cocok untuk dijadikan penutup makan, pada siang itu.

IMG_2104
Bubur Gunting.

Bubur Gunting terdiri dari guntingan cakue goreng yang dicampurkan pada bubur kacang hijau kupas yang agak encer dan dimasak dengan daun pandan sebagai pengharum. Bubur yang memiliki pengaruh peranakan Tionghoa ini disajikan tanpa es dan dalam suhu ruang. Meskipun isi dari bubur ini tidak asing bagi saya, namun cara penyajiannya adalah sesuatu yang baru. Saya menikmatinya pelan-pelan, sembari membuat catatan kecil pada notebook.

Sesuai dengan namanya, Es Sarang Burung Walet seharusnya memang berisi sarang burung yang terkenal mahal tersebut. Tapi, akibat dari harganya yang cukup tinggi di pasaran, maka siang itu serutan agar jelly dijadikan sebagai penggantinya. Namun begitu kesegaran menu penutup satu ini tetap menyenangkan. Bersama dengan potongan buah longan dan jujube atau kurma merah, serutan agar jelly berpadu dalam kesegaran es dan cairan gula yang manis.

Lengkap sudah acara makan saya siang itu.

IMG_2106
Es Sarang Burung Walet Kalimantan.

Tak terasa hampir tiga jam saya berada di Signatures. Staff restaurant tampak mulai berbenah, merapikan kembali beberapa sisi ruangan untuk acara makan nanti malam. Saya segera berkemas. Merapikan photogears dan notebook, yang menjadi senjata saya siang itu.

Sebelum pulang saya sempat bertemu kembali dengan Chef Meliana di area penerimaan tamu. Kami berbincang sejenak dan saya menyempatkan diri untuk membuat profile-portrait nya.

“Kalau perlu info lebih detail, jangan sungkan kontak saya ya. Boleh lewat whatsapp!”, pesannya ramah.

Ia menekankan bahwa besar harapannya agar kami para blogger dapat membantu untuk memperkenalkan masakan khas Kalimantan, yang mulai terancam punah keberadaan dan keotentikannya.  Terlebih dengan mulai banyaknya kerusakan alam yang mengancam bahan-bahan alami dan endemik yang diperlukan bagi masakan khas daerah tersebut. Bagi saya, ini adalah salah satu pesan mendalam dari acara makan, siang itu.


Poster-of-Indonesian-food-promotion-at-Signatures-(1)Dalam rangka memperingati ulang tahunnya yang ke 53 dan ulang tahun ke 70 Republik Indonesia, Hotel Indonesia Kempinski Jakarta menggelar acara Indonesian Food Promotion. Dimana  beberapa masakan Indonesia terpilih dan otentik dari lima wilayah kuliner yang berbeda diperkenalkan selama lima minggu berturut-turut, oleh para chef yang telah berpengalaman dan memiliki dedikasi dalam pelestarian masakan khas Indonesia.

Indonesian Food Promotion ini digelar mulai tanggal 5 Agustus hingga 8 September 2015. Bagi Anda yang berminat untuk mencicipi kekayaan Indonesia ini, masih ada tiga hari tersisa, dimana Chef dan ‘Duta Besar Kuliner Indonesia’ Petty Elliott akan memimpin langsung team nya untuk menyajikan masakan khas dari Sulawesi dan Maluku.

Karena tempat terbatas, jangan lupa lakukan reservasi terlebih dahulu ke Signatures Restaurant pada nomor kontak (021) 2358 3898!

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

40 thoughts on “Menguak Misteri Kuliner Kalimantan di Signatures

  1. Berarti klo sama suku dayak, pas ngucapin selamat tinggal ga, boleh “dadahh dadah!” Yaa, bisa rancu artinya hehe.. Nama masakannya unik2 dan belom pernah ada yg gw cobain satupun.. Hmm. Mantap kayaknya untuk rasanya *elus2 perut

    Liked by 1 person

  2. Chef-nya cakep Mas, terus baik hati banget mau mengambilkan makanan buat para tamu, eh… *salah fokus* :hehe. Sayang saya tak sempat datang kemari, keterbatasan waktu (baca: sok sibuk) terus kejadian yang tak terduga membuat saya harus mengubah rencana. Mungkin kalau lain kali ada yang mau mengundang, saya bisa datang… :hehe *ngarep*.

    Hal menarik, saya melihat ada beberapa kesamaan kata antara bahasa makanan di sana dengan bahasa yang menurut saya lariknya berasal dari tanah Jawa atau Sumatera. Terasi dibilang belasan, di tempat lain dibilang belacan. Ada juga “habang” yang saya curiga mirip dengan “abang” yang artinya juga merah, seperti cabai merah besar yang digunakan. Terus juga “iwak”, artinya juga “ikan” sih :hehe. Memang ya, kuliner suatu daerah bertalian banget dengan budaya masyarakat di sana, plus pengaruh-pengaruh budaya yang menjadi komposisi, sehingga pada akhirnya menghasilkan satu budaya yang unik dan berbeda dan khas Kalimantan.

    Ulasan yang bagus, Mas!

    Liked by 1 person

    1. Haha Gara deh komen pertamanya. Tapi memang iya Chef Meliana ramah dan menyenangkan. Bahkan beliau bersedia diwawancarai secara online via whatsapp dan dengan sabar menjelaskan lebih jauh tentang kuliner Kalimantan yang membuat aku penasaran 🙂

      Insya Allah di lain waktu bisa ikutan ya Gara.

      Betul banget, bahwa banyak beberapa kata yang memiliki kesamaan arti, meskipun pengucapannya agak sedikit berbeda. Seperti habang yang artinya abang, belasan yang sama dengan belacan, dan iwak yang berarti ikan. Bahkan aku sempat riset di internet, info yang aku dapatkan mengatakan kalau sebenarnya asal rumput bahasa Melayu itu justru dari Kalimantan yang kemudian menyebar ke Sumatra, hingga ke wilayah Sabah dan Brunei. Sehingga mereka semua memiliki hubungan kekerabatan.

      Selain itu, pada waktu aku mencari data lebih jauh tentang Kesultanan Bulungan yang menjadi asal masakan Lawa Gamai, aku justru menemukan fakta sejarah yang tragis tentang kerajaan satu ini. Lengkapnya sempat aku tulis di twiter beberapa hari lalu. Mungkin di laut waktu aku akan bahas. Benar-benar trenyuh deh baca sejarah kerajaan satu itu …

      Terimakasih kunjungan dan komennya ya 🙂

      Liked by 2 people

      1. Mungkin masih banyak kepentingan yg menghalangi. Dan ironisnya, pimpinan yang dianggap bertanggungjawab terhadap runtuhnya Kerajaan Bulungan, justru dimakamkan sebagai pahlawan di Surabaya.

        Liked by 1 person

  3. Udah lupa semua masakan yang aku makan pas tinggal di Kalimantan Selatan, cuma sering makan Soto Banjar aja. Itu masakannya merata dari 5 propinsi di Kalimantan ya Bart? Minta tolong ditambahin tombol ‘download makanan’ dong di postnya, biar bisa sampe sini sedapnya. 🙂

    Liked by 1 person

    1. Itu artinya dirimu harus mampir ke Kalimantan lagi Bam 🙂
      Iya, kemarin masakannya merata dari lima propinsi di Kalimantan. Hahahaha seandainya bisa gitu, ini postingan bakal jadi resto online dong ,,, yang pasti sedap-sedap Bam 🙂

      Liked by 1 person

    1. Makasih banyak Dita. Jadi maluuuu 🙂

      Wah kalau tau Dita bakal datang juga, mendingan kita janjian deh sekalian kopdar haha.
      Ohh gitu ya, justru pencahayaan malamnya kurang oke ya kalau motret pakai ambience lighting? Beruntung dong aku datang pas jam makan siang.

      Aku tunggu ulasan darimu ya Dit 🙂

      Like

    2. Tips buat Dita & teman2 yang lain: sebaiknya datang pada siang hari supaya dapat pencahayaan natural yang baik 🙂

      Kecuali bakal bawa lighting set sendiri itu beda kasus, hehehe 😉

      Btw review-nya bagus, foto2nya ciamik pisan ih..

      Liked by 1 person

  4. Haduh … aku kl disuruh ngerasa’ne … mungkin nti kl ditulis di blog post … enak, uenak, ato wenak … kali ya … huahhaa … mesti memperbanyak bendahara kosa kata untuk mendeskripsikan makanan 😀

    Like

Leave a comment