Chiang Mai (2): Golden Crown of The Mountain

DSC01277

Sebagai mantan ibukota Kerajaan Lanna, tentunya Chiang Mai tak lepas dari kemegahan metropolitan a la masa silam. Bangunan-bangunan berukuran besar, benteng nan kokoh dan kuil-kuil pemujaan yang agung menjadi bagian dari lansekap kota. Meskipun kebesarannya telah berakhir pada beberapa abad yang lalu, namun jejaknya masih terasa hingga kini.

Pada masa lalu, tempat peribadatan hampir selalu menjadi pusat kosmis kerajaan, dimana para penguasa berlomba untuk membangun yang terbesar, termegah, terindah dan paling berkilau, sebagai wujud bhakti dan legitimasi kekuasaan mereka yang direstui oleh Maha Pencipta.

Dengan rentang sejarah yang panjang, Chiang Mai memiliki banyak kuil yang beragam, baik dari segi ukuran, kekayaan detail, serta isinya yang berlapis emas dan bongkahan batu-batu mulia.

Dibutuhkan waktu yang tak singkat untuk bisa menjelajahi kuil-kuil tersebut satu persatu. Namun, jika hanya memiliki sedikit waktu, maka kuil berikut ini merupakan salah satu yang wajib dikunjungi ketika mengeksplor Chiang Mai.

Wat Phra That Doi Suthep

Kami mengunjungi kuil ini pada hari pertama di Chiang Mai. Ose membawa kami menuju Wat Phra That yang terletak di atas Gunung (Doi) Suthep dengan menggunakan mobil yang dipinjamnya dari seminari. Terletak sekitar 15 kilometer dari pusat kota, kuil ini merupakan salah satu yang paling indah dan ramai oleh peziarah serta pengunjung. Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk bisa mencapai kuil yang terletak di atas gunung tersebut.

Sebelum mencapai Wat Phra That, kami sempat berhenti pada sebuah view point. Dimana dari situ kami bisa mengamati keseluruhan kota Chiang Mai dari ketinggian. Mungkin jika malam menjelang, pemandangan kota Chiang Mai yang gemerlap oleh lampu-lampu penerangan akan terlihat indah dari tempat itu.

DSC_0281
Para peziarah dan pengunjung di sekitar chedi Wat Doi Suthep.
DSC_0243
Para bhiksu yang sedang khidmat bersembahyang di salah satu wihara Wat Doi Suthep.

Bila menggunakan kendaraan umum, kuil ini bisa dicapai dengan menaiki Songthaew atau Rod Daeng. Yaitu sebuah angkutan umum berwarna merah, dengan dua baris tempat duduk yang memanjang ke belakang. Angkutan khas di dalam kota Chiang Mai ini, tidak memiliki trayek yang pasti seperti kendaraan umum pada lazimnya. Melainkan kita tinggal naik dan menyebutkan arah tujuan, maka Songthaew akan meluncur bersama penumpang lain yang memiliki rute searah atau bertujuan sama.

DSC01232
Songthaew atau Rod Daeng, sedang menanjak pada jalanan menuju Doi Suthep.

Legenda Gajah Putih dan Relik Suci

Kuil yang oleh penduduk lokal lebih dikenal sebagai Wat Doi Suthep ini, dibangun pada abad ke empat belas, dimulai pada masa pemerintahan Raja Kue Na. Ada banyak versi cerita yang menyelimuti awal mula pembangunan kuil ini. Namun cerita yang paling banyak beredar adalah bahwa kuil ini dibangun setelah Sang Raja mendapatkan sebuah relik Budha misterius yang mengganda dari relik pertama yang ditempatkan di Wat Suan Dok.

Demi mendapatkan tempat yang sesuai untuk menyimpan relik suci, maka Sang Raja menempatkan relik tersebut pada seekor gajah putih, dan menunggu sambil melihat kemana hewan tersebut membawanya. Diceritakan, bahwa kemudian gajah putih tersebut berjalan menaiki Doi Suthep, hingga akhirnya meraung tiga kali, berputar tiga kali, lalu berlutut dan mati seketika. Pada tempat dimana hewan tersebut matilah akhirnya dibangun Wat Doi Suthep.

Wat Phra That Doi Sutep
Denah 3D Wat Phra That Doi Suthep.

Crown of the Mountain

Wat Doi Suthep berada di puncak sebuah bukit kecil, dan bisa dicapai melalui dua cara. Yang pertama dengan meniti sekitar tiga ratusan undakan tangga yang dijaga oleh sepasang patung Naga, dan yang kedua dengan menaiki sebuah cable car berbayar yang berada sejajar tak jauh disamping tangga tersebut. Biasanya orang akan memilih dengan naik melalui cable car, dan turun melalui tangga. Tapi menurut saya, naik turun melalui tangga pun tidak terlalu merepotkan.

Dikelilingi oleh hutan kecil yang cukup lebat, bagian utama dari kompleks Wat Doi Suthep terdiri atas chedi atau stupa utama yang menyimpan relik Budha, wihara-wihara, patung gajah putih, payung emas, museum, genta-genta, patung Budha berlapis emas dan replika dari Emerald Budha yang ada di Wat Phra Kaew Bangkok. Selain itu juga terdapat sebuah view point yang langsung mengarah ke Chiang Mai.

Untuk memasuki kompleks ini pengunjung diharuskan untuk melepaskan penutup kaki, dan menutupi bagian bahu atau pundak. Saya sarankan untuk mengunjungi tempat ini pada pagi hari, atau sore hari, untuk menghindari panas matahari yang menyengat.

DSC_0287
Replika dari Emerald Budha yang saat ini terletak di Wat Phra Kaew Bangkok, terbuat dari gelas berwarna hijau.
DSC_0250
Salah satu sudut di pelataran luar Wat Doi Suthep.
DSC_0277
Detail pada salah satu sudut Wat Doi Suthep.
DSC_0291
Para peziarah yang sedang menjalani ritual mengelilingi chedi utama, di antara patung-patung Budha berlapis emas.

Chedi utama berlapis emas dari Wat Doi Suthep yang dibangun pada abad ke enam belas, merupakan perluasan dari chedi sebelumnya yang dibangun pada abad ke empat belas. Dimana chedi ini merupakan tiruan dari chedi Wat Phra That Haripunchai di Lampun, yang dahulunya merupakan kuil terbesar di wilayah Chiang Mai. Kemilau keemasan dari chedi Wat Phra That seolah-olah menjadi mahkota bagi Doi Suthep yang berdiri megah menjaga ibukota Kerajaan Lanna. (bersambung)

DSC_0300
Para peziarah khusyuk di depan “Mahkota” Doi Suthep.
DSC_0279
Sebuah pilar perdamaian dengan tulisan dalam bahasa Indonesia: Semoga Damai di Dunia.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Posted by

a Globetrotter | a Certified Diver: PADI Advance Diver and AIDA** Pool Freediver | a Photography Enthusiast | a Laboratory Technician.

26 thoughts on “Chiang Mai (2): Golden Crown of The Mountain

    1. Kecapean kali gajahnya, mendaki gunung gitu. Jaman dulu khan belum ada jalan berlapis hot mix yang di pinggirnya banyak warung jualan es mambo hehehe … Ya menurut legendanya sih begitu.

      Iya keren, aku kira itu Emerald Budha juga, ternyata cuma dari gelas, bukan giok.

      Like

      1. Legend says it died because the elephant didn’t want anybody to ride it (which might be referred by others that the rider equal Buddha) anymore.

        At first I would leave it but since I reply I would add some stories just FYI.

        If you ride to Doi Suthep you’ll see a statue of a monk on your left at the base of the mountain. This is wat Thai called Kruba Srivichai.

        In the old days. It was very difficult for people to reach the summit of Suthep mountain. There was not a wide and comfortable road as good as the present. The way was narrow and bumpy, it was through the middle of the jungle. The journey took on average five hours to reach the summit by foot.

        80 years ago, at that time the government couldn’t raise sufficient money to build the road, so Kruba Srivichai, the most revered monk of Lanna Thai came to CM to initiate the road construction project from the foot of the mountain to the site of the pagoda.

        With the news of the construction project in the North, Buddhists came from all directions and flooded the city to contribute their labour and effort without any wages. There were from 3,000 to 4,000 people each day from many provinces, including Uttaradit and Phitsanuloke. Even hill tribes people came to Chiangmai to volunteer to work. Because of the fact that there were more people than needed, Kruba Srivichai requested that workers from each village should contribute only 50 feet in length of road construction. However, due to the increasing number of volunteers, the monk limited the construction to only 10 or 15 feet per village. The road thriough the jungle with more than 10 kms. was completed within five months and 22 days without any government fund, and in spite of the fact that those days volunteers used only hoes and spaded as their tools; modern machines were not yet available at all.

        Today, Wat Prathat Doi Suthep is one of the most sacred temple for Northern Thai. For decades Chiang Mai University students esp. all freshmen have a yearly tradition. They will walk 14 kms from their university up the mountain to Wat Pratat Doi Suthep to pay respect. There’s only one simple rule: Leave no one behind. If your friend’s tired, you have to help. If your friend is a disabilities, you have to push his/her wheelchair. If your friend cannot walk, you have to carry him/her.

        I would not recommend anyone to go to the temple on that day since it will be really crowded unless you want to take pictures of the trekking. Normally they do it on any day of Sep. so, if you are in CM. at that time, be sure to check the schedule.

        Here’s the clip of last year’s trekking.

        Liked by 1 person

      2. Nice story. It’s my first time to hear about that. And I think it will be nice to be there to see the annual respect walking.

        Thank you so much for the information ,,, it’s enrich my knowledge about Chiang Mai, especially about Wat Prathat Doi Suthep.

        Like

      1. Belum pernah ke Patong, tapi sering dengar namanya yang begitu terkenal. Kalo Patpong di Bangkok sih, ya buat yang suka main-main ke tempat agak aneh aja hahahaha …

        Like

      2. Justru itu belum pernah mampir ke Patpong, takut betah hahahaha … Paling dengar cerita dari teman-teman yang pernah ‘nyasar’ kesana aja 😀

        Like

      3. Aje gileee, salah iseng di Patpong duit habis diperas, bukan jadi tukang cuci piring lagi. Bisa-bisa malah dijual hahaha … Plan dalam waktu dekat mau road trip di Jawa bareng teman-teman. Plan lainnya, tergantung rejeki aja, soalnya belakangan sering dadakan kalau menentukan tujuan jalan. Paling lama bikin rencana dalam dua bulan aja.

        Dirimu mau kemana lagi bro?

        Like

      4. Wah aku mau juga tuh ke Sumba. Kalau misalnya cocok dan ada rejeki, bolehlah ngetrip bareng.

        HK belum bro, mungkin kapan-kapan. Belum dapat panggilan jiwa hehehehe 🙂

        Like

  1. Nanti pas aku ke Myanmar ternyata pas ada pemilu di sana. Thailand bakal jadi Plan B in case terjadi apa-apa di Myanmar, dan postinganmu tentang Chiang Mai muncul tepat pada waktunya. Pas aku masih dalam tahap perencanaan. 🙂

    Liked by 1 person

    1. Alhamdulillah kalau begitu. Aku saranin Chiang Mai, Chiang Rai dan Sukhotai yang semuanya kota-kota bersejarah dan letaknya di utara.

      Kalau mau santai-santai mungkin Mae Hong Son dan Pai juga oke, dengar-dengar dari beberapa teman dua tempat tersebut juga asik 🙂

      Like

      1. Baru denger soal Mae Hong Son sama Pai. Kalo diliat di Wikipedia sih sepertinya kota-kota kecil yang masih alami. Noted and thanks Bart!

        Liked by 1 person

      2. Aku ada temen di Mae Hong Son, mungkin nanti bisa aku referensikan kalau kalian butuh teman lokal di sana. Dia orang Indonesia tapi sudah tahunan di Thailand. Bahasa Thai nya sudah jago, banyak yg ngira dia orang lokal 🙂

        Like

    1. Iya, aku aja pengen kesana lagi. Kurang puas waktu itu 🙂

      Amiin amiin, semoga mbak Indah suatu saat bias ke Chiang Mai.

      Nah itu, kurang tau juga deh … kayaknya gak terlalu banyak juga turis Indonesia di sana. Tapi pilar bertuliskan bahasa Indonesia itu aku temui beberapa lagi di tempat lain selain Chiang Mai, cuma alasannya masih misterius 🙂

      Like

Leave a comment