Nepal (3): Kathmandu, First Encounter

Adalah Tibet yang menjadi obsesi saya sejak kecil. Negeri yang berada di utara punggung Himalaya itu sudah bertahun-tahun menarik hasrat saya untuk traveling ke tengah Benua Asia. Namun karena beberapa masalah teknis, sampai saat ini saya belum berhasil kesana.

Di Kathmandu lah, untuk pertama kalinya saya berjumpa orang-orang dari negeri di atas awan tersebut. Penampakan mereka terlihat sangat eksotis. Wajah keras bermata sipit, dan terkadang sedikit mirip Indian, dengan guratan yang dalam. Bulir rambut mereka tebal dan kuat. Dengan kulit terang yang kuning kemerahan, akibat sering terpapar suhu dingin yang ekstrim. Perawakan mereka tampak kokoh, karena tempaan alam yang keras. Beberapa bagian atau lapis baju mereka, terutama wanitanya, terlihat tidak jatuh lembut, melainkan kaku.

IMG_3231
Rombongan Tibet di Baggage Claim Area.

Saya tidak tahu, apakah cara saya mengamati mereka terlalu kentara saat itu. Namun saya rasa, mungkin mereka juga terbiasa dengan cara orang baru, memandang mereka. Saya hanya khawatir, cara saya mengamati, bisa menyinggung mereka. Maka ketika seorang kakek Tibet melihat ke arah saya yang sedang asyik mengamati, saya berusaha tersenyum untuk mencairkan suasana dan menghilangkan kegugupan. Senyum balasannya, seketika merubah wajah kerasnya menjadi ramah luar biasa.

Are you malaysians? Ringgit, please!

Setelah tertahan cukup lama di dalam bandara akibat antrian visa di Imigrasi, dan proses klaim bagasi, akhirnya saya dan travelmate merasakan kembali udara dingin Kathmandu. Kami segera mencari jemputan dari hotel yang sudah dipesan sebelumnya. Tidak terlalu sulit, karena supir yang akan membawa kami, sudah menunggu di depan pintu kedatangan sambil membawa kertas yang bertuliskan nama saya. Dan pada saat itulah kami menyadari, bahwa dia tidak bisa berbahasa Inggris.

Dia berusaha ramah dengan gestur dan bahasa yang tidak kami mengerti. Tapi sudahlah tak apa, toh dia sudah tahu kemana tujuan kami.

IMG_3232
Pelataran Parkir Bandara Tribhuvan, Kathmandu.

Ketika kami mulai bergerak ke arah pelataran parkir, ada beberapa orang yang mengerubuti dan menanyakan kemana tujuan kami, serta mulai menawarkan jasa untuk mengantarkan. Dengan tetap berusaha ramah, kami yang masih diliput rasa girang karena berhasil sampai di Nepal, menjawab bahwa kami sudah mendapatkan jemputan. Tapi entah kenapa mereka masih terus mengikuti, sementara kami tidak curiga sedikitpun.

Semuanya semakin aneh, ketika mereka berusaha membukakan pintu mobil dan membantu melepaskan ransel bawaan, sementara buat kami itu pekerjaan yang sangat mudah, yang pada akhirnya kami selesaikan sendiri. Ketika pintu mobil akan ditutup, mereka menahan dan meminta ongkos. Kami bingung, ongkos untuk apa? Dan jawab mereka adalah, ongkos untuk membantu kami membawa barang bawaan sampai ke mobil.

Saya memberi kode protes ke sopir jemputan, tapi tampaknya dia tidak paham dan juga sedikit ketakutan. Sementara travelmate saya protes langsung ke orang-orang tersebut, dan mengatakan bahwa dia melakukan semuanya sendiri. Tapi orang-orang tersebut tetap tidak peduli.

Saya yang sudah cukup lelah dengan perjalanan selama sepuluh jam, ditambah dengan kurang tidur. Menjadi malas untuk beradu argumentasi. Akhirnya, karena sedari tadi mereka mengira kami orang Malaysia dan menagih ringgit, maka saya berikan recehan ringgit yang saya bawa dari Indonesia. Dan mereka pun pergi.

Ah preman dimana-mana selalu ada.

Naik, Naik ke Nagarkot

Meskipun kejadian tadi membuat kami sedikit kesal, hal itu tidak kami pelihara lama-lama. Begitu kendaraan kami membelah kota Kathmandu, topik bahasan segera berubah.

Oh ya, pada awalnya kami berpikir bahwa kami akan dijemput dengan menggunakan sebuah minivan atau sejenisnya, seperti yang kami lihat banyak berjajar di pelataran parkir bandara. Ternyata kami dijemput dengan menggunakan sedan, yang juga umum digunakan taksi-taksi di Nepal. Dan ukurannya, benar-benar di luar dugaan. Kecil dan sempit.

DSC_0136
Seperti ini penampakan taksi pada umumnya di Nepal.

Saking sempitnya, bagian bagasi hanya bisa dimasuki oleh satu ransel ukuran 39 liter. Sedangkan sisa ransel lainnya, ditempatkan di samping supir. Dan kami yang tidak terlalu tinggi inipun, tetap harus duduk dengan sedikit meringkuk di tempat duduk penumpang. Seumur-umur, ini adalah mobil terkecil yang pernah saya tumpangi, selain bomb bomb car.

IMG_3235
Jalanan luar kota Kathmandu mengarah ke Bhaktapur, lebar dan lengang.

Jalan raya yang menghubungkan bandara dengan kota Kathmandu, sangat lebar dan lengang. Dengan trotoar yang cukup lebar di sisi-sisinya. Saking lebarnya satu atau dua mobil masih bisa berlalu lalang di atasnya. Saya belum pernah melihat trotoar selebar itu sebelumnya. Hanya saja, tidak banyak pohon peneduh yang memayungi jalan.

Selain itu jalanan kota Kathmandu terlihat sangat-sangat berdebu. Bukan hanya jalanannya, tapi semuanya. Bangunan-bangunan kubus yang berhimpitan di sisi-sisinya dan di kejauhan, serta vegetasi yang tersebar, juga disaputi debu yang cukup tebal. Saya membayangkan jika hujan turun, debu-debu itu akan berubah menjadi pupur cair tebal dan jeblok di jalanan.

Semakin menjauhi bandara, lalu lintas terlihat semakin padat. Meskipun kami belum menemukan satupun kemacetan. Suasana jalanan Kathmandu, terlihat semakin eksotis di mata kami. Karena kendaraan-kendaraannya yang terlihat sangat ketinggalan jaman, meskipun ada satu dua yang terlihat seperti keluaran terbaru. Juga manusia-manusia yang meramaikannya.

Kami melihat bus-bus lokal yang mengangkut penumpang bersesakan hingga ke atapnya. Wanita-wanita yang berjalan dengan busana yang selama ini saya pikir hanya dikenakan di India. Dan beberapa sadhu dengan gelungan gimbalnya, yang selama ini hanya saya lihat di foto-foto dokumentasi. Wajah-wajah yang tampak berasal dari aneka rupa ras yang berbeda. Berkulit legam, kuning terang, atau coklat biasa seperti kami. Bermata bulat lebar, biasa, hingga yang sipit. Dengan perawakan menjulang, rata-rata, hingga yang lebih kecil dari kami. Dan beberapa di antaranya cukup rupawan, dalam balutan busana musim dingin mereka.

IMG_3237
Suasana pasar di luar kota Kathmandu, dekat Bhaktapur.
DSC_0133
Warga Kathmandu sedang menikmati sore hari.

Meskipun kabin mobil terasa agak hangat, saya percaya kalau udara di luar semakin menusuk. Karena kaca mobil yang kami tumpangi terasa sangat dingin ketika saya sentuh. Matahari semakin meredup, dan kami mengarah ke luar kota Kathmandu. Menuju daerah yang lebih tinggi di Timur, untuk bermalam. Di Nagarkot.

Bermalam di ujung jagad raya. Seperti apa rasanya? Baca pada kisah lanjutan perjalanan kami, di sini.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

35 thoughts on “Nepal (3): Kathmandu, First Encounter

  1. Yah, di mana pun agaknya porter-porter seperti itu akan selalu ada ya Mas. Trik-trik pengabaian dan muka seram mesti terus dicoba supaya berhasil (sejauh ini di Indonesia saya berhasil lolos dengan trik muka seram :hehe).

    Liked by 1 person

    1. Masalahnya tampang mereka lebih seram, terus jumlahnya sekali ngerubutin banyak banget, dan supir kami yang orang lokal pun kelihatan takut. Jadi kalau mau coba pasang muka seram bisa aja, atau siapkan recehan yang jumlahnya gak seberapa aja, daripada pusing. Tapi recehannya mata uang asing aja, yang mereka gak ngeh nilai tukarnya 😀

      Liked by 1 person

      1. Nah itu, mungkin bisa dicoba kapan-kapan. Tapi aku rasa ada trik lainnya, jadi setelah keluar dari terminal kedatangan, langsung jalan ke arah terminal keberangkatan, cari taksi dari sana. Aku lihat itu lebih bagus.

        Liked by 1 person

  2. Jadi ingat belasan tahun lalu saat ke Tanah Abang, ada seseorang yang dengan baiknya membukakan pintu bajaj dan setelahnya berkata, “ongkosnya bu haji” (ngomong ke ibuku). Kagetlah kita, lha kita nggak minta dibukain pintu kok :p

    Ujung-ujungnya sama supir bajaj dikasih uang baru deh kita jalan. >.<

    Liked by 1 person

  3. Awal perjalanan aja sudah menarik ya Kathmandu. Sesuatu yang beda nyata di negara lain memang menjadi sesuatu yang eksotis di mata kita. Aku juga gitu. Warna kulit, cara berpakaian, dan suasana kota yang unik pasti jadi sesuatu yang menarik.

    Liked by 1 person

  4. Kesan pertama Tibet bagiku itu malah pingin ketemu Yeti hehehe. Lihat hidden jepret wajah-wajah lokalnya jadi lihat keramahan mereka. Ramah atau malah sebaliknya, kak? Mnunggu cerita tentang Nagarkot-nya aja ah 😀

    Like

    1. Nah, yeti itu benar-benar eksis gak sih? Aku juga penasaran hehe. Menurutku mereka sih ramah, meskipun sekilas terlihat galak. Siip siip ditunggu postingan lanjutannya ya Lim. Untuk sementara aku sela dulu dengan cerita tentang Varanasi.

      Liked by 1 person

    1. Well, I guess Malaysian travelers/tourists are most well-known for them instead of us from Indonesia. Since, at least there are two airlines have a direct flight from KL to Kathmandu ,,, and fortunately I brought some ringgit at those times 😀

      Liked by 1 person

    1. Memang jarang ada promo ke Nepal, tapi kalau lagi promo harganya lumayan lho. Pas ke Nepal pertama kali aku dapat harga 1.5 juta pp pakai AA.

      Yang kedua, aku naik AA pulangnya naik Malindo Air dan Garuda. Harganya agak mahalan dikit, tapi lumayan terjangkau.

      Sering-sering cek aja hehehehe

      Liked by 1 person

    2. O iya untuk bulan terbaiknya adalah October November (musim gugur) atau April Mei (awal musim semi). Udara masih sejuk tapi gak terlalu dingin.

      O iya sebentar lagi aku akan nulis tips-tips solo traveling ke Nepal dan apa yang bisa dilihat di Nepal. So, stay tune yaaa 🙂

      Liked by 1 person

  5. Postingan udah 2th tapi baru baca 😁 garagara lagi nyari referensi buat liburan ke nepal tapi masih bingung soal visa dan takut nggak bisa balik 😄😄😄

    Liked by 1 person

    1. Lho, justru kalau ada masalah dengan Visa malah akan dideportasi dan pasti balik.

      Tenang aja, selama mengikuti prosedur dan tidak melanggar, pasti aman kok.

      Like

Leave a comment