Chiang Mai (3): Grandeur of the Grandest

DSC_0613
Sisa reruntuhan Phra Dhatu Chedi Luang, Chiang Mai

Hal yang seringkali menjadi dilema pada saat traveling adalah, ketika terlalu sedikit waktu yang dimiliki, sementara banyak titik yang ingin dijelajahi. Mungkin sebagian orang akan memilih untuk memaksakan diri menyambangi semua titik yang sudah ditentukan dalam itinerary, dengan mengorbankan waktu dan kenyamanan. Sementara saya pribadi justru sebaliknya, cenderung akan mengorbankan jumlah tempat yang ingin saya kunjungi, demi kepuasan eksplorasi.

Seringkali tidak mudah juga untuk menentukan, destinasi mana saja yang tetap ingin saya kunjungi dan mana yang sebaiknya saya tangguhkan. Ya, saya memilih kata tangguhkan karena saya selalu menanamkan kepercayaan dalam hati, bahwa suatu ketika saya akan kembali untuk menuntaskan hutang kunjungan yang tersisa.

Untuk mempermudah, saya mengambil panduan yang sederhana. Saya memilih yang paling-paling saja. Misalnya: yang paling bagus, yang paling besar, yang paling unik, yang paling cantik, yang paling aneh, yang paling tua dan seterusnya. Tapi kalau sudah mentok, yaaa yang paling memungkinkan saja! 🙂

Wat Chedi Luang dan Stupa Bata Berlapis Emas

Kuil yang terletak di dalam Old Lanna City ini saya kunjungi pada sisa waktu dari hari terakhir kunjungan saya di Chiang Mai. Keunikan sejarah, ukuran, dan arsitekturnya yang menjadi alasan  saya untuk mendatanginya.

Memiliki nama lengkap Wat Chedi Luang Worawiharn, kuil ini lebih sering dan mudah disebut sebagai Wat Chedi Luang, yang berarti Kuil Chedi (Stupa) Agung. Sesuai dengan namanya, kuil ini memang sangat mudah dikenali dari keberadaan chedi batu bata merah nya yang sangat besar, yang disebut Phra Dhatu Chedi Luang.

Chedi bergaya campuran Lanna, Sri Lanka dan Bagan ini dibangun pada abad keempat belas dan baru selesai pada pertengahan abad kelima belas. Diperkirakan dahulu tingginya mencapai 82 meter, dengan diameter dasar 54 meter. Sehingga menjadikannya sebagai bangunan terbesar di seantero Kerajaan Lanna pada masanya. Pada teras pertama terdapat patung-patung gajah, dengan bagian depan yang muncul dari badan chedi. Dan sepasang naga berkepala lima mengapit setiap undakan menuju bagian atas chedi tersebut. Serta ceruk-ceruk berisi figur-figur yang disucikan di empat penjuru arah mata angin.

DSC_0631
Patung-patung gajah pada teras Chedi Luang

Patung Emerald Buddha yang menjadi rebutan para penguasa di Indochina pun pernah ditempatkan selama tujuh puluh sembilan tahun pada ceruk bagian timur, dan satu tahun di aula Wat Chedi Luang. Sebelum akhirnya berpindah-pindah ke Luang Prabang, Lan Xang, Vientiane, Thonburi dan akhirnya ditempatkan oleh Raja Rama I (dari Siam) ke Wat Phra Kaew Bangkok, dengan diiringi upacara besar-besaran.

Dari  sebuah Tarikh Thailand Utara yang berjudul Jinakalamalipakarana (Masa Para Penakluk), diceritakan bahwa Raja Saenmuangma mendedikasikan chedi ini untuk menyimpan abu dari jenazah ayahandanya, Raja Kue Na. Namun sayangnya, beliau tidak pernah meresmikan bangunan ini, yang baru selesai dikerjakan pada masa Raja Tilokarat berkuasa.

Diceritakan pula pada tarikh tersebut, bahwa cicit Raja Tilokarat, yaitu Raja Phra Muangkeo di tahun 1512 M membuat pagar pembatas bagi chedi dari 254 kilogram perak, yang kemudian ditukar dengan 30 kilogram emas untuk dijadikan sebagai pelapis chedi. Pelapisan kemudian ditambahkan, sehingga totalnya mencapai 2.382.507 kilogram emas.

Sungguh jumlah yang luar biasa, dan sulit dibayangkan berapa dana yang dimiliki oleh Kerajaan Lanna pada saat itu.

DSC01722
Phra Dhatu Chedi Luang di masa kini

Namun sayangnya, pada tahun tahun 1545 M -tujuh tahun sebelum Emerald Buddha dipindahkan ke Luang Prabang- sekitar tiga puluh meter bagian atas dari puncak Chedi Luang roboh akibat gempa yang melanda Kerajaan Lanna. Kerusakan tersebut sulit untuk diperbaiki kembali pada masa itu, sehingga selama bertahun-tahun chedi tersebut dibiarkan dalam keadaan rusak.

Baru pada sekitar empat ratus tahun kemudian, di awal tahun sembilan puluhan, chedi tersebut direkontruksi oleh Kerajaan Thailand dengan dibantu oleh UNESCO dan Kekaisaran Jepang. Namun begitu, keseluruhan chedi nya tidak pernah dibangun kembali karena tidak adanya catatan yang pasti mengenai desain aslinya. Sehingga kini kita hanya bisa melihat Chedi Luang dengan tampilan yang terpancung sepertiga bagian atasnya. Itupun hanya struktur batanya saja, tanpa berjuta-juta kilogram emas pelapisnya.

DSC_0606
Ceruk bagian Timur, yang kini dihuni Phra Yok

Untuk merayakan ulang tahun ke enam ratus dari Wat Chedi Luang, pada tahun 1995 ditempatkan sebuah replika dari Emerald Buddha, di tempat asalnya dulu berada di chedi ini. Replika tersebut diberi nama Phra Phut Chaloem Sirirat atau lebih dikenal sebagai Phra Yok.

Pilar Kota, Reclining Buddha dan Bhiksu Dalam Kaca

Sebagaimana kebiasaan di hampir seluruh kota di Thailand, Pilar Kota (Lak Mueang) merupakan salah satu hal yang disucikan dan dijaga dengan seksama oleh penduduk kota. Dan kebetulan Pilar Kota yang menjadi cikal bakal Chiang Mai yang disebut Soi Inthakin, ditempatkan pula pada sebuah kuil kecil di bagian tenggara dari pelataran Wat Chedi Luang.

Sekitar tahun 1800 Raja Chao Kawila, memindahkan  Soi Inthakin dari Wat Sadeu Muang ke area Wat Chedi Luang, dan menanam sebuah pohon Meranti (Dipterocarpaceae) di dekat nya, untuk menemani Soi Inthakin dalam menjaga kota. Kini pohon yang sudah sangat tua tersebut, tingginya bisa menandingi Chedi Luang.

DSC_0585
Kuil tempat Soi Inthakin berada, dan pohon Meranti (Dipterocarpaceae)

Meskipun tidak sebesar dan se-impresif patung Reclining Buddha di Wat Pho-Bangkok, Wat Chedi Luang juga memiliki sebuah patung yang sama di bagian barat pelatarannya. Berpose tidur menyamping dengan bertelekan pada tangan kanannya, dan dilapisi oleh bordiran keemasan yang menutup delapan puluh persen bagiannya.

DSC_0661
Reclining Budha di sisi Barat Phra Dhatu Chedi Luang
DSC_0609
Bangunan utama Wat Chedi Luang Worawiharn

Sementara bagian dalam dari kuil utamanya sendiri diisi oleh sebuah  patung Buddha raksasa berlapis emas. Berdiri impresif dengan pose tangan Abhaya Mudra, dan dikelilingi oleh banyak patung lainnya yang lebih kecil dalam berbagai pose. Pilar-pilar kuil berdasar hitam  yang menyangga atapnya dihiasi dengan detail keemasan yang cukup rumit. Sementara puluhan kursi kayu untuk para bhiksu berbaris di bagian kiri dalam aula. Pengunjung diperkenankan masuk ke dalamnya, setelah terlebih dahulu melepas alas kaki di bagian luar.

DSC_0669
Aula Wat Chedi Luang

Salah satu hal yang paling menarik adalah, adanya beberapa patung lilin dari bhiksu-bhiksu yang disucikan, ditempatkan pada wihara-wihara di sekitar Wat Chedi Luang.

Saya awalnya tidak menduga kalau bhiksu yang tengah duduk di atas altar wihara dan dibatasi kaca tersebut adalah patung lilin. Terduduk dengan sikap sempurna yang dingin, penampakan mereka begitu nyata. Bintik-bintik di kulit, keriput serta rambut-rambut yang tumbuh di figur tersebut benar-benar terlihat seperti aslinya. Bukannya kagum, saya justru merasa ngeri dibuatnya.

DSC_0651
A monk in the box

DSC_0657

DSC01720

Wat Chedi Luang dan keseluruhan bangunan yang terletak di sekitarnya, berada pada area yang tidak terlalu luas. Sehingga tidak dibutuhkan waktu yang terlalu lama untuk mengelilinginya. Meskipun sangat relatif, karena banyak sudut-sudut yang menarik untuk didokumetasikan dengan kamera, dan bisa menyita waktu juga. Seingat saya, tidak ada loket tiket dan antrean yang panjang untuk masuk ke Wat Chedi Luang. Sehingga kita bisa dengan bebas mengunjungi salah satu ikon Kerajaan Lanna ini.

Melihat sisa chedi batanya yang menjulang saja sudah luar biasa, apalagi jika membayangkan kemegahannya dahulu dalam keadaan utuh berlapis emas, serta dilengkapi dengan Emerald Buddha di ceruk timurnya.


Wat Chedi Luang Worawiharn: King Prajadhipok Road 103, Phra Singh, Muang District, Chiang Mai, 50200, Thailand.

Map Wat Chedi Luang

How to get there:

  • Jalan kaki: masuk ke Old Lanna City melalui Tha Pae Gate, susuri Ratchadamnoen Road. Setelah bertemu perempatan kedua langsung belok kiri. Sekitar 150 meter kemudian, pintu masuk Wat Chedi Luang berada di sebelah kanan jalan.
  • Dengan Songthaew: katakan Wat Chedi Luang sebagai tujuan, maka pengemudi akan mengantarkan langsung sampai ke pintu gerbangnya.
DSC_0582
Penampakan Songthaew

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

25 thoughts on “Chiang Mai (3): Grandeur of the Grandest

  1. Dan ke mana semua emas itu, Mas?
    Melihat bangunan Buddha yang puncaknya terpancung, saya jadi ingat Candi Kalasan. Bagian atasnya juga serupa, dan candi itu kini sudah demikian rapuhnya, padahal dari lapik superbesar yang ada di dalamnya, diduga dulu dalam candi itu ada patung perunggu yang besar sekali.

    Gajah dan Buddha yang diapit oleh dua pengiring dalam wujud yang lebih kecil. Hm. Ini menarik sekali. Dan takjubnya, tempat wisata di sana begitu terjaga karena mungkin masih digunakan sebagai tempat ibadah ya, Mas. Kerenlah.

    Patung lilinnya memang membuat seram :hwaa.

    Liked by 1 person

    1. Nah memang itu juga yg jadi pertanyaanku. Kemana berton-ton emas pelapisnya pergi?

      Tapi kalau melihat sejarah bangsa-bangsa Indochina dimana setiap kali mereka berperang selalu saling menjarah kekayaan, wajar kalau misalnya emas yg ada di Lanna kini raib entah kemana.

      Seperti misalnya, konon dahulunya Kerajaan Sukhothai dan Ayutthaya di Thailand memiliki ibukota yg gemerlap dilapisi emas, kemudian pada saat kerajaan Burma menyerang, berton-ton emas yg melapisi kota-kota itu dilelehkan dan dijarah ke Burma. Konon, sampai skarang ini menjadikan alasan mengapa orang-orang Thai masih menyimpan rasa kurang suka pada orang Burma.

      Nah apalagi yg di Indonesia ya. Hmmm candi Kalasan ini peninggalan kerajaan Mataram Kuno bukan sih? Berarti dibangun sekitar abad ke 9 atau 10 an ya. Aku penasaran juga, apakah pada jaman itu emas sudah dipakai untuk mengisi atau menghiasi candi. Mengingat temuan Wonoboyo itu diperkirakan dari abad ke 9, walaupun itu merupakan perhiasan dan perkakas rumah tangga.

      Iya, mungkin itu alasannya ya Gara, karena masih dipakai sebagai tempat peribadatan. Maka rata2 di Thailand masih terawat.

      Liked by 1 person

      1. Wow, kalau benar dilelehkan, wow… mungkin masih ada lelehan emas terpendam di bawah tanah di sana, ini menarik sekali.

        Yap, Mataram Kuno. Kemungkinan sudah, karena bangsa Indonesia terkenal maju dalam bidang tempa menempa logam, khasnya lagi adalah di negara kita banyak ditemukan batu-batu mulia, bukannya tidak mungkin itu juga digunakan dalam pengarcaan di candi-candi itu :)).

        Liked by 1 person

      2. Iya, dilelehkan dan diangkut dengan gerobak dan kuda ke Burma. *masa’ pake heli* 😄

        Ada satu catatan, bahwa demi melindungi sebuah patung Buddha dari jarahan maka para penduduk kota melapisinya dengan semen. Sehingga ketika terjadi penyerangan, patung tersebut lolos dari incaran. Beratus-ratus tahun kemudian, lapisan semennya retak dan akhirnya patung yg aslinyanya “terkuak” … Saat ini patung tersebut disimpan di salah satu wat di Bangkok.

        Wah gak kebayang ya di jaman itu blink blink nya kaya apa. Dan kalau dipikir-pikir, dan membaca catatan sejarah plus melihat beberapa temuan yg luar biasa, Indonesia itu dulunya memiliki kerajaan-kerajaan yg kaya raya. Berlimpah emas permata, selain tanahnya subur makmur.

        Liked by 1 person

      3. Komentar saya tadi dobel ya Mas, makanya balasannya juga ganda :hehe. Mohon maaf ya :hihi.

        Pasti situasi politik di sana demikian panasnya sampai-sampai harus dengan cara seperti itu menyembunyukan patungnya. Apakah pembahasan tentang patung itu ada di sini, Mas?
        Yap, negara kita memang kaya banget… tak heran banyak bangsa yang menyebut kalau orang Indonesia ini tidur di atas harta karun.

        Liked by 1 person

      4. Hahaha nggak juga sih, itu karena wifi di tempatku agak error. Kirain belum terkirim, bikin lagi, gak taunya masuk dua-duanya.

        Hmmm pembahasan soal patung itu gak ada di sini. Mungkin lain kali aku bahas. Soalnya aku belum kesampaian melihat langsung patung emas yg dibicarakan itu. Btw, sejarah Emerald Buddha nya juga menarik. Dan setiap ganti musim, pakaian untuk patung itu juga diganti oleh Raja Thailand. Jadi setiap musim beda pakaiannya.

        Sebenarnya sampai skarang, kita masih tidur di atas harta karun sih ya, kalau dipikir-pikir.

        Liked by 1 person

      5. Baiklah, ceritanya tentang patung emas itu saya tunggu :hihi.

        Wow, patung itu pastinya sangat berharga bagi umat Buddha di sana ya Mas, kalau sampai setiap musim pakaiannya diganti.

        Yap, setuju, sampai sekarang pun masih!

        Liked by 1 person

  2. Wat Chedi Luang adalah salah satu alasan kenapa aku dari dulu selalu pengen ke Chiang Mai. Selalu ada kepuasan dan rasa asyik tersendiri ketika mengeksplorasi candi-candi tua dan membayangkan bagaimana kehidupan orang-orang zaman dulu di sekitar candi-candi tersebut. Dulu belum ada lampu, jadi apakah di sekeliling candi dipasangi obor, dulu apakah orang pergi ke candi malam-malam, menaiki anak tangga yang curam, dan pertanyaan lainnya yang selalu ada di kepalaku ketika menyambangi tempat sejenis.

    Suka sama foto-fotomu, Bart!

    Liked by 1 person

    1. Sayangnya, Chedi Luang ini gak bisa kita tapaki Bam. Akses ke teras-terasnya ditutup, kemungkinan untuk menghindari makin rusaknya struktur chedi yang sudah tidak kokoh lagi.

      Dan kita juga gak bisa terlalu mendekat ke badan chedi, karena dipisahkan oleh parit selebar dua meteran. Jadi gak bisa mengamati terlalu dekat, mungkin ada baiknya bawa binocular atau memanfaatkan lensa tele 🙂

      Iya benar Bam, membayangkan bangunan-bangunan itu pada masanya terkadang merupakan satu keasikan tersendiri.

      Makasih ya Bam 🙂

      Like

      1. Wah, jadi inget Chichen Itza yang dulunya bebas dijelajahi wisatawan tapi sekarang beberapa bagiannya ditutup untuk menghindari keausan batu-batunya. Sayang sih memang, tapi demi kelestarian bangunan-bangunan tersebut saat ini sepertinya langkah drastis itu yang paling memungkinkan untuk diambil.

        Jadi berpikir untuk alih profesi jadi arkeolog atau peneliti atau apapun yang memungkinkan untuk mengakses tempat-tempat tersebut dengan lebih mudah, hehe. *ngayal sore*

        Liked by 1 person

      2. Nah aku pernah dengar bahwa ada wacana hal tersebut juga mau diterapkan ke Borobudur, karena jumlah pengunjung yang memasukinya sudah berlebihan. Mungkin pembatasan kali ya tepatnya. Seperti katamu Bam, demi kelestarian bangunan-bangunan tersebut.

        Gak sekalian alih profesi semacam Indiana Jones gitu Bam? 😀

        Like

  3. Setuju sekali jika njenengan bilang jangan memaksakan diri mengunjungi semua destinasi sesuai itinerary. Maka daya eksplorasi bisa kurang. Tulisan ini menunjukkan detailnya daya eksplorasi dan informasi. Karena dari satu atau beberapa tempat pun akan didapat banyak cerita yang kadang tak cukup disajikan dalam satu tulisan. Great! 🙂

    Kapan yo nag Thai maneh? 😀

    Liked by 1 person

    1. Terimakasih Qy.
      Hmm kapan ya? Pengen sih udah ada, aku pengen jelajah Ayutthaya dan Sukhothai, plus punya hutangan ke Chiang Rai.
      Rep gabung po? 🙂

      Like

  4. Sama, bang. Sebagai budget flashpacker yang mandiri swadaya swasembada *halah*, aku harus pinter-pinter atur duit dan waktu. Nggak bisa lama-lama ngetrip. Kadang ada destinasi yang aku ikhlaskan, kadang ada yang aku samperin sepersekian menit, foto-foto, keliling-keliling bentar, terus langsung pergi ke objek berikutnya 😀

    Anyway, gue suka dengan patung Buddha berlapis emas di Wat Chedi Luang itu. Megah dan agung!

    Liked by 1 person

Leave a comment